[-33]. Celine dan Pantangan
"Ngurus kebun sekolah?" Arville mengulangi perkataan Celine yang jelas-jelas didengarnya tadi, membuat Celine berdengus menghela nafas lelah.
"Iya, habisnya aku nggak tahu mau ngambil apa." Balas Celine santai.
Kening Arville mengerut. "Kan kamu bisa ambil yang lain, kenapa malah berurusan dengan tanah?"
"Memangnya ada yang salah dengan tanah?" Tanya Celine sedikit terkejut.
Dia kira, manusia akan sangat menghargai tanah. Tanah adalah komponen di bumi yang selama ini menjadi pijakan dan tempat manusia berdiri. Seharusnya manusia beruntung dengan adanya tanah, karena mereka tidak ada tempat berlabuh jika tidak ada tanah di bumi.
Lagipula manusia seharusnya memang berterimakasih kepada tanah yang mendukung pertumbuhan tanaman yang memberi oksigen, juga sayur-sayuran yang bisa dikonsumsi oleh manusia. Hewan yang dikonsumsi manusia juga ikut terlibat di dalam komponen tanah—dari makanan yang pernah herbivor konsumsi.
Ada pula cerita yang mengatakan bahwa manusia berasal dari tanah. Dia tidak tahu itu benar atau tidak, yang jelas Celine juga pernah membacanya dari salah satu cerita dongeng lama.
"Siapa yang bilang salah, memangnya?" Tanya Arville mengerutkan keningnya. "Kalau kamu memang mau ambil itu, ya ambil saja."
Celine menyipitkan matanya, "Tapi tadi kamu seperti melarangku masuk disana."
Arville tadinya teringat dengan kegiatan memungut sampah di kota mereka yang pernah diselenggarakan saat mereka SD dulu. Kegiatan itu sebenarnya adalah bakti sosial yang diadakan di kota, namun didukung oleh sekolah mereka dan sekolah mewajibkan seluruh murid untuk mengikutinya. Dia ingat jelas bagaimana teman-temannya yang bergender perempuan terus saja menyatakan rasa jijiknya meskipun itu hanya terhadap sampah plastik, belum lagi yang organik dan bisa membusuk.
Tapi Arville juga ingat saat itu Celine mengerjakan pekerjaan itu tanpa berkata banyak. Dia mengerjakannya dalam diam dan serius, membuat Arville yang saat itu melihatnya terpancing untuk juga serius.
Dan Arville sadar, Celine tidak mungkin takut dengan hal-hal seperti itu. Celine berbeda.
"Aku tidak melarangmu," Elak Arville. "Tapi itu lho ...," Arville menggaruk kepalanya yang tidak gatal, menatap Celine dengan tatapan ragu. "Aku punya teman yang masuk sebagai pengurus kebun belakang sekolah. Dia tampaknya lelah melakukannya."
Celine mengendikan bahunya. "Kita nggak tahu kalau kita belum mencobanya." Ucapnya. Dalam masalah lelah, manusia dan malaikat memang tidak memiliki bandingan yang jauh. Celine sering kecapekan jika menggunakan sayapnya lama-lama, atau berlari saat menjadi manusia.
"Dan katanya ..., setiap sabtu di suruh datang ke sekolah buat nyabut rumput lapangan." Tambahnya dengan nada horror.
Celine menatap Arville datar. "Teknologi sudah maju, yaampun. Kan ada alat pemotong rumput. Aku sudah tanya-tanya sama ketua pengurus kebun, katanya tugas kami itu hanya menanam tanaman dan menata taman. Udah, itu aja."
"Apa yang terdengar tak semudah yang dikerjakan, Cel."
"Nah, tuh kan. Kamu kenapa daritadi seperti membujukku untuk membatalkan keinginanku?" Tuduh Celine.
Arville hanya terdiam, lalu menggeleng pelan. "Tidak ada. Perasaanmu saja."
"Kalau tidak ada, yasudah. Kamu tidak perlu mengurusi masalahku." Celine lagi-lagi memeriksa jam di tangannya. "Tinggal semenit, sudah aku duluan."
Arville menghela nafasnya. "Iya, kamu duluan aja."
"Bye,"
"Bye."
*
Kayla terkikik saat mendengar cerita dari temannya tentang Celine yang memutuskan untuk memilih menjadi pengurus kebun belakang. Bodoh sekali. Padahal, dia sering mendengar gosip yang mengatakan bahwa Celine yang 'bisa segalanya' itu, pernah membuatnya palak setiap mengingat musuhnya yang lebih darinya itu. Tapi kini berbeda.
Kayla sendiri masuk di team cheerleader yang biasanya memandu sorak para pemain basket yang sedang bertanding.
Saat ini mereka tengah menggosip tentang Celine, dan hal itu benar-benar disambut dengan baik oleh Kayla.
"Huh, ini namanya karma." Ujarnya sambil tergelak. "Lihat Celine yang kata kalian perfect itu mengakhiri nama baiknya dengan bermain lumpur."
Siti menyambung. "Itu bukan karma namanya, bego. Celine kan memutuskan untuk masuk dengan suka hati."
"Dipikir-pikir Celine masuk disana mungkin karena ingin menyendiri." Sahut Lidya. "Tapi kayaknya enggak juga deh. Temennya yang dua itu kan masuk club gambar sama club musik. Interaksi juga."
"Tapi dia bodoh bener. Masak dari sekian banyak, malah itu." Kayla mengucapkannya dengan sedikit bingung juga. Bingung dengan jalan pikiran Celine.
"Terserah dia dong. Hidup, hidup dia." Tambah Rena yang pendiam, membuat kelompok cheerleader itu akhirnya terbungkam karena kata-katanya. "Lagipula daritadi gue denger. Lo kayaknya nggak suka banget sama Celine. Kok bisa sih? Memangnya dia ganggu hidup lo?"
Kayla memutar bola matanya malas.
"Dia bernafas aja udah mengganggu hidup gue, tahu." Ujarnya ngasal. "Gue nggak suka sama dia karena dia pernah ikut campur urusan gue."
"Lagi story telling lo?"
Kayla mengerut. "Jadi maksud lo, gue lagi nge-bullsh*t?!"
"Habisnya omonganmu aneh banget. Celine mana mungkin sih, ngurusin masalah orang."
Kayla berdengus. "Ada dan pernah. Gue nggak mungkin salah inget, bego. Gue bakalan ingat kesalahan dia seumur hidup!"
"Kayaknya lo emang lagi nge-dongeng. Celine mana pernah membuat kesalahan!" Temannya terbahak.
"Setiap manusia itu pasti pernah ngebuat kesalahan. Dan Celine juga tidak luput dari kesalahan, karena dia salah satunya!" Seru Kayla dengan keras.
"Hahaha, iya deh, iya. Gausah geram kayak gitu juga kali."
Memang benar, hal yang diucapkan mereka. Namun sedikit salah juga. Celine memang salah satu makhluk tuhan yang pernah melakukan kesalahan. Tapi dia bukanlah bagian dari kelompok itu.
Dan Celine ..., sama sekali belum pernah sekalipun berniat menjadi bagian dari kelompok itu.
*
Dengan segala keingintahuan Arville tentang perkataan Celine mengenai pemilihan club, Arville yang sebenarnya tidak terlalu percaya dengan kata-kata Celine pun akhirnya memutuskan untuk memantau hal yang dilakukan Celine seusai sekolah.
Dan rupanya Celine memang tidak berbohong.
Celine sudah memakai sarung tangan karet di kedua tangannya, dan dia kini sedang menanam tanaman kecil di tanah kosong. Dia tidak melakukannya sendirian, tapi bersama dengan beberapa pengurus lainnya.
Celine nampak tereliminasi dari kelompok itu, atau mungkin bukan. Dia ditemani oleh Diana dan Ayu, hal yang membuat Arville diam-diam menghela nafas lega.
"Kamu kok malah milih ini, sih?" Tanya Ayu terdengar serius. "Kan sebagian besar yang menjadi pengurus taman belakang itu cowok, Cel!"
"Yah nggakpapa." Balas Celine cuek. Dia sudah memupuk tanaman baru dengan tanah dibagian akarnya. "Memangnya ada yang salah?"
"Erm, tidak sih ...," Ayu nampak kehabisan kata-kata. "Tapi aku jadi pengen tahu alasanmu masuk menjadi pengurus." Ayu nampak membungkuk dan membisikkan sesuatu. "Apa kamu menyukai salah satu lelaki disana?"
Sontak, Celine melotot menatapnya.
"Kamu ini ngomong apa sih, Yu? Enggak. Aku nggak suka siapapun. Aku bahkan tidak mengenal mereka satupun."
Diana yang sedaritadi diam pun akhirnya ikut dalam pembicaraan. "Lalu Arville?"
Celine melotot. "Aku nggak suka sama Arville!" Balasnya.
"Kok tiba-tiba malah lari ke Arville?" Tanya Ayu ke Diana. Lalu Ayu menatap Celine curiga. "Apa hanya aku yang tidak diberitahu disini?"
"Tidak, Yu. Aku sama sekali tidak bilang apapun ke Diana. Aku tidak menyukainya, bagaimana sih kalian." Sangkalnya.
"Ugh, berbicara denganmu itu, kalau nggak ngelak, nyangkal mulu." Ucap Ayu ketus. "Aish, kami pulang dulu ya. Kamu kayaknya asyik sendiri main tanah."
"Siapa yang bermain, huh?" Balas Celine ketus. "Yaudah, sana! Pergi saja. Ada kalian juga, kalian sama sekali nggak ngebantu. Ngebebanin iya."
Ayu terbahak, Diana nyengir. "Yaudah kami pulang dulu."
"Hm," Balas Celine.
Ayu dan Diana yang sudah pergi menjauhi Celine membuat Arville sedikit terganggu juga. Apalagi saat dia melihat orang-orang di arah sana yang menjadi pengurus kebun dan rata-rata adalah lelaki. Hanya ada satu guru perempuan saja disana.
Dia ingin menghampiri Celine, tetapi entah mengapa tidak memiliki nyali.
Tiba-tiba kepala Celine berputar setengah badan dan dia menatap Arville dengan tatapan menuduh. "Mau sampai kapan kamu menguping dan mengintip disana, huh?"
Arville gelagapan ditangkap basah oleh Celine, namun dia membela diri. "Siapa yang menguping? Aku tidak mendengar pembicaraan kalian."
Arville memang tidak berbohong, sebab jarak mereka lumayan jauh dan suara Ayu ataupun Diana sangatlah kecil. Mereka bahkan mengobrol dengan volume berbisik tadi. Bagaimana mungkin Arville punya telinga super dan kemampuan mendengar yang tiba-tiba tajam?
Terkadang saja orang disebelahnya memanggil, Arville bisa tidak mendengarkannya. Apalagi disaat ujian, dimana keheningan dan bisikan lembut terdengar saat dia sedang konsentrasi penuh mengingat kembali bayangan catatannya. Seruan keras sekalipun tidak bisa didengarnya.
"Alah, ngeles." Mata Celine menyipit curiga, meskipun sebenarnya Celine juga tahu mengenai Arville yang telinganya terkadang tidak bisa mendengarnya.
Pernah sekali Celine sudah melangkah di balkon dan Arville sedang asyik-asyiknya menatap pemandangan, lalu tiba-tiba saja Arville kebingungan karena Celine sudah berada disampingnya. Lalu Celine naik pitam saat Arville mengatakan, Kamu datang darimana? dengan serius.
Arville pun akhirnya melangkah mendekati Celine. Entah mengapa dia yakin bahwa Celine berhasil mendengar langkah kakinya lagi. Telinga gadis itu memang sangat hebat, berkali-kali berhasil menangkap keberadaannya saat dia sudah berusaha semaksimal mungkin untuk tenang dan tidak mengeluarkan suara sedikitpun, niatnya untuk mengejutkannya selalu gagal total.
"Kok pengurus kebun cowok semua?" Tanya Arville dengan sedikit tidak tenang, yang membuat Celine menatapnya dengan tatapan menuduh.
"Tuh kan, kamu nguping! Tadi Ayu juga ngomong itu."
"Lah, emang benar kan?" Balas Arville sambil menunjuk keberadaan orang-orang yang berada jauh dengan mereka.
"Kenapa memangnya kalau pengurus kebun cowok? Ini itu area sekolah, yagapapa lah."
Arville juga tahu itu, tapi tetap saja Arville risih.
"Tapi ...,"
"Woi, Arville!" Seru seseorang yang juga memakai sarung tangan persis seperti Celine, tanda bahwa dia juga pengurus kebun belakang. "Eh, ada cewek ..., anak baru ya?"
Arville menatapnya datar. "Niat lo nyapa gue atau kenalan sama cewek, sih?"
Lelaki itu nyengir. "Dua-duanya juga boleh." Balasnya. Lelaki itu melepaskan sarung tangannya dan mengulurkan tangannya ke Celine. "Nama gue Daniel, kalau lo?"
Celine menatap Daniel dengan datar dan dingin. Selain karena malas melepas sarung tangannya—karena memakainya sedikit susah, Celine juga sudah malas menambah teman.
"Celine. Sorry ya, tanganku kotor."
Celine kembali melanjutkan pekerjaannya, seolah tak terjadi apa-apa tadi. Sontak atmosfir disana langsung terasa begitu canggung berat, terutama bagi Arville yang melihat penolakan Celine terang-terangan.
"Erm," Arville mengelus tengkuknya. "Jadi apa saja yang dilakukan pengurus?"
"Itu—"
Celine memotong. "Aku sudah bilang padamu tadi pagi."
Arville sontak terdiam, dia jelas-jelas merasakan nada-nada pengusiran yang dilakukan Celine kepada Daniel.
Suasana makin canggung saja.
"Err, Ville, gue balik kerja dulu ya."
Arville tercegang. Daniel tentu saja merasakan pengusiran yang diberikan Celine kepadanya. Tentu saja.
"Eh, Iya."
Setelah kepergian Daniel, saat Arville baru saja hendak menegur tingkah Celine, Celine lebih dulu menyatakan argumennya kepada Arville.
"Lelaki tadi tidak baik," Sahut Celine terang-terangan. "Dan aku tidak mau berteman dengan orang sepertinya."
Arville terdiam. Daniel memang punya sifat yang kurang baik juga menurutnya. Kakak kelasnya itu kini SMP tiga dan dia senang memainkan perempuan di usianya yang masih boleh dikatakan bocah itu. Arville baru saja hendak menegur Celine tentang itu. Sebenarnya itulah alasan Arville kurang menyetujui Celine menjadi pengurus, dia bisa saja tertipu oleh ketampanan Daniel.
Tapi Celine lebih dulu mengetahuinya sebelum Arville sempat menjelaskannya.
Celine sendiri adalah malaikat yang bisa melihat hal itu. Jika kalian sempat mengira Celine asal dalam memilih teman, tentu saja kalian salah besar. Baik Ayu dan Diana, keduanya memiliki aura putih. Celine bisa melihatnya disetiap manusia, tentang sifat mereka yang sebenarnya. Dan Arville pun sama, memiliki aura itu bersamanya.
Arville sedikit lega, jika Celine tidak tertipu dengan tampang polos Daniel yang biasanya berhasil menipu sebagian besar gadis-gadis, itu berarti Celine ahli dalam menyaring teman yang baik.
Setidaknya bukan Celine yang menjadi korban Daniel selanjutnya.
"Aku sudah selesai," Celine membuka sarung tangannya. Lalu tangannya terulur mengelus kepala Arville. "Terimakasih anak baik sudah menunggu."
Kening Arville mengerut. "Siapa yang menunggumu?! Dan argh, singkirkan tanganmu!"
"Tanganku tidak benar-benar kotor. Lihat." Celine memperlihatkan telapak tangannya yang bersih.
"Aku tahu." Wajah Arville sudah bersemu, membuat Celine merasakan sesuatu yang membahagiakan dalam dirinya. "Ayo cepat. Dimana tasmu? Aku akan mengambilnya."
Celine menunjuk bangku yang lumayan dekat dengan keberadaan mereka dengan dagunya.
Saat Arville melangkah menjauhinya dan mengambil tasnya, diam-diam hati Celine menghangat. Celine tentu saja tahu itu bukanlah rasa terharu karena sifat baik yang diberikan Arville. Ayu dan Diana juga sering berbuat baik padanya, tapi dia tidak merasakan getaran yang sama.
Celine tidak tahu perasaan apa ini, perasaan yang membuatnya ingin selalu bersamanya, perasaan nyaman saat bersamanya. Perasaan yang hanya ditujukan kepada Arville, dan bukan orang lain selain dirinya. Hal yang membuat perutnya terasa digelitik oleh ribuan kupu-kupu. Hal yang sebenarnya sudah dirasakannya saat melihat Arville pada pandangan pertama.
Tidak ada orang yang pernah menceritakan mengenai perasaan itu padanya. Celine sudah membaca buku tentang emosi marah, sedih, senang dan sebagainya. Meskipun tidak semua hal yang dibacanya pernah dirasakannya dan apa yang dirasakannya saat ini sepertinya tidak tercantum di bagian emosi manapun.
Perasaan apa ini?
Saat itu, Celine tidak tahu bahwa perasaan itu adalah sebuah pantangan besar baginya. Celine tidak tahu itu dilarang. Celine tidak tahu suatu saat dia harus memisahkan perasaan itu. Yang dia ketahui hanyalah ..., menikmati perasaan itu saat ini.
Perasaan yang indah itu.
Emosi yang menyenangkan itu, emosi yang diharapkannya selalu terjadi dalam dirinya. Emosi yang diharapkannya abadi dan bertahan selamanya.
"Ayo, hari ini aku akan mengantarkanmu sampai persimpangan rumahmu."
Perasaan yang menghangat dan membuat jantungnya berpacu. Perasaan yang tidak dia tahu terlarang itu.
Garis pantangan itu ..., kini sudah dilewatinya.
Pantangan yang sebenarnya sudah dilewatinya saat pertama kali melihat Arville.
Pantangan yang semakin parah dilanggar olehnya.
***TBC***
11 Juli 2016, Senin.
A.N
Yeah, yeah.
Celine lebih peka dari Piya, yeah.
[1/2 FLASH UPDATE TONIGHT!]
CINDYANA
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top