Bab 12 Cheryl dan Ronald

Gretha duduk termangu di bangku kelasnya. Memandang bosan pada dosen yang tengah memberi penjelasan di depan kelas. Dia tahu kalau Amanda dan Layla sedang menatapnya dengan ekspresi khawatir. Setelah nyaris satu minggu menghilang, dia akhirnya kembali masuk kuliah, tepatnya setelah memastikan mamanya baik-baik saja.

Dia akhirnya meraih ponsel di atas meja, lalu membukanya. Menekan logo hijau aplikasi WhatsApp. Setelah itu, membuka chat bersama guardian angel­-nya. Sekali lagi dia membaca isi balasan terakhir dari orang itu.

[My Guardian Angel: Maybe yes, maybe no. I'm not sure how to answer that question. (Mungkin iya, mungkin juga tidak. Aku tidak yakin bagaimana cara menajawab pertanyaan itu.)]

Rasa rindu membuatnya mengetikkan pesan. Namun, ada keraguan untuk mengirim pesan itu. Dengan jari bergetar, dia akhirnya menekan tombol kirim. Setelah itu, dia ganti membuka room chat bersama Jason. Mengirimkan pesan singkat untuk mengetahui keberadaan dan kondisi pemuda itu.

[Grenasha C. A.: Kamu di mana? Aku ingin makan es krim.]

Balasan dari Jason datang dengan cepat. Dia membuka pesan itu dan tersenyum membacanya.

[Jason: Di kantor. Boleh, nanti aku jemput kamu sekitar pukul satu siang.]

Dia mengetikkan oke sebagai balasan, lalu meletakkan kembali ponselnya. Sebelum itu, dia memeriksa apakah ada balasan dari guardian angel-nya atau tidak. Sayangnya, pesannya bercentang biru, tapi sepertinya dia tidak berminat memberikan balasan. Senyuam sedih terukir di bibir Gretha, lalu meletakkan ponselnya.

Di sepanjang hari itu, Gretha memilih menyendiri. Dia tidak tahu bagaimana cara menjelaskan pada Amanda dan Layla yang tetap setia menemaninya. Rasa tidak tega merasuk ke dalam hatinya kalau harus mengatakan hal jahat pada mereka. Namun, dia lebih tidak ingin kalau Amanda dan Layla terluka.

"Kamu kenapa, sih, Gie? Apa kami ada salah sama kamu?" Amanda memandang Gretha dengan ekspresi sedih. Dia dan Layla mencegat langkah Gretha yang hendak pergi dari kelas begitu kuliah hari itu berakhir.

"Tidak," lirih Gretha.

"Kalau begitu, kenapa kamu menghindar dari kami?" tanya Layla.

"Ada banyak hal yang terjadi, Amy, Layla. Aku tidak menghindari kalian, tapi menjaga keselamatan kalian." Gretha memandang kedua sahabatnya lembut.

"Masalah apa, Gie? Kenapa kamu tidak mau memberi tahu kami? Cheryl juga sampai sekarang tidak ada kabar." Amanda memegang kedua tangan Gretha.

"Aku janji akan menjelaskan semuanya, tapi tidak sekarang. Beri aku waktu karena aku sendiri masih mencari jawabannya."

Layla tersenyum lembut. "Kalau kamu memang perlu waktu, silakan, Gie. Kalau perlu bantuan, aku dan Amy akan selalu ada setiap kamu membutuhkan kami."

Air mata menggenang di kedua pelupuk Gretha. Dia bergerak memeluk kedua sahabatnya dengan erat. "Terima kasih, Amy, Layla. Aku janji, aku akan memberi tahu semuanya pada kalian."

Setelah itu, Gretha pun pamit pulang dan berjanji akan menghubungi keduanya. Amanda dan Layla pun memutuskan langsung pulang karena tidak mau pergi ke mana-mana tanpa kedua sahabat mereka. Senyum Gretha merekah saat sampai di parkiran karena melihat Jason sudah menunggu. Kerinduan dalam hatinya seolah lenyap begitu saja.

"Maaf, membuatmu menunggu lama," ucapnya.

"It's okay (Tidak apa-apa). Aku juga baru sampai," sahut Jason.

Gretha dan Jason pun langsung masuk ke dalam mobil, lalu pergi dari situ. Sambil menikmati perjalanan, Gretha membuka ponselnya karena ada notifikasi pesan yang masuk. Mengernyit sejenak karena ternyata itu dari Cheryl. Namun, kelegaan juga melingkupi hatinya. Setidaknya, Cheryl masih mau memberinya kabar.

[Cheryl A. Dewald: Gie, kamu mau pergi ke mana sama Jason?]

[Grenasha C. A.: Makan es krim di kedai biasa. Kalau kamu tidak sibuk, menyusullah!]

[Cheryl A. Dewald: Okay, aku akan ke sana bersama Ronald.]

"Siapa, Gie?" tanya Jason sambil tetap fokus menyetir.

"Cheryl. Dia mau menyusul bersama Ronald," jawab Gretha.

"Baguslah kalau begitu. Aku penasaran dengan pemuda bernama Ronald itu," ucap Jason.

Mereka pun mengobrol santai di sepanjang perjalanan sampai akhirnya tiba di kedai. Gretha memutuskan tidak membawa tas dan hanya mengantongi ponsel, uang, serta kartu kreditnya. Berjalan bergandengan tangan memasuki kedai es krim favoritnya. Setelah memesan, menerima es krim masing-masing, dan membayar, mereka duduk di area taman.

Gretha menikmati triple chocolate ice cream-nya dengan ekspresi senang. Tertawa kecil saat Jason menceritakan hal lucu. Dia membiarkan pemuda itu memegang tangannya. Mengalirkan rasa hangat ke dalam hatinya. Namun, lagi-lagi tatapan intens itu dirasakannya, sehingga dia menoleh mencari arah tatapan itu.

"Kenapa, Gie?" tanya Jason.

"Aku cuma merasa ada yang memperhatikan. Kejadiannya sama kayak di Starbucks," jawab Gretha.

"Mungkin cuma perasaanmu," ucap Jason lembut, lalu ikut menoleh memandang ke sekeliling. "Ah, itu Cheryl!"

Gretha pun seketika menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Jason. Dia sama sekali tidak menyadari ekspresi tegang pemuda itu saat melihat sosok pemuda lain yang datang bersama Cheryl. Ekspresinya mengeras sejenak dengan kedua mata berkilat emosi. Namun, semua iu musnah saat Gretha kembali memandangnya.

"Maaf, buat kalian menunggu lama," ucap Cheryl.

"Nggak masalah," sahut Gretha. "Kalian pesan aja dulu, terus bawa ke sini."

Sambil menunggu Cheryl dan pemuda itu memesan, Gretha melanjutkan kembali obrolannya dengan Jason. Dia benar-benar tidak menyadari kilat dingin di dalam kedua mata pemuda itu. Tidak lama kemudian, Cheryl dan pemuda itu kembali. Cheryl duduk di sebelah Gretha, sementara pemuda itu memilih tempat di sebelah Jason.

"Dia siapa, Che?" tanya Gretha.

"Namanya Ronald. Aku sudah cukup lama kenal dia, sejak peristiwa ledakan di kafe," sahut Cheryl.

"Hai, Gretha!" Pemuda itu mengulurkan tangan untuk bersalaman. "Panggil saja aku Ronald."

"Kamu juga bisa memanggilku Gie," sahut Gretha.

Diam-diam, dia berusaha mengenyahkan perasaan dingin yang menjalari tulang belakangnya. Dengan buru-buru, dia menarik tangannya kembali, lalu mengobrol dengan Cheryl. Namun, terlihat jelas kalau dia ketakutan akan sesuatu, tepatnya pada pemuda bernama Ronald itu.

Mereka sama sekali tidak menyadari tatapan mata yang memperhatikan dengan senyum tipis dan ekspresi tertarik. Menikmati ketegangan tak terlihat antara Jason dan Ronald, serta tatapan dingin Ronald pada Gretha. Namun, senyum puas terukir karena melihat kedua pemuda itu tampak berusaha agar tidak membuat gerak-gerik mencurigakan.

"Menarik ...."

* * *

Gretha bergerak gelisah di atas tempat tidurnya. Entah kenapa, hatinya gelisah sejak pertemuan dengan Cheryl dan Ronald. Dia merasa ada sesuatu yang salah, tapi tidak tahu bagian mana. Sambil mengumpat kesal, dia memutuskan bangun dan meraih ponsel di atas meja.

Membuka WhatsApp dan merasakan emosinya membuncah karena tidak ada balasan dari guardian angel-nya. Dengan emosi, dia menekan logo telepon. Menunggu sampai tulisan 'memanggil ...' berubah menjadi 'berdering ....' Barulah setelah itu dia menempelkan ponselnya di telinga.

"Hm?"

Jantungnya berdegup kencang karena terkejut. Dia tidak menyangka kalau teleponnya akan diangkat. Dari suara, tampaknya pemuda itu tengah tidur.

"Why didn't you reply my message? Do you have a new girlfriend until finally you don't wanna reply to my message? (Kenapa kamu tidak membalas pesanku? Apakah kamu punya pacar baru sampai akhirnya tidak mau membalas pesanku?)" tanyanya to the point.

"Hm, I forgot. Today I'm really busy. (Hm, aku lupa. Hari ini aku benar-benar sibuk.)"

Deg! Gretha merasakan denyut jantungnya seperti berhenti. Suara pemuda itu benar-benar sangat mirip seperti Jason atau mungkin ... dia benar-benar Jason? Kalau iya, kenapa Jason menggunakan dua nomor dan dua identitas? Pertanyaan itu muncul di dalam kepalanya.

"I'm sorry. I shouldn't say something like that. I'm feeling restless. (Maafkan aku. Tidak seharusnya aku mengatakan hal seperti itu. Aku sedang merasa gelisah.)"

"Everything will be okay. Go to sleep! (Semua akan baik-baik saja. Tidurlah!)" Suara lembut pemuda itu berhasil menenangkan hati Gretha.

"Okay, good night. (Baiklah, selamat malam.)"

"Good night, Jenny. (Selamat malam, Jenny.)"

Gretha memutus sambungan telepon, lalu memandang layar ponselnya sejenak. Kini, dia merasa sangat yakin kalai sosok guardian angel-nya adalah Jason. Namun, lagi-lagi pertanyaan yang sama menggaung dalam pikirannya. Kenapa itu memang Jason, kenapa menggunakan dua nomor dan dua identitas?

Helaan napas lolos dari bibirnya. Dia meletakkan ponsel itu kembali di atas meja, lalu menarik selimut dan memejamkan mata. Berusaha mengusir perasaan gelisah dalam hatinya.

* * *

"Hey! Who are you waiting for? (Hai! Kamu sedang menunggu siapa?)"

"Ah, hi! Um, I waiting for my friend. (Ah, hai! Um, aku sedang menunggu temanku.)"

"Oh, okay. I bought an extra drink and feel sorry to see you sitting here in this hot weather. So, I decided to give it to you. (Oh, baiklah. Aku kelebihan membeli minum dan kasihan melihatmu duduk di sini di cuaca yang sangat panas. Jadi, aku memutuskan untuk memberikannya padamu.)"

"Really? Thank you so much! (Benarkah? Terima kasih banyak!)"

Gadis itu, Jenny, menerima minuman dari pemuda asing yang langsung pergi begitu saja. Tanpa merasa curiga, dia pun duduk dan meminumnya. Namun, sepuluh menit kemudian, dia merasakan sakit luar biasa di perut dan kepalanya. Jatuh terduduk dan memuntahkan darah yang cukup banyak. Hal terakhir yang dia dengar adalah jeritan memanggil namanya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top