The Lonely Ajin & The Broken Girl
Disclamer : Masashi Kishimoto
.
.
Story au by : Aizuhime
.
.
17+
.
.
Mulmed : Flower Light - Seo Dong Yo ost
.
.
The Lonely Ajin And The Broken Girl
(A Fantasy - Dark Fairy Tale FF)
Write For NaruHina Dark Day 2019
.
.
.
Mini Note : Ajin sang Demi Human. Banyak versi dongeng yang menceritakan tentang mereka, beberapa mitos menyebut Ajin sebagai mayat hidup, mahluk setengah hewan, manusia imortal dengan sistem regenerasi super, dan ada pula yang tidak mempercayai keberadaan para Ajin. Tidak ada yang tahu pasti di jaman apa mereka hidup, atau seperti apa wujud mereka, yang jelas mereka adalah monster- musuh manusia. Dalam cerita ini, aku akan menulis sosok Ajin versiku sendiri. Dengan latar dunia fantasy yang sedikit mengadaptasi campuran budaya timur (China, Jepang, Korea) kuno.
Dianjurkan membaca sambil mendengar mulmed, dan menggunakan wattpad mode dark :). Pict yang dipasang aku ambil dari pinteres, aku cuma edit. Lup u all
🍁🍁🍁🍁🍁
Kekaisaran Kouen, wilayah makmur yang tersembunyi di balik dinding-dinding megah perbukitan. Orang luar biasa menyebutnya kerajaan bunga, karena ratusan jenis bunga tumbuh subur disana. Wilayah Kouen yang berada disisi paling timur memang memiliki iklim sedang dengan lima musim, dingin, semi, panas, hujan, dan gugur, hingga berbagai jenis tanaman bisa tumbuh bergantian tiap musimnya. Negeri itu begitu sejuk, subur, tak pernah sekali pun rakyatnya mengalami kesulitan dalam hal pangan. Berbagai klan hidup saling berdampingan, damai dalam lindungan klan titisan dewa bulan- Hyuuga.
Walau jumlahnya tidak terlalu banyak, klan Hyuuga sangat mudah dikenali dari maniknya yang khas. Seluruh orang di Kouen percaya, manik amethyst serupa bulan purnama itu merupakan anugrah istimewa dari dewa. Bidadari pun akan terkesima oleh kecantikan manik itu.
Para Hyuuga merupakan bangsawan kerabat dekat Kaisar Kouen. Bukan cuma kuat dalam pertarungan, namun juga cerdik, dan bijak sana dalam hal kepemimpinan. Aura berwibawa selalu terpancar dari paras surgawi mereka, hingga klan lain di Kouen akan dengan sukarela tunduk terhadap Hyuuga.
Bagi Hyuuga Hinata, terlahir sebagai salah satu dari Hyuuga merupakan anugrah terbesar dalam hidupnya. Dia selalu mendongak bangga, menunjukan pesona manik rembulannya pada semua orang. Sampai hari naas itu terjadi, dunianya hancur dalam sekejap, membuat Hinata ingin mencongkel kedua matanya sendiri sekarang. Karena salah manik yang selalu ia banggakan itulah, harta terbesarnya sebagai gadis sampai diperjual belikan dalam sebuah lelang.
Masih segar dalam ingatan Hinata, saat orang-orang dari Xin datang memporak porandakan Kouen demi memperluas wilayah kerajaan mereka. Hyuuga kalah telak melawan jumlah pasukan Xin yang jauh lebih besar. Para lelaki serta lansia dibantai habis hanya dalam satu malam, termasuk kakak, dan ayah Hinata. Menyisakan anak-anak yang harus menjadi yatim, serta wanita-wanita malang yang menjanda setelah ditinggal sang suami.
Beberapa orang berkata, Hinata, juga adiknya- Hanabi beruntung bisa tetap hidup setelah perang berlalu. Karena biasanya anak dari kalangan bangsawan akan langsung dibantai tak peduli meski mereka perempuan. Tapi, apakah berakhir sebagai budak yang diperlakukan seperti hewan setiap hari, bisa disebut lebih beruntung dari mati? Lihatlah sekarang, Hinata bahkan berakhir menjadi dagangan di sebuah rumah bordil murahan. Salahkan paras cantik juga manik uniknya, sang tuan malah menjual Hinata pada seorang mucikari untuk dilatih sebagi wanita penghibur. Meninggalkan Hanabi- yang entah bagaimana nasibnya di tempat penampungan budak.
Paras cantik itu mengernyit, harga diri Hinata hancur sehancur hancurnya. Putri seorang jendral besar sepertinya harus berakhir sebagai gadis penuang arak. Hanya bisa pasrah menunggu pelanggan disebuah kamar kecil sembari memainkan lantunan *erhu yang menyayat hati. Mengenaskan.
"Tuan Shimura Danzo sudah tiba."
Peringatan dari penjaga diluar membuat Hinata menyudahi permainan erhu-nya. Tak berselang lama, pintu geser yang menjadi satu-satunya benteng pertahanan bagi Hinata terbuka lebar. Seorang pria paruh baya melangkah angkuh sambil meneliti tubuh Hinata, lantas mengukir senyum pada wajah keriputnya. Sesuai yang dikatakan mucikari, Hyuuga Hinata memang pelacur terbaik mereka. Hanya duduk diam saja, dia sudah terlihat cantik. Gaun putih tipis, juga jubah bewarna hijau giok sangat cocok membalut tubuh sintalnya. Surai indigo itu juga begitu sempurna membingkai manik amethyst Hinata. Belum lagi, dia masih dalam keadaan perawan. Tanpa cacat. "Kenapa kau menghentikan permainan erhu-mu, cantik? Aku sangat menyukai alunan musik yang kau ciptakan."
"Selamat datang, Tuan Danzo." Hinata memaksakan sebuah senyum, membiarkan salah satu petinggi dari Xin itu mulai lancang menurunkan jubahnya. Malam ini merupakan tugas pertama Hinata sebagai wanita penghibur, kelangsungan hidupnya bergantung pada kepuasan seorang Danzo- salah satu dalang dari kematian keluarganya. Bisa-bisanya pria hidung belang itu ingin bercinta dengan putri dari jendral yang dia buhuh saat perang.
Danzo menenggelamkan wajahnya pada tengkuk Hinata yang terekspose, menghirup aroma samar bunga yang akan membuat siapapun kecanduan. Benar-benar memabukkan. Tidak percuma dia mengeluarkan banyak koin emas demi memenangkan pelelangan Hinata.
Dalam diam jemari lentik Hinata melepas sanggul sederhana pada rambutnya, membuat Danzo makin terlena pada kelembutan surai indigo itu. "Semoga aku bisa memuaskan anda.."
Tanpa Danzo ketahui, gadis muda dalam pelukannya tersenyum samar. Menggenggam sebuah tusuk konde berujung tajam sambil membulatkan tekat. Jika dia harus memilih kehormatan atau nyawa, tanpa ragu Hinata akan memilih kehormatan. Dan bila dia harus mati dihukum karena berani kabur, setidaknya ia ingin mencabut nyawa lelaki biadab itu terlebih dulu.
.
.
.
.
.
Gadis itu tampak berlari kebingungan menjauhi riuhnya festival lampion yang berlangsung meriah di pusat kota pemerintahan Kouen. Menerobos kerumunan orang-orang Xin yang sibuk merayakan kemenangan besar mereka malam ini. Beberapa meter di belakang sana, sekelompok lelaki bersenjata mengejarnya dengan tatapan membunuh. Beruntung, ia cukup gesit dalam menghindar. Walau harus beberapa kali jatuh, hingga membuat sandalnya terlepas entah dimana.
Hinata berhasil kabur melompati jendela setelah menusuk leher Danzo menggunakan tusuk kondenya tadi. Sayangnya, pria tua itu seolah memiliki tujuh nyawa, dalam keadaan sekarat berlumur darah pun ia masih kuat berteriak memanggil anak buahnya yang berjaga di sekitar rumah bordil. Membuat Hinata terjebak dalam situasi hidup, dan mati.
Keringat dingin meluncur ketika Hinata sadar sudah seberapa jauh ia berlari. Napasnya tercekat kala melihat pelariannya berujung pada perbatasan Hutan Kabut. Tempat terlarang dimana para Ajin- monster pemakan manusia tinggal. Belum pernah sekalipun Hinata melihat sendiri bagaimana sosok Ajin itu, dia hanya pernah mendengar keganasan mereka dari mulut ke mulut. Kabarnya, mereka adalah manusia setengah hewan yang hidup abadi, punya kekuatan diluar nalar, rupa mengerikan, juga tak berhati. Siapapun yang berani melangkahkan kaki memasuki Hutan Kabut, mereka akan ditemukan mati dalam kondisi tercabik-cabik keesokan harinya. Para Ajin itu memakan organ dalam, dan daging manusia, lalu membuang bagian-bagian tubuh yang tidak mereka sukai ke tepi hutan.
Tak berselang lama, suara derap kaki terdengar mengejutkan Hinata. Suruhan Danzo akan mendekat tak lama lagi, sekali terkejar pasti dia akan tertangkap. "Kami-sama... Aku harus bagaimana?"
Berdiri diam, netra rembulan gadis itu melirik hutan gelap yang terselimuti kabut. Dia akan selamat dari orang-orang yang mengejarnya bila memasuki hutan itu, tak pernah ada manusia yang berani memasukinya. Namun disisi lain, dia mungkin akan mati menjadi santapan seekor Ajin.
Lupakan dulu soal Ajin! Dia akan tertangkap bila terus diam seperti ini. Lebih baik mati menjadi santapan Ajin ketimbang harus kembali melihat wajah memuakkan Danzo. Hinata membuang jauh-jauh rasa ragunya, lantas berlari masuk ke dalam hutan. Tanpa menyadari, sepasang manik biru sedalam samudra tengah mengawasinya dari ketinggian.
"Hyuuga Hinata lari memasuki hutan!" Seru pria bertubuh besar yang memimpin pasukan Anbu milik Danzo. Karena berasal dari Xin, ia tidak tahu bahaya apa yang menanti dalam hutan dihadapannya. "Kejar jalang itu sampai tertangkap!"
CRASH..
Baru selangkah Anbu bergerak, ratusan helaian hitam mirip bulu burung melesat dari atas langit gelap. Bulu-bulu itu begitu keras, dan setajam mata pisau. Satu goresan saja mampu mengoyak tubuh para Anbu, membuat mereka semua tewas dengan mulut mengeluarkan busa- keracunan.
"Jangan berani mengusik tanah suciku. Manusia-manusia kotor." Lelaki bersuara dingin itu tersenyum sinis dibalik persembunyiannya. Kini manik serupa batu safirnya menerawang jauh kedalam hutan. "Gadis ceroboh."
🍁🍁🍁🍁🍁
Semakin masuk kedalam hutan, suasan makin gelap dan mencekam. Hinata terus berlari tanpa bisa melihat jelas jalan yang ia lalui. Akibatnya ia terjatuh cukup keras saat kakinya menabrak akar pohon besar yang mencuat keluar dari tanah. Hinata meringis menahan perih dikaki, dia harus segera bangkit sebelum orang-orang Danzo berhasil mengejarnya. Namun, fisiknya yang sudah terlalu lelah berkata lain. Hinata sudah tidak sanggup berlari lagi.
"AJIN!!" Tiba-tiba Hinata berteriak frustasi. Dadanya naik turun menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. "Kalau kau memang ada, keluarlah! Keluar, dan makan saja aku!!"
Tangisan Hinata pecah, isakan-isakan memilukan terdengar menghapus kesunyian hutan. Memangnya apa yang bisa dilakukan oleh seorang wanita tak bersenjata sepertinya? Apalagi kini tubuhnya sulit bergerak karena terluka. Hanya ada dua kemungkinan yang akan terjadi, ditangkap oleh pasukan Danzo, atau mati dimakan Ajin- kalau mereka memang ada. Menyedekahkan dagingnya pada Ajin jelas jauh lebih baik, ketimbang kembali pada Danzo.
"Kau susah payah kabur dari mereka hanya untuk menjadi santapanku? Menggelikan."
Menyadari atensi suara orang lain dari atas, Hinata otomatis mendongak. Manik amethystnya membulat sempurna- seolah akan melompat keluar saat melihat seorang pemuda melayang dengan gagah di hadapannya. Tidak, dia bukan melayang, tapi terbang. Cahaya rembulan yang terpantul membuat Hinata bisa melihat jelas bentangan sayap hitam di punggung pemuda itu.
Sebenarnya apa yang ia lihat sekarang? Ajin? Bukankah mereka adalah monster buruk rupa? Tapi kenapa pemuda itu berparas begitu rupawan. Dibanding monster, dia lebih cocok disebut malaikat. Alih-alih takut, Hinata malah sempat terpesona pada manik biru yang terbingkai oleh surai keemasannya. "Ajin?" Hinata berusaha memastikan sekali lagi.
"Memangnya ada manusia yang memiliki sayap elang sepertiku?" Hinata membatu saat kuku-kuku tajam Ajin itu menyentuh pipi pualamnya. Dia benar-benar seorang Ajin, lebih tepatnya dari kalangan elang. "Sayang sekali nona, aku tidak bisa memakan hal menjijikan."
"Apa karena anda sudah tahu bahwa aku seorang wanita penghibur?" Hinata tertunduk, tangan kanannya meremas pelan lengan kirinya. "Aku memang kotor... Aku bahkan pernah menjadi budak, dan hampir disetubuhi oleh pembunuh ayahku sendiri.. Wajar bila anda merasa jijik."
Manik safir itu membulat sesaat. Ternyata sampai detik ini pun para manusia bodoh masih saja suka bertikai, membunuh sesamanya sendiri demi meraih keuntungan. "Aku tidak tertarik soal hidupmu yang mengenaskan itu.. Kau pikir Ajin sudi memakan daging manusia? Yang benar saja, kami hanya membunuh manusia kurang ajar yang mengusik wilayah kami."
"Kalau begitu bunuh aku, sebelum orang-orang biadab itu menemukanku!"
"He... Kalau kau memang sangat ingin mati, kenapa tidak bunuh diri saja? Aku bukan malaikat maut."
Hinata tertegun, tak bisa mengatakan apapun saat sosok Anjin yang menjadi harapan terakhirnya berjalan menjauh. Gadis putus asa itu meraih sebatang ranting tajam yang tergeletak tak jauh darinya, air matanya kembali mengalir deras- tak terkendali. Bukan karena takut, hanya saja, siapa yang sudi hidupnya berakhir menyedihkan seperti ini? Tapi dalam kondisinya sekarang, hidup pun tak ada gunanya.
Dari pada hidup seperti di neraka, lebih baik dia mengakhiri semuanya dengan satu tusukan.
SYUT
CRAK
Ranting yang nyaris menembus jantung Hinata patah menjadi dua. Sehelai bulu melesat dari kejauhan, menyelamatkan nyawanya. Ajin itu kembali, sambil terus menanyakan tindakannya sendiri dalam hati.
"Hei, nona gila." Jutaan cahaya redup berpendar ditengah kegelapan. Tiap langkah pria itu diiringi oleh kunang-kunang yang entah dari mana datangnya. Jantung Hinata berdegup kencang kala tangan seorang Ajin terulur kepadanya. Entah karena terlalu takut, atau karena ia merasakan aura memikat yang seolah dapat mengeluarkannya dari kegelapan dunia. "Kalau kau sudah tidak membutuhkan nyawamu itu, berikan padaku."
"Eh?"
"Jadilah pelayanku sampai akhir hayatmu. Sebagai gantinya, aku akan melindungimu dalam hutanku."
Dua tangan itu saling bertautan, menghubungkan takdir baru yang seharusnya tidak pernah terjalin antara seorang Ajin dan manusia.
.
.
.
.
.
.
Bagi Hinata, hidupnya sudah lama berakhir begitu ia kehilangan sang ayah, dan Neji- kakaknya. Asal tak harus bertemu Danzo lagi, Hinata akan pergi kemanapun termasuk ke neraka bersama malaikat maut. Jadi, berjalan memasuki hutan bersama seorang Ajin bukan pilihan yang terlalu buruk. Lagi pula, hutan kabut tidak semengerikan bayangan Hinata selama ini, malahan terlihat cantik, dan membuatnya merasa nyaman.
Tidak memakan banyak waktu, mereka telah sampai ke tengah hutan. Setelah menembus kabut yang lumayan tebal, Hinata terperangah menemukan sebuah pemukiman megah nan begitu sunyi. Di tengah pemukiman itu terdapat pohon sakura yang begitu kokoh, menyebarkan aroma harum khas bunga.
"Mulai sekarang kau akan tinggal di rumahku, Hinata." Hinata terperanjat, hanya bisa menurut seperti orang linglung saat tangannya ditarik menuju salah satu rumah berukuran paling besar disana.
"Bagaimana tuan Ajin tahu namaku?"
"Aku mendengarnya dari orang-orang yang mengejarmu. Dan lagi, aku punya nama, Uzumaki Naruto!" Naruto melirik kesal gadis di belakangnya, setelah hidup ratusan tahun, baru kali ini ia membawa manusia masuk ke wilayahnya. Andai saja desanya masih ramai, dia pasti akan mendapat masalah besar. Mungkin akhirnya dia bisa bersyukur karena menjadi satu-satunya Ajin yang masih melindungi hutan kabut.
"Ma-maaf, Naruto-kun." Hinata terdiam canggung, memperhatikan sekitar. Bahkan sampai ia memasuki salah satu rumah, Hinata belum melihat kehadiran Ajin lain. "Anu... Apa benar aku boleh tinggal disini? Bukankah para Ajin tidak suka bila wilayahnya dijamah manusia?"
"Tidak masalah, aku sudah mengijinkanmu masuk." Safir itu menatap amethyst Hinata yang tampak masih bertanya-tanya. Memang benar Ajin akan langsung membunuh siapapun yang berani masuk ke wilayahnya, karena itu tersebar rumor bahwa mereka suka menyantap manusia. Naruto pun sempat berpikir untuk mencekik Hinata sampai tewas saat kukunya menyentuh wajah gadis itu tadi. Tapi perhatiannya malah terkunci pada manik seindah rembulan Hinata. Bahkan, hanya karena melihat raut wajah gadis itu saja, pikirannya yang biasa tenang menjadi kacau. Padahal kalau soal kecantikan, sudah ratusan kali Naruto menemukan yang lebih cantik. Entah apa yang membuatnya bersimpati pada Hinata.
"Tapi Naruto-kun, apa kau sudah meminta persetujuan Ajin lain?" Menurut yang Hinata dengar, Ajin hidup berkelompok. Walau sampai sekarang hanya Naruto yang dia lihat.
"Tidak ada yang lain... Hanya aku yang masih bertahan melindungi hutan."
"Apa?"
"Kami memang bisa hidup ratusan tahun, tapi bukan berarti tidak bisa mati. Sebagian besar kaumku dibunuh oleh manusia. Hanya karena kami memiliki kelebihan, manusia-manusia sialan itu terus berusaha memusnahkan kami yang diangap sebagai ancaman." Langkah Hinata otomatis terhenti, sebenarnya siapa yang monster? Kalau dipikir lagi, manusia juga sama saja kejinya. Mereka dikendalikan oleh rasa serakah, sampai membunuh mahluk lain demi keuntungan semata. "Tidak banyak dari kami yang tersisa. Demi keamanan, sebagian Ajin memilih hidup menyamar diantara manusia. Bahkan ada beberapa Ajin bodoh yang berusaha menjadi manusia dengan melakukan ritual, dan mempertaruhkan nyawa."
"Maaf.. Seharusnya aku tidak-"
"Tanyakan saja semua yang ingin kau ketahui. Karena kau akan menjadi pelayanku, aku harus meluruska semua pikiran anehmu soal Ajin."
Hinata tersenyum kikuk, dia memang sudah terlalu mempercayai rumor yang beredar di masyarakat. "Kalau Ajin bisa menyamar menjadi manusia, bahkan bisa menjadi manusia dengan melakukan ritual, kenapa anda masih bertahan hidup sendirian di hutan seluas ini?"
"Kau pikir aku sudi mempertaruhkan nyawa demi menjadi mahluk sialan seperti manusia? Sampai kapanpun aku akan tetap menjadi Ajin dan melindungi hutan tempat lahirku ini dari keserakahan manusia."
Hinata mengerti sekarang, kenapa Naruto langsung membunuh orang-orang yang berani memasuki hutannya. Dia hanya berusaha melindungi hal yang berharga baginya. "Kau harusnya tidak menolongku, aku juga manusia.. Keberadaanku pasti membuatmu kesal 'kan?"
"Siapa yang menolongmu?" Napas Hinata tercekat mendapati safir yang menatapnya tajam. Meski samar ia sempat merasakan aura kebencian dari Naruto. "Aku hanya meminta nyawamu. Karena kau sudah mengiyakan, maka aku bebas melakukan apapun padamu."
Dalam hitungan detik Hinata terjatuh kelantai kayu, karena Naruto menerjang tubuhnya tiba-tiba. Saking kagetnya ia bahkan tak sanggup berteriak, hanya diam membatu membiarkan baju yang menutupi tubuhnya dilucuti- tak menyisakan sehelai kain pun. Apa setelah terbebas dari Danzo, kehormatannya akan tetap direnggut?
"Duduklah."
Masih bingung, Hinata mulai duduk dibantu Naruto. Kedua tangannya tampak sibuk menutupi bagian atas tubuhnya yang terekspose. "Apa maksud anda?! Aku memberikan nyawaku, bukan tubuhku!"
"Aku juga tidak tertarik pada tubuhmu." Hinata sedikit terlonjak begitu tangan Naruto menyentuh permukaan kulitnya. Entah sejak kapan pria itu mengeluarkan sebotol salep dari kantung baju, dan mengoleskannya ke sekujur tubuh Hinata. "Kau tidak bisa bekerja dengan tubuh babak belur begitu."
"Tidak perlu diobati... Toh kalau aku membuat kesalahan, kau pasti juga akan memukuliku." Sama seperti yang dilakukan oleh majikan Hinata sebelumnya.
"Aku tidak akan memukul, aku akan langsung membunuhmu kalau kau berbuat salah."
Hinata memalingkan wajah, membiarkan Naruto mengusap tiap luka ditubuhnya. Ia sama sekali tidak bisa mengerti jalan pikiran Naruto. Disatu sisi dia terlihat keji, namun disisi lain Hinata dapat merasakan kelembutan dari cara Naruto menyentuhnya.
"Kenapa melihat sayapku terus?" Merasa risih, Naruto menjentikan jari. Seketika sayapnya menghilang, membuat ia terlihat seperti manusia biasa.
"Kenapa dihilangkan? Padahal kau bebas melihati tubuhku, kenapa melihat sayapmu saja tidak boleh?"
"Apa kau tidak takut, melihat hal mengerikan seperti itu?"
"Apanya yang mengerikan? Aku malah ingin terus melihatnya karena cantik."
"Kau mengejekku?" Naruto menyudahi kegiatannya mengoles salep, lantas melempar jubahnya untuk menutupi tubuh Hinata. "Sayapku telah mencabut nyawa banyak orang."
"Tapi sayap itulah yang sudah menyelamatkan nyawaku."
Naluri Naruto tidak mendeteksi kebohongan dari kata-kata Hinata, ucapannya tulus. Hinata berbeda dari kebanyakan manusia yang pernah ia temui. Mungkin karena itulah, dia masih membiarkan Hinata hidup sampai detik ini.
"Naruto-kun, terimakasih banyak."
Sebuah senyum tipis terlukis, aneh rasanya mendengar kata itu dari orang lain setelah ratusan tahun lamanya. "Hn.."
🍁🍁🍁🍁🍁
Hinata tidak yakin, sudah berapa lama ia menjadi pelayan Naruto. Tiap hari ia lewati dengan menyelesaikan pekerjaan rumah, seperti pelayan pada umumnya. Awalnya, ia sering kesulitan untuk mengolah hewan hasil buruan Naruto- Hinata yang lahir dari keluarga bangsawan selalu mendapat bahan makanan berkualitas yang siap olah selama ini. Namun lama kelamaan dia mulai terbiasa. Sekarang, dia bahkan tidak merasa ngeri sedikitpun walau Naruto menyuruhnya menguliti seekor kelinci.
Pandangan Hinata pada Naruto juga sedikit berubah seiring waktu. Meski dia seorang Ajin, tidak pernah sekali pun Hinata merasakan bahaya tiap berada disisi pemuda itu. Kadang Naruto memang sangat menyebalkan, seenaknya, kerap kali melakukan hal-hal tak terduga yang membuat napas Hinata naik turun. Tapi, dia tak pernah melukai Hinata. Diluar dugaan, kadang dia malah sangat pengertian.
"Masak ini!"
Hinata sedikit terlonjak kaget, hampir saja sapu ditangannya jatuh mengenai kaki. "Tidak bisa ya, kalau tidak mengejutkanku?!" Ia mendengus kesal pada Naruto yang tiba-tiba datang, meberinya bak kecil berisi ikan hidup. Sejak pagi tadi, Naruto memang sudah berpamitan akan mencari bahan makanan di hutan.
Hinata menatap intens dua ekor ikan berukuran sedang dalam bak ditangannya. Sial, kenapa Naruto tidak membunuh ikan-ikan itu sekalian? Dia masih bisa menguliti atau sekedar membersihkan, tapi membunuh mahluk hidup masih terlalu mengerikan. Apalagi ikan-ikan itu langsung menggeliat, dan meloncat-loncat begitu ia berusaha menyentuh dengan ujung jari. "Kyaaaaa!! Kau menyuruhku memasak hewan hidup ini? Tidak mungkin!"
"Pfftt... Bwahahahahahaha." Naruto dibuat tak bisa menahan tawa karena tingkah konyol Hinata. Terlalu kaget melihat ikan yang melompat, gadis itu sampai membanting bak ditangannya. Memperlihatkan raut wajah yang begitu lucu bagi Naruto.
"J-jangan mengejekku dengan tertawa seperti itu! Kalau diajari aku pasti juga bisa!" Hinata berkedip ragu. "Mungkin."
"Aku tidak mengejekmu..." Naruto kembali memasang wajah tenangnya, lantas mengusap wajah Hinata yang basah karena terciprat air dengan lengan jubahnya. "Sudah ratusan tahun aku hidup, setelah sekian lama kau membuatku mengingat caranya tertawa. Bukankah itu bagus?"
Hinata dapat merasakan desiran aneh memanaskan wajahnya. Padahal dia tidak takut pada Ajin dihadapannya, tapi kenapa jantungnya terus berdetak tak karuan sampai terasa sakit? Cinta? Mana mungkin! Terlalu mustahil perasaan itu muncul diantara Ajin dan manusia.
"Lagi-lagi kau memasang wajah seperti itu..." Dua tangan serupa madu yang dingin itu menangkup pipi pualam Hinata. Lama tinggal bersama gadis itu, membuat Naruto sering memperhatikan hal-hal kecil pada diri Hinata. Contohnya, kadang-kadang wajah Hinata tampak memerah entah karena apa, dan saat itu terjadi, Naruto selalu tidak tahan untuk menyentuhnya- merasakan kehangatan dari pipi Hinata. "Hangat... Apa semua manusia sehangat ini?"
"Y-yah..entahlah.." Hinata mengalihkan pandangan panik, memilih mendongak melihat ratusan kelopak sakura berguguran di halaman ketimbang beradu pandang dengan Naruto. Dia harus segera mencari cara keluar dari situasi canggung ini, atau dia akan mati kehabisan napas."Jamur! Aku akan mencari jamur di hutan untuk bahan makanan!"
Naruto terdiam sesaat, mengamati punggung kecil Hinata yang mulai menjauh dari pandangannya. Kakinya pun mulai melangkah pelan, mengikuti gadis itu tanpa diperintah. Entah sudah berapa ratus tahun, ia hidup sendirian dalam hutan kabut, terikat kewajiban melindungi wilayah yang bahkan sudah diabaikan oleh Ajin lain. Hari-hari ia lewati hanya bersama suara hembusan angin, dan hewan-hewan liar. Mungkin karena itulah, kehadiran Hinata benar-benar menyita perhatian Naruto. Suara gadis itu, aroma tubuhnya, tingkah lakunya, juga rasa hangat kala mereka bersentuhan, telah mengisi sudut kosong dalam hati sang Ajin yang selalu kesepian.
"Hei, kenapa mengikutiku?" Meski telah menyibukkan diri dengan mencari jamur pada batang-batang pohon lapuk, Hinata tak bisa mengabaikan sepasang safir yang menatapnya dalam diam.
"Bisa repot kalau kau berjalan terlalu jauh-"
"Kenapa? Takut kalau aku pergi meninggalkanmu sendirian?"
Naruto terdiam sejenak, merasakan gejolak asing dalam dada. Awalnya, dia hanya ingin menolong Hinata karena rasa kasihan. Dia juga tidak berniat membiarkan gadis itu berlama-lama dalam hutannya. Tapi entah sejak kapan, perasaannya berubah. Kehadiran seorang Hinata, membuat Naruto yang sudah biasa hidup sendiri setelah sekian lama, tiba-tiba merasa takut bila harus kembali sendirian. "Ya."
Hinata terperangah, amethystnya terpaku kearah Naruto sepenuhnya. Hari ini, dia mendapati sisi lain sang Ajin. Dibalik bentangan sayapnya yang begitu kokoh, tersembunyi hati lembut yang menggigil dalam kesendirian. Mahluk yang selalu di sebut monster mengerikan oleh orang-orang itu, hanyalah seorang pemuda kesepian. "Aku senang berada disini... Tapi aku tidak bisa selalu bersamamu.. Waktu kita berbeda."
Ajin yang disebut mahluk abadi, dan manusia yang hanya hidup sementara di dunia, mana mungkin mereka bisa bersama?
"Kalau aku menjadi manusia, mungkinkah kita bisa hidup dan mati bersama?" Hinata tak bisa berkutik kala jemari Naruto menyibakan anak rambutnya, pemuda itu makin mendekat, hingga Hinata bisa mendengar dengan jelas debar jantungnya dan Naruto yang saling bersahutan.
"Bodoh! Bukankah ritualnya berbahaya?" Ia masih ingat betul, Naruto berkata bahwa ritual itu mempertaruhkan nyawa. "Lagi pula, kau tidak ingin menjadi manusia 'kan?"
"Aku tidak peduli soal menjadi manusia... Aku juga tidak tahu, kenapa sampai memikirkan hal gila seperti ini. Hanya saja..." Kata-kata Naruto terhenti, sekilas ia teringat saat satu persatu orang terdekatnya memilih untuk meninggalkan hutan. Dulu ia merasa sangat kecewa, pada para Ajin yang memutuskan menjalani ritual- mempertaruhkan nyawa demi menjadi manusia. Namun sekarang, setelah ia melihat dunia selama ratusan tahun, menjadi saksi begitu banyak kelahiran, serta kematian, Naruto memahami satu hal. Apa gunanya dia terus hidup, dan menjadi satu-satunya orang yang tertinggal sendirian? Keabadian bukanlah anugrah, melainkan rantai penderitaan yang membuatnya harus melewati banyak perpisahan. Para Ajin bukannya ingin menjadi manusia, mereka hanya ingin melepas belenggu rantai itu.
"Hanya saja?" Hinata bertanya ragu.
"Aku tidak ingin hidup, di dunia tanpa dirimu." Kehadiran Hinata lah yang membuatnya membuka mata. "Aku tidak ingin ditinggal sendirian dalam waktu yang lama lagi..."
"Kau tidak perlu sampai bersusah payah seperti itu hanya demi bersamaku! Setelah aku mati, kau bisa bertemu lagi dengan orang lain. Kau tidak akan sendirian."
"Aku tidak akan bisa menemukanmu pada diri orang lain.." Naruto tidak bisa menjelaskan isi hatinya dengan benar, karena ia sendiri pun tidak mengerti apa yang tengah ia rasakan sekarang. "Aku tidak butuh orang lain.. Jadi, maukah kau mendukungku?"
Sekuat tenaga Hinata menahan air matanya agar tak jatuh. Satu sisi dia sangat mengkhawatirkan Naruto, tapi disisi lain rasa senang terbesit dalam hatinya. Bila Naruto bisa menjadi manusia, bolehkah dia mengharapkan hubungan yang lebih diantara mereka berdua? Bolehkah dia mencintai malaikat yang telah menolong nyawanya?
"Baiklah, Naruto-kun. Aku akan mendukung keputusanmu, dan selalu mendampingimu. Nyawaku adalah milikmu."
🍁🍁🍁🍁🍁
Dengan begitu telaten, tangan lembut itu terus menyeka peluh yang mengucur pada wajah pucat Naruto. Sambil sesekali membenarkan posisi selimut agar pemuda itu tidak menggigil. Pagi ini tepat hari ke enam Naruto memulai ritualnya. Ritual itu mengharuskan seorang Ajin untuk terus mempertahankan wujud manusianya selama tujuh hari tanpa istirahat. Maka dalam kasus Naruto, dia harus menyembunyikan sayapnya. Terdengar sangat sederhana memang, tapi normalnya Ajin hanya bisa mempertahankan wujud manusianya selama setengah hari, dan harus segera kembali ke wujud aslinya sebelum mati kehabisan energi. Itulah mengapa banyak Ajin yang meregang nyawa- gagal menjadi manusia.
Hinata menggenggam lembut jemari tan Naruto. Kondisi pria itu terus memburuk dari hari ke hari. Tubuhnya tampak kurus dan lemah, membuat hati Hinata sakit. Sering kali ia ingin menghentikan Naruto, tapi Hinata sudah terlanjur berjanji untuk selalu mendukungnya.
"Hinata...." Suara Naruto terdengar serak, memanggil gadis yang sudah merawatnya semalaman. Bibir kering yang pucat itu memaksakan sebuah senyuman. "Aku sudah lebih baik... Kau juga harus istirahat."
Dari deru napas Naruto yang tersenggal-senggal saja, Hinata sudah tahu kalau kalimat itu bohong. Tangannya bertindak sigap memegang lengan Naruto yang tengah berusaha bangkit dari futon. "Jangan bangun! Tubuhmu masih sangat lemah..."
"Aku ingin menghirup udara segar. Menyesakkan rasanya terus terkurung dalam kamar beberapa hari terakhir."
"Baiklah, aku mengerti." Naruto sedikit terperanjat saat Hinata membantunya berdiri. Dia masih tidak menyangka, seorang nona manja yang ia selamatkan karena rasa kasihan, telah berubah menjadi gadis yang sangat bisa diandalkan. Kalau bukan karena Hinata, dia tidak mungkin bisa sampai sejauh ini.
Dengan tubuh kecilnya yang tampak rapuh, Hinata berusaha membopong Naruto sampai ke halaman luar. Meski tubuh Naruto jauh lebih besar, Hinata sama sekali tidak merasa keberatan. Malahan, Naruto terasa seringan bulu. Proses ritual pasti sangat melemahkan fisiknya.
Begitu sampai di halaman, mereka memilih duduk melihat kelopak sakura yang berguguran. Padahal rasanya baru kemarin mereka bertemu, saat kuncup sakura mulai bermekaran. Tak terasa musim sudah akan berganti, membawa rasa resah dalam hati mereka- memikirkan nasib seperti apa yang menanti di masa depan.
"Uhuk...uhuk..." Naruto meringis, menyadari darah mengalir dari mulut dan hidungnya. Dadanya serasa akan pecah. "Akh...hah..."
"Naruto-kun!" Hinata langsung berdiri panik, lagi-lagi Naruto mengeluarkan darah. Dia berniat mengambil ramuan obat, namun tangan Naruto meraihnya lembut. Memaksa Hinata kembali duduk disamping Naruto. "Aku harus mengambil obat untukmu..."
"Tidak perlu... Yang seperti ini bukan masalah besar." Naruto menyandarkan kepalanya pada bahu Hinata, membuat gadis itu dapat merasakan kelembutan surai kuningnya. Aneh, rasa sakitnya berkurang hanya dengan berada disamping Hinata. Aroma samar bunga dari tubuh Hinata bagaikan lullaby yang mampu membuat Naruto tenang. "Satu hari lagi...dan aku akan menjadi sama sepertimu."
"Hm..." Hinata menahan tangisnya, sambil terus berdo'a dalam hati agar Naruto bisa bertahan sampai besok.
"Hinata, terimakasih..." Kalimat Naruto terhenti, terlalu sulit baginya menemukan kata yang tepat untuk menggambarkan isi hatinya. Terlalu banyak perasaan baru yang dia temukan saat bersama gadis itu. Perasaan yang seharusnya tidak Ajin rasakan pada seorang manusia. Karena itu, Naruto lebih memilih untuk menunggu sedikit lebih lama. "Kalau ritual ini berhasil, ada banyak hal yang ingin kukatakan padamu..."
Tidak ada jawaban yang terdengar dari mulut Hinata, dia hanya merengkuh Naruto dalam pelukannya. Pelukan yang begitu hangat dan kuat.
.
.
.
.
.
Setelah merawat Naruto, Hinata pergi ke hutan demi mencari bahan makanan. Dia tampak puas dengan sekeranjang buah-buahan yang ia dapat, dan memutuskan untuk segera kembali sebelum matahari terbenam. Namun niat Hinata harus pupus, begitu segerombolan orang berpakaian hitam memasuki hutan dan mencegatnya. Tubuhnya sontak bergetar hebat ketika ia sadar siapa yang tengah menghalangi jalannya.
"Anbu..." Mengapa mereka bisa ada di sini? Apa karena Naruto sedang dalam kondisi yang tidak bisa melindungi hutan? Tapi bagaimana mereka bisa tahu?
"Kau tidak akan bisa kabur dariku, Hyuuga sialan." Mata Hinata seolah akan meloncat keluar, melihat kegadiran orang yang paling dibencinya- Danzo keluar dari kerumunan. "Kau pikir aku akan diam saja setelah apa yang kau lakukan?"
Bila sudah menginginkan sesuatu, seorang Danzo akan melakukan cara apapun demi meraihnya. Termasuk Hinata. Danzo memang sangat terkejut saat mengetahui pasukan yang ia perintahkan untuk menangkap jalang itu ditemukan tewas di tepi hutan. Tapi cerita tentang keganasan Ajin penghuni hutan tidak cukup untuk memudarkan ambisinya. Dengan persiapan matang ia mengirim salah satu orang kepercayaannya demi menyelidiki hutan itu secara diam-diam. Sampai akhirnya nasib baik berpihak padanya, satu-satunya Ajin pelindung hutan sedang dalam keadaan sekarat karena sebuah ritual bodoh, memberi Danzo kesempatan besar.
Pikiran Hinata kosong, dia harus segera lari dari Danzo.
"Apa kau sudah tidak peduli pada Hanabi?" Gertakan Danzo mampu menghentikan langkah Hinata.
"Apa yang kau lakukan pada adikku?"
"Kalau kau lari dariku lagi, jangan salahkan aku jika hal buruk sampai menimpanya."
Hinata menghela napas berat. Dia lupa, bahwa nasib Hanabi yang masih menjadi budak berada di tangan Danzo. Hinata mungkin bisa berlari kabur, tapi bagaimana dengan Hanabi? Dia hanyalah seorang anak-anak. Mana mungkin dia mengabaikan Hanabi, demi kebahagiaannya sendiri. Walau sebenarnya, Hinata masih ingin berada disisi Naruto. "Bebaskan Hanabi. Beri aku waktu sehari saja, dan aku bersumpah akan kembali padamu."
"Sayang sekali, bukan dirimu lagi yang kuinginkan."
Hinata bergerak refleks menangkap belati yang dilempar oleh Danzo. "Apa maksudmu?"
Mengetahui keadaan sang Ajin, Danzo menjadi serakah. Dengan menggunakan Hinata yang sudah dipercaya oleh Ajin, dia akan menyingkirkan monster bodoh itu, dan mendapatkan wilayah hutan luas yang tidak pernah dijamah oleh manusia. "Bunuh Ajin itu sebagai ganti kebebasan adikmu."
.
.
.
.
.
Bibir pucat itu tersenyum cerah, menyambut kepulangan Hinata. Sudah sejak tadi Naruto menunggunya. "Aku baru akan menyusulmu ke hutan..."
Naruto mengernyit, menyadari ada yang berbeda dari Hinata. Gadis yang selalu cerewet itu tampak diam seribu bahasa. Sambil terus tertunduk, ia berjalan dengan tatapan kosong mendekati Naruto.
Tubuh Hinata bergetar, tangannya menggenggam kuat belati yang ia sembunyikan dibalik lengan baju. Sesekali maniknya melirik kebelakang, berusaha mengingatkan diri sendiri bahwa kini Danzo dan anbu tengah bersembunyi dibalik semak belukar, mengawasinya. Kalau sampai dia gagal menancapkan belati itu ke jantung Naruto, nyawa Hanabi akan menjadi taruhan. Hinata tidak mungkin membiarkan keluarganya direnggut lagi.
"Hinata?"
Air mata meleleh dari amethysnya. Padahal tinggal sehari lagi, Naruto akan menjadi manusia dan mereka bisa hidup bersama. Begitu banyak hal indah yang Hinata bayangkan, seperti membangun sebuah keluarga berasama Naruto, mengabdikan seluruh hidupnya pada sang penyelamat yang telah mencuri hatinya. Namun sayang, semua harapan Hinata harus berakhir sebagai dongeng yang tak pernah terwujud. Naruto pasti akan sangat membencinya yang memilih berkhianat. Jangankan Naruto, Hinata tidak akan pernah bisa memaafkan dirinya yang begitu tak berdaya dalam kendali Danzo. Sekarang dia hanya bisa berharap, Naruto bersedia menunggunya menyusul ke nirwana.
Hinata akan mengakhiri nyawanya setelah membunuh Naruto, dan menyelamatkan Hanabi.
"Hinata ada apa? Apa kau baik-baik saja?" Melihat peluh dan air mata membanjiri wajah Hinata, Naruto merasa takut. Dia bahkan mengabaikan keberadaan belati yang terhunus kearahnya. "Maafkan aku... Karena kondisiku, kau pasti kesulitan."
Seketika itu juga, Hinata menjatuhkan belati ditangannya. Bagaimana bisa dia berpikir untuk menghabisi Naruto? Pemuda itu telah menyelamatkan nyawanya, memberinya tempat berlindung, bahkan mengenalkannya pada cinta. Tapi Hinata malah menyeret Naruto dalam masalahnya. "Maafkan aku...Naruto-kun..hiks..Maaf....maaf.. Seharusnya aku tidak melibatkanmu..."
"Apa maksudmu, Hinata?"
"Tidak ada waktu lagi, cepat lari!" Hinata berbisik pelan. Tak lama lagi Danzo pasti akan menyadari kegagalannya dan memerintahkan Anbu untuk menyerang mereka berdua. Naruto yang dulu mungkin cukup kuat untuk mengalahkan Anbu, namun sekarang dia tidak boleh mengeluarkan sayapnya. Usaha Naruto untuk menjadi manusia akan sia-sia. Selain itu, sekali gagal dalam menjalankan ritual, kecil kemungkinan Naruto bisa melakukan ritual lagi di masa depan nanti. Organ tubuhnya yang sudah melemah pada ritual pertama, tidak mungkin kuat jika harus mengulang semua ritual dari awal. "Apapun yang terjadi padaku, setidaknya kau harus selamat."
Dua pasang mata yang mengawasi Hinata dibalik kegelapan mendelik tajam. Dia sudah menduga, Hinata tidak bisa diharapkan. Tapi setidaknya dia sudah berhasil mengetahui tempat Ajin bersembunyi. "Habisi mereka.."
Seketika itu puluhan anak panah melesat kearah Naruto. Hinata yang menyadarinya lebih dulu langsung menghalau panah itu, menjadikan dirinya sebagai tameng. Darah segar mengalir, mengubah warna bajunya menjadi kemerahan.
"HINATA!" Naruto spontan menagkap tubuh Hinata yang terhuyung kebelakang. Safirnya tampak bergetar, masih kesulitan mencerna semua hal yang terjadi begitu cepat.
"Naruto-kun...." Entah sejak kapam air mata mengalir deras dipipi Naruto, kemarahan dan kesedihan berkecamuk dalam hatinya sekarang. Membuatnya tak tentu arah, sampai sentuhan lembut itu menyadarkannya kembali. Naruto meraih tangan Hinata yang mengusap air mata dipipinya. "Ka-kau harus tetap hidup....."
"Jangan bicara lagi! Aku akan mengobatimu!"
Kelopak mata itu mulai tertutup, perlahan menyembunyikan atensi ametyst yang begitu Naruto sukai. Dengan segenap tenaga tersisa, bibir kecil Hinata berusaha membisikan sebuah kalimat sebelum detak jantungnya berhenti. "Terimakasih....sudah membuatku jatuh cinta."
"Aku ju-" Tangan itu jatuh begitu saja dari genggaman Naruto. Selang beberapa detik, ia sudah tidak bisa merasakan napas Hinata lagi. Hati Naruto hancur berkeping-keping, begitu ia menyadari gadis yang menjadi alasannya hidup tak lagi bernyawa. Hinata telah meninggalkannya, sebelum dia berhasil menyelesaikan kalimatnya. Hari ini, ketika dia berpikir akan hadir hari esok yang membahagiakan, takdir justru membawanya pada sebuah perpisahan. Membuat Naruto harus menelan kenyataan pahit, bahwa cintanya berakhir bahka sebelum sempat ia utarakan.
"Wanita dungu.." Safir Naruto menatap nyalang kearah sekelompok pria yang muncul dari balik kegelapan. "Padahal aku hanya memberinya tugas mudah. Sayangnya dia malah memilih mati, ketimbang memperoleh kebebasan dengan menghabisimu. Tapi jangan khawatir, aku akan segera mengirimu ke neraka bersamanya."
"Mati..." Sebuah senyum terukir dibibir Naruto. Senyum yang mampu membuat Danzo dan anak buahnya membeku.
Dari balik punggung pemuda itu, sepasang sayap hitam mencuat memancarkan hawa kematian yang kuat. Bersama kepergian Hinata, Naruto menyerah untuk menjadi manusia. Dia sudah tidak peduli lagi soal ritual, dan mengerahkan seluruh sisa tenaganya demi berubah menjadi monster. Mengabaikan rasa sakit yang mengoyak seluruh tubuhnya.
"Bunuh Ajin itu!!!"
"Kau harus tetap hidup..."
Rahang Naruto mengeras, tanpa berpindah satu centi pun dari tempatnya, ia mengeratkan rengkuhan tangannya pada tubuh Hinata yang sudah tak bernyawa. Tanpa gentar sedikit pun, safir itu menatap kosong kearah orang-orang bersenjata yang mengincar nyawanya. "Aku tidak akan mati.."
Hanya dengan satu serangan dari bulu-bulu Naruto, hutan kabut berubah menjadi lautan darah. Malam sunyi menjadi saksi, bagaimana Danzo dan pasukannya dibantai dalam hitungan detik oleh monster berdarah dingin- Naruto sang Ajin.
🍁🍁🍁🍁🍁
"Akhir macam apa itu? Kenapa kau menceritakan dongeng tidak menyenangkan begitu?!" Gadis bersurai merah itu sampai tidak bisa menahan air matanya begitu cerita dari sang junior usai. Make up pada wajahnya tampak luntur, meninggalkan jejak mengerikan. Padahal hari ini Sara harus menghadiri pesta perpisahan dari kantor, karena dia akan dipindah tugaskan, tapi Menma malah menceritakan kisah sedih yang merusak penampilannya. "Kenapa takdir kejam sekali pada mereka?! Ajin dan gadis itu berhak bahagia."
"Bukahkah kau yang memaksaku bercerita agar tidak mengantuk?" Safir itu menatap tajam kearah Sara, sedangkan tangan tannya masih sibuk membereskan barang-barang sang senior yang akan dibawa pergi. "Bukan takdir yang salah... Merekalah yang tidak tahu batasan. Mereka lupa kalau tidak pernah ada akhir bahagia antara monster dan tuan putri."
"Dasar Menma! Kata-katamu selalu saja menyedihkan." Sara mencubit pipi bertanda lahir tiga goresan unik itu gemas. "Menurutmu, apakah mahluk seperti Ajin benar ada?"
"Itu hanya dongeng." Ia menghela napas singkat, setidaknya itulah yang dipercaya orang-orang.
Ingatannya kembali menerawang jauh ke masa lalu.
Ratusan tahun telah berlalu, entah sudah berapa kali Kouen berganti nama hingga menjadi Jepang. Selama itu pula, Naruto terus bertahan hidup, menyamar diantara manusia dan mengubah identitasnya tiap jaman berganti. Mengikuti keinginan terakhir gadis yang telah membawa hatinya mati dimasa lalu.
"Apa yang kau lamunkan sampai wajahmu berubah muram begitu?"
"Bukan hal yang penting."
Sara menghela napas singkat, Uzumaki Menma memang seorang pemuda misterius yang sulit ditebak. "Dari pada melamun begitu, lebih baik kau gantikan aku menjemput anak baru itu di depan."
"Pengganti sementaramu sudah mulai kerja?"
"Ya, dia sudah di depan gedung sekarang. Aku memintanya menunggu didepan karena takut dia tersesat." Sara mengacak surai kekuningan menma sebelum melangkah pergi. "Akur-akurlah dengannya!"
.
.
.
.
.
.
Mengikuti keinginan Sara, Naruto berjalan keluar kantor demi menjemput si anak baru. Langkahnya terhenti kala angin berhembus lembut, menerbangkan kelopak-kelopak sakura kearahnya. Safirnya mendongak keatas, menantang langit biru yang tampak cerah. Tak terasa musim semi kembali hadir, membawa berjuta kenangan pahit dalam benaknya.
"Anu.... Apa Anda tuan Uzumaki Menma yang dikirim nona Sara?"
Suara kecil yang terdengar lembut itu mengalihkan perhatiannya pada langit. Aroma bunga tercium samar, membuat detak jantung Naruto bergemuruh merasakan kerinduan. "Ya?"
"Ah! Perkenalkan, saya pegawai baru yang akan menggantikan nona Sara." Surai indigo itu bergerak pelan tertiup angin, menampakkan sepasang netra serupa bulan yang sempat tertutup poni. Senyum lembut terukir pada bibir sang gadis, membuat berbagai macam perasaan berkecamuk dalam dada Naruto sampai rasanya mau pecah. "Nama saya Hinata, mohon bimbingannya."
Saat tangan seputih porselen itu terulur kearahnya, waktu Naruto yang lama terhenti kembali berputar. "Sudah lama aku menunggumu..."
Hinata sempat tertegun melihat ekspresi menyesakan yang tersembunyi dibalik senyum pemuda itu. Uzumaki Menma, mengapa ia seolah bernostalgia padahal baru pertama kali mereka bertemu?
Kedua tangan itu saling bertautan. Kembali mengikat takdir lama yang menuntut untuk diselesaikan.
End
🍁🍁🍁🍁🍁
Note :
- Erhu = Alat musik gesek traditional yang suaranya mirip biola. Berasal dari China, namun sering juga di jumpai dalam cerita berlatar timur kuno.
🍁🍁🍁🍁🍁
Aku tau ini feelnya gagal banget 😭. Karena ada batasan word, jadi banyak narasi yang kupotong, dan alur yang ku skip bahkan kuubah secara paksa. Yah, seenggaknya aku bisa ikut meramaikan event naruhina untuk pertama kali 😂
Kalau aku bikin ver panjangnya yang lebih dramatis, menurut kalian gimana? 😂
Oiya, jangan lupa ramein event NHDD2019 dengan baca cerita yang lain ya!
Bisa cek entri lan disitu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top