[-28]. Celine dan Rasa
Arville mengernyit heran.
Sudah dua hari belakangan ini, dia terus mendapati Celine melamun! Bukan hanya saat di lantai tiga disaat mereka tengah berbincang. Bahkan saat ini, di kelasnya sendiri.
Arville diminta walikelas-nya untuk memindahkan proyektor dari kelas 8-1 ke 8-2, karena itulah Arville kemari. Celine duduk di bangku paling depan, pandangannya kosong dan jiwanya seolah terbang entah kemana. Seisi kelas sudah menyapa kedatangan Arville dan melambai-lambaikan tangan mereka ria. Tapi Celine-masih melamun di sana.
"Woy, Ville. Ngapain lo matung di depan?" Tegur Johan, si moodbooster di kelas.
Arville tersadar detik itu juga, bahwa dia terlalu lama berdiri melihat Celine di depan sana. "Ah-Gue bawa proyektor-nya yah, salam."
Seisi kelas 8-1 terkekeh mendengar penuturan Arville. Bahkan sampai Arville meninggalkan kelas 8-1, mereka masih heboh membicarakan Arville.
"Arville masih kalem seperti biasanya."
Ayu melirik Celine yang melamun di seberangnya. Dia tahu bahwa Celine sedang menyembunyikan masalah lagi. Namun kali ini dia tidak mempertanyakannya. Dia tahu persis hasilnya tetap akan sama-Celine tidak akan menceritakan masalahnya.
*
Gelap.
Hari ini langit nampak berawan hitam, mendung dan menutupi keberadaan matahari. Tampaknya akan ada hujan, sebelum jam terakhir selesai.
Celine duduk di meja depan, menopang dagu. Matanya mungkin memperhatikan angka-angka yang ditulis oleh Pak Tyo. Namun pikirannya entah terbang kemana-mana.
Celine teringat kejadian seminggu yang lalu, saat dirinya tak sengaja membocorkan idetitasnya di depan Kayla. Celine sudah melihat 'kelakuan' Kayla yang langsung berubah drastis terhadapnya. Jika biasanya Kayla mengolok-ngoloknya, maka kini Kayla menatapnya sinis dan akan mengatakan, "Apa?"
Sungguh, meskipun sifat Kayla sangatlah jahil, bossy dan suka mengolok, Celine sungguh merasa bersalah padanya. Meskipun Kayla menganggap Celine bukanlah sosok yang lebih penting sekalipun.
Diam-diam, Celine merasa takut jika ada manusia lain yang mengetahuinya. Jangan sampai Ayu. Jangan sampai Diana ..., dan jangan sampai Arville.
Oh, astaga. Membayangkan itu saja sudah berhasil membuat Celine cemas tak karuan. Pokoknya aku tidak boleh asal mengeluarkan sayap selama aku berada di area sekolah atau umum, meskipun setenang apapun tempatnya!, pekik Celine dalam hati.
"Celine," Pak Tyo menegur Celine setelah mengetuk spidolnya ke papan dua kali. "Kerjakan ini."
Celine gelagapan, dia segera bangkit dan mengambil alih spidol. Bukan, Celine gelagapan bukan karena dia tak bisa mengerjakan soal, tapi karena ketahuan melamun di tengah pelajarannya. Celine sebenarnya hanya belajar sekenanya saja, sesuai yang ada di buku paketnya. Dan soal di depannya bukanlah soal yang sulit, menurutnya.
Celine diam-diam merasa beruntung, sebab dia ingat betul Pak Tyo juga suka memberi hukuman pada murid yang tidak bisa menjawab soal di kelas.
"Silahkan duduk,"
Celine ingin tertawa dalam hati melihat ekspresi masam Pak Tyo. Gurunya itu pasti ingin menghukumnya tetapi gagal.
Dan tepat setelah itulah, hujan deras menguyur seluruh kota itu.
*
Celine menatap tirai hujan di depannya dengan sedikit cemberut. Bukan tanpa alasan Celine memilih menunggu di pintu masuk SD. Anak SD sudah pulang sejak tiga jam yang lalu, jadi keadaan di sana lebih sepi dan tenang. Yang pastinya, Celine tidak mau ikut berdesak-desakan di pintu masuk SMP ataupun SMA yang pastinya bisa membuatnya sesak di sana.
Sudah hampir setengah jam sejak bel pulang dibunyikan, hujan deras di depannya belum juga reda, membuat Celine mau tak mau menunggu hujan reda dulu.
Celine sedikit menyesal tidak mendengar saran Dyne. Dyne bersekolah di sekolah yang jauh lebih dekat dari Celine. Memang sih, sekolah ini juga tidak termasuk jauh dari rumahnya, tapi sekolah yang Dyne masuki jauh lebih dekat. Celine sengaja tidak memilih sekolah yang sama dengan Dyne. Hanya satu alasan; Celine tidak mau membuat Dyne malu. Dyne adalah gadis supel yang ramah, aktif dalam organisasi sekolah dan sangat populer, sungguh berbanding terbalik dengan Celine.
Dyne pernah mengatakan bahwa kakaknya memiliki wajah yang lebih rupawan darinya, tapi Celine selalu mengatakan bahwa itu adalah hal yang salah. Buktinya, sampai sekarang belum pernah ada lawan jenis yang berusaha mendekatinya. Celine tidak pernah mendapat tumpukan karangan indah dan surat kaleng di laci belajarnya seperti yang pernah ditebak Dyne.
Memang sih, Celine tidak mempersoalkan itu. Dia mengakuinya, semua malaikat memang berparas rupawan. Yah, memang. Pengecualian untuknya, menurutnya lagi.
Pandangannya menatap tiap tetes hujan dengan risih, aroma petrichor menusuk hidungnya. Mungkin bukan hanya Celine yang tidak menyukai hujan, para malaikat lainpun, mungkin saja. Hujan dapat membuat sayap mereka lembab. Walau Celine harus mengakuinya, dia menyukai suara percikan air saat menyentuh seng di atasnya atau lantai di bawah sana.
Ayu sudah pulang dengan mobil jemputannya, dia mengajak Diana serta. Sebenarnya Celine juga diajak untuk pulang bersamanya, tapi Celine terlalu takut Ayu atau Diana akan mengunjungi rumahnya suatu saat nanti. Dia tidak ingin mengambil resiko jika kedua sahabatnya itu mengetahui idetitasnya.
"Celine?"
Celine sontak berbalik ke belakang, matanya membesar saat melihat Arville disana. Dia tak menyangka akan bertemu dengan Arville di sini, padahal mereka sama sekali tidak berjanji untuk bertemu di sini.
"Kok kamu belum pulang?" Arville meratapi langit sejenak, lalu beralih pandang ke Celine yang masih saja menegang kaku.
"Uh-Aku kejebak hujan. Kamu sendiri, kenapa masih di sini?"
"Aku habis piket," Balas Arville. Menyadari kebingungan Celine, Arville menambahkan. "Tadi mereka main sampai ada dua meja sama tiga kursi yang patah. Tadi kami petugas piket naikin meja ke lantai tiga."
Lalu kok bisa sampai setengah jam?
Celine menduga bahwa Arville mengangkat meja-meja dan kursi-kursi itu sendirian. "Dasar orang baik,"
Seolah mengerti maksud Celine, Arville menyangkal. "Enggak. Aku beneran ngangkat sama petugas piket, kok. Beneran." Celine hanya mengangguk, membuat Arville menghela nafas. "Ngomong-ngomong ...," Arville memberikan sebuah payung lipat ke Celine. "Tadi pas piket, aku ngelihat kamu jalan ke sini."
Celine memincingkan matanya. "Kamu ngikutin aku?"
"Nggak bermaksud," Arville nampak salah tingkah. "Nih, ambil payungnya."
"Terus kamu-nya gimana?"
Arville memperlihatkan satu payung lipat lainnya di tangan kanannya. "Aku punya dua. Yuk, aku anterin kamu sampai persimpangan rumahmu."
Celine tak membantah, dia membuka payungnya dan berjalan mengikuti Arville. Lelaki di depannya ini, memang sangat baik. "Terima kasih ya, tapi udah sore, mending kita pulang masing-masing aja. Lagipula rumahku dekat kok."
"Udah, nggak masalah. Rumahku juga nggak jauh kok." Balasnya sambil tersenyum tipis. "Akhir-akhir ini kamu ngelamun terus yah? Kukira kamu cuman melamun di lantai tiga, eh, rupanya di kelas juga?"
"Sok tahu." Balas Celine sambil memutar bola matanya.
"Tadi aku datang ke kelasmu, kamu pasti nggak nyadar kan?"
Celine terdiam, dia memang tidak menyadarinya. "Ngomong-ngomong, kamu jangan terlalu baik sama orang."
Arville memperlambat langkahnya, membuat mereka berjalan bersisian. Dia menatap Celine sedikit bingung, yah, bingung. "Kenapa?"
"Kamu bisa dimanfaatin kalau kamu kayak gini." Balas Celine datar. Meskipun bukan manusia, Celine cukup jeli juga untuk mengamati keadaan di sekitarnya. Dia tahu manusia terkadang berpura-pura untuk memanfaatkan ketidaktahuan oranglain.
Celine bisa melihat aura putih yang begitu bersih dari Arville. Hanya manusia saja yang mempunyai aura itu. Aura yang semakin gelap, menandakan kotornya hatinya dan yang semakin terang menandakan kebersihan hatinya. Ah, seperti anak bayi polos yang belum berbuat salah saja. Tapi memang wajar sih, dia beraura putih begitu, soalnya Arville baiknya nggak ketolong.
"Aku nggak nyangka bakal ketemu orang sepertimu." Balas Celine menghela nafasnya kasar.
Arville terkekeh kecil. "Aku juga nggak nyangka bakal ketemu orang sepertimu."
"Memangnya aku kenapa?"
"Erm-kurasa cukup aku saja yang tahu," Arville tertawa kecil yang berhasil membuat Celine menerjap dan jantungnya berdetak tak normal.
Berdua lama-lama dengan Arville, bisa membuat jantungnya keluar.
Hujan disekitarnya tak lagi menjadi gangguan baginya. Hujan yang dibencinya ..., menjadi saksi.
"A-aku duluan. Akan kukembalikan payungmu besok." Ucap Celine cepat tanpa menoleh ke Arville sama sekali.
"Oke, hati-hati, bye."
Pantaskah Celine merasakan hujan yang dikhususkan oleh tuhan kepada dunia manusia ini?
Pantaskah Celine merasakan rasa ini?
***TBC***
19 Juli 2016, Selasa.
A.N
Galau abis ya jadi Celine? Sampai sekarang saya masih bingung bagaimana agar cerita ini bisa dibuat happy ending. Kalau manusia mengetahui identitasnya, ingatannya langsung diambil. Kalau (seandainya) Arville juga menyukai Celine, dan mereka saling menyukai, dan Celine tak punya pilihan lain selain berbohong selamanya padanya atau tidak...,
Sudahlah, biarkan tangan dan pikiranku menuntun semuanya menuju arah yang lebih baik.
Melakukan sesuatu memang nggak pernah segampang omongan kan?
CINDYANA
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top