Lembar 162 [Tamu Tak Di Undang, Kegusaran Hati Sang Rubah]
Berdiri di depan Gwanghwamun. Taehyung memandang gerbang yang masih terlihat kokoh itu, menunggu Hoseok yang tengah terlibat pembicaraan dengan prajurit yang berjaga di depan gerbang sebelum kembali dengan membawa dua orang prajurit yang kemudian mengambil alih kuda mereka.
"Mari, Ketua."
Dengan bimbingan Hoseok. Pada akhirnya Taehyung bisa kembali pulang ke rumahnya. Namun sangat menyedihkan ketika kepulangannya bukan sebagai Lee Taehyung, melainkan Kim Taehyung.
Berjalan masuk dan menjauhi Gwanghwamun. Langkah itu lantas terhenti ketika pendengarannya menangkap suara pintu Gwanghwamun yang kembali tertutup. Memutar langkahnya, Taehyung kembali memandang gerbang raksasa itu dan menarik perhatian dari Hoseok yang sebelumnya juga menghentikan langkahnya.
"Apa ada yang tertinggal?"
"Tidak." Taehyung menjawab tanpa memandang wajah sang lawan bicara. Namun pandangannya justru mengarah pada langit dengan awan tipis yang mulai menyergap pagi itu. Dia kemudian bergumam, "sepertinya akan turun hujan."
"Berada lebih lama di sini, bukanlah keputusan yang baik."
Taehyung menjatuhkan pandangannya dan berbalik. Memandang Hoseok dan lantas berucap, "Hyeongnim."
"Ye, Ketua."
"Mulai hari ini, tulikan lah pendengaranmu."
Permintaan tak masuk akal yang tentunya mengundang tanya bagi Hoseok. "Apa maksud Ketua?"
"Apapun yang kau setelah hari ini, berpura-pura lah kau tidak mendengar apapun. Berpura-pura lah bahwa kau tidak tahu apapun. Bisakah, bisakah kau melakukannya?"
Hoseok sejenak terdiam, mencoba mencari sesuatu dalam tatapan teduh yang masih menyimpan kemarahan tersebut hingga ia yang menyerah ketika jiwanya yang kotor itu tak mampu untuk menjangkau kemurnian jiwa seorang Kim Taehyung.
Dengan tundukan kepala, pemuda itu menyanggupi keinginan Taehyung. "Aku mengerti."
"Terimakasih."
Taehyung lantas kembali melangkahkan kakinya sembari menaikkan potongan kain yang sebelumnya menggantung di lehernya guna menutupi sebagai wajahnya dan membiarkan setiap orang yang ia lewati hanya mampu menemukan tatapan teduhnya.
Layaknya orang yang sudah mengenal seluk-beluk istana. Langkah tegasnya menuju ke arah yang benar tanpa bimbingan dari Hoseok, dan tentunya hal itu akan terlihat sangat janggal, mengingat ini adalah kali pertama bagi Kim Taehyung menginjakkan kaki di istana. Namun akan berbeda jika itu Lee Taehyung, karna selama apapun ia pergi, pemuda itu tidak akan pernah melupakan bagaimana rumahnya yang sesungguhnya.
Berjalan menuju paviliun Baginda Raja, netra Taehyung memicing dan sedikit gemetar ketika melihat siluet biru tua berjalan ke arahnya dari kejauhan. Tidak salah lagi jika yang ia lihat saat ini adalah Putra Mahkota Joseon, Lee Jungkook, adik kecilnya.
Tanpa sadar kedua tangan Taehyung mengepal kuat, mencoba menekan perasaan yang mulai menganggunya ketika jarak keduanya semakin menyempit. Taehyung tidak tahu kenapa Jungkook di biarkan pergi seorang diri. Mungkinkah adik kecilnya itu masih sering melarikan diri seperti dulu.
Perasaan rindu menyeruak ketika penglihatannya menangkap dengan jelas wajah Jungkook yang kini terlihat lebih dewasa di bandingkan dengan terakhir kali ia melihat bocah itu. Hati Taehyung bergetar ketika jarak keduanya di pertemukan.
Berbeda dengan Jungkook yang terang-terangan melihat wajahnya. Taehyung justru menghindari kontak mata dengan Jungkook dan bahkan terkesan tak menganggap kehadiran Jungkook dan berlalu begitu saja meski Hoseok yang berjalan di belakangnya sempat menundukkan kepala ke arah Jungkook.
Langkah Jungkook terhenti dengan kebingungan yang kini terlihat di wajahnya. Kakinya sedikit berputar hingga ia bisa melihat punggung Taehyung yang ia kenal sebagai Bangsawan asing.
Sedikit memiringkan kepalanya ketika merasa sangat familiar dengan tatapan teduh yang sebelumnya ia lihat. Dan bukan hanya itu, entah kenapa dalam pandangannya, Bangsawan asing yang sempat mengacuhkannya sebelumnya itu terasa sangat familiar bahkan ketika ia melihatnya dari belakang.
"Siapa orang itu?" gumam Jungkook sebelum lamunannya terbuyarkan oleh sebuah teriakan.
"Putra Mahkota..."
Jungkook memandang ke arah sebelumnya dan mendapati Kasim Cha berlari dengan tergopoh-gopoh ke arahnya dan hampir saja menabraknya jika ia tidak menghindar, namun karena hal itu pula Kasim Cha justru tersungkur di hadapannya.
"Aduh, aduh... Aduh, pinggangku..." keluh Kasim Cha yang memegangi pinggangnya di saat wajahnya masih menempel pada ubin.
"Kau sudah tua, berhenti bertindak konyol." ketus Jungkook dengan pembawaan yang dingin.
Kasim Cha lantas segera bangun dan menghadap Jungkook dengan wajah yang mengernyit. "Hamba tidak sengaja. Lagi pula jika Putra Mahkota tidak menghindar, hamba juga tidak akan jatuh tadi."
"Malah menyalahkanku!" hardik Jungkook yang seketika membuat Kasim Cha menunduk takut.
"Tidak, tidak. Kenapa Putra Mahkota menjadi pemarah seperti ini?"
"Ada apa?"
Wajah Kasim Cha tak lagi mengernyit, justru terlihat heran. "Putra Mahkota belum tahu?"
"Tahu apa?"
"Hari ini Baginda Raja membuat pertemuan dengan para Menteri."
"Untuk apa?"
"Untuk apa lagi? Tentu saja untuk membahas tentang petisi yang menginginkan Tuan Muda Kim kembali mendapatkan gelarnya."
Netra Jungkook membulat, menunjukkan keterkejutannya. "S-sungguh? Kau tidak sedang menipuku, bukan?"
"Hamba rela menerima hukuman mati jika seandainya hamba berbohong. Hari ini Baginda Raja memanggil para Menteri dan juga..." Kasim Cha menggantung kalimatnya dan mendekati Jungkook yang memicing penuh kecurigaan.
"Dan juga apa?"
Kasim Cha berbisik. "Hamba dengar, kemarin pagi. Ketiga Guru Besar Gwansanggam datang menghadap Baginda Raja."
"Untuk apa?"
Kasim Cha tiba-tiba sangat bersemangat. "Untuk apa lagi? Tentu saja untuk menuntut keadilan bagi Tuan Muda Kim. Tuan Muda Kim sudah di fitnah dengan begitu kejinya, tentu saja mereka tidak akan tinggal diam."
Jungkook tampak mempertimbangkan sesuatu. Ingatannya kembali pada insiden semalam ketika ia melihat bintang Lee Taehyung kembali ke langit istana Gyeongbok. Namun kenapa justru kabar baik itu malah datang dari Changkyun, mungkinkah bintang itu bukanlah milik Taehyung, melainkan milik Changkyun.
"Anu... Putra Mahkota, kenapa Putra Mahkota malah melamun?"
Jungkook menatap jengah ke arah Kasim di hadapannya itu, dan hal itu cukup membuat Kasim Cha menjadi serba salah.
"K-kenapa Putra Mahkota, melihat hamba seperti itu?"
"Aku ingin bertanya."
"Apa yang ingin Putra Mahkota tanyakan?"
"Bagaimana jika ternyata Bintang seorang Pangeran jauh lebih bersinar di bandingkan dengan Bintang Putra Mahkota?"
"Tentu saja perang, memangnya apa lagi?" jawab Kasim Cha menggebu-nggebu tanpa menyadari garis wajah Jungkook yang tampak begitu serius.
"Perang?"
"Benar. Sejatinya, tidak ada bintang yang lebih terang di bandingkan dengan bintang Putra Mahkota. Dan jika sampai ada seorang Pangeran memiliki bintang yang lebih terang dari pada bintang milik Putra Mahkota. Klan yang mendukung Pangeran dari belakang akan menyusun sebuah kudeta untuk mengambil alih takhta."
"Apa hal itu pernah terjadi sebelumnya?"
"Tentu saja pernah."
"Siapa, dan bagaimana akhir kisah mereka?"
"Putra Mahkota Lee Hyuk dan Pangeran Lee Seung. Tapi... Kenapa Putra Mahkota tiba-tiba menanyakan hal itu?"
Jungkook menghela napas pasrahnya, sepertinya dia harus menanyakan hal itu pada Kasim Seo untuk mendapatkan cerita yang sebenarnya.
"Lupakan! Bicara denganmu hanya membuat kepalaku sakit." Jungkook lantas meninggalkan Kasim Cha dengan langkah lebarnya.
"Apa yang salah dengan ucapanku? Kenapa aku di tinggal lagi? Putra Mahkota... Tunggu hamba... Putra Mahkota..."
"Tidak bisakah kau diam sebentar saja! Pria tua menyebalkan!"
"Sejujurnya, itu sedikit menyakiti hati hamba, jika Putra Mahkota ingin tahu."
Langkah Taehyung pada akhirnya terhenti tepat di depan paviliun di mana telah di adakan pertemuan para Menteri di dalam sana. Bukannya sengaja, melainkan sebuah kebetulan yang sempurna karena itu artinya sebentar lagi ia akan menampakkan diri di hadapan semua Menteri yang tentu saja mengenal wajahnya.
Hoseok kembali berbicara dengan seorang prajurit yang berjaga di depan pintu. "Sampaikan pada Yang Mulia bahwa Ketua Kelompok Pedagang datang menghadap."
Si parjurit mengangguk dan masuk ke dalam, begitupun Hoseok yang segera menghampiri Taehyung.
"Perlukah ku temani?"
"Tidak perlu, Hyeongnim tunggu saja di luar."
"Aku mengerti."
Perhatian Taehyung teralihkan ketika ia merasakan sesuatu jatuh membawa rasa dingin di wajahnya. Ia mendongak dan saat itu air dingin dari langit kembali menyapa wajahnya. Dia kemudian kembali menjatuhkan pandangannya, menolak sambutan kecil yang di berikan oleh gerimis yang mulai menghampiri istana Gyeongbok.
Pintu di hadapan mereka terbuka dan menampakkan si prajurit yang sebelumnya masuk. Prajurit tersebut menghampiri mereka dan sebuah tundukan di berikan sebagai sebuah penghormatan. "Baginda Raja, sudah menunggu Ketua."
"Berhati-hatilah."
Taehyung berjalan mendekat ke pintu dan pintu yang terbuka nyatanya membuat hatinya sedikit memberat. Dia pulang, dan akankah kepulangannya mendapatkan sambutan yang baik. Meski tak berharap, namun ia akan sangat bahagia jika kedatangannya mendapatkan sambutan yang baik dari keluarganya.
Satu langkah ia ambil untuk kembali memasuki rumahnya dan memberi hormat kepada sang ayah yang telah lama tak ia jumpai. Dua langkah ia ambil, mengundang suara bising yang masuk ke dalam pendengarannya. Tiga langkah ia ambil, pintu di belakangnya kembali tertutup.
Masih dengan potongan kain yang menutupi wajahnya. Taehyung berjalan di antara para Menteri yang di bagi menjadi dua kelompok. Langkah demi langkah yang ia ambil semakin membawanya mendekat pada tempat sang ayah yang entah kenapa begitu tinggi baginya saat ini. Dan langkah yang penuh ketenangan itu pada akhirnya membawanya berdiri di antara Heo Junhoo dan Menteri Park, kakeknya sendiri.
"Kaukah itu, Ketua Kelompok Pedagang Kim?" teguran itu datang dari sang ayah. Sebuah teguran yang entah kenapa sempat memberikan luka di sudut hatinya.
"Ye, Yang Mulia." jawaban yang terucap dengan begitu tenang ketika tak sedikitpun tatapan teduhnya teralihkan dari sosok sang ayah yang duduk di singgasananya.
"Kalau begitu, bisakah kau turunkan kain itu dan biarkan aku melihat wajahmu?"
Tak banyak berucap, tangan kanan Taehyung terangkat dan perlahan menurunkan kain yang sempat menutupi sebagian wajahnya. Membiarkan barisan terdepan melihat bagaimana rupa dari Ketua Kelompok Pedagang yang baru, dan tentu saja hal itu sangat mengejutkan bagi siapapun yang melihat wajah itu.
Saking terkejutnya, Lee Jeon sampai beranjak dari duduknya. "K-kau?" ucapnya tak percaya.
"Apa-apaan ini? Bukankah dia Pangeran Lee Taehyung?" ujar salah seorang yang bersahutan dengan suara lainnya dan menciptakan kebisingan. Bahkan para Menteri yang sebelumnya berlutut pun langsung berdiri, menatap tak percaya dengan apa yang mereka lihat pagi itu.
Keterkejutan tak jauh berbeda dengan yang di rasakan oleh ketiga Guru Besar Gwansanggam yang sempat saling bertukar pandang itu. Dan rasa penasaran mereka akan kembalinya bintang Taehyung di langit Joseon, terjawab pagi itu.
"P-Pangeran, bagaimana bisa?" gumam Lee Jeon yang masih belum bisa menerima kenyataan yang benar-benar mengejutkan itu.
Mengabaikan kebisingan yang terjadi saat itu. Taehyung menjatuhkan satu lututnya pada lantai, memberikan sebuah penghormatan layaknya seorang Prajurit ketika di tangannya masih tersimpan sebilah pedang.
Dengan suara berat yang terkesan lembut, dia berujar dengan cukup lantang. "Hamba, Ketua Kelompok Pedagang Kim Taehyung, memberi hormat kepada Baginda Raja. Semoga Baginda Raja selalu di limpahi kebahagiaan."
Sebuah pernyataan yang semakin membuat semua orang tak percaya. Kim Taehyung? Kelompok Pedagang? Semua benar-benar tak bisa di percaya.
"Kim Taehyung?" tatapan Lee Jeon bergetar. Merasa sangat terguncang dengan lelucon yang ia dapatkan pagi itu.
"Diam semua!" hardik Lee Jeon kemudian setelah ia menginginkan sebuah jawaban yang mampu menjelaskan keadaan ini. Dia lantas menjatuhkan pandangannya pada Taehyung yang masih berlutut di bawah singgasananya.
Memutus harapan sesaat untuk bisa memberikan hormat kepada ayahnya dan malah memberikan sebuah penghormatan untuk Bangsawan tertinggi di Negerinya.
"Berdirilah."
Atas perintah dari sang Raja, Taehyung berdiri membawa ketenangan yang masih bernaung di wajahnya. Tatapan teduh yang terkesan dingin itu lantas terjatuh pada Junhoo yang berdiri di samping kanannya. Bisa ia lihat kemarahan dari tatapan kakek tua itu.
"Jangan salah paham, aku hanya menunda kematianmu. Bukan melepaskanmu!" batin Taehyung, memberikan sebuah ancaman di pertemuan kedua mereka setelah tadi malam.
"Bedebah, jangan harap kau bisa menang begitu saja." batin Junhoo yang seakan bersahutan dengan batin Taehyung sebelum kontak mata di antara keduanya berakhir dengan singkat dan perhatian semua orang teralihkan oleh suara putus asa dari Lee Jeon.
"Apa-apaan ini? Lelucon apa yang sedang kau bawa ke sini, Pangeran Lee Taehyung?"
"Yang Mulia mungkin telah salah mengenali orang. Hamba adalah Ketua Kelompok Pedagang, dan nama hamba adalah Kim Taehyung, bukannya Lee Taehyung. Ayah hamba hanyalah seorang rakyat jelata yang di asingkan, hamba tidak berhak mendapatkan sanjungan ini. Mohon agar Yang Mulia mampu membedakannya."
Lee Jeon menatap tak percaya, begitupun dengan ketiga Guru Besar Gwansanggam. Meski menyangkal ratusan kali pun, pembawaan Taehyung saat berbicara masih sama seperti dulu. Tak ada yang berubah sedikitpun.
"K-kau, apa yang sedang kau lakukan di sini?" suara Lee Jeon makin putus asa.
"Kedatangan hamba kemari adalah untuk membawa pulang Park Hwagoon Agassi."
Lee Jeon jatuh terduduk dengan wajah yang sangat amat terguncang ketika seorang Bangsawan muda datang padanya dengan menggunakan fisik dari putranya, namun justru mengaku sebagai orang lain. Mungkinkah di dunia ini ada orang yang memiliki paras yang sama ketika mereka di lahirkan dalam keluarga yang berbeda.
"Tidak mungkin!"
Di bawah rintik hujan yang sangat tipis. Changkyun berjalan meninggalkan paviliun selatan Gwansanggam dengan menanggalkan pakaian berwarna hitamnya dan menggantinya dengan pakaian seorang Bangswan yang terlihat lebih berwarna.
Langkah yang terlihat masih sangat rapuh ketika luka di balik pakaiannya masih memerlukan waktu yang lama untuk bisa sembuh, membawanya memasuki area paviliun Baginda Raja. Dan kedatangannya ke sana adalah untuk memenuhi panggilan sang Raja.
Tatapan sayunya kerap menghadap tanah ketika punggungnya yang terasa sakit ketika terlalu banyak bergerak, dan seharusnya ia tidak perlu memaksan diri untuk pergi.
Hampir menjatuhkan kedua lututnya, langkahnya justru terhenti ketika pandangannya menangkap dua sosok yang berdiri beberapa meter dari tempatnya.
Wajah yang masih tampak pucat itu lantas terangkat, namun dunianya terasa berhenti ketika netranya menangkap sosok yang selama ini ia cari, sosok yang selama ini ia rindukan dan orang itu secara ajaib berdiri di hadapannya kala itu. Di saat ia sendiri yang sudah tertelan oleh keputus-asaan.
Baik Taehyung maupun Changkyun sama-sama tak menduga bahwa pertemuan mereka akan seperti ini. Namun netra Taehyung sempat memicing ketika menyadari wajah Changkyun yang terlihat pucat dengan beberapa luka di wajah Rubah kecilnya yang kini sudah semakin dewasa.
"Kaukah itu, Kim Changkyun?" tegur Taehyung, namun sayangnya hal itu hanya mampu terucap oleh hatinya di saat mulutnya menolak untuk mengatakan hal yang berarti.
"Ketua." teguran dari arah belakang yang seketika menyadarkan Taehyung bahwa dia terlalu lama membiarkan gerimis membasahi luka yang belum kering dengan sempurna.
Kembali melangkahkan kakinya. Taehyung semakin memutus jarak di antara keduanya, hingga jarak yang semakin dekat membuat keduanya saling beradu pandang untuk kali pertama setelah perpisahan yang cukup lama.
"Naeuri." rintih batin Changkyun ketika Taehyung sampai di depannya, namun apa yang terjadi setelahnya justru memberikan sang Rubah pukulan berat di pertemuan pertama mereka.
Tak ada perlakuan istimewa, meski hingga akhir Taehyung memandang wajah pucat Changkyun. Dia tetap melewati si Rubah yang mengerjap tak percaya ketika mereka terpaksa harus berpapasan layaknya orang lain yang tak pernah berhubungan sebelumnya.
"Seandainya kita bertemu di luar sana. Mungkin aku bisa mengingatmu, Kim Changkyun." Taehyung kembali membatin, mengucapkan permintaan maaf atas pertemuan mereka yang terlalu menyakitkan.
Pertahanan Changkyun semakin goyah. Perlahan ia memutar kakinya dan memandang punggung Taehyung yang kembali meninggalkannya.
"Naeuri..." sebuah gumaman berhasil membuka sedikit mulutnya. Menerima satu fakta menyakitkan yang ia dapati pagi itu di antara luka yang terus menyiksa tubuhnya.
Mungkinkah ia sedang berhalusinasi melihat Taehyung ataukah Taehyung yang telah melupakannya. Changkyun tidak tahu kenapa semua menjadi seperti ini. Kenapa Taehyung mengabaikannya bahkan di saat mereka berhadapan. Mungkinkah sang Tuan benar-benar telah membuangnya. Lalu untuk apa penantiannya selama ini jika pada akhirnya menjadi seperti ini.
"Maafkan aku..."
Selesai di tulis : 05.03.2020
Di publikasikan : 05.03.2020
Siapa yang kemarin nungguin up ini😏😏😏
Tuh sudah ketemu, sudah legakan semua😂😂😂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top