1. Celine dan Awal Mula Cerita
Gadis itu memperhatikan pertandingan futsal di lapangan dari lantai tiga, tempat yang paling strategis baginya untuk melihat pertandingan itu. Disaat raja siang memunculkan dirinya, semuanya hanya bisa menunduk kala melihatnya. Karena itulah gadis itu memutuskan untuk menonton di lantai tiga saja. Meskipun ada saja gadis-gadis yang kegirangan menyemangati pemain futsal itu dari bangku penonton.
"XII-IPS-A!"
Agak bosan, gadis itu menghela nafas, ditatapnya lekat-lekat lelaki bernomor punggung 13 yang tengah menggiring bola dengan cekatan dan mengopernya ke kawan mainnya.
"Celine."
Seseorang menegur gadis itu dari belakang yang membuat gadis itu kaget setengah mati. Dengan sedikit merinding. Tidak banyak orang yang nekad layaknya gadis itu, sampai-sampai memutuskan untuk menonton pertandingan di lantai tiga. Padahal, pertandingan lebih jelas ditonton di lantai dua. Dengan agak ragu, gadis itu berbalik ke belakang.
"Huft." Gadis itu menghela nafasnya. "Kamu bikin aku kaget, Yu."
"Daritadi aku dan Diana nyariin kamu, tahu." Temannya yang bernama Ayu itu berdengus melihat tingkah sahabatnya. "Cel, kamu ngintip Arville dari sini lagi, ya?"
Sontak, wajah gadis itu memerah dibuatnya. "T-tidak, kok! Aku kan memang suka nonton bola, kamu tahu itu kan, Yu?"
Ayu hanya memincingkan matanya, tak percaya dengan kata-kata yang dilontarkan sahabatnya itu. Celine mungkin tidak sadar bahwa Ayu sering memergokinya hanya menatap satu arah ke arah lelaki itu. Tentu saja, Ayu tahu jelas bahwa sahabatnya itu tertarik pada lelaki bernama Arville itu.
Namun Arville bukanlah lelaki yang sepertinya mudah dijangkau, apalagi oleh gadis macam Celine. Arville adalah anak futsal yang terkenal di angkatannya, maupun di angkatan para adik-adik kelas lainnya. Arville punya sifat yang ramah, dan Ayu tahu bahwa Celine tak pernah melihat Arville dari wajahnya saja. Ayu sudah sering mendengar gosip yang kabarnya membawa-bawa nama lelaki itu. Lelaki itu biasanya akan menolak gadis-gadis itu dengan sopan.
"Kamu nggak mau jujur, meskipun sama aku?" tanya Ayu terlihat tak percaya. "Kita sudah hampir tiga tahun berteman, Cel. Aku kenal kamu selama itu, tidak ada rahasia yang bisa kamu tutupi."
Celine tersenyum miris. "Beneran kok, Yu. Aku tidak suka sama Arville."
"Lalu kamu ngapain di lantai tiga sendirian?" tanya Ayu sambil berdiri di balkon dan melihat ke bawah. "Di sini memang tidak terlihat jelas, tapi setidaknya, kamu bisa lihat dia kemanapun dia pergi."
"Bukan kayak gitu, Yu." Celine menghela napasnya lelah.
"Kamu ini kenapa sih? Akhir-akhir ini kamu aneh, tahu nggak?" Ayu berkacak pinggang, menatap sahabatnya itu dengan tatapan penasaran. "Bahkan Diana yang biasanya nggak peka saja, bisa nyadar soal itu."
"Aneh gimana, maksudmu?" Celine mencoba mengelak.
"Akhir-akhir ini kamu sering melamun sendiri, kemana-mana suka sendiri. Diana sempat ngira kalau kamu marah sama kita, tahu?"
Celine meringis. "Sorry, maksudku bukan gitu kok." Celine menatap ke bawah lagi, dimana para pemain futsal itu tengah beristirahat di pinggir lapangan. "Yu, kamu ingat nggak sih, saat kita pertama kali bertemu dulu?"
"Mana mungkin aku lupa, memangnya kenapa?"
Celine lagi-lagi menghela nafas. "Aku keingat," ujarnya sambil mengulum senyum tipis. "Aku kangen masa-masa itu."
Mata Ayu memincing menatapnya curiga. "Alah, bilang aja kamu kangen sama masa-masa dimana kamu dan Arville jadi pengurus kelas bareng. Nggak jujuran banget."
Celine menatapnya galak. "Enggak kok!"
Ayu sempat terdiam beberapa detik, Celine sempat berpikir bahwa Ayu sudah melupakan semua topik yang dibahasnya tadi, rupanya tidak.
"Cel, kalau kamu ada masalah, cerita dong."
Celine tersenyum tipis. "Iya."
Drrt Drrt.
Ponsel milik Ayu bergetar dan menimbulkan suara yang berisik ditengah kehebohan dibawah sana yang hanya terdengar dari kejauhan. Ayu sempat nampak kesulitan mengeluarkan ponselnya dari sakunya.
Ayu memperhatikan ponselnya sejenak, sedetik kemudian dia berdecih kesal. "Cel, kamu disuruh turun. Ada pemain kelas kita yang kakinya lecet. Miss Sheren udah nyariin."
Celine meringis mendengar itu, bukan karena dia harus mengurus temannya yang patah kaki. Tapi dia harus mengurus orang itu sambil mendengar omelan panjang lebar dari Miss Sheren-wali kelas mereka yang suka memarahi dengan bahasa Inggris.
"Serius? Ugh. Aku heran sama teman angkatan kita. Udah tahu mau UN, masih aja jatuh-jatuh kayak anak-anak yang baru belajar jalan," ungkapnya sambil menghela nafas kasar. "Emang pengurus UKS yang dari kelas sepuluh dan sebelas juga hilang?"
"Kamu lupa atau gimana sih? Hari ini kan semua pelajaran diangkatan kita ditiadakan gara-gara murid-murid kelas sebelas sedang study tour. Guru-guru mapel UN semuanya jadi pengawas anak-anak itu. Terus, murid-murid kelas sepuluh hari ini belajar, tapi bukan pelajaran berbau UN." Ayu memperhatikan arloji di pergelangan kirinya. "Ini baru jam sepuluh, tiga puluh menit yang lalu mereka baru saja selesai istirahat pertama."
"Kalau pengurus IPA?"
"Katanya kelas IPA ada yang terkilir. Mereka sedang mengurusnya."
Wajah Celine memerah, seperti menahan amarah. "Kenapa sih, mereka bergantung sama aku? Kalau aku nggak ada, gimana nasib mereka?"
"Sudahlah, jangan ngeluh. Ayo turun saja, lakukan tugasmu."
Sebenarnya Ayu merasa tidak enak juga dengan Celine. Sebelum Celine naik ke lantai tiga tadi, ada seorang murid kelas sepuluh yang mengeluh sakit kepala dan meminta kakak kelas untuk membawa minyak telon. Saat itu, hanya Celine yang nampak hidungnya, jadi, Celine langsung mengurusinya.
Seperti yang Ayu katakan tadi, akhir-akhir ini Celine semakin aneh. Itu memang benar. Sebab, Celine hampir tak pernah mengeluh selama menjadi pengurus UKS nyaris setahun ini. Semuanya dilakukan dengan sukarela dan senang hati. Bahkan saat dia menjadi pengurus perpustakaan tahun lalu, atau menjadi pengurus kebun belakang dua tahun yang lalu. Semuanya dilakukan tanpa mengeluh sedikitpun.
Celine berubah.
*
Para pemain futsal berjalan masuk ke dalam gedung sekolah. Pertandingan telah selesai, dan permainan dimenangkan oleh XII-IPA-A dengan skor beda satu poin. Seorang lelaki berjalan ke arah kursi, mengambil tas hitam dan menyandangnya di bahunya.
"Arville!" Terdengar suara perempuan yang menyerukan namanya.
Yang punya nama pun menoleh. "Apa?"
"Lo nggak mau obatin kaki lo?" tanya perempuan itu. "Lecet, lho. Kayaknya."
Arville mengangguk. "Iya, ini rencananya juga mau ke sana," balasnya pendek.
"Oke deh," balasnya. "Di sana ada pengurus UKS. Kalau nampak yang IPS atau Bahasa, langsung minta saja. Urgent."
Arville mengangguk mengerti, lalu menjauh dari lapangan, menjauhi suara-suara yang masih bersorak, entah bersorak untuk siapa.
"Woi, Ville. Papah gue dong, ini kaki sakit banget!" Vino tiba-tiba entah datang darimana pun merangkul bahu Arville tanpa minta izin. Arville hanya menatapnya jengkel dan menghela nafas lelah.
"Makanya hati-hati, No. Kaki lo tiap selesai tanding, kalau ga patah, pasti lecet."
Vino hanya nyengir kuda. Arville mau tak mau pun memapah temannya itu.
Keduanya berjalan ke arah UKS, beberapa kali keduanya akan berdebat mempersoalkan lengketnya tubuh teman mereka. Vino bersyukur dalam hati, untung saja Arville masih punya hati dan tidak meninggalkannya di lapangan sendirian.
"Yah, UKS-nya rame banget," ucap Vino reflek saat melihat deretan sepatu di luar UKS. "Mana pengurus kelas sebelas, hilang semua lagi."
"Kan masih ada pengurus dari kelas IPS sama Bahasa," balas Arville sedikit malas. "Masuk gih buruan. Lo berat."
Vino pun masuk di dalam, dan duduk di kursi terakhir yang ada di UKS. UKS bukan hanya penuh karena kakak-kakak kelas kurang kerjaan ini, tapi ternyata ada pula adik kelas yang demam tinggi tengah tiduran di ranjang UKS. Keberadaannya tidak terlihat karena tertutup oleh tirai.
"Aih, thanks ya, Ville."
"Iya."
Terlihat Miss Sheren dan Miss Tania kewalahan mengurus orang-orang yang datang, ada pula Ghea dari kelas Bahasa yang membantu, jadi ruang UKS yang tadinya penuh berkurang sedikit. Setidaknya membuat Arville kebagian tempat duduk daripada hanya berdiri memperhatikan mereka semua.
"Miss, pengurus IPA sama IPS mana?" tanya Miss Tania kepada Miss Sheren.
Miss Sheren menjawab setengah cemberut. "Pengurus IPA katanya bantu urusin yang ada di lapangan. Kalau yang IPS ..., ah, kalau Celine, aku tidak tahu. Tadi aku sudah minta temannya mencarinya sih."
Miss Tania hanya termangut-mangut.
Tiba-tiba terdengar pintu UKS terbuka. Tampaklah Celine disana tengah melepaskan sepatunya dengan kilat dan nafas ngos-ngosan.
"Sorry, Miss. Saya terlambat," ucapnya sambil melangkah mendekati para manusia-manusia yang kini tengah menatap ke arahnya.
"Hai Cel. Lama banget sih munculnya. Hatiku bersarang laba-laba menunggumu," goda Dony, diikuti oleh Leon. Mereka memang selalu kompak jika hendak menggoda Celine. "Ampun, mbak Celine. Apa kamu lihat darah yang menetes-netes di lantai UKS itu? Itu darah tanda luka di hatiku," ucapnya berbisik.
"Tadi ditanya, tidak ada yang mau mengaku," semprot Miss Tania menatap Leon dengan tatapan tajam. "Nanti setelah selesai, kamu bersihkan titik-titik darah itu. Macam gadis baru PMS saja."
Tentu saja seisi UKS itu terbahak, apalagi saat melihat ekspresi Leon yang kian berubah saat Celine sama sekali tidak mempedulikannya dan tetap berjalan ke sudut untuk mengambil kotak P3K.
"Oh my god, girl. I've told you already when you accept the agreement. Whenever someone need you, you must be ready to treat them right." Ceramah berbahasa Inggris dimulai, dan hanya dibalas dengan anggukan pelan oleh Celine. "Celine, hey. Look at that boy," Miss Sheren menunjuk Vino, membuat Vino sempat tersentak karena mengira telah berbuat salah. "Go ahead treat his wound."
Celine pun tak berbasa-basi lagi. Dia langsung menyeret kursi di depan Vino dan langsung membuka kotak P3K dan mengerjakan pekerjaannya tanpa bertanya apapun pada Vino tentang kakinya. Vino hanya bisa diam dan meringis sesekali, sedangkan Arville yang ada di samping Vino mengamati pekerjaan yang dibuat oleh gadis itu.
"Celine. Ugh. Masih pendiam saja yah, kamu. Padahal bentar lagi kita udah mau lulus," celutuk Edy yang duduk di sebelah Vino yang lain. Celine mengangkat kepalanya untuk melihat pembicara, lalu kembali melihat objek yang dikerjakannya.
"Cel, habis Vino gue yaa." Dony berpesan. "Luka gue udah dalam banget, seperti dalamnya luka di hati ini, hahahaha." Dony bertepuk tangan nyaring untuk gombalan garingnya.
"Sakit?" tanya Celine kepada Vino saat dia tengah membalut kakinya dengan perban.
Melihat Vino menggeleng, dia kembali melanjutkan pekerjaannya. Celine benar-benar tidak peduli dan tidak mau mendengar gombalan-gombalan iseng yang selalu muncul dari mulut para cowok IPS dari kelasnya.
Sebenarnya bukan pertama kalinya dia digombalin seperti itu rame-rame. Sudah berkali-kali, sampai-sampai Celine yang awalnya bingung hendak merespon apa, menjadi kebal seperti saat ini. Tak jarang pula mereka mengganggunya di kelas, saat Celine sedang menulis di papan tulis. Celine hanya perlu berpura-pura tidak mendengarkan kata-kata mereka dan dia hanya perlu melanjutkan apa yang seharusnya dikerjakannya.
Entah mengapa, cowok-cowok IPA pun kadang ikut-ikutan, membuat jumlah para pengganggu bertambah saja. Mereka sebenarnya melakukannya untuk melihat responnya saja, tetapi tidak pernah sesuai dengan yang diharapkan oleh mereka.
Celine terlalu penutup.
Sejak menjadi murid baru di sekolah ini sekitar dua tahun yang lalu, hidupnya yang dulu berubah drastis. Sangat drastis, sampai Celine sendiri bingung harus berbuat apa.
Celine pindah di sekolah ini saat kelas sepuluh, tapi setelah beberapa bulan kegiatan belajar-mengajar dimulai, membuatnya tetap saja di cap sebagai seorang murid baru. Dia sangat penutup, namun dia bersedia membantu dengan menjadi pengurus kebun belakang. Dia juga menjadi pengurus kelas di waktu yang bersamaan.
Menjadi pengurus kelas ..., bersama Arville.
"Celine, setelah Dony, aku ya. Aku harus pulang cepat hari ini." Arville menambahkan ketika melihat Celine selesai mengikat perban di kaki Vino.
Celine yang mendengar suara Arville pun menegang sejenak tubuhnya. Dia mengangkat kepalanya guna melihat sosok lelaki itu. Dirinya sama sekali tidak tahu bahwa lelaki itu sudah lama duduk di samping Vino dan sedaritadi memperhatikannya membalut luka temannya.
"I-ya." Celine bangkit dari duduknya, dia menyeret kursi yang di dudukinya tadi dan beralih ke tempat Dony.
"Akhirnya giliranku jugaaa." Dony berseru dengan amat lega. "Pelan-pelan ya, nanti waktu bagian kompres alkoholnya. Itu lebih pedih daripada dicuekin kamu." Dony kembali ngakak.
Tapi tetap saja Celine mengerjakannya dengan biasa tanpa mendengar permintaan Dony. Malah, saking kesalnya karena Dony-lah yang ribut sedaritadi, dengan sengajanya Celine menekan-nekan luka di kakinya, membuat Dony meringis pedih.
"Pelan-pelan dong, Cel, ini beneran pedih."
Namun lagi-lagi Celine tak mengubris perkataan Dony. Dia mengusap kapas itu dengan cepat, dengan harapan pekerjaannya cepat selesai.
Karena ...,
Dia punya kesempatan untuk menyentuh Arville, lelaki yang disukainya diam-diam itu.
***TBC***
22 June 2016, Rabu
A.N
FIX, Bingung?
Lanjut ke Next Chapter, dimana semua kebingungan yang ada di sinopsis, dimulai. WHAHAHA.
Salam, CINDYANA H
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top