Bab 17 Pertemuan di Kafe

"Pagi, Gie!"

Gretha mengerjap-ngerjapkan matanya sejenak. Berusaha mengumpulkan kesadaran karena memang baru bangun. Lebih tepatnya, dia terbangun karena mendengar dering telepon di ponselnya. Berusaha membuka mata dan mengumpulkan kesadarannya.

"Hm ...?"

Terdengar tawa kecil di seberang sambungan. "Baru bangun?"

"Iya. Aku tidur larut semalam."

"Tidak kuliah? Pasti bolos."

"Aku malas masuk hari ini. Cuma satu mata kuliah dan itu pukul setengah dua belas."

"Ya sudah kalau begitu. Aku hendak mengajakmu keluar nanti sore, bertemu seseorang. Kamu sibuk?"

"Nanti sore?" Gretha melirik jam di dinding, lalu kalender di atas meja. "Tidak ada rencana ke mana-mana untuk hari ini."

"Baiklah. Nanti kujemput sekitar pukul empat sore."

"Okay. Sampai nanti."

Setelah itu, sambungan telepon terputus. Gretha meregangkan tubuhnya sejenak sambil menguap. Memilih bergelung sebentar di dalam selimut sambil main ponsel. Ada beberapa chat dari Amanda, Layla, Cheryl, dan guardian angel-nya. Dia membuka chat dari sosok itu. Tersenyum membaca isinya dan gambar yang dikirimkan.

[My Guardian Angel: [Picture] Do you want this (Apakah kamu mau ini?)]

[Grenasha C. A.: That's pretty! Are you sure I can have that? It looks expensive. (Cantik. Apakah kamu yakin aku bisa memilikinya? Terlihat mahal.)]

[My Guardian Angel: You can have anything you want. (Kamu bisa mendapatkan apa pun yang kamu mau.)]

Gretha tersenyum membaca balasan itu. Dia pun mengiyakan untuk menerima pemberian berupa gelang itu. Setelah bermalas-malasan selama satu jam, dia pun bangkit dan pergi ke kamar mandi. Membersihkan dirinya sejenak, lalu diam memandang pantulan wajahnya di cermin wastafel.

Entah kenapa, sejak ingatannya kembali dia merasa ada yang berubah. Mulai dari mata, eskpresi wajah, senyum, dan tata bicaranya. Mungkin itu semua bawaan karena perilaku lamanya kembali. Dia hanya berusaha tidak berubah secara total karena tidak mau membebani pikiran orang tua dan kedua saudaranya.

Tok! Tok! Tok!

"Gie?"

"Kenapa, Tiff? Masuk aja, pintunya nggak dikunci, kok!" sahut Gretha.

Tiffany masuk dengan telah mengenakan seragam sekolah rapi. Memandang Gretha penuh tanya karena hanya mengenakan celana panjang dan tank top. Tiffany pun menutup pintu agar Louis tidak melihat, lalu duduk di ranjang Gretha.

"Kamu nggak kuliah?" tanya Tiffany.

"Enggak, lagi malas. Cuma mau keluar jalan-jalan, terus nanti sore ketemu Jason di kafe," jawab Gretha.

Tiffany pun diam memandang dan mengagumi paras cantik Gretha. Setahunya, Gretha selama ini tidak pernah memoles make up berlebihan, hanya sekadar beda dan lip balm. Namun, sepertinya hari ini Gretha menambahkan sedikit maskara untuk mempertegas kedua matanya. Dia bertanya-tanya dalam hati, kapan bisa menjadi seperti Gretha.

"Kenapa, Tiff?" Gretha meraih kaus lengan panjang warna hitam di sebelah Tiffany, lalu memakainya.

"Nggak apa-apa. Kamu cantik, terus cerdas juga. Apa aku bisa jadi kayak kamu, ya?" Tiffany tampak merenung.

Gretha yang sudah berbalik menatap kaca meja rias tersenyum memandang pantulan wajah Tiffany. Meraih sisir, lalu mengikat rambutnya jadi satu. Menyisakan sedikit anak rambut di beberapa bagian untuk menimbulkan kesan manis di wajahnya.

"Untuk apa kamu jadi sepertiku, Tiff? Hidupku berat dan tidak cocok untukmu. Cukup jadilah dirimu sendiri, bahagiakan orang tuamu dan Louis." Gretha mengatakan itu dengan senyum.

"Kenapa kamu bilang gitu, Gie?" Tiffany mengernyit bingung.

"Nanti kamu juga tahu. Satu hal yang akan kukatakan mulai dari sekarang, mau bagaimanapun kondisinya, kamu dan Louis tetap saudaraku, sementara mama dan papa tetap orang tuaku," jelas Gretha sambil meraih tas selempang dan jaket hitamnya.

Tiffany benar-benar tidak paham ucapan Gretha, tapi menurut saat diajak turun. Mereka pun sarapan seperti biasa. Gretha dan Tiffany sama-sama tertawa saat Louis diomeli karena beberapa hari yang lalu membawa kabur mobil Ardinan. Gretha tahu ke mana Louis pergi karena kakaknya itu sempat pamit padanya.

"Pa, Gie boleh pinjam mobil?" Gretha memandang Ardinan.

"Boleh, tapi kamu mau ke mana?" Ardinan memandang Gretha penuh tanya. "Nggak kuliah?"

"Mau jalan-jalan sebentar. Kuliah nanti pukul setengah dua belas. Kalau Gie nggak malas, kuliah," jawab Gretha.

Ardinan tersenyum mendengar jawaban Gretha. Beranjak mengambil kunci mobil berlambang segitiga tipis, lalu menyodorkannya pada Gretha. Setelah sarapan, ketiganya pun pamit pada Ardinan dan Bella untuk berangkat.

Gretha menawarkan pada Tiffany untuk berangkat bersama. Louis sedikit ngambek karena ditinggalkan, tapi juga tidak berani protes. Paham kalau kedua adiknya sedang mode seperti itu, bisa jadi sangat sadis kalau marah.

Gretha dan Tiffany masuk ke sedan warna hitam milik Ardinan. Memasang seatbelt masing-masing dan Gretha pun langsung mengemudi pergi dari situ. Setelah mengantar Tiffany, Gretha pergi berputar-putar di kota tempat tinggalnya, lalu berlanjut ke kota tempat kampusnya berada. Menyetir dengan santai sambil menikmati pemandangan.

Dering ponsel mengusik perhatiannya. Dia meraih benda yang ada di dekat tempat minum itu. Melihat sejenak siapa yang menelepon, lalu menjawabnya. Agak heran karena bisanya dia duluan yang menelepon.

"Where are you going? (Kamu mau pergi ke mana?)"

"Nowhere. I'm just spending time and thinking. (Tidak ke mana-mana. Aku hanya sedang menghabiskan waktu dan berpikir.)"

"Be careful, okay? (Hati-hati, ya?)"

"Don't worry about me. I can protect myself. See you later? (Jangan khawatir! Aku bisa melindungi diriku sendiri. Sampai jumpa nanti?)"

"Okay. See you later and ... I love you. (Baiklah. Sampai jumpa nanti dan ... aku mencitaimu.)"

"I love you too." Gretha mengucapkan itu sambil tersenyum merasakan hatinya menghangat.

Setelah itu, dia menghabiskan waktunya dengan jalan-jalan sendiri. Setelah berpikir, dia memutuskan untuk masuk kuliah. Menghabiskan waktu sejenak bersama Layla dan Amanda nongkrong di kedai es krim. Bercerita banyak hal, bercanda, dan tertawa. Hal itu cukup meringankan sedikit beban hatinya.

* * *

Gretha meneliti parkiran kafe. Melihat mobil sedan hitam milik Jason sudah berada di situ. Dia meraih ponselnya yang berdering. Tersenyum melihat nama Jason tertera di layar. Karena terlalu memperhatikan ponsel, dia jadi tidak melihat ada orang di depannya yang baru keluar dari mobil. Dia pun menabrak orang itu.

"I'm sorry (Maafkan aku)," ucapnya.

"That's okay (Tidak apa-apa)." Pemuda yang ditabraknya mengulas senyum kecil.

Gretha membalas senyum itu, lalu pergi. Langkahnya sedikit memelan karena merasakan ada yang tidak asing. Dia berhenti dan menoleh, tapi pemuda tadi sudah pergi. Entah ke mana perginya karena mobil hitam pemuda itu masih ada. Dia berusaha menahan air mata yang tiba-tiba menggenang, lalu melanjutkan langkah masuk ke kafe.

Mengedarkan pandangan mencari keberadaan Jason. Senyumnya merekah melihat pemuda itu mengangkat tangan. Dia pun berjalan mendekat dan duduk di sebelah pemuda itu. Tidak melunturkan senyumnya saat melihat tiga orang lain yang berada bersamanya.

"Gie, ini ...."

"Paman Thomas," sela Gretha.

Pria di depannya tampak terkejut, lalu melembutkan pandangan. Membiarkan Gretha duduk di pangkuan dan memeluknya. Tubuhnya sendiri terasa bergetar. Tidak menyangka kalau dia masih bisa melihat wajah gadis itu. Sosok yang dikiranya sudah tewas dan menghilang.

"You shouldn't be with them (Kamu tidak seharusnya bersama mereka)." Gretha berbisik sambil tetap memeluk Thomas. Dia sendiri tidak paham kenapa mengatakan hal itu, tapi keluar begitu saja karena rasa senang dan khawatir yang muncul dalam hatinya. Thomas sendiri tidak membalas ucapan Gretha.

Setelah beberapa saat, Gretha melepas pelukan itu, lalu kembali ke tempat duduknya. Tersenyum tipis pada dua orang lain yang juga ada di situ. Dia tahu dan mengenal mereka, tapi merasa ada sesuatu yang salah. Namun, memilih diam dan menyimpan hal itu sendirian. Dia sendiri bisa melihat kalau keduanya biasa saja, seolah sudah tahu sejak awal keberadaanya.

"Nice to see you guys again, Ronnie, Edwin! (Senang bertemu kalian lagi, Ronnie, Edwin!)"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top