[-36]. Arville dan Papercut
Semenjak itulah, Arville hampir tidak pernah absen mengunjungi lantai tiga. Celine yang mempunyai kebiasaan yang sama pun membuat pertemuan mereka berdua sering terjadi setiap pergantian hari.
Celine sebenarnya tidak pernah menganggap Arville sebagai penganggu. Arville juga tidak pernah berbicara dengannya setiap mereka bersitatap di lantai tiga. Keduanya berdiam diri di area mereka masing-masing.
Sejak itu, Celine tidak pernah menggunakan tangga kedua lagi. Celine lebih memilih untuk menggunakan tangga pertama, agar dia tidak punya kemungkinan untuk satu tempat dengan Arville. Arville masih menggunakan tangga kedua, lelaki itu bahkan tidak tahu bahwa Celine mencoba menghindar darinya. Sebisa mungkin Celine berjuang agar mereka tidak bertemu di lantai tiga.
Kebiasaan menari yang sering dilakukan oleh Celine dulu pun direndam olehnya begitu saja. Ruang geraknya sedikit jika ada manusia di sini. Maka berhentilah sejenak hobi itu jika ia berada di area sekolah, membuat Celine terkadang merasa sesak menahannya.
Celine tidak bisa membuka sayapnya di dalam bilik kamar mandi. Sebab ukuran sayapnya tidak bisa dikatakan cukup kecil. Sayapnya akan bersinggungan dengan dinding, bulu putihnya akan rontok dan membuat lantai bilik dipenuhi oleh bulu putih.
Lantai tiga yang menjadi perlariannya sudah dijajah setengah bagian oleh seorang manusia.
"Mengapa wajahmu akhir-akhir ini kusut begitu?" tanya Ayu saat melihat wajah Celine yang cemberut seperti baju kusut yang tak disetrika.
Setelah berteman dengan Ayu selama beberapa bulan ini membuat Celine tersadar akan beberapa hal. Ayu adalah sosok teman yang peka dan begitu cepat menyadari masalah oranglain. Terbalik dengan Diana yang tidak peka sama sekali.
"Enggak," jawab Celine setengah berdengus. Ingin sekali diubahnya ekspresinya agar Ayu tak lagi bertanya banyak, namun emosinya yang meluap-luap tak bisa mengalahkan keinginannya itu.
"Apanya yang enggak? Orang wajahmu iya gitu."
Diana ikut melihat wajah Celine yang masam dan hanya bisa diam, menunggu jawaban dari Celine yang terus saja menyanggah kebenaran itu sedaritadi.
"Arville," gumamnya.
"Arville?" Diana mengelus dagunya. "Dia teman sekelasku. Darimana kamu mengenalnya?"
Celine tidak menjawab. Pandangannya kosong dan tatapannya lurus. Ekspresinya masih terlihat sama-cemberut dan emosi meluap-luap.
"Tidak ada. Aku tidak mengenalnya," balas Celine judes. Celine meninggalkan kelas dengan langkah menghentak-hentak layaknya raksasa. Sedangkan Ayu dan Diana saling menautkan alis mereka bingung.
*
Arville mungkin boleh dikatakan 'lumayan terkenal' di angkatan mereka. Siapapun pasti mengenalnya, salah satu pemain futsal sekolah yang terpilih dari berkali-kali seleksi yang dilakukan bulan lalu.
Tapi berbeda dengan para pemain futsal lainnya, Arville tidak banyak bicara. Sebagian besar orang memandang Arville sebagai sosok yang bijaksana. Sekali berkata, ucapannya adalah hal yang bermanfaat. Meskipun demikian, Arville tetap saja sama seperti temannya yang lain. Dia tetaplah seorang bocah SMP yang tengah dalam masa 'gila-gilaan'nya.
Mood booster kelas 7-2 sebagian besar adalah anak futsal. Tetapi Arville tidak masuk di antaranya.
Lelaki itu memang tenang, orangnya kalem dan dia adalah pendengar yang baik. Mungkin banyak gadis yang menyimpan hati diam-diam padanya. Mereka tahu, jika mereka 'menyatakan perasaan' mereka kepada Arville, Arville pasti akan menolak mereka dengan sopan. Atau mungkin, kebanyakan gadis lebih menyukai lelaki bertipe bad boy macam Dony atau Leon.
"Kok lo ngilang tiap istirahat?" tanya Leon dengan nada mengintrogasi. Arville yang tengah mencoret-coret gambar pun terdiam dan mengangkat kepalanya dengan sedikit bingung.
"Hah?"
Dony yang mendengar pertanyaan Leon pun akhirnya ikut penasaran dan ikut mengintrogasi Arville yang makin dipenuhi tanda tanya itu.
"Iya, nih. Padahal kemarin Agus ulangtahun dan traktirin se-team. Karena lo ilang, yaa ..., dengan sangat terpaksa bagianmu kusimpan disini." Dony mengelus-ngelus perutnya dan tertawa ngakak.
"Nah, lo belum jawab. Jadi, lo kemana aja?"
Arville hanya tersenyum tipis sambil kembali mencoret-coret di kertasnya. "Kenapa emangnya? Lo pada kesepian gaada gue?"
"Ish, geli!" balas mereka berdua bersamaan.
"Yaudah, jangan banyak nanya. Yang penting gue itu tetap di area sekolah. Gue nggak bolos, percayalah."
Leon dan Dony saling menatap bingung. Tentu saja Arville yang ini tidak akan bolos sekolah, bahkan pikiran itu sama sekali tak terbesit dibenak mereka. Dan dugaan mereka yang lain adalah...
"Arville. Lo ..., ketemuan sama cewek yaa?!" tuduh Dony dengan blak-blakan. "Lo backstreet kan, makanya lo sering ngilang pas istirahat?!"
Arville yang dituduh seperti itu tentu saja tidak tinggal diam. "Ketemuan sama cewek yang mana? Enggak ah, gue sendirian kok, sumpah."
"Alaaah, ngeles lo," timpal Dony tak terima.
Sementara tiga lelaki itu berdebat tanpa topik di tengah-tengah kelas, disatu sisi lain, seorang gadis memperhatikan salah satu lelaki itu dengan lekat dan penuh keingintahuan.
"Arville, huh?"
Diana berbisik pelan sambil mengintip keberadaan mereka dari tempat duduknya. Buku menutupi sebagian besar wajahnya terkecuali bagian mata dan kening. Entah apa yang dilakukannya itu.
"Tidak ada yang aneh dengannya," gumamnya pelan.
"Gue sudah bilang, gue itu tidak pacaran. Imajinasi kalian tinggi banget, sih. Baru juga masuk SMP, mau pacar-pacaran apa coba." Arville mencoret kertas dengan gerakan melingkar.
"Nah, yaudah, ngaku aja lo dimana?"
"Gue-"
SREK. Arville yang tengah memainkan jarinya ditumpukan kertas pun menarik tangannya dengan cepat dan meringis sejenak, membuat kedua lelaki di depannya tampak tertawa ngakak.
"Nah, tuh. Akibat membohongi teman!"
Arville mengelak. "Siapa yang bohong?! Ini cuman papercut doang, kok."
"Aih, tanganmu berdarah." Marlin yang duduk di depan Arville pun buru-buru kembali ke mejanya, membuka kotak pensilnya dan menyerahkannya sebuah handsaplast. "Nih,"
Arville melongo melihat handsaplast yang diserahkan Marlin, sedangkan Dony dan Leon sudah terlebih dulu tertawa ngakak.
"Apa kata orang kalau Arville pake ntu handsaplast?" tanya Dony sambil menahan tawanya.
"Feminim banget ya, mas. Ada gambar kelinci-nya pula," ujar Leon terkikik. "Pink pula!" Tambahnya memanas-manasi.
"Eh, engga usah deh." Arville berkata cepat-cepat lantaran melihat Marlin sudah menyerahkannya kepada hampir lima detik namun belum juga diambil olehnya. "Mar, gausah. Gue cuci a-"
Marlin terlihat tersinggung, mungkin efek Dony dan Leon itu. "Udah ah, ambil aja. Ini punyaku yang terakhir. Aku udah malas nyimpan balik." Marlin segera menyisipkannya di kantong saku Arville dan meninggalkan kelas dengan sebal.
"Ugh, makasih yaa." Arville hanya bisa menghela nafasnya meratapi kepergian punggung Marlin, lalu dia menatap kedua teman biang keroknya itu. "Kalian ini ..., bocah banget deh."
"Week, biarin. Orang memang gue masih bocah juga." Leon menjulurkan lidahnya.
"Ya, jangan terlalu bijak saat muda, nikmati waktu gila-gilaan ini, atau gaada yang bisa diketawain pas lo tua nanti." Dony menambahkan dan Leon mengangguk setuju. "Biarkan 'gairah muda'-mu bebas."
"Terserah," desis Arville tak peduli.
***TBC***
29 Juni 2016, Rabu.
A.N
Dan ya, kenalkan Dony dan Leon di masa SMP yang usilnya tetap ga ketolong wkwkwk.
Sudah saya bilang Lost Memories ga panjang disetiap chapternya. Sebelum saya nambah kata-katanya, chapter ini cuman 9
#116 FANTASY ---> Pull down Air Train #127 FANTASY
Saya tetap suka good boys, hahaha. Sayang Tazu, Alfyan, Yuki, Aeth, dan Arville yang baik hahaha.
But It doesn't mean I won't write about bad boys. Just prepare, one of our LFS.
Cindyana
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top