Bab 21 Rahasia dalam MicroSD

"Siapa pemuda tadi?" tanya Edwin.

"Tidak tahu," jawab Gretha.

"Main lagi, yuk!" ajak Veronica. "Aku mau naik sepeda udara."

"Boleh," sahut Jason. "Kamu ikut, 'kan, Gie?"

"Iya." Gie meraih gelas cokelat hangatnya, lalu berdiri.

Mereka pun berlalu dari situ menuju ke wahana sepeda udara. Antrean cukup panjang, sehingga Jason pergi memutuskan pergi membeli makanan dan minuman untuk mereka. Gretha berdiri di sebelah Edwin memandang minumannya. Menyandarkan pinggang ke pembatas jalur antrean.

Sentuhan ringan di pinggang mengejutkannya. Dia tidak berani menoleh dan merasakan jantungnya berdegup kencang. Aroma yang familiar menyapa indera penciumannya. Membawa rasa nyaman dan tenang.

Tersenyum tipis saat sebuah tangan menyentuh tangan kanannya yang menggantung di sebelah badan. Menyelipkan sebuah kotak kecil, lalu merangkul pinggangnya.

"I promised, 'right (Aku sudah janji, 'kan)?" Bisikan bernada lembut menyapa gendang telinganya, Diakhiri dengan kecupan ringan di belakang telinga.

Namun, saat Gretha menoleh, sosok itu telah pergi. Dia mengangkat tangan untuk melihat benda yang diberikan. Sebuah kotak beludru merah. Dia pun membuka kotak itu untuk melihat isinya.

Sebuah gelang perak dengan bentuk batang mawar dan hiasan kuntum-kunum mawar merah. Dia pun mengambil gelang itu dan memakainya. Senyuman kecil terukir di bibirnya. Namun, senyum itu musnah saat Jason kembali.

Setelah puas bermain, mereka pun pulang. Mengantar Gretha lebih dulu ke rumahnya. Di sepanjang jalan, Gretha memilih diam memandang keluar jendela. Memainkan tangan Jason yang ada di atas pahanya. Namun, dia juga mendengarkan obrolan Jason bersama Edwin dan Veronica. Berusaha menyatukan pembicaraan mereka, lalu menarik kesimpulan.

"Aku ingat sebuah kombinasi angka, tapi masih samar. Sepertinya ... diawali dengan huruf J dan diakhiri dengan angka 2." Gretha mengatakan itu saat sampai di depan rumah.

"JXHDY9908462?" Edwin yang menyahut ucapan itu.

"Kode apa itu?" tanya Gretha sambil melepas seatbelt.

"Entah. Kebetulan saja aku mengingatnya," jawab Edwin.

"Okay." Gretha menatap Jason dengan senyum kecil. "Aku mau pergi untuk besok sampai lusa."

"Ke mana?" tanya Jason.

"Ke luar kota, Surabaya. Papa ajak aku ketemu sama temannya," jelas Gretha.

"Baiklah. Hati-hati! Kabari aku kalau ada apa-apa," pesan Jason.

Gretha mengangguk, lalu keluar dari mobil. Melambaikan tangan pada Edwin dan Veronica, lalu beranjak masuk ke rumah begitu mobil Jason pergi. Meraih ponsel di tas dan mengirim pesan pada Cheryl. Dia ingin Cheryl dan Nyle datang ke rumah basok.

"Gie pulang!" ucapnya begitu menutup dan mengunci pintu.

"Malam sekali, Gie? Tadi habis dari mana saja?" Bella keluar dari kamar karena mendengar suara mobil.

"Main, Ma, ke BNS," jawab Gretha.

"Sudah makan malam?" Bella mengelus kepala Gretha saat menggelayut manja di lengannya.

"Sudah, tadi sempat makan sebentar sebelum pulang," jawab Gretha.

"Ya, sudah kalau begitu. Kamu bisa ke kamar, mandi, lalu istirahat."

"Iya, Ma. Oh, iya, besok Cheryl sama Nyle datang ke sini. Nginap juga nggak apa-apa, 'kan, Ma?"

"Tidak masalah, tapi kamu harus izin sama papa juga, ya?"

"Siap, Ma!"

Gretha mengecup pipi Bella, lalu naik ke kamarnya. Membersihkan diri dengan cepat, lalu menghempaskan tubuhnya yang lelah ke tempat tidur. Dia nyaris tertidur, tapi memaksakan diri sejenak menghubungi Jason mengucapkan terima kasih.

Karena nomor Jason centang satu, dia memutuskan mengirim ke nomor guardian angel-nya. Menahan kantuk menunggu balasan. Senyumnya merekah membaca isi balasannya, kemudian mengetikkan dua buah kata. Sebenarnya, dia hendak mengucapkan "Good night", tapi karena mengantuk, hurufnya jadi tidak beraturan.

* * *

Pemuda yang baru masuk ke kamar itu tersenyum melihat kekasihnya duduk mengamati gelang dalam kotak beludru merah di tangannya. Dia mendekat, lalu duduk di sampingnya. Saat gadis itu menoleh, dia langsung memagut ringan bibirnya yang tanpa polesan apa pun.

"Still mad at me (Masih marah padaku)?"

Gadis itu menggeleng dan mengulas senyum kecil. "Nope, as long as you remember your promise not to give him anything (Tidak, asalkan kamu ingat janjimu untuk tidak memberikan apa pun padanya)."

"Okay, but yesterday she asked me to buy her a bracelet (Baiklah, tapi kemarin dia sempat minta dibelikan gelang)."

Ekspresi gadis itu langsung memberengut kembali. Menjauhkan diri dan meraih ponsel di meja sebelah tempat tidur. Menonton video di YouTube dan tidak memedulikan keberadaan pemuda di sebelahnya. Hal itu tak ayal membuat sang pemuda tertawa.

Menarik kekasihnya itu mendekat, lalu mengecup pipinya. Meraih ponsel di tangan gadis itu dan mengembalikannya ke meja. Meraih dagu kekasihnya dan memagut kembali bibir ranum itu.

"Once I promise, I will not break it (Sekali aku berjanji, aku tidak akan mengingkarinya)." Pemuda itu berbisik pelan yang membuat kekasihnya mengulas senyum.

* * *

Gretha mengusap wajahnya dan menghela napas lelah. Sudah beberapa hari terakhir, tepatnya tiga minggu, dia berkutat dengan laptop dan ponsel. Berusaha keras membuka microSD dan melihat isinya. Dia menoleh dan tersenyum melihat Cheryl tidur pulas di ranjang, sementara Nyle berbaring di sofa.

"Belum tidur, Gie?" Louis masuk ke kamar untuk memeriksa kondisi adiknya itu.

"Belum, Lou. Kenapa?" Gretha memandang Louis penuh tanya.

"Nggak apa-apa. Nih, tadi aku mampir di gerai donat beliin kalian." Louis meletakkan sekotak besar donat dan tiga gelas minuman di meja.

"Thanks, Lou."

"Sama-sama. Kalau ada apa-apa atau kalian bertiga kesusahan, jangan ragu buat minta bantuanku atau Tiff. Kami pasti bakal bantu sebisa mungkin." Louis mengelus kepala Gretha lembut.

"Aku harap bisa minta bantuan kalian, tapi nggak mau membawa kalian dalam masalah kami."

"Apa pun itu, tetap aja aku sama Tiff nggak akan membiarkan kamu terluka."

Gretha mengangguk dan membiarkan Louis mengecup kepalanya. Setelah mengobrol beberapa saat, Louis pun pergi meninggalkan Gretha yang kembali sibuk dengan laptopnya.

Saat sedang asyik mengutak-atik huruf dan angka mencari kombinasi kata sandi yang benar, dering ponsel mengganggunya. Dia meraih benda itu dan menjawab telepon yang masuk. Sejak semua yang terjadi di BNS, dia malas untuk menganggapi Jason. Namun, dia tidak bisa memungkiri kalau dirinya merindukan pemuda itu.

"Hm?"

"Sibuk?"

"Not really (Tidak juga). Kenapa?"

"Ingat ini tanggal berapa?"

"Um ...," Gretha melirik tanggal yang tertera di layar laptop, "tanggal 18 Februari. Kenapa?"

"Mau ikut keluar? Kamu lupa hari ini hari apa?"

"Memangnya ini hari apa? Um, ada peristiwa penting apa?" Getha mengernyit dan berusaha mengingat-ingat. Tiba-tiba, kilasan bayangan masuk ke dalam pikirannya. Ingatan yang sebenarnya tidak penting.

"Happy birthday, Ronnie (Selamat ulang tahun, Ronnie)!"

"Thank you, Jenny, and Cheryl! You two are the best! (Terima kasih, Jenny, dan Cheryl! Kalian memang yang terbaik!)"

Suara Jason mengusik bayangan itu. "Gie? Kamu masih di sana?"

"Iya, aku masih di sini. Aku sibuk, Jason." Setelah berkata seperti itu, Gretha memutus sambungan telepon.

Air mata mengalir di kedua pipinya. Merasakan hatinya kembali sakit. Dia pun kembali menangis terisak hingga membangunkan Nyle. Membiarkan pemuda itu memeluk dan mengelus kepalanya lembut.

"Ada apa? Apa yang sakit?"

Gretha menggeleng sebagai jawaban. "Apa dia benar-benar Jason, Nyle? Jason-ku?"

Helaan napas lolos dari bibir Nyle. "Aku tidak tahu jawabannya, Jenny. Cuma kamu dan hatimu yang tahu, serta ingatan alam bawah sadarmu."

Untuk beberapa saat, Gretha menangis terisak dalam pelukan Nyle. Menumpahkan rasa sakit yang disimpannya selama tiga minggu ini. Dia sebenarnya tidak mau membebani Nyle dan Cheryl soal masalah hubungannya. Namun, dia tidak tahu lagi harus mengeluh pada siapa.

"Sudah berhasil memcahkan kata sandinya?" Nyla mengusap air mata di pipi Gretha.

"Belum," Gretha menggeleng pelan, "dan aku sudah benar-benar lelah."

"Jangan menyerah, Jenny. Aku percaya, kita pasti berhasil mengetahui isinya."

Gretha menghela napas sejenak. Memandang gelang di tangan kirinya. Baru menyadari ada sebuah nomor yang terukir di salah satu hiasan daunnya. Dia melihat angka itu dengan teliti dan menemukan nomor dua belas.

Sejenak terdiam dengan kening berkerut, lalu berusaha menjelajah sedikit dalam ingatannya. Angka. Jason juga mengingatkan soal tanggal hari ini. Apa ini petunjuk yang kebetulan diberikan? Dia mengacak beberapa huruf dan angka dalam pikiran. Tertegun, lalu mencoba mengetikkan deretan kode yang mungkin berhasil.

JAE121802000 – Declined!

"Salah," gumamnya.

"Um, tiga huruf itu ... apa maknanya?" tanya Nyle.

"Entah, tiba-tiba saja teringat," jawab Gretha.

"Tuan Hynde. Siapa nama lengkapnya, ya?" Nyle bergumam sambil berpikir, lalu meraih laptop Gretha.

Gretha mengamati Nyle yang mencoba beberapa kode secara acak. Setelah beberapa saat, Nyle berhenti dan berpikir ulang. Mengetuk-ngetukkan jarinya di touchpad. Berusaha memecahkan misteri microSD itu.

PVJ1812000001 – Accepted!

"What? How? (Apa? Bagaimana?)" Gretha memandang Nyle dengan ekspresi terkejut, sekaligus senang.

Nyle tidak menjawab, tapi membuka satu-satunya file yang ada di situ. Membacanya dengan cepat, lalu menghela napas pelan. Menoleh dan mengukir senyum kecil pada Gretha.

"The truth is always painful (Kebenaran itu selalu menyakitkan)." Nyle tersenyum tipis, lalu menggeser kembali laptop itu pada Gretha. "Bacalah!"

Gretha pun memandang ke arah layar laptop. Mengepalkan kedua tangannya erat-erat saat membaca isi file itu. Air matanya jatuh mengalir untuk yang kedua kalinya, tapi kali ini lebih deras. Mendorong laptopnya menjauh, lalu bangkit menjauh.

"No! No! NO!" Gretha berteriak hingga membangunkan Cheryl.

Nyle buru-buru mendekat, lalu merengkuh Gretha dalam pelukannya. Menunjuk ke arah laptop dengan pandangan untuk memberi tahu Cheryl. Dia membimbing Gretha untuk duduk di tepi ranjang. Memeluknya dengan erat dan berusaha menenangkannya agar tidak menangis terlalu keras.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top