[-6]. Arville dan Lantai Tiga

Hari-H

Hari ini adalah hari pelepasan siswi-siswi SMP tiga.

Panggung yang selama ini dipajang di sebelah kantin akhirnya digunakan juga. Kursi-kursi wali dan para penonton sudah disusun rapi, kain-kain sudah digantung dan dihias sedemikian rupa. Para pengisi acara sudah bersiap di belakang panggung, matahari yang hari ini juga terang namun tak terik dan membuat kepanasan.

Benar-benar waktu yang tepat.

Siswa-siswi SMP tiga juga tengah nongkrong di kantin sebelum acara dimulai. Terlebih lagi setelah mereka latihan untuk menanyikan lagu sebagai tanda penghormatan dan perpisahan sebelum dipentaskan nanti.

Ayu, Diana dan Celine duduk disatu meja kecil yang sebenarnya hanya bisa untuk berdua, tapi salah satu diantara mereka menyeret kursi kosong. Ayu dan Diana benar-benar bingung dengan tingkah laku Celine yang nampak gelisah.

Celine sedaritadi melirik meja disudut, dimana ada para cowok-cowok yang masih bermain ular tangga disana. Ayu tahu Celine hanya fokus dengan satu laki-laki disana, tapi dia hanya diam memperhatikan. Celine juga tak berhenti melirik jam yang menempel di dinding dekat pintu keluar.

"Ayu, Diana, aku jalan-jalan sebentar ya..." Celine beranjak naik dari bangkunya, lalu melangkah menjauhi kantin. Bahkan saat tubuhnya sudah melangkah dekat ambang pintu, matanya masih melirik sudut beberapa kali. Akhirnya, setelah menghela nafas dan pergi dari sana.

Celine ke taman belakang, dia duduk di kursi taman yang tidak pernah didudukinya meskipun sudah sering sekali dia datang kemari. Diperhatikannya tumbuhan yang ditanamnya yang semakin tinggi saja.

Ingatannya tentang kejadian kemarin lusa terus saja terbayang olehnya—saat dia dan Charlos memutuskan untuk membuka halaman terakhir dari buku itu.

Buku itu mengatakan bahwa, nasib Devaryo adalah... mati saat melindungi wanitanya.

Malaikat maut terkuat itu mati karena melindungi wanita yang dicintainya. Begitupun nasib yang sama menimpa wanita yang dicintainya itu.

Celine rasa, itu bukanlah akhir yang bahagia. Menyedihkan. Mereka mati bersama, tapi tetap saja...cerita itu menyedihkan. Tak berbeda jauh dengan cerita Romeo dan Juliet.

Celine berharap..., setidaknya hanya dia yang akan mendapatkan hukumannya, dan yang terpenting, hukumannya itu bukanlah kematian Arville.

Lagipula Celine masih beranggapan bahwa kesalahan Devaryo lebih besar dibandingkannya.

Terdengar suara rumput yang bergesekan dari kejauhan, membuat Celine membatu di tempatnya. Sedikit gugup, Celine menolehkan kepalanya ke sumber suara.

Arville datang.

Celine kira, Arville marah dan dia tidak akan datang.

"Sudah lama?" Tanya Arville dengan nada yang dingin. Meskipun tidak pernah sekalipun mendengar Arville berbicara dengan dingin seperti itu, Celine berusaha tidak memikirkan itu lama-lama.

Celine menggeleng pelan, "Tidak juga,"

Arville duduk di sampingnya, dan menatap ke jemari tangannya sendiri. "Apa...kamu membenciku sampai memutuskan untuk menjauhiku?"

Celine tersentak kaget, dia tak menduga bahwa Arville akan berpikiran seperti itu. Celine menggeleng tegas, "Aku tidak pernah membencimu, Arville." Malahan, aku sangat menyukaimu, tambahnya dalam hati.

"Tidak perlu berbohong, aku tidak akan marah." Balas Arville sambil menatapnya datar. "Aku hanya kecewa. Aku kecewa dengan diriku sendiri. Mengapa bisa aku tidak menyadari bahwa ternyata kamu tidak nyaman setiap bersamaku? Seharusnya aku yang meminta maaf padamu, Celine."

Padahal, aku sangat nyaman bersamamu, ingin sekali Celine menjeritkan kata-kata itu. Namun entah mengapa dia terbungkam setelah mendengar perkataan Arville barusan.

"Maaf, Celine..."

Matanya menatap mata Celine dalam, yang membuat Celine ingin menghentikan waktu detik itu juga. Firasat Celine seperti mengatakan bahwa...itu akan menjadi kali terakhir Arville menatapnya seperti itu.

"Aku benar-benar minta maaf, Celine."

Celine merasakan nyeri dibagian jantungnya. Entah apa manusia menyebutkan perasaan itu, mungkin semacam sakit yang sangat dalam? Celine kali ini berpikir bahwa mungkin itu rasa sakit yang sama dirasakan oleh Charlos selama ini. Celine benar-benar sangat...sakit.

"Sebelum aku pergi..." Celine menatap Arville dengan ragu, "Bolehkah aku memelukmu?"

Kalimat yang paling memalukan yang pernah Celine pikirkan pun akhirnya keluar juga, meski begitu, Celine sudah memutuskan untuk tidak akan menyesali perkataannya, karena itu adalah keinginan terdalam yang ingin dilakukannya saat ini. Celine menggigit bibir bawahnya, dan matanya melirik arloji yang dikenakan Arville, bagus, sudah lewat dua menit dari jadwal.

Tanpa diduganya, Arville bangkit dari duduknya dan menatap Celine dalam. "Tidak, karena aku akan terus mengingatmu jika kamu melakukannya. Maaf." Arville segera melangkah menjauhi tempat itu, sedangkan Celine meremas tangannya sendiri.

"Rupanya ini yang kamu rasakan? Huh, Charlos?" Gumamnya sambil meratapi rerumputan.

*

Arville merasa bersalah.

Langkahnya berhenti begitu dia sudah melangkah sangat jauh dari keberadaan Celine.

Arville seharusnya menerima permintaan Celine saja. Meskipun..., dia akan terus mengingat Celine nantinya. Kira-kira apa yang dipikirkan Celine saat ini? Apa dia membenciku?

Arville mencari tempat duduk kosong begitu berada di depan panggung, acara pembukaan baru saja dimulai, dan orang-orang sudah mulai memenuhi tempat itu. Perasaannya tidak enak, perasaan bersalahnya terhadap Celine benar-benar membesar secara tiba-tiba.

Arville tahu, Celine melakukannya dengan alasan. Selalu itu yang dipikirkannya. Tapi mengapa Celine tiba-tiba memintanya untuk melupakannya? Apa yang kali ini dipikirkan Celine?

Sungguh, jika dia diberi kesempatan untuk membaca pikiran Celine sekali saja, mungkin saja dia akan memanfaatkannya sebaik mungkin.

Arville awalnya memutuskan untuk duduk diam dan mengamati panggung. Sebelum akhirnya, dia melihat seorang gadis berambut panjang cokelat sepunggung berpakaian putih, berdiri di atas meja yang ada di lantai tiga.

Dan buruknya, orang itu...itu...,

Celine!

Arville berlari dari kursinya tanpa berpikir panjang, membuat orang-orang yang duduk di belakangnya menatapnya bingung. Pandangannya masih mengarah pada gadis itu—memastikan bahwa dia tak melompat dari lantai tiga meskipun dia sudah memasuki area dalam sekolah.

Celine.

Celine.

Celine!

Rasanya, setiap dua anak tangga yang dilompatinya terasa semakin panjang saja. Arville benar-benar takut waktunya tidak tepat. Dia takut kalau Celine malah memutuskan untuk...meloncat dari sana.

Dering teleponnya berbunyi, Arville tahu jelas bahwa itu adalah telepon dari Ibunya—terdengar dari nada dering yang keluar. Arville memutuskan untuk membiarkannya kali ini, untuk pertama kalinya. Dia bisa menelepon Ibunya lagi nanti, setelah bertemu Celine.

Nafasnya patah-patah begitu dia sampai di lantai tiga. Meja itu berada di depan balkon, dan Arville bisa melihat Celine duduk memunggunginya. Gadis itu duduk menghadap ke arah pantai, rambutnya berterbangan dihembus oleh angin, gaun putih yang sebenarnya menjadi dress code hari ini lagi-lagi membuatnya terpana untuk yang kedua kalinya dan kakinya berada dalam posisi duduk seperti biasa—bedanya hanya, kaki itu masih berayun meski di bawah sana sudah sangat terlihat berbahaya.

"Celine...," Arville menyebut namanya dengan ekspresi yang sangat menyesal. "Kamu boleh melakukan apa yang kamu mau, tapi tolong turun dari meja itu, ya?"

Gadis itu membalikkan setengah kepalanya, dan tersenyum manis namun cukup memabukkan. Mata cokelatnya dibalas dengan penuh kehangatan. "Sudah kuduga, kamu akan datang, Arville..." Bisiknya pelan.

"Ya. Sekarang, cepat kemari," Arville mengulurkan tangannya ke Celine.

Celine tersenyum makin manis, lalu menarik nafas panjang sebelum memberikan uluran tangannya kepada Arville. Tangan Celine terulur ke Arville, saat tangan mereka bersentuhan, tanpa diduga Celine langsung menarik tangan Arville bersamanya.

"Cel-?!"

Arville saat ini hanya bertumpu pada sebuah besi panjang yang ada di balkon lantai tiga. Namun, begitu melihat ke atas, dia tak menemukan Celine disana.

Kosong.

Tadi itu... apa?

Arville mulai mendengar suara jeritan histeris dari bawah sana. Tidak salah lagi, itu positif adalah suara Ibunya.

"ARVILLE!"

Arville memejamkan matanya, berusaha mengangkat dirinya sendiri. Namun usahanya sia-sia saat dia merasakan beban yang teramat sangat dibagian kakinya. Entah apa yang menariknya, yang jelas, Arville hanya melihat kekosongan saja.

Di bawah sana makin heboh, mereka membuat kerumunan. Ada beberapa pihak yang masih berlarian mengambil kain dan matras dari gedung olahraga, ingin menumpuk kain dan harus tepat dengan posisi dimana Arville akan terjatuh nantinya. Tapi sepertinya tidak akan ada cukup waktu.

Yang Arville pikirkan saat ini hanyalah...kesalahannya.

Meminta maaf kepada Celine sebelum ajalnya. Itu dia.

Ada beberapa pihak yang sebenarnya sudah berlari untuk naik ke atas untuk menyelamatkan Arville. Tapi rasanya, sudah lama Arville bertahan seperti ini.

Dia merasa tidak akan berhasil.

Seluruh tubuhnya mulai terasa dingin. Tangannya mulai memutih karena terlalu lama mengenggam besi untuk menahan tubuhnya. Nafasnya pun semakin tercekat akibat menerima beban baru setelah berlari tadi.

Ah, aku benar-benar ingin meminta maaf pada Celine dulu, pikirnya sebelum mulai melepaskan sebelah tangannya. Tangan kanannya benar-benar sangat lelah, dan bahkan terasa mati rasa begitu dia melepaskan besi itu. Harapannya tinggal di tangan kirinya yang juga mulai melemas itu.

"Arville!"

Suara Celine terdengar, membuat Arville cerah kembali. Dia bukan mengharapkan Celine akan menolongnya, dia bisa meminta maaf padanya.

"Arville!" Kali ini Celine berjongkok di depan besi. Tangannya terulur ke bawah mencoba menjangkau tangan kanan Arville. "Aku akan membantumu naik. Kemarikan tanganmu."

Arville mengangkat tangan kanannya tanpa ragu, dan mengenggam erat tangan Celine.

"Kamu masih kuat? Aku akan mulai berdiri, dan yang harus kamu lakukan adalah menaikkan kakimu." Bisik Celine dengan nafas terengah-engah.

Arville tersenyum tipis, "Kurasa ini yang namanya mati dalam keadaan bahagia."

Mata Celine terbelalak. "Apa maksudmu?! Kamu akan naik, tunggu saja."

"Tidak bisa, Celine..." Arville berbisik. "Mereka tak mengizinkanku."

"Siapa?!" Tanya Celine dengan sedikit bentakan keras.

Arville berbisik makin pelan, "Para malaikat maut,"

***TBC***

26 Oktober 2016, Rabu.

A.N

Update kilat [1/2]

Entar malem up lagi, EHE.

Cindyana H

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top