◇ Bab 2: Orang Asing

Sekembalinya Asher dan Ivy dari taman bunga, Suster memanggil Asher untuk bertemu dengan seorang tamu secara terpisah. Dalam perjalanan menuju ruang itu, Suster memberi nasihat bahwa pilihan ada di tangan Asher untuk menolak atau menerima pengadopsian.

Suster dan Asher pun sampai. Sebagai seseorang yang bertanggung jawab atas panti, Suster masuk terlebih dahulu ke ruangan, sedangkan Asher mengintip dari sela-sela pintu yang terbuka.

Di ruang tamu yang hanya berisikan kursi kayu lapuk, tampak seorang pria asing menggunakan kemeja putih rapi dilapisi jas berwarna hitam sedang berbincang-bincang dengan Suster. Kerah si pria terlipat tinggi hingga ke leher. Lengkap juga dengan dasi kupu-kupu, serta topi tabung hitam di kepalanya. Sebuah penampilan yang cukup mewah.

Walau Asher hanya menunggu dari luar, ia pandai menafsirkan apa yang seseorang rasakan dari cara mereka berekspresi.

Wajah suster memang tersenyum. Namun, senyuman itu tidak terasa menyenangkan. Lirikan mata suster yang tidak tenang. Menandakan bahwa tidak akan ada hal yang baik di sana.

Jarum jam terus berjalan. Asher tidak tahu sudah berapa lama dia menunggu di luar.

Suara lembut dari dalam ruangan pun memanggilnya.

Asher memasuki ruangan. Tidak lupa membungkukkan badan sebagai salam sapa walau tidak sempurna.

Meskipun Asher selama ini tinggal di panti, Asher tahu bahwa pria itu adalah seorang bangsawan dari pakaian yang dikenakannya.

Bangsawan tidak suka orang yang berkasta rendah seperti dirinya. Apalagi yang tidak tahu tata krama.

Semua pengetahuan itu ada dari buku-buku yang ada telah dibaca Asher. Namun, satu hal yang mengusik, mengapa seorang bangsawan datang ke panti asuhan yang sudah tua dan 'kumuh' ini?

Berbagai pertanyaan terus bermunculan dalam benaknya. Asher larut begitu lama mencari jawaban.

"Akhirnya ...! Aku menemukanmu!" Tawa pria itu memecah lamunan Asher. Tak henti-hentinya ia memuji seakan menemukan sebuah batu langka yang telah lama hilang.

"Lihat lah sorot mata itu! Kamu tidak akan bisa menemukannya dimana pun!!" ujar pria tersebut. Tangannya menarik dagu Asher, meneliti lekat-lekat.

Dehaman suster menyadarkan kembali pria aneh itu.

"Ah, maaf. Saya terlalu senang," balasnya sambil merapikan topi bundar tinggi yang dikenakannya. Kemudian meletakkan itu di atas meja. Gerakan telunjuk jari menyuruh Asher untuk duduk di hadapannya.

Emosi Asher sudah berada di ujung tanduk. Ingin sekali ia melayangkan sebuah pukulan. Akan tetapi, Asher sadar bahwa dirinya tidak sebanding. Mau tidak mau harus mengikuti keinginan sang bangsawan.

"Saya Count Lay. Kamu, akan saya adopsi. Berpikir untuk menolak ...?" Mata hijau terang milik Count menajam. Embusan angin tepat di samping telinga Asher membuatnya bergidik.

Bisik kecil terdengar. "Saya akan membunuh gadis yang baru saja bermain denganmu. Siapa ya namanya ...? Oh ... I ... Ivy, ya?"

Mata Asher membelalak. Pria ini bukan orang biasa. Dia tahu cara menusuk sebuah titik kelemahan seseorang.

Asher ingin meronta-ronta. Count menaikkan ujung bibir hingga matanya menyipit. Jempol terangkat, merujuk ke salah satu jendela panti.

Suster bahkan tidak sadar apa yang terjadi. Akan tetapi, mata Asher menangkap bayangan hitam. Itu adalah sesosok pria berpakaian serba hitam dari atas kepala hingga ujung kaki, lengkap dengan masker wajah untuk menutupi identitas yang siap menjalankan perintah kapan pun Count mau. Keringat dingin mengalir dari wajah Asher.

"Kamu mengerti? Maka dari itu, terima baik-baik tawaran saya selama saya masih berbaik hati." Count menurunkan ibu jari ke posisi semula.

Asher tidak punya pilihan. Dia hanyalah seorang anak kecil yang tidak punya apa-apa untuk melawan seorang bangsawan. Asher membalas bisikan Count. "Berjanjilah. Anda tidak akan menyentuh Ivy maupun penghuni lain sebagai gantinya."

Count terkekeh. Dia sangat menyukai sikap Asher. "Baiklah! kemasi barang-barangmu dan tinggalkan panti sebelum pagi tiba. Sesuai perjanjian yang telah kita sepakati."

Asher mengangguk. Sesudah kepergian pria itu, suster cepat-cepat memeluk Asher. Anak itu tersenyum tipis. Asher tidak ingin membahayakan nyawa Ivy, serta semua orang di panti. Keputusannya tidak goyah bagai tembok kokoh. "Suster, aku akan ikut dengan pria itu malam ini. Tolong rahasiakan sementara waktu dari teman-teman lainnya terutama Ivy."

Waktu berjalan dengan cepat. Rembulan sudah memperlihatkan dirinya di antara taburan bintang-bintang. Cahaya remang menyinari Asher yang tengah sibuk mengemas perlengkapan miliknya di kamar.

Dua tas koper yang tergeletak di atas kasur kini telah terisi dengan semua keperluan Asher.

Suster yang sedari tadi berdiri di depan pintu menatap Asher sedih. Suster mendekati Asher, dan berlutut sambil memegangi kedua tangan Asher.

Sepucuk surat dan gelang berlian misterius diberikan kepada anak itu. "Asher ..., bukalah surat yang yang suster berikan saat kamu berumur 15 tahun. Suster yakin, saat itu kamu sudah kuat untuk melindungi diri sendiri." Suster menghela napas panjang.

"Dan untung gelang berlian itu.. Jagalah baik-baik. Siapa tahu kamu membutuhkannya di masa depan. Jangan pernah tunjukkan gelang itu kepada siapa pun sampai kamu sudah membaca isi surat." Asher mengangguk.

Asher mengusap meja yang ia biasa pakai untuk membaca buku. Baru sore tadi ia berkata untuk merahasiakan tentang kepergiannya. Akan tetapi, karena keserakahan Asher ingin Ivy terus mengingat tentangnya, dia pun meninggalkan sebuah lipatan kertas di atas meja.

Bersama sinar rembulan, Asher pergi meninggalkan panti pada umur 11 tahun.

***

Asher ... menghilang ...? Berita itu bagaikan petir di siang bolong.

"T-Tunggu Kyne. Apa maksudmu?" Ivy menggoyang-goyangkan tubuh Kyne kencang akibat rasa tidak percaya akan perkataannya. Rasa kantuk yang sebelumnya menguasai Ivy hempas begitu saja. Menyisakan rasa panik tidak berujung.

"Kemarin, aku mendengar sedikit suara-suara dari kamar Asher. Karena masih mengantuk, aku tidur kembali. Lalu, pagi-pagi sekali aku mengecek kamar Asher, tapi yang kutemukan hanya sepucuk kertas." jelas Kyne memberikan lipatan kertas bertuliskan to: Ivy kepada si gadis.

Kyne paham hal itu akan berat. Namun, Ivy sebagai sahabat Asher harus tahu.

Ivy membuka lipatan kertas perlahan. Jari-jarinya kuat meremas ujung kertas setelah membaca tulisan tangan yang sangat dikenalinya.

ʼMaafkan aku, Ivy.ʼ Isi surat itu.

Memang, Ivy tidak begitu pandai membaca. Akan tetapi, kata-kata yang sengaja dituliskan singkat oleh Asher cukup membuat Ivy paham atas apa maksud yang disampaikan laki-laki itu.

Tetesan demi tetesan air jatuh meninggalkan bekas pudar di atas kertas. Ivy berlari sekencang-kencangnya menuju kamar Asher. Tidak peduli pakaiannya yang masih berupa gaun tidur tipis, Ivy menerjang dinginnya udara pagi. Yang ada dipikiran Ivy sekarang ini hanya ingin memastikan apa yang dikatakan Kyne salah.

Air mata tidak bisa dibendung lagi. Ivy selalu menyekanya sehingga Asher tidak melihat penampilan yang begitu berantakan saat bertemu di kamar.

Kamar yang dituju sudah dekat. Ivy melambatkan laju kakinya dan berhenti tepat di depan kamar milik Asher. Jantungnya berdegup kencang. Bahu Ivy naik turun karena napas yang tidak karuan.

Ivy menarik napas dalam-dalam dan mengetuk pintu.

Satu kali, tak ada jawaban. Dua kali, masih sama. Ivy menatap lama gagang pintu usang itu sampai akhirnya dia berani memegangnya.

"Asher ... aku masuk ya?" ujar Ivy sembari membuka pintu.

Ruangan begitu gelap. Hanya ada cahaya dari luar yang menembus masuk dari jendela. Terlihat kasur masih rapi tidak tersentuh sedikit pun. Buku-buku yang selalu bertebaran di meja Asher sudah tersusun kembali dalam rak.

Biasanya, Asher masih tertidur atau dia sibuk pada buku-buku di mejanya.

Ivy tidak bisa berkata apa-apa. Tangannya mengusap tempat tidur milik Asher. Dingin. Menandakan Asher sudah tidak ada di kamar sedari malam tadi.

Hari itu, Ivy menangis sejadi-jadinya mengeluarkan isi hati yang selama ini dia rasakan. Asher pergi. Mengapa dia pergi tanpa memberi tahu apa-apa?

***


Beberapa hari sesudah kepergiannya dari panti, Asher menatap lurus pemandangan asing dari dalam kereta kuda.

Pikiran Asher masih terpecah-belah membayangkan reaksi Ivy. Kelopak mata laki-laki itu pun terpejam.

"Dasar gadis bodoh ... pasti kamu sedang menangis sekarang ...." gumamnya kecil.

Kereta kuda yang ditempati Asher mendadak berhenti. Seseorang dari luar membuka paksa pintu kereta Asher. Orang itu menarik kerah baju Asher dan menyeretnya keluar. Asher juga dibanting ke tanah.

Penampakan alam sekitar jauh dari apa yang Asher bayangkan.

Tidak ada keramaian seperti desa atau kota. Daun pepohonan sudah mengering dan layu. Menyisakan ranting-ranting kering tanpa tanda kehidupan. Di antara pepohonan kering, ada sebuah rumah kayu tua yang sudah lama ditinggalkan.

"Tempat ini akan menjadi rumahmu," ucap Count sambil turun dari kereta kuda lain. Pria berbaju hitam yang sebelumnya Asher lihat juga berada di samping sang Count. Dia melemparkan belati ke tanah. Asher menatap kosong belati itu.

"Mulai hari ini, kau ... akan bekerja sebagai pembunuh bayaran."

***

Hai guys! Ketemu lagi sama GreenLatte! Ternyata oh ternyata, alasan Asher pergi karena itu ...
Kasihan sekali ya?

Tunggu sebentar ... 😱
Apa maksud kalimat terakhir? Waduh ... bahaya nih, 😁

Nantikan keseruan di bab selanjutnya ya!

Kebetulan, kemarin aku sudah promosi punya kak Rika. Hari ini aku membawakan project teman sejurusan yang tidak kalah menariknya loh!

Katresnan
by JangkrikKejepit

Atma Kadgha
By Shikanoo

Yuk mampir 🙏😁😁

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top