Bab 22 Surat Tantangan
Cheryl membelai kepala Gretha yang tidur pulas. Setelah tiga minggu berkutat dengan laptop, akhirnya Gretha bisa tidur pulas. Lebih tepatnya, setelah menangis selama dua jam penuh. Dia tidak tahu apa sebabnya dan menoleh ke arah Nyle yang sibuk dengan laptop. Perlahan mendekati pemuda itu.
"Apa yang kalian temukan? Kenapa Gie menangis seperti itu?" tanyanya.
"Baca dan tontonlah sendiri!" Nyle menggeser laptop Gretha.
Cheryl membacanya dengan cepat, lalu menonton video yang diputarkan oleh Nyle. Setelah itu, menatap Nyle dengan ekspresi terkejut dan tidak percaya. Mereka sama-sama menoleh ke arah Gretha yang tertidur pulas dan tenang.
"Jenny sudah tahu hal ini sejak lama," ucap Nyle membuka pembicaraan. "Itulah yang hendak dia sampaikan padamu saat kecelakaan dan ledakan itu terjadi. Alam bawah sadarnya menekan ingatan menyakitkan itu jauh-jauh. Membuat ingatan baru yang bertolak belakang."
Cheryl terdiam mendengar ucapan Nyle. Dia kembali memandang laptop sejenak, lalu beranjak mendekati tempat tidur. Merebahkan diri di belakang Gretha dan memeluknya dari belakang. Dia bisa merasakan luka hati Gretha, bahkan hingga pikirannya sendiri membuat dirinya melupakan hal itu.
* * *
"We need a plan (Kita butuh rencana)!" Gadis berambut blonde itu memandang pria di depannya kesal.
"Do whatever you want (Lakukan apa pun yang kamu mau)." Pria itu menjawab santai tanpa menurunkan koran di tangannya.
"Is that permission for me to be able to hurt her (Apakah itu izin untukku bisa menyakitinya)?" Gadis itu menyilangkan kedua tangan di depan dada.
"Do you really want to hurt her (Apakah kamu benar-benar ingin menyakitinya)?" Gadis itu mendengkus sebagai jawaban, sehingga sang pria melanjutkan ucapannya, "Like I said, do whatever you want (Seperti yang sudah kukatakan, lakukan apa pun yang kamu mau)."
Gadis itu menghentakkan kakinya kesal, lalu pergi dari situ. Membanting pintu dengan keras. Berjalan dengan sikap angkuh dan tidak memedulikan orang-orang yang membungkuk sopan padanya. Menemui pemuda yang tengah berdiri santai di depan jendela besar.
Dia membanting pintu ruang kerja pemuda itu dengan keras. Membuat kekasihnya itu menoleh. Sebatang rokok terselip di bibir, sementara tangan kiri memegang gelas berisi bir dan es. Memandangnya yang menghempaskan diri di kursi.
Pemuda itu beranjak mendekati kekasihnya. Mematikan rokok di asbak dan meletakkan gelasnya. "Is there any problem (Apakah ada masalah)?"
"He said that I can do whatever I want. The problem is I don't know what to do. (Dia bilang, aku bisa melakukan apa pun yang kumau. Masalahnya adalah aku tidak tahu harus melakukan apa.)"
Pemuda itu mengelus kepala sang gadis dan mengecupnya pelan. "We have to use a dangerous way now. Lure her out and give us what we want. (Kita harus melakukan cara yang lebih berbahaya sekarang. Memancingnya keluar dan memberikan apa yang kita mau.)"
"Do you have a plan (Apakah kamu punya rencana)?" Gadis itu menoleh memandang sang kekasih penuh tanya.
Pemuda itu mengangkat dagu sang gadis dan berbisik, "I always have a plan (Aku selalu punya rencana)." Mengecup bibir gadis itu pelan.
* * *
Gretha memandang ragu layar ponselnya. Hatinya terasa tidak nyaman dan gelisah karena suatu hal yang dia sendiri tidak tahu itu apa. Namun, dia tahu kalau sekarang sudah waktunya mengatakan yang sejujurnya pada Thomas.
Setelah menimbang-nimbang, dia akhirnya memutuskan menekan logo telepon. Menempelkan ponsel itu di telinga kirinya dan menunggu. Tidak butuh waktu lama agar panggilannya diangkat. Suara berat bernada lembut menyapa gendang telinganya.
"Gie?"
"Uncle Thomas? Can we meet? (Paman Thomas? Bisa kita bertemu?)" Dia tidak bisa basa-basi lagi.
"You called me at the right time (Kamu menghubungiku di waktu yang tepat)." Sejenak terdengar suara Thomas bicara dengan orang lain. "Starbucks at 4pm. Don't be late and don't tell anyone about this, except Cheryl! (Starbucks pukul empat sore. Jangan terlambat dan jangan beri tahu siapa pun soal ini, kecuali Cheryl!)"
"Okay. I'll see you there. (Baiklah. Sampai bertemu nanti.)"
Gretha memutus sambungan telepon, lalu menoleh ke arah Nyle dan Cheryl. Mendekati mereka dan menyampaikan pesan master mereka. Cheryl tampak terkejut, tapi mengiyakan ajakannya untuk ikut.
"Nyle, can you clean everything (Nyle, bisakah kamu membersihkan semuanya)?" tanya Gretha.
"About what (Soal apa)?" tanya Nyle balik.
"Um ..., about ... me? I mean, about Grenasha's personal data on the internet and social media. (Um ..., soal ... aku? Maksudku, soal data diri Grenasha di internet dan media sosial.)"
"What for (Untuk apa)?" tanya Cheryl.
"Just in case (Hanya untuk berjaga-jaga)," jawab Gretha.
Nyle mengangguk sebagai jawaban, lalu mulai bekerja sambil menunggu waktu. Gretha sendiri sibuk dengan ponselnya. Menghubungi Jason, tapi tidak ada jawaban. Saat di telepon pun nomornya tidak aktif. Hal itu membuat hatinya diliputi kegelisahan.
Menghubungi nomor guardian angel-nya, tapi juga tidak ada jawaban. Rasa takut menelusup masuk ke dalam hatinya. Firasat buruk yang dirasakannya akhir-akhir ini pun menguat. Namun, dia sama sekali tidak memberi tahu Cheryl dan Nyle. Tidak mau merepotkan lagi kedua sahabatnya.
Pukul setengah tiga sore Gretha mengajak Nyle dan Cheryl berangkat. Tentu saja berpamitan pada Bella, Tiffany, dan Louis. Gretha berusaha bersikap seperti biasanya. Menyembunyikan semuanya di balik senyum dan tawa ceria.
Perjalanan ke gerai Starbucks memakan waktu empat puluh lima menit. Suasana sore hari itu lumayan ramai dan macet di beberapa titik. Beruntung Nyle mampu mengendalikan mobil dengan gesit. Menyetir dengan kecepatan sedikit tinggi.
"Jenny?" Sosok wanita berambut blonde itu bergerak dan memeluk Gretha erat. "Is this really you? Oh, my God! (Apakah ini benar-benar kamu? Ya, Tuhan!)"
Gretha membalas pelukan wanita itu. "Yes, it's me, Mary (Iya, ini aku, Mary)!"
Gretha, Cheyl, dan Nyle duduk di depan Thomas, Mary, dan dua pemuda lain. Gretha bisa melihat tatapan penuh kelegaan dari Thomas. Meneliti wajah dan tubuhnya seolah memastikan tidak ada luka.
"Why didn't you try to call me or something like that (Kenapa Paman tidak berusaha menghubungiku atau apa)?" Gretha memandang Thomas memberengut.
Helaan napas lolos dari bibir pria setengah baya itu. "Jenny, I don't even know your number or you house (Jenny, aku sama sekali tidak tahu nomor telepon atau rumahmu)."
"Well, there's a technology called internet. You can get any information there. (Well, ada sebuah teknologi bernama internet. Kamu bisa mendapatkan informasi apa pun di sana.)" Gretha menatap Thomas kesal.
"I didn't think about that way, Jenny. There's something .... (Aku sama sekali tidak terpikir cara itu, Jenny. Ada hal yang ....)"
"There's something happened in the organization, 'right (Ada yang terjadi dalam organisasi, 'kan)?" Gretha memajukan tubuh dan memandang Thomas dengan senyum tipis. "Do you know how it can be done? Do you know that in our organization there are traitors? (Apakah kamu tahu bagaimana itu bisa terjadi? Apakah kamu tahu kalau dalam organisasi ada pengkianat?"
"I know about the traitors, Jenny. I just ... (Aku tahu soal pengkhianat itu Jenny. Aku hanya ...)," helaan napas lolos dari bibir Thomas, "I thought she would return to the old Sakura, our Sakura (Aku pikir dia akan kembali menjadi Sakura yang dulu, Sakura kita.)"
"That's not gonna happen (Itu tidak akan terjadi)." Gretha menyandarkan punggung ke kursi. "Do you wanna know why (Apakah kamu mau tahu kenapa)?" Dia tersenyum tipis melihat Thomas mengangguk. "I had something stolen from Mister Hynde two years ago. A precious object that made him willing to eliminate me. (Aku memiliki sesuatu yang kucuri dari Tuan Hynde dua tahun lalu. Benda berharga yang membuatnya rela melenyapkanku.)"
"What was that (Apa itu)?" tanya Mary.
"A microSD (Sebuah microSD)," jawab Gretha.
"Well, talking about Mister Hynde, we have something for you (Bicara soal Tuan Hynde, kami punya sesuatu untukmu)." Salah satu pemuda yang sejak tadi diam menyodorkan sebuah amplop putih polos.
Gretha menerima amplop itu dan membaca satu kata yang tertulis di bagian depan, Jenny. Dia membuka amplop itu dan mengluarkan isinya. Membacanya dengan cepatdan merasakan jantungnya berdegup kencang.
Jenny,
He is with me. If you want him alive, come to Singapore. I'm waiting for you on xxxxxx at 6 pm. Come alone and bring what I want! Don't be late, my Baby Girl! (Dia sedang bersamaku. Kalau kamu mau dia hidup, datanglah ke Singapura. Aku menunggumu di xxxxxx pukul 6 sore. Datanglah sendiri dan bawa benda yang kumau! Jangan terlambat, Sayangku!)
Di dalam amplop itu juga ada sebuah foto. Gretha mengambil foto itu dan merasakan jantungnya seperti berhenti berdetak. Itu adalah foto Jason yang tengah dirantai di sebuat kursi. Tampak darah mengalir dari bibirnya.
"Jason ...," lirihnya.
* * *
Enam jam sebelumnya ....
"Apakah rencana ini benar-benar akan berhasil?" Gadis itu memandang foto dan surat di tangannya. Meneliti sejenak, lalu menoleh ke arah pemuda yang duduk santai di kursi.
"Percayalah! Rencana ini memang terdengar klise, tapi selalu berhasil," sahut pemuda itu santai.
"Bagaimana kalau gagal?" Pemuda itu memandang sang gadis dengan senyum kecil. Bangkit dan merengkuh pinggangnya. "Trust me, okay (Percayalah padaku, oke)?"
Gadis itu pun mengangguk. Merangkulkan kedua tangannya di leher sang pemuda, lalu menyatukan bibir mereka. Untuk saat ini, biarkan dia menikmati kesenangannya. Membalaskan dendam dalam hati yang sudah tertanam sejak lama. Dia tidak peduli kalau targetnya sampai terluka parah, asalkan rasa sakit hatinya bisa terbalaskan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top