Bab 13 Bayangan Luka

Akibat mimpi itu, Gretha terbangun dengan wajah pucat sambil memegang perut. Tubuhnya bergetar hebat dan bermandikan keringat. Tanpa sadar, dia menangis hingga terisak pelan. Rasa takut menyusup ke dalam hatinya karena seolah benar-benar merasakan sakit yang dialami gadis dalam mimpinya itu, Jenny.

Dia menoleh ke arah meja dan meraih ponselnya. Mengirim pesan pada Jason, tapi ternyata centang satu, sehingga dia pun memutuskan menelepon guardian angel-nya. Sayangnya, sepertinya pemuda itu juga tidak aktif. Bayangan-bayangan merasuk ke dalam pikirannya akibat mimpi buruk itu.

Dia meletakkan ponselnya di atas tempat tidur dan tanpa sadar beranjak keluar kamar. Sejenak berhenti di tengah tangga sambil memegang kepalanya. Wajahnya pucat dengan keringat yang terus mengalir. Ekspresi kebingungan dan ketakutan terpancar jelas dalam kedua matanya.

Dia melanjutkan langkah turun dan pergi ke pintu depan. Membukanya, lalu pergi keluar tanpa mengenakan alas kaki atau jubah hangat. Berjalan sambil memeluk dirinya sendiri dan menangis terisak. Hari masih gelap karena baru menjelang pukul dua dini hari. Suasana yang sepi membuatnya leluasa berjalan tanpa arah. Entah berapa lama dia berjalan tanpa arah yang jelas dan jatuh terduduk di tengah jalan.

"Hentikan!" Dia memegang kepalanya, memohon agar bayangan-bayangan itu berhenti muncul. "Kumohon, hentikan! Hentikan! HENTIKAN!" Suara decitan ban dengan aspal yang tiba-tiba muncul sama sekali tidak mengusik perhatiannya.

Sementara itu, sosok yang tadi menyetir diam terpaku memandang ke tengah jalan. Nyaris saja dia menabraknya karena menyetir sambil membalas pesan. Untuk sejenak, dia tampak diam memandang sambil kedua matanya membulat sempurna. Mengenali rambut cokelat madu kemerahan milik gadis itu.

"Gretha?" desisnya.

Pemuda itu buru-buru keluar dari mobil, lalu mendekati Gretha. Berlutut di depan gadis itu dan memegang bahunya. Tertegun melihat wajah cantik Gretha dipenuhi air mata. Kekalutan terpancar jelas dalam iris senja itu.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya sedikit keras.

Namun, Gretha sama sekali tidak menjawab. Memandang di depannya dengan air mata berlinang. Bayangan tiba-tiba muncul dengan wajah orang yang sama.

"Hey! What happened? Why are you sitting in the middle of the road with a body full of blood like this? (Hey! Apa yang terjadi? Kenapa kamu duduk di tengah jalan dengan tubuh penuh darah seperti ini?)"

Gretha kembali menangis dan bergerak memeluk pemuda di depannya dengan erat. Menumpahkan semua air matanya di dada pemuda itu. Menangis dengan keras dengan tubuh bergetar hebat.

"I'm sorry (Maafkan aku) ...." Hanya itu yang keluar dari bibir Gretha di sela-sela tangisannya.

Pemuda itu tampak tertegun, lalu membalas pelukan Gretha. Dia mengelus perlahan punggung Gretha untuk menenangkannya. Mengecup ringan pelipisnya dengan penuh rasa sayang.

"Untuk apa kamu meminta maaf? Kamu tidak salah," ucap pemuda itu lembut.

"I'm sorry for hiding my true identity, my job. I'm afraid you will leave me. Please, forgive me! (Aku minta maaf karena menyembunyikan identitasku sebenarnya, pekerjaanku. Aku takut kamu akan meninggalkanku. Maafkan aku!)"

Kali ini, pemuda itu benar-benar diam terpaku. Dia tidak menyangka kalau Gretha akan mengucapkan kalimat itu. Sama persis dengan kalimat yang diucapkan oleh Jenny, Jenny-nya. Dia mengingat tanggal hari itu dan tersentak. Tanggal dan bulan yang sama, sekitar pukul dua dini hari, dan berada di tengah jalan. Kali ini, tidak ada darah, tapi air mata.

"Ssh, it's okay (Tidak apa-apa)! Aku tidak akan meninggalkanmu. Bukankah aku sudah berjanji soal itu?" Pemuda itu kembali mengelus punggung Gretha untuk menenangkannya.

Mereka tetap berada di tengah jalan. Perlahan, isak tangis Gretha semakin mengecil. Pemuda itu pun mengintip dalam pelukannya dan tersenyum melihat Gretha tertidur karena kelelahan menangis. Dia menahan tubuh Gretha dengan tubuhnya, lalu bergerak melepas jas. Menyampirkannya di bahu Gretha, lalu membopongnya ke dalam mobil.

Dia pun mengemudikan mobilnya pergi menjauh dari tempat itu. Sekali lagi, dia meraih ponsel dan mengirimkan pesan pada seseorang. Sampai di tempat tinggal sementaranya di Indonesia, dia keluar dan kembali membopong Gretha masuk ke dalam gedung apartemen. Lobi sepi, sehingga dia bisa dengan santai masuk tanpa harus diinterogasi.

"Hm, aku penasaran seberapa banyak yang sudah kamu ingat." Pemuda itu duduk di samping Gretha yang kini telah terbaring di tempat tidur. Membelai pipinya dengan lembut. "Sayangnya, ada yang mengacaukan semua skenarionya. Aku tidak akan berusaha memperbaiki semuanya. Biarlah kamu dan takdir yang menentukan masa depan kita."

Pemuda itu mengecup sekilas kening dan bibir Gretha, lalu beranjak untuk membersihkan diri. Tubuhnya terasa lelah dengan berbagai macam pekerjaan dan masalah yang datang. Namun, dia melakukan semua ini demi melindungi gadis yang dicintainya, Jenny, yang kini tengah tertidur dalam diri Gretha.

* * *

"I'm sorry (Maafkan aku)!"

"Are you sorry for keeping the secret or for having an affair (Kamu minta maaf karena menyimpan rahasia itu atau karena telah berselingkuh?)"

"I never had an affair. Please, believe me! Someone's trapping me! (Aku tidak pernah selingkuh! Kumohon, percayalah padaku! Seseorang menjebakku!)"

"Then, what does this photo mean? (Kalau begitu, apa arti foto ini?)"

"I... I don't know who took that photo! Cheryl was there and seen everything that happened. You can ask him if you really don't believe me. (Aku ... aku tidak tahu siapa yang mengambil foto itu! Cheryl ada di sana dan melihat semua yang terjadi. Kamu bisa bertanya padanya kalau memang tidak percaya padaku.)"

"Stop (Cukup)!" Jenny diam memandang pemuda di depannya dengan air mata berlinang. "If you really still wanna be with me and continue our relationship, stop and get out. I don't need a girlfriend whose life is always in danger. I'm giving you two weeks to think about this. During that time, don't try to meet or contact me. (Kalau kamu memang masih ingin bersamaku dan melanjutkan hubungan kita, berhenti dan keluarlah. Aku tidak butuh kekasih yang hidupnya selalu dalam bahaya. Aku memberimu waktu dua minggu untuk memikirkan soal ini. Selama itu, jangan mencoba untuk menemui atau menghubungiku.)"

"Please, don't to that! There's something I have to do, something important and it doesn't just concern my life. Give me time until I can solve this problem and save their lives. Please! (Tolong, jangan lakukan itu! Ada sesuatu yang harus aku lakukan, sesuatu yang penting dan ini tidak hanya menyangkut nyawaku. Beri aku waktu sampai aku bisa menyelesaikan masalah ini dan menyelamatkan nyawa mereka. Kumohon!)"

Pemuda itu hanya memandang Jenny dengan ekspresi datar. Tatapannya begitu dingin hingga membuat Jenny bergetar ketakutan. Ada kilat marah yang tidak biasa, bahkan aura membunuh pun menguar darinya. Hal yang tidak pernah dilihat atau dirasakannya sebelum ini.

"Two weeks (Dua minggu)!"

Jenny jatuh terduduk di lantai kamar apartemennya. Pemuda itu, kekasihnya, sudah memutuskan. Kalau sudah begitu, sangat sulit untuk bisa membujuknya untuk mau mengubah keputusan itu. Dia pun menangis terisak merasakan hidupnya seperti di ujung tanduk karena perbuatannya sendiri.

Kalau saja dia tidak nekat mengambil benda itu, tidak akan ada masalah sebesar ini. Masalah yang kini tidak hanya mengancam nyawanya dan seluruh anggota organisasi tempatnya bekerja, tapi juga hubungannya. Dia seperti dipaksa memilih dan tidak tahu harus memilih yang mana.

Dering ponsel mengusik perhatiannya. Dengan langkah berat, dia bangkit dan mengambil benda itu. Menggeser tombol hijau saat melihat siapa yang menelepon.

"Cheryl?"

"Jenny, where are you? I have important things to explain to you. (Jenny, kamu di mana? Ada hal penting yang harus kujelaskan padamu.)"

"About what? (Tentang apa?)"

"It's not about the organization, but more about the things that might save your relationship. (Ini bukan soal organisasi itu, tapi lebih ke hal yang mungkin bisa menyelamatkan hubunganmu.)"

"I'm the one who's going to see you. Where are you? (Aku yang akan datang menemuimu. Kamu di mana?)"

"Let's meet at the café. (Kita ketemu di kafe saja.)"

"Okay (Baiklah)."

Jenny menoleh sekilas ke arah foto di atas meja. Tersenyum sedih, lalu meraih jaket dan pergi. Menyetir mobil dengan sikap santai ke kafe favoritnya dan Cheryl. Sampai di sana, dia diam sejenak dalam mobil dan menghela napas panjang.

Setelah itu, keluar dan berjalan masuk ke kafe sambil mencari keberadaan mobil Cheryl. Audi putih yang dikenalnya sudah ada di situ. Membuatnya tahu kalau Cheryl sudah sampai lebih dulu. Mengulas senyum kecil melihat keberadaan sahabatnya yang melambaikan tangan.

"I'm tired, Che. he gave me two weeks to choose, leave the organization or break up with him. (Aku lelah, Che. Dia memberiku waktu dua minggu untuk memutuskan, keluar dari organisasi atau putus dengannya.)" Jenny berujar pelan begitu duduk.

"I know that it will happen sooner or later. I hope you will believe what I say, Jenny, but there are traitors in the organization who want to ruin your relationship. (Aku tahu kalau hal ini cepat atau lambat pasti akan terjadi. Aku harap kamu mau memercayai ucapanku, Jenny, tapi ada pengkhianat dalam organisasi yang ingin menghancurkan hubunganmu.)

"Who is he or she or them (Siapa dia atau mereka?)"

"She is ...."

BRAKKK!

* * *

Gretha membuka kedua matanya. Jantungnya berdegup kencang. Lagi-lagi mimpinya terpotong oleh suara tabrakan keras yang entah dari mana asalnya. Dia bangun dan duduk, lalu mengusap wajahnya. Barulah setelah itu dia menyadari kalau tidak sedang berada di kamarnya sendiri.

"Aku di mana? Kenapa aku bisa berada di sini?"

"Kamu sudah bangun?"

Suara bass itu membuatnya menoleh ke arah pintu yang terbuka. Hatinya lega saat mengetahui siapa pemilik suara itu. Tanpa aba-aba, dia bangkit dan mendekati pemuda itu, lalu memeluknya erat.

"Jason, maafkan aku," lirihnya.

"Kamu terus-menerus meminta maaf dari semalam." Jason membalas pelukan Gretha dan mengecup puncak kepalanya.

"Aku minta maaf karena tidak mau mengikuti ucapanmu."

"Ucapan yang mana?" Jason menyingkirkan rambut yang jatuh menutupi wajah Gretha saat gadis itu mendongak memandangnya.

"Untuk keluar dari organisasi. Aku tahu kalau hal itu membuat semua orang dalam bahaya, termasuk dirimu, tapi masih ada hal yang harus kulakukan. Beri aku waktu sampai bisa menyelesaikannya, ya? Aku benar-benar memohon untuk kali ini. Jadi tolong jangan tinggalkan aku lagi."

Tubuh Jason menegang sejenak, tapi lalu kembali biasa dengan cepat. Dia menangkup pipi Gretha dengan kedua tangan dan tersenyum. Menyelami keindahan iris lembayung senja di hadapannya. Kalau bukan karena tidak ingin merusak skenario yang ada, dia akan bicara panjang lebar. Namun, dia tidak bisa melakukannya sekarang.

Dia mengusap air mata yang kembali keluar dari kedua mata Gretha. Helaan napas lolos dari bibirnya. Sejak dulu, dia paling tidak bisa melihat Gretha menangis. Kalau sudah begitu, dia akan mengalah dan menuruti semua kemauan gadis itu, sayangnya tidak untuk hal yang satu ini. Namun, kali ini dia terpaksa mengiyakan permintaan itu.

"Kamu punya waktu selama apa pun yang kamu mau." Setelah berkata seperti itu, Jason mendekatkan wajahnya dan memagut bibir Gretha pelan. Menyampaikan rasa sayang dan menyalurkan rindu yang selama ini ditahannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top