Lembar 160
Lee Jeon menjatuhkan pandangannya kepada tiga Guru Besar Gwansanggam yang kini bersimpuh di hadapannya, sedangkan dia sendiri terduduk di lantai tepat di belakang meja kecil.
"Ada urusan apa kalian datang kemari?" suara yang sedikit tak bersahabat milik sang Raja, mengungkapkan bahwa hati sang Raja belum membaik setelah insiden sebelumnya.
Guru Heojoon menjadi orang pertama yang menyahut mewakilkan kedua rekannya. "Kedatangan kami kemari hanya untuk meminta sedikit keprihatinan dari Yang Mulia."
"Apa maksudmu?"
"Mohon, kembalikanlah gelar Kebangsawanan Tuan Muda Kim. Sudah cukup penderitaan yang di alami oleh anak itu selama ini... Berikanlah kemurahan hati Yang Mulia kepada Tuan Muda kami."
Sejenak terdiam, Lee Jeon tak bermaksud memikirkan tuntutan yang di bawa oleh ketiga Guru Besar tersebut karena pada kenyataannya telinganya tidaklah dungu untuk bisa mendengar desas-desus yang kini menyebar di dalam istana.
Tak kunjung mendapatkan respon, Guru Dong Il lantas angka bicara. "Yang Mulia..."
"Bagaimana kalian bisa berpikir sampai sejauh ini?" Lee Jeon menyahut, menghentikan ucapan Guru Dong Il dengan nada bicara yang begitu tak bersahabat. "Bagaimana kalian bisa berpikir mengangkat seorang putra dari pengkhianat menjadi seorang Bangsawan?"
Berbeda dengan kedua rekannya yang tampak terkejut akan perkataan Lee Jeon. Guru Heojoon justru menarik lembut senyumnya dan berhasil mengalihkan perhatian Lee Jeon.
Guru Heojoon lantas berucap, "benarkah Yang Mulia memiliki pemikiran semacam itu?"
"Apa kau sedang meragukanku?"
"Benar, hamba begitu ragu dengan isi hati dari Yang Mulia. Hamba meragukan hal itu."
Lee Jeon membuang napasnya dengan begitu berat namun terdengar pelan. "Hanya akan ada pertumpahan darah jika gelar anak itu di kembalikan. Untuk saat ini, biarkanlah tetap seperti ini."
"Dan membiarkan putra kita terus berada di dalam penderitaan." Guru Heojoon kembali menyahut tanpa adanya perubahan dalam nada bicara yang terdengar begitu tenang.
Lee Jeon memandang dalam diam. Bagaimanapun juga dia tidak memiliki alasan untuk marah terhadap ketiga Guru Besar itu.
Guru Heojoon kembali berbicara. "Setelah kesalahpahaman hari ini, hamba berharap bahwa Tuan Muda Kim mendapatkan kembali haknya."
"Tidakkah kalian ingat bahwa anak itu adalah putra dari seorang pengkhianat?" penuturan yang masih terucap dengan tenang.
"Dan Yang Mulia sendirilah yang mengetahui kebenaran tentang hal itu. Mendiang Putri Yowon telah melakukan pengorbanan yang besar. Jika Yang Mulia tidak bisa memberikan kebahagiaan terhadap Putri Yowon atas pengorbanan beliau, mohon agar Yang Mulia berkenan memberikan kebahagiaan itu kepada Tuan Muda Kim."
Lee Jeon memalingkan wajahnya dengan hembusan napas pelan yang terdengar begitu berat. Dua kali ia berniat membunuh Changkyun, dan dua kali itu pula rencananya gagal. Mungkinkan adiknya di sana tidak mengijinkannya. Lee Jeon ingin meminta maaf, benar-benar meminta maaf. Namun tempatnya yang terlalu tinggi tak mengijinkannya untuk mengucapkan kalimat itu.
"Yang Mulia... Mohon pikirkanlah kembali."
"Pergilah dan datanglah ke pertemuan besok pagi."
Ketiga Guru Besar itu saling bertukar pandang sebelum kembali menghadap ke arah Lee Jeon, masih dengan kepala yang sedikit tertunduk. Guru Dong Il berucap. "Telah mengganggu waktu istirahat Yang Mulia, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Mohon pertimbangkan kembali keinginan dari para orang tua ini, kami mohon undur diri."
Ketiga Guru Besar itu lantas meninggalkan Lee Jeon. Membiarkan sang Raja memahami apa yang seharusnya ia lakukan dan apa yang seharusnya ia hindari. Di sudut lain Hanyang, tepat tengah hari Hoseok kembali ke pemukiman Kelompok Pedagang dan kedatangannya di sana di sambut oleh Hwaseung yang saat itu berada di halaman."
"Eoh! Hoseok! Kau kembali?"
Taehyung yang saat itu berjalan di teras rumah lantas menghentikan langkahnya ketika mendengar suara Hwaseung. Dia menjatuhkan pandangannya ke halaman dan mendapati Hoseok berjalan memasuki halaman.
"Lama tidak bertemu, Tuan Muda Kim." sapaan ringan Hoseok ketika ia berhadapan dengan Hwaseung.
"Ah... Kau tidak perlu secanggung itu padaku. Tapi... Kenapa kau bisa ada di sini? Aku dengar kau menemani Agassi di istana."
"Aku memiliki keperluan dengan Ketua Kim."
Hwaseung mengarahkan pandangannya ke tempat Taehyung, begitupun dengan pandangan Hoseok yang di pertemukan dengan Taehyung. Namun tanpa sepatah katapun, Taehyung kembali melanjutkan langkahnya.
Hoseok pun lantas berpamitan pada Hwaseung. "Aku permisi dulu."
"Ah... Ya, ya."
Menyusul Taehyung yang berjalan masuk ke Perpustakaan. Pada akhirnya Hoseok menghadap sang Tuan Muda yang kembali terduduk di balik meja dengan seribu tipu daya yang bernaung di raut wajah yang begitu tenang dengan tatapan teduh yang telah berganti menjadi tatapan dingin tanpa perasaan.
"Ketua..."
"Duduklah," sergah Taehyung, "Hyeongnim baru saja menempuh perjalanan jauh."
"Ketua harus segera pergi dari tempat ini."
Tak ada perubahan dari raut wajah Taehyung. "Katakan."
"Pernikahan Putra Mahkota telah di batalkan."
"Apakah Agassi berulah?"
"Jangan berpikiran buruk tentang Agassi."
"Lalu?"
"Agassi jatuh sakit."
Netra Taehyung bereaksi. Tatapan dingin sebelumnya perlahan menunjukkan kekhawatiran. "Sejak kapan?"
"Sekitar satu minggu yang lalu."
"Dan kau baru mengabariku sekarang?"
"Ini keinginan Agassi."
"Penyakit apa yang dia derita?"
"Ketua harus membawa Agassi pergi dari istana."
Rahang Taehyung sedikit mengeras, namun hal itu tetap tak mampu menghilangkan ketenangan di wajahnya. "Aku bertanya apa penyakit yang tengah ia derita."
"Tidak ada yang tahu,"
Tangan Taehyung yang berada di atas meja terkepal kuat.
"Istana sudah mendatangkan tabib-tabib terkenal di Joseon, tapi tidak ada satupun yang tahu tentang penyakit yang saat ini di derita oleh Agassi. Ketua harus segera menemui Agassi."
"Keluarlah." pengusiran secara halus yang tentunya menimbulkan kesalahpahaman bagi sang pendekar muda di hadapannya itu.
"Bukan waktunya Ketua untuk berdiam diri,"
"Keluar."
"Aku sudah mengatakan sejak awal-"
"Keluarlah, Hyeongnim. Tolong."
Tak mampu untuk kembali menyanggah, Hoseok lantas mengambil langkah mundur dan meninggalkan Taehyung yang langsung mengarahkan pandangannya ke samping, tepat ke rak buku. Tempat di mana telah menjadi tempat favorit bagi sang ayah angkat.
"Abeoji." panggilan dari suara berat dan lembut yang sarat akan kebingungan berhasil membuka kedua kelopak mata Namgil yang saat itu duduk di lantai dengan tangan bersedekap dan juga punggung yang menyandar pada rak buku.
"Aku sudah memperingatkanmu sejak awal. Sekarang terimalah jalan yang sudah kau pilih."
"Agassi, mungkinkah?"
"Sudah jelas bahwa ini adalah perbuatan wanita tua biadab itu, apa lagi yang kau ragukan?"
Tangan Taehyung mengepal kuat dengan tatapan yang menatap lantai kayu di hadapannya. Terkutuklah wanita tua yang telah menjadi penyebab penderitaannya di masa lampau. Dan seakan penderitaannya dulu belum cukup untuk membuat Cenayang tua itu puas. Sekarang wanita tua itupun mencoba menyakiti wanitanya.
Kali ini, Taehyung benar-benar murka. Tak akan ada ampun bagi siapapun yang terlibat dalam skenario penderitaan yang telah ia alami. Dengan wajah yang menyimpan kemarahan, ia pun bangkit dari duduknya dan segera beranjak meninggalkan Namgil yang kala itu menyunggingkan senyumnya.
Pria paruh baya itu lantas bergumam, "beginikah akhirnya?"
Taehyung membuka pintu Perpustakaan dengan kasar dan berhasil menarik perhatian dari Hoseok yang saat itu berdiri di teras.
"Kita ke Bukchon sekarang." satu pernyataan yang sempat membuat Hoseok terkejut sebelum pemuda itu yang segera menyusul langkah lebar Taehyung yang meninggalkan halaman rumah dan menarik perhatian Hwaseung.
"Kau ingin pergi? Kemana? Ketua Kim."
Hwaseung yang di tinggalkanpun merasa bingung. Dia kemudian bergegas untuk mencari sang ayah guna meminta penjelasan, dan secara kebetulan saat itu Namgil baru saja keluar dari Perpustakaan.
"Abeoji." sebuah teguran yang menghentikan pergerakan Namgil yang baru saja menutup pintu.
"Apa yang terjadi?"
"Apanya?"
"Ketua Kim, kemana dia akan pergi?"
Namgil sedikit terkejut. "Dia pergi?"
Hwaseung mengangguk. "Ada apa sebenarnya? Kenapa dia terlihat sangat buru-buru?"
Namgil mengalihkan pandangannya dengan raut wajah yang terlihat lebih serius sebelum ia yang kembali menjatuhkan pandangannya pada putra sulungnya.
"Dia sudah memutuskan."
"Memutuskan apa?"
"Dia pasti kembali ke istana."
Sebelah alis Hwaseung terangkat. "Kembali, ke istana? Apa maksudnya?"
"Persiapkan dirimu. Jika dia menginginkan sebuah peperangan, maka kita akan berdiri di belakangnya."
"A-apa, apa yang Abeoji bicarakan? Siapa yang ingin berperang?"
"Kim Taehyung... Anak itu adalah Putra Mahkota Lee Taehyung."
"A-apa?"
°°°°
Hembusan angin menyapu halaman paviliun selatan Gwansanggam yang gelap. Membawa hawa dingin menyusup ke balik baju dan mengusik permukaan kulit. Siluet biru tua itu melangkah keluar dari paviliun selatan, mengakhiri kunjungannya dan bersiap kembali ke paviliunnya sendiri.
Dengan wajah yang tampak murung. Jungkook berjalan tanpa minat menyusuri teras dan berhenti tepat sebelum ia menuruni anak tangga yang akan membimbing langkahnya sampai pada halaman Gwansanggam yang begitu dingin.
Sekali lagi untuk di malam gelap, pandangannya terangkat untuk menemukan langit gelap yang saat itu menutupi istana Gyeongbok. Pandangannya berkeliling, mencoba menemukan sesuatu yang selalu menarik minatnya ketika malam datang. Dan saat itu kedua netranya membulat ketika menyadari sesuatu yang pernah hilang, kini kembali pada tempatnya.
"Hyeongnim?" gumaman yang menunjukkan rasa tak percayanya.
Jungkook lantas memutar kakinya, berjalan dengan tergesa-gesa menuju ruang kerja Guru Dong Il. Tak cukup dengan hanya berjalan dengan langkah lebar. Sang Putra Mahkota lantas berlari dengan tergesa-gesa hingga ia berhasil sampai di ruang kerja Guru Dong Il, di mana di sana juga ada Guru Heojoon dan juga Guru Kiseung.
"Guru... Guru..." panggil Jungkook ketika ia menaiki tangga kayu untuk bisa sampai di ruang kerja Guru Dong Il. Dan sedikit keributan yang ia buat malam itu membuat ketiga Guru Besar itu lantas berdiri.
"Guru... Hyeongnim..." ucap Jungkook dengan napas yang tercekat di saat ia berhenti di ujung tangga dengan napas yang tersengal.
"Putra Mahkota, ada apa? Kenapa Putra Mahkota berlari seperti itu?"
"Hyeongnim. Bintang Hyeongnim... Bintang Hyeongnim kembali terlihat." perkataan susah payah yang berhasil mengejutkan ketiga Guru Besar Gwansanggam.
Ketiga Guru Besar itu pun saling bertukar pandang sebelum bergegas menuju balkon, begitupun dengan Jungkook yang menyusul mereka. Pandangan semua orang segera mengarah pada langit dan betapa terkejutnya mereka ketika mendapati bintang yang paling terang dan sempat menghilang itu tiba-tiba kembali dengan sinar yang bahkan tak berkurang sedikitpun.
"Tidak salah lagi, itu pasti bintang Hyeongnim. Benarkan?" tuntut Jungkook di antara kebingungan yang melanda ketiga Guru Besar itu.
"Guru, katakan padaku. Itu benarkan bintang Hyeongnim? katakan padaku."
Guru Dong Il menjawab dengan ragu. "Benar, Putra Mahkota. Itu adalah bintang dari Pangeran Taehyung."
Jungkook tersenyum, namun bersamaan dengan itu ia menangis. "Benar, itu adalah Hyeongnim. Dia masih hidup, dia masih hidup dan sedang dalam perjalanan kemari. Bernar, kan? Katakan padaku. Hyeongnim sedang menuju kemari, bukan?"
"Putra Mahkota..."
"Katakan padaku, apa artinya ini? Cepat katakan padaku." Jungkook tetap menuntut dan entah kenapa tangis tanpa suara itu sedikit menyayat hati ketiga Guru Besar di sekitar.
"Guru Dong Il, katakan padaku? Apakah Hyeongnim dalam perjalanan kemari?"
Ketiga Guru Besar itu sempat saling bertukar pandang sebelum Guru Dong Il memberikan sebuah gelengan pelan yang seketika membuat Jungkook menatap tak percaya.
"T-tidak?"
"Hamba tidak tahu menahu perihal hal itu, Putra Mahkota."
Jungkook menggeleng dengan senyum dan airmata. "Tidak, Hyeongnim pasti kembali. Dia belum mati, dia pasti sedang dalam perjalanan kemari. Ya, dia pasti kembali, Hyeongnim pasti kembali."
Selesai di tulis : 01.03.2020
Di publikasikan : 02.03.2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top