[-17]. Celine dan Janjinya

Namanya Charlos Drac, anak tunggal dari dua malaikat hebat. Ibunya adalah seorang pimpinan malaikat pelindung dan ayahnya adalah malaikat kematian terbaik di dunia itu. Charlos berumur tujuhbelas tahun ini—berbeda empat tahun dengan Celine.

Di dunia malaikat, mereka baru bisa memilih dan menerima pasangannya saat kedua pihak berumur delapanbelas tahun.

Charlos sudah akan diminta untuk memilih pasangannya tahun depan, dan semua gadis-gadis ingin dipilih olehnya. Tapi pilihan Charlos tetap sama sejak delapan tahun yang lalu. Dia akan memilih Celine. Dia akan bersedia menunggu Celine empat tahun lagi. Dia benar-benar tidak sabar menunggu waktu itu datang.

Charlos tinggal memastikan—sebelum waktu itu datang, hati Celine hanya akan diisi olehnya seorang. Dan lima tahun itu masih panjang, menurutnya. Masih ada banyak waktu, Charlos tinggal menunggu Celine membuka hati untuknya pelan-pelan.

Gadis yang disukainya bernama Celine Marc, usianya baru tigabelas tahun. Celine dengan aura misterius yang dominan, siapapun yang bahkan belum mengenalnya pastilah dapat merasakan hal itu. Celine dengan tatapan sedatar garis lurus, hatinya setajam dan sedingin es, tidak akan mencair dengan mudah.

Celine yang berbeda, di matanya. Celine yang tertarik dengan sifat-sifat manusia—berbeda dengan malaikat lain yang umumnya tertarik dengan kehidupan manusia.

Di matanya, Celine benar-benar berbeda.

Charlos mendatangi salah satu malaikat pengatur, menatapnya selidik. "Aku sudah berumur tujuhbelas tahun, aku bahkan sudah memilih posisiku. Tepati janjimu!"

Malaikat pengatur yang bernama Gratte nampak ragu. "Tapi—Charlos, bukankah ini menyalahgunakan aturan?"

"Aku tidak mau tahu, aku sudah melakukan semua syaratmu." Charlos menatapnya dalam, penuh keseriusan di matanya. "Yang perlu kau lakukan hanyalah menepati janjimu."

Gratte akhirnya mengangguk paksa. Gratte hanya bisa menyesal telah melakukan perjanjian dengan Charlos.

Perjanjian mereka tergolong berat—sedikit melibatkan hal dengan dunia manusia. Ayah Charlos, sebagai malaikat kematian terbaik di dunia itu melarang anaknya untuk mengunjungi dunia manusia. Alasannya, Ayahnya menganggap manusia sebagai sosok yang pantang di dekati dan disentuh oleh malaikat. Banyak juga malaikat-malaikat yang memikirkan soal ini—terkecuali orangtua Celine tentunya.

Gratte berjanji akan memperlihatkan kehidupan yang dijalani Celine di dunia manusia. Charlos terlalu penasaran tentang gadis itu. Selama setengah bulan gadis itu pulang, tidak pernah sekalipun dia bercerita tentang hal-hal di bumi. Oh, bukan hanya sebulan ini. Tapi Celine hampir tidak pernah menceritakan apapun.

Memang Celine penutup, tapi sekali tengok saja, Charlos tahu bahwa sudah ada beberapa manusia yang menyentuhnya. Charlos dapat mencium aroma manusia dari Celine.

"Kau tidak perlu cemas. Aku hanya ingin tahu apa yang biasanya dilakukan Celine di bumi, itu tidak menganggu keseimbangan di aspek manapun. Jadi, itu sama sekali tak menyalahgunakan aturan."

"Itu masih tergolong menyalahgunakan, Charlos. Kau melanggar pesan Ayahmu."

Charlos nampaknya cuek-cuek saja dengan pesan Ayahnya. Hal terpenting sekarang adalah mengetahui kebiasaan yang dilakukan oleh gadis yang disukainya.

"Baiklah, aku akan memperlihatkannya untukmu." Ucap Gratte. "Tapi hanya sekali saja."

Charlos merengut, "Iya, hanya sekali saja sudah lebih dari cukup."

*

Hari pertama Celine di kelas sembilan.

Mengapa waktu terasa cepat sekali?

Hampir empat bulan Celine dan Arville tidak berbicara. Empat bulan, seperempat tahun. Ah—mengapa yang itu terasa begitu lama?

"Bagaimana liburanmu kali ini?" Tanya Ayu dengan penuh sindiran.

Celine memutar bola matanya kesal. "Membosankan, bagaimana dengan kalian?"

"Seperti tahun lalu, masih mengasikkan." Ucap Ayu penuh penekanan. "Kurasa untuk tahun depan kamu harus ikut, Cel. Bersamamu, liburan akan makin seru."

Celine tersenyum tipis, dia tidak menolak ataupun mengiyakan. Sebab, dia ingin tetapi tidak bisa.

Diana memperhatikan kerumunan dengan sedikit cemas. "Kalau aku tidak sekelas dengan kalian lagi, gimana?"

"Optimis saja," Ayu tersenyum tipis.

Celine sebenarnya juga sedikit berdebar-debar juga. Bagaimana jika dia sekelas dengan Arville nanti. Tunggu-tunggu-tunggu, mengapa dia memikirkan itu? Bukankah itu berarti diam-diam Celine ingin sekelas dengannya?

Perasaan Celine campur aduk.

Bolehkah dia mengharapkan itu?

"Aku yang akan masuk dan memeriksa kelas kita." Ayu menunjuk mading dengn jempolnya. "Doakan dari sini kalau kita bertiga akan sekelas."

"Semoga saja," tambah Celine dan Diana bersamaan.

Beberapa saat setelah Ayu menarik nafas, dia pun berjalan ke arah mading, mencoba membelah keramaian yang sangat di sana.

"Aku ragu." Ucap Diana sambil menggigit bibir bawahnya. "Ada tiga kelas, dan ada kita bertiga. Peluang kita untuk sekelas itu sangat tipis, Cel."

Celine tersenyum miring menanggapi teori Diana. "Yah, yang penting peluangnya masih ada, kan? Tidak ada yang tidak mungkin."

Diana terdiam, lalu dia melihat ke arah kerumunan itu kembali. Beberapa menit kemudian Ayu keluar dari kerumunan, dengan wajah berseri.

"Kita bertiga sekelas!"

*

Celine memasuki kelas barunya bersama Ayu dan Diana—di kelas 9-1. Yah, Celine dan Ayu mungkin hanya salah satu orang yang menetap di kelas pertama sampai tiga tahun berturut-turut, mungkin bukan kelas baru. Tapi orang-orang baru.

Celine memilih tempat duduk di depan, ada alasan dia memilih duduk di depan. Agar dia dapat mengerti pelajaran yang diberikan guru nanti. Pemikiran malaikat dan manusia tentu saja berbeda.

"Masih ada setengah jam sebelum jam pertama dimulai." Bisik Ayu dari belakang. "Apa yang akan kita lakukan?" Tanyanya ke Diana yang berada di seberangnya.

Diana mengendikan bahunya. "Tidak tahu. Tiba-tiba saja aku gugup sekelas dengan kalian."

Celine dan Ayu tertawa geli.

"Santai saja kali," Ayu mencoba menjangkau bahu Diana dari seberang kursinya.

Celine memperhatikan pintu, dalam hati dia melafalkan kata-kata yang bahkan tidak disadarinya.

Kalau kami sekelas ..., aku akan melanjutkannya.

Celine menunduk, menatap tangannya yang telah bergetar. Dia tidak menyangka dia akan setakut ini.

Kalau kami sekelas ..., aku akan melanjutkan pertemananku dan Arville. Aku yakin Arville bukan kesalahan. Tapi jika seandainya Arville adalah kesalahan ..., aku tidak akan menyesalinya.

Aku berjanji—tidak akan menyesalinya.

Aku janji.

Kata perkata muncul dibenak Celine. Janji-janji yang tak dipikirkannya, terucap keras di batinnya. Tekadnya bulat, jika itu benar-benar terjadi—Arville sekelas dengannya, maka Celine akan kembali berbicara dengannya dan melupakan semua kata-kata yang pernah diucapkan Bu Florence.

Jika itu adalah kesalahan, tuhan tidak mungkin membiarkan takdir berjalan sampai sejauh ini, kan?

Celine egois, ya, dia bahkan mengakui itu. Dia sudah tak bisa lagi membendung perasaannya terhadap lelaki itu. Celine merindukan suaranya, Celine merindukan senyumannya, Celine merindukannya. Celine merindukan semua yang berhubungan dengannya.

Memandang dari jauh, memandangnya diam-diam tidak akan cukup. Arville terlalu berharga. Arville terlalu, terlalu, terlalu penting dihidupnya. Arville terlalu berdampak dihidupnya.

Hanya Arville, hanya Arville dari sekian banyak.

Lelaki yang berhasil membuatnya merasa nyaman dan sesak di waktu bersamaan. Lelaki itu bahkan tidak melakukan apa-apa untuk melakukan itu. Karena Arville terlalu hebat.

Celine telah memberikan hatinya kepada Arville. Dia tahu tentang hal yang biasanya didengarnya di dunianya, atau pesan-pesan yang selalu disampaikan oleh Ibu mereka sebelum ia tertidur dulu.

Orang yang telah mendapatkan hatimu, akan sangat mudah melukaimu.

Celine tahu, Celine tahu tentang itu.

Tapi semuanya sudah terlambat. Waktu yang sudah berjalan tak dapat lagi terputar kembali. Arville sudah terlanjur mendapatkannya, dan Celine tidak mungkin bisa memintanya kembali.

Sekali lagi, Celine melafalkan janjinya tadi. Dia terus saja menyatakan 'Aku janji, aku janji', di dalam hatinya.

Dan semuanya berlanjut, sampai Arville muncul di ambang pintu, pandangannya memperhatikan sudut ke sudut. Celine menahan nafas, dia tidak ingin harapannya melambung tinggi. Bisa saja Arville mencari teman-teman satu teamnya atau mungkin dia punya keperluan lain.

Celine tak berani menatap ke arah pintu, dia tahu bahwa lelaki itu masih berdiri di ambang pintu. Setelah beberapa saat, Celine mengangkat kepalanya dan menatap pintu—memastikan kalau lelaki itu telah pergi.

Hal yang tak di duganya terjadi.

Mata mereka bertemu, dan lelaki itu tersenyum manis ke arahnya.

***TBC***

17 AGUSTUS 2016, RABU.

A.N

Selamat Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke-71! MERDEKA!

Oke, saya akhir2 ini sibuk karena ospek kuliah. Dan setelah kuliah, saya baru nyadar kalau ospek pas SMP atau SMA, gampangnya minta ampun.

Ospek nguras tenaga dan waktu saya. Pergi pagi-pagi dan pulang malam-malam terjadi akhir-akhir ini. Kepala saya, memberi sugesti untuk mengerjakan tugas dengan cepat (and unfortunately, tugasnya ga segampang itu). Mau mikir lanjutan jalan cerita SA pas lagi ngantuk-ngantuknya dengerin seminar aja, saya ga sanggup.

Mau mikirin ending Air Train pas lagi makan siang, saya ga sanggup. Mau mikirin loncatan chapter (karena crop) dari DN aja, saya ga sanggup. Mau ngapa-ngapain susah.


c i n d y a n a

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top