Bab 2 Pasangan Misterius
Gretha, Cheryl, Amanda, dan Layla berpencar di tengah keramaian food court. Mereka berusaha mendapatkan tempat duduk yang masih kosong dan kalau bisa, letaknya juga strategis. Mereka hendak makan steak, jadi Gretha sendiri berusaha mencari tempat dekat kiosnya. Tersenyum senang tatkala empat remaja berserajam bangkit dan pergi dari salah satu meja.
Dia buru-buru mendekat dan duduk di salah satu kursi. Setelah itu mengambil ponsel dan melakukan panggilan grup khususnya. Dia memberi tahu posisinya, sehingga ketiga sahabatnya pun bisa menemukannya. Tidak lama, Cheryl, Layla, dan Amanda pun datang, serta langsung duduk di kursi yang masih kosong.
"Aku pesan makan," ucap Amanda mengajukan diri.
"Boleh, kalau gitu, aku yang pesan minumnya," sahut Cheryl.
"Aku mau avocado juice," ucap Layla.
"Aku yang kayak biasanya aja, lychee juice tanpa susu," sahut Gretha.
"Oke, kamu strawberry kayak biasanya juga, 'kan, Amy?" tanya Cheryl pada Amanda.
"Iyap, tapi less sugar, ya," sahut Amanda.
"Oke. Eh, ada tambahan?" Cheryl memandang ketiga sahabatnya penuh tanya.
"Che, belikan aku es putar Singapura?" pinta Gretha.
"Sekalian aku belikan buat semuanya aja, tapi yang cokelat sama original aja, ya?" sahut Cheryl.
"Siap!" sahut Layla.
Setelah itu, Cheryl dan Amanda pun pergi untuk memesan makanan serta minuman. Gretha dan Layla yang ditinggal pun sibuk dengan kegiatan masing-masing. Gretha meraih ponselnya untuk melihat pesan yang masuk. Tersenyum kecil tatkala ada pesan lagi dari sosok misterius itu. Menanyakan dia mau hadiah apa untuk bulan ini.
"Siapa, Gie?" tanya Layla dengan ekspresi penasaran.
"Kamu ingat soal sosok misterius yang sering mengirimiku hadiah?" Gretha balik bertanya sambil mengetikkan balasan.
"Ingat, kenapa? Kamu sering cerita soal dia, 'kan," sahut Layla. "Masih sering menghubungi dan memberimu hadiah?"
"Masih dan sering memberi hadiah. Dia tadi tanya, aku mau hadiah apa untuk bulan ini. Menurutmu, aku harus jawab apa?" tanya Gretha.
"Terserah padamu, Gie, asal dipakai biar tidak mubazir. Aku, sih, terserah kamu mau melakukan apa karena yang penting kamu senang, aman, dan nyaman," sahut Layla. "Ah, apakah dia masih memanggimu 'Jenny'?"
"Masih," jawab Gretha sambil meletakkan ponselnya di meja.
"Alasannya juga masih belum tahu?" tanya Layla lagi.
"Belum, dia tidak mau menjawab, padahal aku penasaran," jawab Gretha.
Layla tertawa melihat wajah Gretha memberengut. Mereka pun mengobrol santai membicarakan banyak hal, mulai dari kuliah, tugas, dan menggosipkan soal satu geng di kelas mereka. Sekali Gretha melihat posisi kedua sahabatnya yang masih antre karena hari itu suasana sedang ramai. Namun, tidak lama kemudian mereka kembali dan bergabung mengobrol bersama.
"Gie," Amanda memegang tangan Gretha yang ada di atas meja, "hati-hati, ya?"
"Kenapa?" tanya Gretha.
"Pas aku antre, ada perempuan cantik tanya nama kamu," jawab Amanda.
"Perempuan siapa?" tanya Cheryl.
"Tidak tau juga, tapi dia cantik banget. Tata bahasanya juga halus dan rapi," sahut Amanda.
"Hm, mungkin cuma orang penasaran," sahut Gretha mengangkat kedua bahunya. "Aku ke toilet bentar."
"Oke. Jangan lama-lama!" sahut Cheryl.
Gretha pun melangkah santai menuju ke toilet lantai tiga dekat lift. Sampai di sana, dia langsung masuk ke salah satu bilik dan keluar tidak lama kemudian. Berdiri di depan wastafel untuk mencuci tangan. Dia juga membasuh wajahnya yang terasa kotor dan lengket karena beraktivitas seharian ini.
Tidak lama, ada seorang perempuan muda datang dan langsung masuk ke salah satu bilik. Dia tidak begitu memedulikan gadis itu dan sibuk merapikan rambutnya. Gadis itu sendiri hanya sebentar di dalam, lalu keluar dan berdiri berjarak satu wastafel dengannya. Sibuk mencuci tangan dan hanya ada keheningan di situ.
"Well, I can believe we meet again after two years, Jenny." ("Aku tidak percaya kita bisa bertemu lagi setelah dua tahun, Jenny.")
Gretha terkejut mendengar ucapan itu, sehingga dia pun menoleh. Menatap paras cantik dan anggun gadis itu. Sepertinya, usia mereka sepertinya tidak berbeda jauh atau mungkin juga sama. 'Di sini cuma ada aku dan dia, jadi sepertinya memang aku yang diajaknya bicara,' pikirnya.
"Pardon me, but my name is Gretha (Maaf, tapi namaku Gretha)," ucapnya sopan.
"Really? I thought you're Jenny, my old friend from New York (Benarkah? Aku pikir kamu itu Jenny, teman lamaku dari New York)." Gadis itu memasang eksprsi terkejut. "You look exactly like her. Is she you twin or something like that? (Kamu benar-benar mirip dengannya. Apakah dia saudari kembarmu atau semacamnya?)"
"No, I don't have any twin, but I have two siblings (Bukan, aku tidak punya saudari kembar, tapi punya dua saudara)," jawab Gretha.
"I'm sorry, it looks like I totally got the wrong person. My name is Pippa (Maaf, sepertinya aku benar-benar salah orang. Namaku Pippa)." Gadis itu menyodorkan tangan untuk berjabat tangan.
"Grenasha, but all my friends call me Gretha or Gie (Grenasha, tapi semua teman-temanku memanggil Gretha atau Gie)." Gretha menyambut uluran tangan Pippa.
"How old are you? (Berapa umurmu?)" tanya Pippa.
"Um, eighteen this year (Um, delapan belas tahun ini)," jawab Gretha.
"Well, you're a year younger than me. Ah, I should go, my boyfriend waiting for me. Nice to meet you, Gretha. I hope we can meet again. (Kamu lebih mudah setahun ternyata. Ah, aku harus pergi, pacarku sudah menunggu. Senang bertemu denganmu, Gretha. Aku harap kita bisa bertemu lagi.)" Pippa mengulas senyum, lalu pergi dari situ.
Gretha diam terpaku memandang kepergian Pippa. Entah kenapa, rasa ngeri menjalar di tulang belakangnya. Bibir dan wajah Pippa memang tersenyum, tapi kedua matanya berkata jujur. Pandangan dingin, tajam, dan menusuk terus diberikan padanya. Selain itu, sekilas tebersit kebencian di sana.
Dia mempercepat acaranya merapikan diri, lalu kembali membasuh wajahnya sekali lagi. Setelah itu, dia pun ikut pergi dari toilet. Saat sampai, makanan dan minuman ternyata sudah terhidang. Dia pun ikut makan dengan santai bersama ketiga sahabatnya. Tidak lupa celotehan yang membuat suasana terasa begitu ramai.
"Gie, ada yang mengganggu pikiranmu?" tanya Cheryl.
"Ah, matamu kenapa jeli sekali, sih?" keluh Gretha.
"Kenapa memangnya, Gie?" Amanda ikut-ikutan bertanya.
"Well, aku mulai berpikir kalau Gretha bukan nama asliku," ucap Gretha pelan.
"Kenapa memangnya?" tanya Cheryl lagi.
"Aku bertemu dengan perempuan berparas cantik yang sepertinya dia adalah sosok yang kau maksud tadi, Amy. Dia memperkenalkan dirinya dengan nama Pippa," cerita Gretha, lalu berhenti sejenak untuk menyeruput minumannya. "Nama yang terucap saat dia menyapaku adalah Jenny. Sudah dua orang menyapaku dengan nama itu."
"Mungkin dia salah orang," sahut Layla.
"Dia juga mengatakan hal itu. Katanya, wajahku mirip teman lamanya di New York. Selain itu, dia juga tanya, apakah aku punya saudara kembar atau tidak," sahut Gretha.
"Jangan dipikirkan! Ingat, kata orang-orang, manusia itu punya tujuh kembaran di dunia," sahut Layla.
"Hm, tapi kemungkinannya kecil," sahut Gretha.
Keempatnya pun mengobrol santai sambil tetap mendengar cerita Gretha. Sesekali Amanda dan Layla berdebat tentang gadis misterius bernama 'Jenny' ini. Entah kenapa semua orang salah mengira kalau Gretha adalah Jenny. Mungkin, mereka memang memiliki wajah yang sama, tapi Amanda sendiri setuju dengan Gretha yang mengatakan kalau kemungkinannya kecil.
Tanpa mereka sadari, sepasnag laki-laki dan perempuan berpakaian serba hitam duduk di belakang Gretha dan Amanda. Mereka berperilaku seperti pasangan kekasih, tapi sebenarnya diam-diam mengarkan obrolan mereka. Tidak lupa juga sang laki-laki diam-diam memasang alat perekam untuk menangkap semua obrolan yang didengar.
"Sudah? Ke hypermart bentar, yuk!" ajak Layla, setelah satu jam duduk dan menghabiskan makanan sambil mengobrol.
"Boleh, aku mau sekalian beli tisu, minyak kayu putih, dan sabun," sahut Amanda.
Gretha dan Cheryl hanya mengikut saja. Mereka tidak punya keperluan yang harus dibeli, tapi pasti nanti akan membawa pulang sesuatu. Berjalan dengan santai dan meneruskan obrolan soal tugas makalah kelompok untuk minggu depan. Gretha menggandeng lengan Cheryl dan mereka pun berlalu dari situ.
"Is she really her? (Apakah dia benar-benar 'dia'?)" Gadis itu memandang pemuda di sebelahnya.
"Yes (Iya)," jawab pemuda itu.
"Then, why she said that her name is Gretha? (Kalau begitu, kenapa dia bilang namanya itu Gretha?)" tanyanya.
"Well, it's what I think. Maybe, Jenny didn't die in that accident, so is Cheryl. Someone saved and sent them to another country. Unfortunately, Jenny lost her memory (Baiklah, ini yang kupikirkan. Mungkin, Jenny tidak tewas saat kecelakaan itu, begitu juga Cheryl. Seseorang menyelamatkan dan mengirim mereka ke negara lain. Sayangnya, Jenny kehilangan ingatannya)," sahut pemuda itu dengan kening berkerut.
"You mean, she is Jenny, but ... got an amnesia? (Maksudmu, dia benar-benar Jenny, tapi ... amnesia?)" Gadis menarik kesimpulan dari ucapan itu.
"Maybe, Ronnie. If we wanna know the truth, we have to find some information about it. C'mon! (Mungkin, Ronnie. Kalau mau tahu kebenarannya, kita harus mencari informasi soal itu. Ayo!)" Pemuda itu memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku jaket, lalu menarik tangan gadis yang dipanggilnya 'Ronnie'.
Sementara itu, Gretha dan ketiga sahabatnya tengah berada di hypermart. Gretha berpisah ke bagian make up. Melihat-lihat dan mencoba lip balm merah. Dia memutuskan memberi sebuah karena memang miliknya sudah hampir habis. Setelah menerima nota dan hendak berbalik pergi, tanpa sengaja dia menabrak seseorang yang berdiri sedikit di belakangnya. Orang itu sama-sama kaget hingga menjatuhkan bedak di tangannya.
"Sorry (Maaf)." Dia pun membungkuk untuk mengambil bedak itu. Saat menegakkan tubuh dan menyerahkannya kembali, dia terkejut. "Pippa?"
"Oh, Gretha? Fancy meeting you again (Senang bertemu lagi denganmu)." Pippa mengulas senyum.
"Yeah, me too. I'm sorry (Ya, aku juga. Maafkan aku)," ucap Gretha sambil menyerahkan bedak di tangannya.
"Babe, are you done there? (Sayang, apakah kamu sudah selesai?)" Suara seorang lelaki menyela pembicaraan mereka.
"Almost. I'm confused whether to choose a powder with natural or light color. (Hampir. Aku bingun memilih antara bedak dengan warna natural atau terang.)" Pippa menoleh dan tersenyum pada lelaki yang mendekat padanya. Ia lalu menyerahkan kembali kedua bedak di tangannya pada petugas yang berdiri di dekat mereka. "Ah, Babe, It's Gretha, the girl from the toilet I told you looks like Jenny. (Ah, iya, Sayang, ini Gretha, gadis dari toilet yang kuceritakan padamu mirip Jenny.)
"Oh. Hi, Gretha! My name's Gerald. (Oh. Halo, Gretha! Namaku Gerald.)" Pemuda itu menyulurkan tangan.
Gretha pun menyambutnya dengan senyuman sedikit terpaksa. Lagi-lagi perasaan mengintimidasi itu dirasakannya. Dia berusaha menahan rasa dingin dan ngeri yang menjalari tubuhnya.
"Gretha. Um, I have to go. My friends arewaiting for me. Nice to meet you both. (Gretha. Um, aku harus pergi. Teman-temanku sudah menunggu. Senangbertemu dengan kalian.)" Setelah kedua pasangan itu mengangguk, Grethapun berlalu dari situ. Perasaan dingin itu masih dirasakannya hingga benar-benarmenjauh dari mereka.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top