Lembar 171

    "Raja tanpa takhta."

    Netra Guru Dong Il membulat, terkejut akan perkataan Changkyun. "Apa yang baru saja Pangeran katakan?"

    "Siapa dia?"

    "Tunggu sebentar. Sebelum itu, aku ingin bertanya pada Pangeran ... dari mana Pangeran mendengar hal itu?"

    "Pagi ini aku bertemu dengan seorang nenek di jalan, dan dia mengatakan hal itu."

    "Nenek?" Guru Dong Il tampak mempertimbangkan sesuatu. Mencoba menebak siapakah yang dimaksud oleh Changkyun, karena tak banyak orang yang mengetahui tentang ramalan itu.

    "Bisa Guru menjelaskannya padaku?"

    Guru Dong Il tersadar dari lamunan singkatnya dan tampak gugup. "Sebenarnya, itu adalah bagian dari ramalan yang tabu. Aku pikir tidak ada hal semacam itu ... jadi, akan lebih baik jika Pangeran tidak tahu."

    "Tapi nenek itu mengatakannya di depanku. Jika Guru memiliki waktu luang, mohon beritahukan padaku apa arti dari perkataan itu."

    Guru Dong Il terlihat resah. Namun tak juga bisa menghindar. Ia pun kembali memandang Changkyun dan berucap, "kalau begitu ikutlah denganku, Pangeran."

    Guru Dong Il membimbing langkah sang Rubah memasuki paviliunnya, dan keduanya berakhir dengan duduk berhadapan di ruang kerja Guru Dong Il.

    "Aku harus memulai dari mana? Sangat sulit mengungkapkan sesuatu yang sudah lama berlalu," ucap Guru Dong Il dengan gelisah.

    "Katakan yang menurut Guru penting ... tentang ramalan itu, aku ingin tahu apa isinya."

    "Ramalan itu datang dari seorang Cenayang. Tapi ramalan itu disembunyikan agar tidak terjadi hal yang buruk pada waktu itu. Bahkan Baginda Raja sendiripun tidak diberitahu tentang ramalan itu."

    "Apa isi ramalan itu?"

    "Dahulu, ketika Pangeran Taehyung lahir. Seorang Cenayang mengatakan bahwa kelak, Joseon akan memiliki tiga Raja ..."

    Dahi Changkyun sedikit mengernyit. Tentu saja hal itu terdengar tak masuk akal.

    Guru Dong Il melanjutkan, "Raja yang pertama adalah Raja yang diakui oleh rakyat. Dia akan menjadi Raja yang mengabdikan diri sepenuhnya pada rakyat dan merengkuh siapapun tanpa terkecuali ... Raja yang ke dua adalah Raja tanpa kekuasaan. Dia akan menjadi Raja tanpa bisa memenuhi keinginan rakyatnya."

    "Boneka politik," sahut Changkyun.

    "Aku tidak bisa menyimpulkan hal itu. Tapi itu mungkin saja terjadi."

    "Lalu yang ke tiga?"

    "Yang ke tiga adalah Raja tanpa takhta. Dia akan berkuasa meski tanpa mendapatkan pengakuan sekalipun. Cenayang itu mengatakan bahwa ramalan terburuk jatuh pada Raja tanpa takhta."

    "Apa yang dia katakan?"

    Guru Dong Il menatap ragu. Pada dasarnya dia dan kedua Guru Besar Gwansanggam sudah mengetahui pada siapa ketiga ramalan itu terjatuh.

    "Mohon katakan padaku, Guru."

    Dengan berat hati Guru Dong Il lantas berucap, "dia akan membuat sejarah yang kelam. Akan ada banyak darah yang mengiringi jalannya. Dia satu-satunya orang yang akan membebaskan pedang di tangannya."

    "Dia akan membunuh semua orang?"

    "Tidak semua. Hanya saja ... ramalan itu akan jauh lebih buruk jika jatuh pada orang yang salah. Raja tanpa takhta, dia tidak memerlukan takhta untuk menunjukkan kekuasaannya"

    "Siapa orang itu?"

    Guru Dong Il terdiam. Menyelami netra dingin milik sang Rubah yang menuntut sebuah jawaban. Hingga pada akhirnya jawaban itu Guru Dong Il berikan. "Bayi laki-laki yang lahir saat gerhana matahari."

    "Adakah anak seperti itu?"

    "Ada atau tidaknya, tidak akan menjadi masalah besar karena aku yakin bahwa anak itu telah belajar menjadi lebih bijaksana. Jika Pangeran bersedia belajar menjadi lebih bijaksana lagi, Pangeran tidak perlu mengkhawatirkan tentang ramalan itu."

    "Aku ... akan membunuh Raja tanpa takhta itu."

    Batin Guru Dong Il tersentak. Namun saat itu Changkyun beranjak berdiri dan sekilas menundukkan kepalanya sebelum pergi tanpa mengucapkan salam perpisahan.

    Guru Dong Il menatap prihatin punggung pemuda yang perlahan menghilang dari jangkauan pandangannya yang kemudian terjatuh pada meja.

    Dengan sesal yang mengambil sedikit bagian dari hatinya, pria tua itu bergumam, "bagaimana kau bisa membunuh dirimu sendiri, nak?"

    Suara langkah kaki yang beradu dengan lantai kayu datang mendekat dan menarik perhatian Guru Dong Il. Guru Heojoon menaiki tangga dan segera menghampiri Guru Dong Il yang menatapnya dengan netra yang memicing.

    Guru Heojoon melempar bagian bawah pakaiannya ke belakang sebelum duduk di tempat yang sebelumnya ditempati oleh Changkyun.

    "Pergilah, aku tidak berbicara dengan orang mabuk," ucap Guru Dong Il dengan malas sembari menyandarkan punggungnya.

    "Apa yang kau bicarakan dengan anak itu?"

    Guru Dong Il menatap jengah. "Percuma saja aku bicara padamu jika setelahnya kau tidak akan mengingat apapun. Sudah, tinggalkan tempatku."

    Guru Heojoon dengan cepat mengambil sebuah buku yang kemudian ia lemparkan ke arah Guru Dong Il dengan kesal.

    Guru Heojoon kemudian berbicara dengan suara yang lebih keras, "kau tidak lihat mataku terbuka lebar!"

    "Eih ... kau pikir aku buta? Matamu saja merah, sudah jelas kau mabuk."

    Guru Heojoon tak terima, "mataku merah karena aku kurang tidur, bukannya mabuk! Apa kau orang bodoh!"

    Guru Heojoon memalingkan wajahnya dan menghela napas beratnya. Ia kemudian memandang Guru Dong Il tanpa minat dan berucap dengan nada bicara yang kembali menurun, "kenapa kalian bicara serius sekali? Apa yang kalian bicarakan?"

    Wajah Guru Dong Il kembali menjadi serius. "Ramalan itu. Raja tanpa takhta."

    Guru Heojoon tampak terkejut. "Kau mengatakannya pada anak itu?"

    "Dia yang datang padaku dan menanyakannya."

    "Sungguh? Dari mana anak itu tahu tentang ramalan itu?"

    "Dia mengatakan bahwa dia bertemu dengan seorang nenek di jalan, dan nenek itu mengatakan hal itu padanya ... tidak banyak orang yang tahu tentang ramalan itu. Aku curiga jika yang dia temui adalah Min Ok."

    "Min Ok?"

    Guru Dong Il mengangguk. "Kita tidak bisa menutup mata lagi. Sudah jelas wanita iblis itu berada di pihak Klan Heo."

    "Dan kau menceritakan ramalan itu pada anak itu?"

    "Aku tidak memiliki pilihan lain."

    "Lalu apa yang dia katakan?"

    Guru Dong Il kembali terlihat ragu dan hal itu mengundang kecurigaan Guru Heojoon.

    "Apa yang dia katakan?"

    "Aku sendiri ragu dengan hal itu," ucap Guru Dong Il penuh pertimbangan.

    "Katakan."

    "Dia ... ingin membunuh Raja tanpa takhta."

    Dahi Guru Heojoon mengernyit, menyatakan rasa herannya. "Kenapa jadi begini? Apa dia tahu siapa orang yang akan dia bunuh?"

    "Aku sudah memberitahukan bahwa ramalan itu jatuh pada bayi laki-laki yang lahir saat gerhana matahari."

    "Masalahnya apakah dia tahu bahwa dia lahir saat gerhana matahari?"

    "Aku pikir tidak," jawab Guru Dong Il. Ada rasa sesal dalam ucapannya.

    Pada kenyataannya Kim Changkyun lah bayi laki-laki yang lahir saat gerhana matahari. Tepat satu tahun setelah kelahiran Lee Taehyung. Waktu itu saat ramalan itu disampaikan oleh Cenayang Min Ok kepada ketiga Guru Besar Gwansanggam. Mereka memutuskan untuk mengubur ramalan itu, karena jika sampai ramalan itu sampai ke telinga Baginda Raja. Maka akan banyak nyawa tak berdosa yang menjadi korban saat itu hanya demi melindungi garis pewaris takhta kerajaan.

    Guru Heojoon kemudian berucap, "kita sudah membuat kesalahan besar jika memang ramalan itu benar adanya."

    "Apa maksudmu?"

    "Tidak seharusnya gelar Kebangsawanan anak itu dikembalikan."

    Batin Guru Dong Il tersentak. Teringat kembali ia akan pernyataan Changkyun yang ingin menjadi seorang Raja. Meski malam itu Guru Dong Il tahu bahwa Changkyun mengatakan hal itu karena dalam keadaan putus asa, namun pernyataan itu justru terdengar mengerikan untuk saat ini.

    "Tidak mungkin. Ramalan itu tidak mungkin terjadi," sangkal Guru Dong Il.

    "Kalau begitu pikirkanlah kembali. Siapa Raja tanpa kekuasaan?"

    Guru Dong Il terdiam. Cemas.

    Guru Heojoon melanjutkan, "kita sudah memilikinya."

    "Ini pasti hanya sebuah kebetulan," Guru Dong Il kembali menyangkal meski hatinya pun ragu.

    "Saat Putra Mahkota naik takhta, kau akan mengerti bagaimana ramalan itu berjalan. Anak itu tidak memiliki apapun untuk menduduki takhta. Dia hanya akan hidup karena belas kasih dari Klannya. Semua berakhir untuk Joseon."

    "Tidak, ini tidak benar ... apa yang harus kita lakukan sekarang?"

    "Sebiadab apapun Min Ok, dia tidak akan berani melawan perkataan ibunya. Jika wanita itu tidak bisa berbuat apapun, maka tidak ada yang bisa kita lakukan."

    "Masih ada jalan."

    Wajah Guru Heojoon mengernyit. "Apa itu?"

    "Ketiga Raja itu harus dipisahkan. Hanya ada satu Raja yang harus tinggal di istana Gyeongbok."

    "Jangan macam-macam."

    "Kita sudah tahu ramalan ini sejak awal. Di saat seharusnya kita bisa mencegahnya, kita justru hanya membiarkannya. Persetan dengan ramalan itu, Joseon hanya memiliki satu Raja."

    "Kau berniat melawan Klan Heo?"

    Guru Dong Il mencondongkan tubuhnya ke arah Guru Heojoon dan berucap dengan suara yang lebih pelan, "jika Pangeran Taehyung menjadi Raja, dia harus menyingkirkan Putra Mahkota terlebih dulu. Jika Pangeran Changkyun menjadi Raja, dia harus menyingkirkan keduanya ... kau tentunya sudah mendengar desas-desus pergerakan Klan Kim di Hanyang. Jika mereka berhasil membuat Pangeran Changkyun berada di pihak mereka, sesuatu yang buruk pasti akan terjadi."

    "Apa rencanamu?"

    "Klan Kim pernah menjadi Klan terkuat di istana sebelum Klan Heo berkuasa. Untuk menghindari peperangan, Pangeran Changkyun harus pergi sejauh mungkin."

    "Katakan dengan jelas."

    "Malam ini, bawa Pangeran Changkyun dan Pangeran Taehyung pergi dari istana."

    Guru Heojoon semakin tak mengerti dengan jalan pikiran Guru Dong Il. "Apa yang ingin kau lakukan pada mereka?"

    "Kita kirim mereka ke pengasingan. Bagaimanapun juga kita tidak bisa diam saja dan menunggu ramalan itu terwujud."

    "Kau sudah tidak waras." Guru Heojoon menatap tak percaya.

    Cahaya di langit perlahan tekikis oleh kegelapan. Menghentikan semua aktivitas dan membimbing para keluarga untuk berkumpul di kediaman masing-masing.

    Malam itu, Shin datang ke ruangan Cenayang Min Ok untuk memenuhi panggilan dari wanita tua yang kesehariannya hanyalah mabuk-mabukan seperti saat ini.

    "Nyonya memanggilku?" tegur Shin.

    "Kemarilah."

    Shin mendekat dan duduk bersimpuh di depan meja Cenayang Min Ok.

    Cenayang Min Ok lantas berucap, "kapan aku bisa melihat cucu tua bangka itu?"

    "Daegam tidak memberikan izin untuk hal itu."

    Cenayang Min Ok tertawa pelan. Wanita tua itu kemudian mengambil sesuatu dari bawah meja. Sebuah amplop usang lantas ia sodorkan ke meja.

    "Ambillah ini."

    Shin mendekat dan mengambil amplop tersebut. Dan saat itu Cenayang Min Ok menahan tangannya, membuat pandangan keduanya kembali bertemu.

    Cenayang Min Ok lantas berujar, "berikan itu pada Sung Dong Il yang tinggal di paviliun selatan Gwansanggam. Jangan katakan apapun padanya. Cukup berikan ini pada orang itu."

    Cenayang Min Ok kemudian melepaskan tangan Shin. "Pergilah sekarang."

    Shin sekilas menundukkan kepalanya dan beranjak berdiri. Berjalan menuju pintu keluar meski ia ragu apakah ia harus menyampaikan surat itu atau tidak. Namun ketika langkahnya hampir menjangkau pintu, saat itu terdengar suara batuk Cenayang Min Ok yang membuatnya kembali berbalik.

    Kedua netra milik Shin membulat ketika ia melihat tubuh Cenayang Min Ok jatuh ke meja dan masih terbatuk. Shin kemudian bergegas menghampiri Cenayang Min Ok. Menjatuhkan satu lututnya di samping Cenayang Min Ok dan menegakkan tubuh wanita tua itu.

    Shin terkejut ketika melihat darah di area mulut Cenayang Min Ok yang sudah sekarat. "Nyonya! Apa yang Nyonya lakukan?"

    Cenayang Min Ok tersenyum. "Aku tidak bisa melihat semua ini. Mereka ... tinggalkan mereka. Jangan ikut campur ..." racau Cenayang Min Ok dengan suara yang parau.

    "Apa yang Nyonya bicarakan?"

    Cenayang Min Ok mencengkram pakaian Shin dan kembali berucap, "putramu ... selamatkan dia. Pergi yang jauh ... bawa dia pergi. Tidak ada yang bisa menyelamatkan mereka. Joseon ... sudah berakhir ..."

    Cenayang Min Ok kembali terbatuk dan membuat lebih banyak darah keluar dari mulutnya. Tak membiarkan detik berganti menit, tubuh wanita tua itu melemah dan kehilangan pijakan.

    Napas Shin tercekat. Ia memeriksa denyut nadi Cenayang Min Ok dan tak merasakan apapun. Dan malam itu menjadi akhir dari kisah Cenayang Min Ok yang lebih memilih mengakhiri hidupnya sendirin dibandingkan dengan menghadapi ramalan yang nyatanya sudah terlupakan olehnya. Namun satu kesalahan fatal yang ia lakukan dan tak ia sadari sebelum ia pergi.

    Sebuah kutukan yang ia tinggalkan kepada gadis muda yang berada dalam ambang kematian.

Selesai ditulis : 19.07.2020
Dipublikasikan : 19.07.2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top