Bab 3 Ledakan di Kafe
Gretha duduk di meja kursi sambil memainkan ponsel. Di meja, sebuah buku dan laptop, serta beberapa lembar kertas terserak. Dia baru saja selesai mengerjakan tugas makalah dan malas untuk beres-beres. Berakhirlah dia chatting sejak tiga puluh menit yang lalu. Asyik bercerita di room chat bersama ketiga sahabatnya.
Saat itulah, pesan rutinnya masuk. Senyum kecil pun terukir di bibirnya. Entah kenapa pesan dari orang misterius itu selalu bisa membuatnya tersenyum, seburuk apa pun suasana hatinya saat itu.
[+1 (716) xxx-xxxx: How's your day? (Bagaimana harimu)]
Dia pu langsung membalasnya. Menyampaikan keluh kesahnya hari ini.
[Grenasha C. A.: Just like usual. I went to the mall today and met a strange couple. (Seperti biasanya. Aku pergi ke mal hari ini dan bertemu pasangan aneh.)]
[+1 (716) xxx-xxxx: What they are like? (Seperti apa mereka?)]
[Grenasha C. A.: A handsome guy and a beautiful girl. The girl is so pretty with her blonde hair. Her name is Pippa and she called me Jenny, like you did. (Seorang pemuda tampan dan seorang gadis yang cantik. Gadis itu benar-benar sangat cantik dengan rambut pirangnya. Namanya Pipi dan dia memanggilku Jenny, sepertimu.)]
[+1 (716) xxx-xxxx: Hm, stay away from them. (Hm, menjauh dari mereka.)]
[Grenasha C. A.: You know, I was wondering who you are, why are you calling me Jenny, how do you get my phone number, and anything like that. Can you tell me a name, so I can call you by that name? (Kamu tahu, aku bertanya-tanya siapa dirimu, kenapa kamu memanggilku Jenny, bagaimana caramu mendapatkan nomor ponselku, dan hal-hal semacam itu. Bisakah kamu memberiku sebuah nama, jadi aku bisa memanggilmu dengan nama itu?)]
[+1 (716) xxx-xxxx: That's a lot of questions, but it's better for you not to know me, for now. Someday, I'll go to see you, if you already remember me and our story. I promise about this. What have you called me all this time and why are you just asking now? (Itu pertanyaan yang banyak, tapi untuk sekarang lebih baik kamu tidak tahu apa-apa tentangku. Suatu saat, aku akan menemuimu kalau kamu sudah ingat aku dan cerita kita. Aku janji soal ini. Memangnya, selama ini kamu memanggilku apa dan kenapa baru tanya sekarang?)]
[Grenasha C. A: I'll keep your words. I give you tittle 'Angel'. (Aku pegang kata-katamu. Aku memberimu julukan 'Malaikat'.)]
[+1 (716) xxx-xxxx: You're funny. Call me ... whatever you want. (Kamu lucu. Panggil aku ... yah, terserah kamu.)]
Gretha tersenyum membaca kata-kata di layar ponselnya. Dia bangkit dan merebahkan tubuh tanpa membereskan meja belajarnya. Asyik chatting dengan sosok yang disebutnya malaikat itu sampai jatuh tertidur. Entah kenapa, malam itu dia bermimpi buruk. Berlari di sebuah jalan gelap dengan beberapa orang yang mengejarnya. Pelariannya itu berakhir di tengah jalan besar dan ditabrak oleh mobil berwarna hitam.
Hal itu tak urung membuatnya terbangun dan sedikit perasaan takut. Dia bangun dan duduk di atas ranjang, lalu mengusap wajahnya. Menoleh ke arah jam di atas pintu yang menunjukkan pukul tiga pagi. Rasa haus membuatnya meraih gelap di meja samping. Sayangnya, gelas itu kosong karena dia lupa mengirinya semalam.
Sambil berdecak kesal, dia pun turun untuk mengambil air minum di dapur. Tidak disangka salah satu saudaranya ternyata sudah bangun. Mereka tidak terlaly akrab, jadi dia pun cuek dan langsung mengambil air minum, lalu menikmatinya dalam diam.
"Gie?"
"Hm?" jawab Gretha.
"Mulai hari ini, habis kuliah langsung pulang, ya?" Louis memandang Gretha lembut.
"Kenapa memangnya?" Gretha memandang Louis penuh tanya.
"Nggak apa-apa, sih. Feeling-ku lagi nggak enak aja," jawab Louis.
"Nggak perlu khawatir. Ada Cheryl, Amy, dan Layla yang menjagaku." Gretha mengulas senyum kecil.
"Tetap aja, Gie. Aku nggak mau sampai kamu kenapa-kenapa. Mama sama Papa bisa sedih." Louis mengulurkan tangan merapikan sedikit rambut Gretha.
"Kamu berlaku sepertinya," ucap Gretha.
Gretha menepuk bahu kakak laki-lakinya itu, lalu beranjak kembali ke kamar. Merebahkan tubuh di tempat tidur dan mencoba memejamkan mata, tapi kantuknya sudah musnah. Dia pun meraih ponselnya dan mengirim pesan pada malaikat pelindungnya. Berharap sosok itu tidak sibuk dan bisa menemaninya mengobrol.
[Grenasha C. A: I have a bad dream and now I can't sleep. My brother, Louis, acting weird. (Aku mimpi buruk dan sekarang tidak bisa tidur. Saudaraku, Louis, bertingkah aneh.)]
Tidak disangka, balasannya datang dengan cepat, meskipun awalnya tidak online. Hal itu membuatnya tahu kalau sosok itu akan ada setiap kali dia membutuhkan bantuan.
[+1 (716) xxx-xxxx: Don't worry, you'll be fine. Just don't go anywhere this week until I fix the problem. (Jangan khawatir, kamu akan baik-baik saja. Jangan pergi ke mana-mana minggu ini sampai aku membereskan masalahnya.)]
Dia pun asyik berkirim pesan sampai pagi menjelang dan harus bersiap. Berangkat bersama kedua saudaranya, Louis dan Tiffany. Sebenarnya usianya dan Tiffany sama, tapi saudarinya itu masih belum lulus. Tidak mengherankan kalau orang tua mereka sangat mengistimewakan Gretha yang lebih cerdas.
Selama tiga hari, Gretha mengindahkan permintaan Louis dan sosok itu. Dia langsung pulang ke rumah begitu selesai kuliah. Hanya sekali mampi ke toko buku dan memberi jajanan ringan bersama ketiga sahabatnya, lalu pulang. Cheryl, Amanda, dan Layla pun memilih bermain di rumahnya sambil bersantai.
Namun, entah kenapa hari ini Gretha ingin makan es krim di kafe. Dia pun memberitahukan keinginannya pada ketiga sahabatnya itu.
"Aku juga ingin, sih, tapi guardian angel-mu dan Louis 'kan meminta kita langsung pulang seminggu ini," ucap Amanda dengan ekspresi ragu.
"Hanya sebentar, kok," pinta Gretha memelas.
"Kalian bisa pergi, tapi aku nggak ikut, ya. Ada beberapa hal yang harus kuselesaikan. Begitu selesai, langsung pulang. Jangan mampir-mampir lagi!" ucap Cheryl.
"Siap, Komandan!" sahut Gretha.
Begitu kuliah selesai, Gretha, Amanda, dan Layla pun pergi ke kafe bertiga. Tawa ceria selalu menghiasi bibir mereka. Hari ini tidak ada yang membawa motor, jadi mereka memutuskan naik taksi online. Amanda hari ini sedikit bersikap aneh. Dia biasanya cerewet, jadi tampak pendiam dan gelisah.
"Kamu nggak apa-apa, Amy?" Gretha memegang tangan Amanda. Mereka berada di dalam mobil dengan posisi di kursi penumpang belakang.
"Aslinya, sih, nggak apa-apa, Gie. Cuma nggak tahu kenapa, dari semalem itu aku gelisah terus," keluh Amanda.
"Mungkin kamu kecapekan, jadinya gelisah. Jangan dipikirin terus! Kita, 'kan, mau bersantai makan es krim," sahut Layla menimpali.
Amanda mengulas senyum memandang Gretha dan Layla bergantian. Beberapa menit kemudian, mereka pun sampai di kafe. Layla yang duduk di depan bertugas membayar, sementara Gretha dan Amanda langsung keluar. Saat itulah, Gretha tanpa sengaja menoleh ke seberang jalan ke arah ATM.
Bertemu pandang dengan seorang pemuda yang terkejut melihat kedatangannya. Tak lama, pemuda itu menoleh ke kiri. Gretha pun ikut memandang ke sana dengan ekspresi penasaran. Namun, tidak ada apa-apa di sana dan kembali menoleh pada pemuda itu, dia bisa melihat kepanikan di sana.
"JENNY! GET AWAY FROM THERE! (JENNY! MENJAUH DARI SANA!)" Pemuda itu berteriak keras sambil berlari mendekat.
Gretha mengernyit bingung, lalu menoleh pada Layla dan Amandang yang juga tampak kebingungan. Bunyi debuman keras mengejutkan mereka. Tidak lama kemudian, tubuh mereka terlontar ke belakang terhempas ledakan yang baru saja terjadi. Gretha merasakan tubuhnya seperti remuk saat menghantam sebuah mobil yang terparkir di tepi jalan, lalu jatuh ke aspal.
Samar-samar, dia mendengar teriakan dan jeritan orang-orang. Telinganya sendiri berdenging tidak keruan. Saat kesadarannya nyaris hilang, dia merasakan sepasang tangan mengangkat tubuhnya, lalu membopongnya pergi. Setelah itu, semuanya gelap.
* * *
"I remember, last time we went to a jewelry store, you saw a necklace. (Aku ingat, terakhir kali kita pergi ke toko perhiasan, kamu memperhatikan sebuah kalung.)" Seorang pemuda memegang kedua tangan gadis di hadapannya. Wajah mereka sama sekali tidak terlihat, tertutup oleh cahaya putih. Dari cara bicara, sikap, dan suara, mereka tampak sama-sama tengah mengulas senyum.
"So? (Lalu?)"
"I have a better necklace for you. (Aku punya kalung yang lebih bagus untukmu.)"
Pemuda itu melepaskan tangan sang gadis, lalu meraih ke dalam saku jaketnya. Sebuah kotak berludru merah dan membukanya. Memperlihatkan seuntai kalung rantai perak dengan liontin batu garnet merah berbentuk kuntum mawar yang mekar.
"Do you like this necklace? (Apakah kamu suka kalung ini?)"
"Of course, I like that, but how do you get this? The price must be very expensive, especially if the diamond is genuine. (Tentu saja, aku suka, tapi bagaimana caramu mendapatkannya? Harganya pasti sangat mahal, apalagi kalau berliannya asli.)" Gadis berambut cokelat kemerahan itu berujar takjub.
"This is a real garnet. (Ini berlian garnet asli.)" Pemuda itu meraih kalung itu, lalu menjatuhkan kotaknya. "Turn around, let me put it on. (Berbaliklah, biar kupakaikan.)"
Gadis itu berbalik, lalu mengangkat rambutnya. Setelah kalungnya terpasang dengan benar, dia berbalik menghadap pemuda itu lagi. Membiarkan sang pemuda merengkuhnya dalam pelukan. Dia diam menikmati debaran jantungnya.
* * *
Kedua kelopak mata itu perlahan terbuka, menampilkan sepasang iris cokelat kemerahan. Untuk sejenak, Gretha diam memandang langit-langit kamar. Aroma obat-obatan menyeruak ke dalam hidungnya. Setelah beberapa saat, dia mulai menoleh dan menganalisis kondisi sekitarnya. Berusaha mengenali tempatnya berada saat itu. Tanpa sadar, tangannya yang tidak terpasang infus bergerak ke dada dan mengelus kalung yang dikenakannya.
"Gie?" Suara lembut mengusik perhatiannya. "Pa, panggil dokter!" Wanita yang dikenalinya sebagai sang Ibu itu mendekat. "Syukurlah kamu sudah bangun, Sayang!"
"Apa yang terjadi, Ma?" Gretha bertanya lirih.
"Kamu terkena ledakan bom yang dipasang teroris di kafe, Sayang. Syukurlah ada Jason yang datang menyelamatkanmu dan membawamu ke rumah sakit," jelas Bella, sang Ibu, sambil menoleh ke arah pemuda yang tengah tidur di sofa.
"Amy? Layla?" tanya Gretha yang ingat dengan kedua sahabatnya.
"Jangan khawatir! Mereka ada di ruangan lain dan lukanya tidak separah kamu," sahut Bella lembut.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top