Bab 1 Inikah Hidupku yang Sebenarnya?

"Get her! (Dapatkan dia!)"

"But we don't know where she is, Mister. (Tapi kami tidak mengetahui keberadannya, Tuan.)" Pemuda bermasker hitam itu berujar sopan pada laki-laki yang duduk di kursi membelakanginya.

"Well, I don't care! I want her, live or die, but it's even better if she's alive. (Aku tidak peduli! Aku mau dia, hidup atau mati, tapi lebih baik lagi kalau dia hidup.)"

"Do you have any idea where we can find her? (Apakah Anda punya dugaan di mana kami bisa menemukannya?)" Pemuda itu memberanikan diri bertanya.

"Hm ...." Lelaki itu mengangkat tangan memberi isyarat. Salah satu bodyguards-nya bergerak mengambil sesuatu di atas meja, lalu menyodorkannya pada pemuda tadi.

"Indonesia?" Pemuda yang dipanggil Lion itu membaca negara yang tertera pada paspor dan visanya.

"Go and find her there! I know you will never disappoint me, Lion. (Pergi dan temukan dia di sana! Aku tahu kamu tidak akan pernah mengecewakanku, Lion.)"

"Yes, Sir. I would never disappoint you. Excuse me, I will tell Sakura about this and we will go to Indonesia immediately. (Iya, Tuan. Aku tidak akan mengecewakanmu. Permisi, aku akan memberi tahu Sakura dan kami akan pergi ke Indonesia secepatnya.)"

Setelah berkata seperti itu, Lion pun pamit keluar ruangan. Pergi ke ruangan lain menemui seorang gadis yang mengenakan pakaian serba merah muda. Sama sepertinya, wajah gadis itu pun tertutup rapat dengan masker yang sewarna pakaiannya. Lion memberi isyarat agar yang lain keluar dari situ.

"What did he say? (Dia bilang apa?)" Gadis itu bertanya dengan nada tak acuh.

"We're going to Indonesia. (Kita pergi ke Indonesia.)" Lion menunjukkan paspor dan visa di tangannya.

Gadis itu menatap acuh tak acuh pada kedua benda itu. Sejak awal, dia sama sekali tidak tertarik memburu orang yang diinginkan tuannya. Satu-satunya hal yang membuat dia rela melakukan itu hanyalah demi merebut perhatian seseorang. Dengan tewasnya gadis itu, maka dia yakin bisa mendapatkan cinta pemuda itu seutuhnya.

* * *

"Gie! Gretha!"

Mendengar panggilan itu, sosok gadis berambut cokelat bergelombang sepunggung itu pun menghentikan langkahnya. Menoleh dan menunggu salah satu sahabatnya yang berlari mendekat. Sesekali dia tersenyum membalas sapaan orang-orang yang kebetulan lewat di dekatnya dan menyapa.

"Tumben kamu berangkat pagi, Amy?" Gretha tersenyum menyambut kedatangan Amanda.

"Gara-gara kakak, nih, Gie. Dia pagi-pagi bikin ribut di rumah," jawab Amanda setengah mengeluh.

"Kakakmu itu, 'kan, memang kayak gitu." Gretha tertawa kecil.

Mereka berdua pun melanjutkan langkah ke kelas sambil mengobrol. Suasana kelas masih sepi saat mereka sampai. Tentu saja karena sekarang masih pukul enam lewat delapan belas menit, sementara kelas dimulai pukul setengah delapan. Gretha memilih duduk di kursi pojok dan Amanda mengikuti duduk di sebelahnya.

Gretha membuka tas dan mengeluarkan ponselnya. Menekan logo WhatsApp dan mulai membaca satu per satu pesan yang masuk. Sesekali tersenyum karena memang ada pesan lucu, baik dari teman-teman satu jurusan maupun jurusan lain yang kebetulan mengenalnya. Dia melakukan hal itu sambil mendengarkan cerita Amanda. Setelah beberapa saat, dia meletakkan ponsel, lalu bergerak mengikat rambutnya karena suasana dalam kelas sedikit gerah.

"Aku penasaran, Gie," ucap Amanda tiba-tiba.

"Hm?" Gretha mengambil ikat rambut dari gigitannya. "Soal apa?"

Amanda mengulurkan tangan menyentuh satu titik di belakang telinga kanan. "Ini tato apa dan kapan kamu buat? Maknanya juga apa? Tiap tato, 'kan, biasanya punya makna."

"Aku juga nggak tau. Mama bilang, anggap aja tanda lahir," jawab Gretha sambil mengangkat kedua bahunya. Mengulas senyum kecil, sehingga Amanda pun ikut tersenyum. Mereka pun kembali asyik dengan kegiatan masing-masing.

Apakah Gretha tidak memikirkan pertanyaan Amanda? Tentu saja, iya, bahkan sejak awal dia mengetahui tato itu, search tattoo's meaning di internet adalah hal yang dilakukannya. Namun, tatonya sendiri unik dan tidak ada yang memilikinya, berupa gambar perempuan setengah wajah dengan jari telunjuk di bibir. Sulur-sulur mawar merah mengelilinginya dengan background pedang dan pistol.

Seiring berjalannya waktu, teman-teman yang lain mulai berdatangan, termasuk kedua sahabat Gretha yang lain, Cheryl dan Layla. Duduk berderet di sebelah kanan Amanda, lalu heboh bercerita. Gretha menanggapi sambil memperhatikan seluruh kelas. Entah kenapa, selama dua tahun kuliah bersama orang-orang yang sama, dia tetap merasa asing. Seolah-olah mereka baru saja bertemu. Terkadang, dia berpikir apakah ini benar-benar hidupnya. Kalau iya, kenapa semua terasa begitu asing?

"Gie?" Amanda menyentuh bahu Gretha yang tampak sedikit melamun.

"Hm? Kenapa?" Gretha menoleh dan memandang tanya pada Amanda.

"Layla ingin jalan-jalan ke mal sepulang kuliah. Kamu bisa ikut, 'kan?" tanya Amanda.

"Bisa, aku juga nggak ada acara di rumah," jawab Gretha.

Saat sedang mengobrol, sosok laki-laki yang menjadi dosen mata kuliah hukum ketenagakerajan masuk. Kelas pun seketika hening dan semua sibuk mengeluarkan buku serta alat tulis masing-masing. Tidak semua memperhatikan, ada yang sekadar mendengarkan tanpa mencatat, ada yang benar-benar niat, dan ada juga yang justru diam-diam sibuk bemain ponsel.

Gretha sendiri memilih duduk diam mendengarkan tanpa mencatat sambil melamun. Memikirkan hal yang dirinya sendiri tidak tahu apa. Dia merasa tidak menjadi dirinya sendiri setelah kecelakaan yang dialaminya dua tahun lalu, tepat sebulan sebelum masa perkuliahan dimulai. Ada bagian yang hilang, tapi tidak tahu apa dan sebelah mana.

Ddrt!

Ponsel yang diletakkan di meja sambung kursi bergetar. Dia pun meraihnya, lalu membuka membuat chat yang masuk. Dari Cheryl yang menanyakan apakah dirinya baik-baik saja. Dia pun mengetikkan balasan dengan cepat, lalu menaruh kembali ponselnya. Namun, lagi-lagi ponselnya bergetar, sehingga ia pun meraihnya.

[+1 (716) xxx-xxxx: Good morning, Jenny! Don't forget to have breakfast! (Selamat pagi, Jenny! Jangan lupa sarapan!)]

Senyum Gretha merekah membaca pesan itu. Meskipun nama yang tertera itu bukan namanya, dia tetap senang. Sejak pertama mengiriminya pesan, pemilik nomor dengan kode Amerika itu memang selalu memanggilnya dengan nama 'Jenny'. Awalnya, dia memang bertanya-tanya, tapi lama-lama lelah, jadi membiarkan saja.

Selain menerima chat berisi semangat, terkadang juga ada hadiah yang dikirimkan. Seminggu yang lalu, dia mendapatkan sebuah tas merek Channel. Ponsel yang digunakannya pun pemberian orang misterius itu. Karena merasa orang itu, siapa pun dirinya, tidak bermaksud buruk, dia pun menerima semua yang diberikan dan tidak lupa mengucapkan terima kasih.

Perkuliahan hari itu selesai pukul dua siang. Keempat gadis yang mulai beranjak dewasa itu pun keluar kelas dengan senyum semringah. Kepala mereka rasanya mau meledak dengan berbagai macam teori hukum yang dijelaskan. Karena itu, mereka senang saat bisa keluar kelas tanpa ada tugas yang dibebankan.

"Hai, Gretha!" Seorang pemuda berparas tampan menyapa Gretha.

"Hai!" balas Gretha dengan senyum tipis.

"Kamu mau ke mana?" tanya pemuda itu.

"Pergi jalan-jalan sama ketiga sahabatku. Kenapa?"

"Yah, padahal aku mau mengajakmu jalan-jalan." Pemuda itu memasang ekspresi memelas.

"Maaf, Jo, tapi aku sudah janji dengan mereka untuk jalan-jalan." Gretha memasang senyum tipis, lalu berlalu menyusul ketiga sahabatnya yang berjalan lebih dulu.

"Kenapa, Gie?" tanya Cheryl penasaran.

"Biasa, ajak jalan," jawab Gretha.

"Aku 'kan sudah pernah bilang kalau dia suka kamu," sahut Amanda.

"Ih, senangnya aku punya sahabat populer, soalnya bisa ikut populer," ucap Layla yang langsung mendapat jitakan dari Amanda.

Gretha dan Cheryl sama-sama tertawa melihat Layla mengaduh kesakitan. Mereka melanjutkan langkah keluar dari area kampur. Pergi ke parkiran untuk mengambil motor dan langsung berangkat ke salah satu mal favorit mereka. Gretha dibonceng oleh Cheryl, sementara Amanda bersama Layla. Menyetir dengan santai, tapi juga cukup cepat karena sudah kelaparan.

Sampai di sana, mereka memilih parkir di basement. Selain tidak panas, cuaca juga mendung, sehingga mereka takut kehujanan nantinya. Berjalan sambil berangkulan memasuki gedung mal. Sejenak Layla dan Cheryl berdebat mau makan di food court lantai tiga atau di bawah. Setelah adu batu-gunting-kertas, Layla menang, sehingga mereka pun pergi ke lantai tiga. Gretha dan Amanda tertawa saat Cheryl yang memberengut langsung tersenyum mendengar Layla berjanji akan mentraktir mereka semua es krim.

Sementara itu, sosok pemuda berparas tampan yang sedang mengunyah kuenya diam terpaku. Iris biru langitnya memandang sosok gadis yang baru saja lewat di dekatnya. Mengikuti kepergiannya dengan pandangan mata hingga sang gadis menghilang tertutup tempok salah satu kios di situ. Dia kembali memandang kuenya dengan ekspresi tegang.

"She ... impossible! She died two years ago! (Dia ... tidak mungkin! Dia sudah tiada dua tahun yang lalu!)" gumamnya gelisah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top