[-31]. Celine dan Perbedaan

Suasana dalam UKS begitu hening meskipun terdapat beberapa orang di dalam sana. Kipas besar di atas sana yang berputar, dapat mendinginkan ruangan itu hingga hampir menjangkau seluruh sudut, terkecuali dibalik tirai.

Kotak P3K terbuka, seorang guru mengurus lengan Arville dan kakinya. Beberapa kali Arville akan meringis, lalu memberi kode bahwa dia baik-baik saja.

Celine menatapnya datar di sampingnya.

Arville mungkin bisa berbohong dengan mulutnya, tetapi mata Celine tidak bisa dibohongi begitu saja. Kalau saja Celine tak memiliki kelebihan untuk melihatnya, mungkin saja Celine akan mempercayainya. Siapa pula yang tak mempercayai manusia jujur sepertinya? Dan Celine saat itu mengerti, dia bukannya tidak pernah berbohong. Dia berbohong agar oranglain tidak merasa khawatir.

Oh, dasar baik hati.

Seorang malaikat memiliki kelebihan untuk melihat luka dalam pada manusia. Sejak melihat kaki Arville, Celine sudah dapat melihat luka itu padanya. Begitu juga dibagian bahunya itu. Saat Arville mencoba memanipulasi pendapat Celine dengan memutar lengannya, saat itulah luka Arville makin parah saja dan Celine tak sampai hati melihat hal itu.

Dan disinilah Arville, dengan balutan perban yang kini sudah berputar menjadi baju baru buatnya.

"Terima kasih, Bu." Ujar Arville tulus. Saat dia hendak membungkukkan badannya tanda penghormatan, dia kembali meringis.

"Udah, jangan maksa." Celine mengatakannya dengan tidak suka. "Terima kasih, Bu." Celine membungkukkan badannya, mengantikan Arville melakukan penghormatan.

Mereka berjalan menuju gerbang, Arville berjalan tanpa di papah karena keadaan kakinya memang tidak separah bahunya.

Entah apa yang membuat Arville tiba-tiba penasaran dengan Celine.

"Cel, kok kamu bisa tahu bahu dan kakiku sakit?"

Dan tentu saja Celine tidak boleh mengatakan yang sebenarnya, bahwa dia bisa melihat luka dalam manusia. "Wajahmu kesakitan dan kesan maksa-nya nampak jelas."

"Masak?" Arville terlihat panik. Mungkin saja dia berpikir bahwa ada kemungkinan anggota team-nya mengetahui hal itu juga.

"Aktingmu terlalu buruk, lain kali jangan lakukan itu lagi."

Celine—berbohong. Arville yang tadinya tertawa lepas akan terlihat baik-baik saja di mata Celine seandainya dia tak melihat tubuhnya tadi. Celine mengatakan hal itu semata-mata hanya agar Arville tidak lagi mau menyembunyikan lukanya suatu saat nanti.

"Tapi ..., aku teringat dengan burung merpati itu lagi." Arville menerawang langit, entahlah mencari keberadaan burung itu atau membayangkan kembali kejadian hari itu. "Hari itu kamu dengan yakinnya bilang kalau sayap bagian burung itulah yang bermasalah."

Jantung Celine terasa nyaris copot. Tentu saja Celine tahu kemana arah pembicaraan Arville.

"Jadi maksudmu, aku ini manusia super yang bisa melihat dimana letak kesakitan orang, begitu?" Celine tampak tersinggung, membuat Arville menggeleng cepat dengan penuh antisipasi.

"Kan aku nggak bilang gitu?"

"Tapi arah pembicaraanmu tadi seperti mengatakan begitu!" Celine melipat kedua tangannya di depan dada.

"Enggak, aku nggak maksud gitu." Arville menghela nafasnya, lalu tersenyum. "Gimana kalau ..., kita berdua melakukan kerja sama saat di dunia kerja nanti? Dengan adanya aku yang mengobati hewan dan kamu yang ahli dalam melihat titik sakitnya, kita pasti bisa menyelamatkan banyak hewan!" Tuturnya dengan semangat empatlima.

Celine terdiam.

Dunia kerja malaikat dan manusia berbeda, ya, dia tahu itu. Dia bisa lihat bagaimana Ayahnya yang setiap hari bertugas membawa jiwa manusia dan terkadang bisa tidak pulang. Juga Ibunya yang bertugas sebagai malaikat pelindung.

Ya, dunia kerja malaikat adalah mengurusi kehidupan para manusia, dan manusia punya dunia kerja dimana mereka akan bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Kalau Celine mengiyakan janji Arville, itu sama saja membohongi Arville.

"Aku tidak mau." Sahut Celine terang-terangan.

"Lho? Kenapa? Kukira ini ide yang bagus." Arville mengerutkan keningnya tak mengerti.

Celine menatapnya dingin. "Aku tidak tertarik di bidang kedokteran. Malahan, aku lebih tertarik di bidang sosial. Tidak ada kemungkinan kita bisa sekelas saat SMA nanti, karena jurusan kita sudah berbeda."

Tidak ada kemungkinan kita bisa bersama nanti, karena kita ini berbeda.

Arville menghela nafasnya kecewa, sedetik kemudian, dia kembali semangat. "Tapi sekarang kita masih SMP satu, SMP dua atau tiga nanti, kita masih punya kemungkinan sekelas."

Kita masih punya waktu untuk bersama, meskipun hanya sebentar.

Celine ingin mengiyakan, namun mulutnya terlalu gengsi melakukan hal itu. "Siapa bilang aku mau sekelas denganmu, huh? Pede."

Wajah Arville cemberut. "Kamu ini jujur sekali, sesekali bohong bentar kek, biar aku senang."

"Hee? Apa kamu lebih suka dengan kebohongan yang manis daripada kenyataan yang pahit?" Tanya Celine dengan nada menyindir.

Arville menunjuk Celine. "Bukannya semua orang menyukai itu?"

Jantung Celine serasa nyeri.

Ya, semua manusia dan dirinya tidak termasuk.

Atau mungkin ..., iya?

Celine diam-diam menikmati hidupnya sebagai manusia yang menyamar. Celine diam-diam memiliki perasaan nyaman kepada Arville. Bukankah itu juga masuk di kategori itu?

"Tapi ...," Bahu Arville melemas. "Sayang sekali kamu tidak mau. Padahal menurutku kamu itu cocok lho."

"Jangan merayuku." Tandas Celine pura-pura tak peduli.

"Aku tidak merayumu, tapi membujukmu." Sahut Arville sambil mencoba memasang seragamnya kembali, namun ia sedikit kesulitan karena luka dibahu. "Ugh, jangan malah lihatin gitu. Bantuin kek."

Celine mencibir, lalu membantu Arville memasang bajunya. Setelah terpasang, Arville sendiri yang memasang kancing bajunya.

"Kamu ini tidak pernah belajar inisiatif ya?" Sindir Arville

Celine memutar bola matanya kesal. "Inisiatif membantumu memakai baju? Apa kamu kira aku tidak tahu malu?"

Arville memincingkan matanya. Celine memang tidak tahu malu. Jika saja tadi gadis lain yang berada disampingnya saat melihatnya membuka baju untuk mengobati lukanya tadi, gadis itu pasti akan memalingkan wajahnya dan tidak melihat. Tapi sayangnya Celine tidak mirip gadis yang Arville pikirkan.

Celine malah terus melihat tubuhnya.

Sebenarnya Celine bukan mengagumi tubuhnya, tapi memperhatikan. Itu pertama kalinya Celine melihat tubuh manusia tanpa pakaian atas. Karena itulah Celine tak bisa melepaskan pandangnya dari tubuh Arville.

Dan dia paham mengenai taboo para manusia. Bahwa manusia diharuskan memakai pakaian untuk menutupi tubuhnya. Dia juga paham bahwa lelaki harus menggunakan pakaian bagian bawah, harus. Sedangkan perempuan harus memakai pakaian atas dan bawah.

Hal itu tidak ada bedanya dengan aturan dan taboo para malaikat. Karena itulah Celine tidak perlu repot-repot mengingat itu.

Semenit setelah itu, tiba-tiba saja pintu UKS terbuka. "Celineee!"

Terdengar seruan Ayu yang membuat Celine dan Arville sama-sama berbalik ke belakang. Disana Ayu menatap Celine dengan tatapan bingung dengan kehadiran Arville.

Celine tidak pernah menceritakan apapun soal pertemanannya dengan Arville. Meskipun mereka sudah menjalin pertemanan itu hampir delapan bulan lamanya.

"Hai," Arville menyapa dengan senyum hangat kepada Ayu dan Diana, membuat tubuh keduanya sempat menegang karena kaget.

"H-hai." Balas keduanya patah-patah.

"Kalau gitu, aku duluan." Arville memilih keluar dari UKS daripada membuat suasana menjadi canggung. Dia melambaikan tangan dengan tangan kirinya yang masih sehat kepada Celine, Ayu dan Diana dengan semangat. "Kalian hati-hati ya."

Saat ketiganya sudah membalasnya, punggungnya menghilang dibalik pintu keluar.

"Cel?! Gimana ceritanya kamu bisa deket sama Arville?!" Tanya Diana dengan cepat.

"Ha? Kami nggak dekat kok, aku cuman nemanin anak itu ke UKS aja tadi." Balas Celine acuh.

Ayu ikut bertanya. "Kok kamu bisa kenal sama Arville?" Tatapannya menyipit. "Jangan-jangan kalian—"

"Jangan berpikir yang aneh-aneh, Yu!" potong Celine cepat-cepat.

"Makanya ceritainnya dengan singkat, padat dan jelas!" Balas Ayu.

Celine menghela nafasnya lelah. "Aku kenal dia dari lantai tiga,"

Mata Ayu melotot, "Ooh! Jadi makanya itu kamu selalu betah di lantai tiga? Kukira ada apa disana, rupanya ada cowok, toh."

"But still, jangan negatif thinking. Aku sama Arville itu cuman rekan pembagian wilayah. Eh, Arville itu penjajah, udah deh jangan ngomongin anak itu lagi."

Ayu dan Diana saling berpandangan dan mengerutkan kening mereka, seolah dapat bertelepati lewat tatapan mata.

***TBC***

12 Juli 2016, Selasa.

A.N

...Baru minus 31...

Cindyana

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top