Bab 6 Rahasia Cheryl

Esok paginya, Gretha terbangun dengan ekspresi kebingungan. Dia menatap Bella yang masih tidur pulas di sampingnya. Bukan keberadaan mamanya, tapi tempat mereka tidur. Gerakannya membuat Bella terbangun. Dia pun duduk sambil menunggu sampai mamanya benar-benar terbangun.

"Kepalamu masih sakit, Sayang?" Bella memosisikan diri duduk di samping Gretha, lalu memegang dahinya.

"Sudah nggak kok, Ma, tapi kenapa kita tidur di bawah?" tanya Gretha.

"Kamu ketiduran semalam dan Mama nggak kuat angkat kamu naik ke tempat tidur. Akhirnya, sekalian saja tidur di bawah," jelas Bella.

"Gie boleh kuliah hari ini, Ma?" Gretha menatap Bella dengan pandangan memelas.

"Boleh, tapi jangan melakukan aktivitas yang berat," sahut Bella.

Gretha tersenyum senang, lalu memeluk Bella. Dia pergi ke kamar mandi dalam kamar untuk membersihkan diri dan bersiap. Tidak menyadari kegelisahan, ketakutan, kemarahan, dan kesedihan yang terpancar dari dalam kedua mata Bella saat memandang kepergiannya.

"Kamu punya Mama, Gie. Mama nggak akan membiarkan siapa pun mengambilmu," gumam Bella dengan emosi, lalu mulai membereskan bantal dan selimut.

Di kamar mandi, Gretha membersihkan dirinya dengan cepat. Sejenak memandang pantulannya di kaca wastafel. Mengeluh dalam hati melihat rambutnya yang sudah panjang, lalu menyentuh liontin kalungnya. Entah kenapa, hatinya terasa hangat saat memperhatikan kalung itu. Senyuman pun terukir di bibirnya.

Setelah itu, dia keluar dan pergi ke ruang ganti. Memakai celana jeans hitam panjang, kaus lengan panjang warna merah tua, dan jaket hitam. Saat itulah, dia melihat kotak yang selama ini tersimpan rapi di situ. Setiap melihatnya, dia bertanya-tanya apa isi kotak itu. Dia tidak bisa membukanya karena ada password.

"Sudahlah. Nanti juga pasti aku ingat password-nya," gumamnya, lalu berlalu dari situ.

Untuk menyempurnakan penampilannya, dia memakai sebenarnya hendak memakai flat shoes, tapi entah kenapa dia tertarik pada ankle boots hitamnya yang tidak pernah dipakai. Dia meraih sepatu itu, lalu memakainya. Tersenyum puas karena ternyata ukurannya masih sangat pas. Merasa urusan penampilannya selesai, dia pergi ke meja rias.

Meraih sisir dan melingkarkan sebuah ikat rambut. Tanpa ragu, dia langsung mengikat rambutnya ala pony tail. Setelah puas, dia meraih ponselnya dan beranjak keluar kamar. Menuruni anak tangga sambil mengirim pesan pada Amanda dan Layla. Memberi tahu mereka kalau dia sudah siap dan menunggu dijemput.

"Tumben kamu pakai style seperti itu?" Tiffany yang sedang ada di ruang tengah mengernyit heran.

"Kenapa? Ada yang salah?" Gretha balik bertanya.

"Aneh aja, sih. Ini pertama kalinya," sahut Louis.

"Aku nyaman, kok." Gretha berlalu menuju ke dapur dan duduk tenang di sana untuk sarapan.

Gretha menjawab komentar seluruh keluarganya dengan sikap santai. Dia tahu kalau penampilannya hari ini berbeda, tapi rasa nyaman membuatnya tidak memikirkan hal itu. Acara sarapan selesai tepat saat terdengar bunyi klakson dari halam rumah. Amanda dan Layla sudah datang.

"Jangan pulang terlalu larut!" pesan Bella.

"Iya, Ma. Sampai nanti!"

Sama seperti keluarganya, Amanda dan Layla terkejut melihat penampilan Gretha. Namun, mereka menyukai perubahan yang dilakukan. Amanda pun langsung melajukan mobil menuju ke rumah Cheryl. Di sepanjang perjalanan, mereka mengobrol santai.

Gretha yang duduk di kursi penumpan belakang mengintip lewat kaca belakang. Ada sebuah mobil sedan BWM hitam di belakang. Entah kenapa, firasatnya mengatakan kalau siapa pun yang ada di dalam mobil itu tengah mengikuti mereka. Namun, dia tidak memberi tahu Amanda dan Layla agar keduanya tidak panik serta takut.

Sampai di rumah Cheryl, mereka langsung masuk ke halaman karena gerbang terbuka. Begitu turun, Gretha menghadap ke belakang sambil merapikan rambutnya. Dia melihat sekilas mobil sedan tadi berhenti tak jauh dari situ, tapi dengan posisi sedikit tersembunyi. Dia segera menyusul saat Amanda yang sudah ada di depan pintu memanggil.

Tok! Tok! Tok!

"Permisi! Cheryl!" Amanda mengetuk pintu dan memanggil nama Cheryl.

Layla mencoba sekali lagi mengetuk pintu dengan sedikit keras. Tindakannya membuahkan hasil karena terdengar jawaban dari dalam. Tidak lama, langkah kaki berderap mendekat dan pintu terbuka. Sosok wanita setengah baya memandang mereka dengan ekspresi terkejut. Dia adalah Aira, mama Cheryl, yang akrab mereka sapa Tante Aira atau Mama Aira. Memandang ke sekitar sejenak, lalu mempersilakan mereka masuk.

Ketiga gadis itu pun berjalan mengikuti ke meja makan di dapur. Aira memperhatikan ketiga sahabat putrinya yang duduk di sekeliling meja untuk empat orang itu. Pas dengan jumlah mereka. Setelah Gretha, Amanda, dan Layla duduk tenang, dia beranjak mengambilkan minuman dan kue dari kulkas. Setelah itu, dia kembali duduk dan memandang mereka dengan senyuman sayang.

"Cheryl di mana, Tante?" tanya Layla to the point membuka pembicaraan.

"Tante juga tidak tahu," lirih Aira.

"Apa maksudnya Tante juga tidak tahu Cheryl di mana?" tanya Gretha.

"Malam itu, Cheryl pulang seperti biasa dan tidak ada sikap yang mencurigakan darinya. Namun, saat Tante meminta Mika membangunkannya, kamarnya sudah kosong. Hanya ada tiga pucuk surat, satu ditujukan pada Tante, satu untuk kalian bertiga, satunya secara khusus untuk Gie," jelas Aira dengan suara bergetar. "Sebentar, Tante ambilkan surat-suratnya." Aira pun beranjak pergi mengambil surat dari Cheryl di kamarnya.

Sementara itu, Amanda, Layla, dan Gretha menunggu dalam keheningan. Mereka bertiga masih sangat syok mengetahui Cheryl benar-benar menghilang begitu saja. Selama ini mereka baik-baik saja. Apakah ada hal yang mereka lakukan dan membuat Cheryl marah? Apakah ada sesuatu hal yang berbahaya dan tengah dihadapi olehnya? Kenapa Cheryl tidak mau memberi tahu mereka? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepala mereka.

Tidak lama, Aira kembali dengan membawa ketiga surat yang dimaksud. Menyerahkan ketiganya pada Gretha agar mengetahui semua isi pesan dari Cheryl. Dua surat hanya dilipat rapi, sementara satunya terbalut amplop yang tertutup rapat. Gretha membuak surat pertama yang ternyata ditujukan pada keluarganya.

Mama, Papa, Mika, terima kasih sudah menerima Cheryl di sini selama dua tahun ini, tapi Cheryl harus pergi karena tidak mau membahayakan nyawa kalian. Kebaikkan hati kalian akan selalu Cheryl ingat selama Cheryl masih hidup. Kalau ada kesempatan, Cheryl pasti akan datang berkunjung untuk melihat kondisi kalian.

Salam sayang, Cheryl Almanza Dewald.

"Cheryl Almanza Dewald? Dewald? Bukankah nama panjangnya itu Cheryl Serafina Miscella?" Gretha memandang Aira meminta penjelasan.

"Bukan. Itu adalah nama pemberian Tante dan Om Ron untuknya," jawab Aira.

"Maksudnya, Cheryl bukan anak kandung Tante?" Gretha berusaha memperjelas semua informasi yang tiba-tiba masuk soal Cheryl.

"Bukan, Sayang. Cheryl itu sama sepertimu, korban kecelakaan dan ledakan mobil dua tahun lalu di New York. Tante jatuh hati padanya dan menurut seorang pemuda asing yang waktu itu menjaga kalian, dia itu anak yatim-piatu. Jadi, begitu dia sadar, Tante menawarkan diri untuk mengangkatnya jadi anak, kemudian pindah ke Indonesia karena Cheryl bilang kalau kalian itu bersahabat dan tidak mau jauh darimu," jelas Tante Aira.

Gretha diam terpaku mendengar penjelasan Aira. Menghilangnya Cheryl membuka hal yang selama ini dirahasiakan olehnya. Hal yang sama sekali tidak pernah diketahui atau lebih tepatnya, diingatnya. Dia kembali menunduk memandang kertas di tangannya, menatap nama lengkap Cheryl yang tertulis di situ.

'Dewald? Kenapa aku merasa tidak asing dengan nama itu?' batinnya. Tiba-tiba, bayangan samar-samar masuk ke dalam pikirannya. Dia melepaskan kertas itu dan memegang kepalanya yang berdenyut sakit.

"Gie? Kamu kenapa, Gie? Apa yang sakit?"

Terdengar samar-samar suara panik Amanda dan Layla. Hal itu yang membuat semua bayangan dan suara-suara dalam kepalanya menghilang. Rasa sakitnya pun ikut berkurang seiring suara Amanda dan Layla terdengar jelas menyapa gendang telinganya. Dia membuka mata yang tanpa sadar terpejam erat dan memandang kedua sahabatnya.

"Kamu nggak apa-apa, Gie?" Layla memandang Gretha khawatir.

"Aku nggak apa-apa." Gretha mengernyit sedikit merasakan denyutan di pelipisnya. "Terima kasih informasinya, Tante. Kami pamit pulang dulu. Nanti kapan-kapan akan mampir ke sini."

Gretha meraih surat pribadi untuknya sendiri, lalu pergi dari situ. Amanda pamit dengan terburu-buru dan menyusul Gretha, sementara Layla masih sempat meraih satu surat yang ditujukan pada mereka bertiga. Aira sendiri terkejut, tapi tidak berusaha mencegah kepergian ketiga sahabat putri angkatnya itu.

* * *

'Kenapa kamu menyimpan rahasia itu, Che? Apa yang sebenarnya terjadi? Ingatan asing apa yang terus menggangguku itu? Haruskah kucari tahu? Dimana kamu sekarang, Che?' Gretha bertanya-tanya dalam hati sambil memandang keluar jendela mobil.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top