3. Celine dan Kenangan Dulu

Ayu mengernyit saat melihat Celine datang dengan kantung mata yang samar di bawah matanya. Padahal, Ayu hampir setiap hari melihat wajah Celine yang cerah. Inilah pertama kalinya ia menemukan mata panda di bawah sana. Hal itu tentu saja sebuah berita hangat yang amat menghebohkan menurutnya.

Diana yang tengah menyalin peer dari Ayu pun bahkan melongo saat melihat kedatangan Celine yang begitu lesu. Separuh jiwanya seperti tak berada bersamanya saat ini. Celine begitu lesu, wajahnya pucat dan matanya menjadi berkantong.

Sebenarnya ini bukan pertama kalinya penampilan Celine bisa seperti itu. Ini kedua kalinya, ya, kedua kalinya Celine berpenampilan seperti ini. Namun inilah pertama kalinya Ayu dan Diana melihatnya.

Pertama kalinya Celine tidak bisa tidur adalah saat Celine menyadari penghapusan memori yang terjadi pada semua manusia yang dikenalnya tentangnya. Malam itu, Celine tidak bisa tidur. Badannya bergerak gelisah ke sana kemari dan dia benar-benar memikirkan akibat dan kelanjutan kesehariannya tanpa ingatan orang-orang itu.

Saat dia kembali, Ayu dan Diana tidak mengenalinya. Bahkan pak Satpam dan guru-guru sekalipun. Tetapi...,

"Celine!" Ayu berseru memekakan telinga Celine. Wajahnya nampak panik, segera saja Ayu mengeluarkan cermin dari sakunya. "Lihat! Matamu ada kantung mata!"

Celine segera menepis tangan yang memegang cermin itu dari hadapannya. Celine juga tahu tentang perubahan kantung matanya tadi pagi, dan tidak ada yang tahu betapa paniknya Celine selain Dyne.

"Biasa saja, kali. Itu matanya Pak Robert yang kantung matanya udah mau sampai pipinya saja, biasa aja," balas Celine acuh.

Pak Robert adalah guru fisika yang mengajar di sekolah itu. Sebenarnya Celine bukan mengejeknya karena dia sudah tidak lagi belajar fisika, bukan. Tapi karena Celine tidak tahu lagi siapa yang hendak dijadikan 'tameng' olehnya. Karena Ayu tidak akan pernah melupakan topik pertama perbincangan.

"Iya. Tapi ..., ini pertama kalinya kamu ada kantung mata." Ayu berjalan memutari Celine dengan gelisah. "Kamu tidak tidur semalam? Ada masalah?"

"Tidak ada." Celine jelas membantah. "Seriusan, nggak ada!" balasnya tegas saat Ayu memincingkan matanya, seolah menanyakan keseriusannya.

"Memang hal yang umum sih, kalau orang lain yang punya kantong mata setipis itu," ucap Diana. "Tapi kalau Celine yang selalu tidur cukup waktu ..., ini terlalu ajaib," sambungnya.

Mereka berdua tahu persis bagaimana tepat waktunya Celine tidur. Beberapa kali mereka akan chit-chat malam-malam dan Celine tidak akan membalas lagi setelah jam sembilan. Ya, walaupun sebenarnya Celine mendalami buku-buku kuno guna mencari sihir untuk membuat ingatan mereka kembali lagi.

"Sudahlah, Ayu, Diana. Biasa aja kali." Dan melihat buku yang dikerjakan Diana, memberi Celine akal. "Lagi ngerjain tugas apa?"

"Matematika," balas Ayu dan Diana berbarengan.

"Eh? Ada tugas matematika ya?" Celine panik sendiri saat dia baru saja mengingat tugas setumpuk yang diberikan oleh guru matematika itu.

"Iyaaa, buruan gih kerjain. Ada tigapuluh soal," tambah Ayu, yang membuat Celine menambah kecepatan geraknya saja.

Celine cukup beruntung karena dia datang kepagian hari ini. Karena itulah, Celine dapat menyelesaikan tugasnya bertepatan dengan bel jam pertama. Matematika ada di pelajaran pertama, semua murid menganggap bahwa orang yang mengatur jadwal sangatlah sadis.

"Kumpulkan PRnya, yang nggak kerjain, Bapak kasih hukuman!" seru Pak Nawas dengan senyum evil di wajahnya. Pak Nawas punya beribu-ribu kejahilan di otaknya, mungkin efek masa muda-nya yang dikekang.

Celine selamat dari maut.

Pernah sekali, Pak Nawas menghukum salah satu muridnya dengan ide konyol yang sangat memalukan. Revan-si Ketua kelas IPS-A yang lupa mengerjakan tugasnya dipaksa untuk berteriak menyatakan cintanya pada Cahya, cewek anak Bahasa yang paling cantik di kelasnya. Sayangnya terkadang cerita tak semulus harapan. Revan ditolak.

Oke, bukan itu sebenarnya yang ingin kita bahas disini.

Seluruh siswa tahu betapa kejamnya hukuman-hukuman yang disuguhkan Pak Nawas, karena itulah semuanya selalu waspada jika ada pelajaran Matematika hari ini. Semuanya dipaksa mengingat, adakah PR di pelajaran itu kemarin. Jika ada, mereka harus buru-buru mengerjakannya.

"Bapak senang sekali, semuanya mengerjakan tugas." Pak Nawas memberikan senyuman lebar yang begitu mengerikan. "Karena tidak ada korban, yang salah paling banyak Bapak hukum, ya?"

Serius, Pak?, kebanyakan mata-mata para murid yang sedang hening itu, terbaca seperti itu.

Tidak ada yang berani menjawab. Yang benar-benar mengerjakan akan bernafas lega karena kemungkinan salahnya hanya sedikit. Yang ngasal, jantungnya kini tengah menari-nari di dalam rongga tubuhnya.

*

Hari ini bukanlah hari yang bagus bagi Arville. Tadi pagi dia terlambat datang ke sekolah, dia ketinggalan bus. Begitu sampai di sekolah, gerbang sudah di tutup dan kebetulan guru yang piket itu adalah Miss Sheren, guru yang cerewet itu. Telinga Arville sampai mati rasa karena terus mendengarnya mengomel dengan bahasa Inggris.

Saat masuk kelas, Pak Robert menanti dengan senyuman seram di wajahnya. Saat Arville mencoba mengingat-ngingat apakah hari ini ada mata pelajaran fisika, Pak Robert sudah duluan menghukumnya keluar kelas.

Setelah ia pikir-pikir, pelajaran pertama bukanlah fisika, tetapi seni budaya. Arville ingat jelas bagaimana keadaan gurunya itu-sudah hamil besar dan tengah cuti melahirkan.

Tidak sampai di situ kesialannya. Bu Sheren kembali mengomel saat dia bertemu dengan Arville di depan kelas. Sekarang, Arville disuruh merapikan lantai tiga-lantai yang tak ada satupun kelas disana karena dihukum oleh Bu Sheren.

Kesialannya seolah tak ada habisnya.

Ponselnya yang berdering sedaritadi tidak dihiraukannya. Saat ini tengah jam istirahat dan Arville yakin pasti temannya yang menghubunginya dan mengajaknya bertanding futsal--hal yang mereka lakukan setiap jam istirahat. Tapi tahu dengan hukuman yang tengah dijalankannya, maka dia memutuskan untuk tidak mengangkatnya.

Sudah terdengar peluit tanda pertandingan seronde di mulai. Arville memutuskan untuk berpura-pura tak mendengar seruan kehebohan itu dengan menyetel musik dari I-Podnya dan menyambungkannya ke earphone-nya.

Arville bergidik ngeri saat menemukan seorang gadis memakai seragam sekolah berambut panjang tengah berdiri di depan balkon. Melihat kakinya masih menapak di atas lantai, Arville pun yakin bahwa orang itu memanglah manusia.

Yah, meskipun sebenarnya Arville salah, sih.

"Celine?"

Tubuh gadis itu menegang, agak ragu-ragu Celine berbalik belakang dan kekagetannya makin parah saja saat matanya bertemu dengan mata Arville. Hampir saja dia memekik, jika saja dia tak berhasil menahannya. Tapi untunglah Celine berhasil melakukannya.

"A-Arville? Kok disini?"

Terlihat jelas Celine mencoba melirik ke lapangan bawah sana. Memang sedaritadi Celine kebingungan saat mencari sosok Arville. Biasanya, dalam sekali tengok saja Celine sudah bisa menemukan Arville di bawah sana hanya dari gaya rambutnya saja.

Tapi kini Celine mengerti mengapa dia tidak bisa menemukan Arville tadi.

"Aku lagi di hukum. Kamu sendiri? Ngapain di sini?"

Celine tampak gelisah, tangannya yang berada di belakang punggungnya sebenarnya tengah bergetar hebat karena Celine begitu takut.

Bukan, Celine bukan takut dengan Arville. Sebenarnya, jauh dari hatinya yang terdalam, Celine sangat senang bertemu dengan Arville di sini. Dia senang bisa berbicara lagi dengan Arville.

Tapi ...,

Dia hanya tidak ingin semuanya terulang persis.

"Kamu sering di sini ya?" Setelah Celine mengangguk pelan, Arville melanjutkan. "Tapi di sini sepi, lho. Kamu nggak takut?"

Wajah Celine makin pucat saat mendengarkan perkataannya. Tidak, tidak lagi, serunya dalam hati. Celine benar-benar tidak ingin mengulang kesalahan yang sama.

"Aku kemari memang untuk mencari hantu. Eh. Iya." Celine memberikan jawaban 'bohong'nya secepat mungkin. Jawabannya tentu saja membuat kening Arville mengerut heran.

"Ngapain nyari hantu?"

"Aku hanya ingin melihat saja," jawab Celine dengan kaku. Tidak, tidak. Apapun yang terjadi aku tidak boleh mengulanginya. Meskipun menyakitkan. Tidak boleh.

"Eh? Apa kau pernah melihat mereka?"

"Tidak pernah," balas Celine jujur. Sebenarnya dia bisa saja melihat yang asli. Ayahnya sering membawa jiwa orang-orang yang telah meninggal. Erm, meskipun bukan tipe yang sama, tapi sepertinya bagi manusia, itu sama saja, kan?

"Memangnya mereka nyata?" Arville terkekeh. "Yasudah, kau lanjutkan saja dulu pencarian hantumu itu. Sementara aku disini merapikan meja dan kursi-kursi rusak ini, oke?"

Celine mengangguk dan menolehkan kepalanya lagi ke arah balkon. Berharap Arville tak melihat senyuman bahagianya.

Jarang-jarang ada waktu untuk bersama dengannya sedekat ini ..., lagi.

Matanya menatap di langit, pikirannya mulai menggali masa lalu yang tersimpan jelas di dalam memori-nya.

Harus dia akui, dia benar-benar merindukan masa-masa itu.

Masa-masa sebelum Ingatan mereka hilang.

***TBC***

23 Juni 2016, Kamis.

A.N

Habis chapter ini, chapter-chapter selanjutnya bakalan FULL Flashback sampai saya selesai nerangin apa yang sebenarnya terjadi. Buanyak, lho, tapi perchapter-nya pendek kok.

Sejauh ini, apa yang kalian pikirkan tentang cerita ini?

CINDYANA H

💎

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top