Lembar 150
Di hari selanjutnya, para penghuni Paviliun Putra Mahkota tak lagi mendapati wajah murung Putra Mahkota mereka dan hal itu sangat melegakan terlebih kembalinya sosok Changkyun yang sering terlihat keluar masuk Paviliun Putra Mahkota. Setelah menempuh perjalanan panjang tanpa hasil, pada akhirnya Changkyun memutuskan kembali dan harus menghadapi kenyataan yang tak bisa ia terima.
Malam itu, Changkyun berjalan di belakang Jungkook, sekedar untuk menikmati kegelapan malam di temani oleh sinar rembulan yang hampir menghilang dari langit Joseon. Suasana yang begitu tenang, berbeda saat siang yang tampak sangat sibuk.
Setelah berjalan cukup lama dengan hanya keterdiaman di antara keduanya, Jungkook menghentikan langkahnya di atas jembatan yang membentang di atas sungai kecil di area taman. Jungkook kemudian berbalik, berhadapan langsung dengan Changkyun yang bahkan tak akan pernah berubah meski telah menghilang selama apapun.
Perlahan kedua sudut bibir Jungkook terangkat, melukis seulas senyum lembut di sana yang bahkan tak mampu menghangatkan tatapan dingin sang Rubah padanya.
Jungkook berucap, "Sebentar lagi, aku akan menikah."
"Putra Mahkota tidak terlihat bahagia."
"Benar... Aku memang tidak bahagia... Sepertinya apapun yang ku lakukan tak bisa membuatku bahagia."
"Mungkinkah ini karna Agassi?"
Jungkook menggeleng pelan. "Bukan... Ini tidak ada hubungannya dengannya... Entah siapa wanita itu, aku rasa memang aku tidak di izinkan untuk bahagia." Jungkook mengarahkan pandangannya ke langit gelap Joseon dan menemukan bulan sabit yang masih berada di atas sana menandakan bahwa malam sudah semakin larut.
"Putra Mahkota tidak akan mendapatkan kebahagiaan selama Putra Mahkota tidak berniat untuk bahagia."
Sudut bibir Jungkook kembali terangkat seiring dengan pandangannya yang jatuh pada Changkyun. "Pantaskah aku memikirkan cara untuk bahagia? Aku malu padamu, aku malu pada diriku sendiri, aku malu pada Hyeongnim."
Changkyun memalingkan wajahnya, tak ingin melihat tatapan menyedihkan milik Jungkook. Namun saat itu Jungkook mendekatinya dan langsung memeluknya, membuat tubuhnya menegang karna perlakuan Jungkook yang tiba-tiba. Namun dia lebih memilih untuk berdiam diri ketika Jungkook menaruh dagu di bahunya.
"Aku selalu berpikir bagaimana cara agar bisa menebus dosaku kepada Hyeongnim. Namun ketika aku memikirkannya, saat itu aku justru menambah dosa baru di setiap waktunya."
"Putra Mahkota tidak seharusnya memikirkan hal itu."
Jungkook menggeleng. "Tidak. Bahkan saat aku berpikir sebuah kebaikan, maka yang akan ku lakukan adalah sebaliknya... Menjadi Putra Mahkota adalah beban bagiku... Setiap hari, aku selalu merasa kesulitan untuk bernapas. Setiap hari, aku hanya berpikir bagaimana caranya agar kehidupanku kembali seperti dulu... Aku tidak menginginkan tempat ini, kau tahu akan hal itu."
"Naeuri sudah memberikan tempat ini kepada Putra Mahkota, sudah selayaknya Putra Mahkota menjaga tempat yang telah di berikan oleh Naeuri... Itulah bagaimana cara agar Putra Mahkota bisa menebus dosa yang telah Putra Mahkota sebutkan."
Jungkook kembali menggeleng. "Tidak. Bahkan jika kelak aku menjadi seorang Raja sekalipun, aku tidak akan bisa mengurangi dosaku melainkan hanya akan menambahnya di setiap waktunya."
Changkyun bungkam, tak memiliki lagi kata-kata untuk di ucapkan dan semua sejenak menjadi hening. Bisa di rasakannya napas yang benar-benar pendek milik Putra Mahkota yang kini memeluknya.
"Kau tahu, Changkyun?... Aku takut."
"Hal apakah yang membuat Putra Mahkota merasa takut?"
Airmata tiba-tiba meloloskan diri dari kedua kelopak mata Jungkook. "Aku takut... Jika aku menjadi Raja kelak, aku tidak bisa menjadi Raja untuk rakyatku."
"Apa maksud Putra Mahkota?"
Jungkook melepaskan pelukannya dan kembali berhadapan dengan Changkyun, menyisakan seulas senyum tipis di kedua sudut bibirnya dengan mata yang berkaca-kaca. "Kau tahu bahwa aku hanyalah anak bodoh yang tidak mengerti apapun."
"Putra Mahkota telah banyak berubah sekarang."
"Tidak, bahkan jika seseorang mengatakan aku banyak berubah, sebenarnya aku justru menjadi orang yang paling bodoh... Aku takut jika aku menjadi seorang Raja yang tidak tahu bagaimana kehidupan rakyatnya... Aku takut, jika aku hanya menempati tahta tanpa tahu apa yang terbaik untuk rakyatku. Aku takut, aku takut jika aku tidak bisa menjaga tempat yang telah Hyeongnim berikan padaku."
"Putra Mahkota tahu, apa yang paling hamba takutkan malam ini?"
"Apakah itu?"
"Hamba takut jika hamba tidak bisa menahan diri untuk tidak membunuh seseorang malam ini."
Tak merasa terkejut, Jungkook menganggap itu hanyalah sebuah kata kiasan belaka. "Jika kau ingin membunuh, seseorang seperti apakah yang ingin kau bunuh malam ini?"
"Seseorang, yang tidak ku harapkan kehadirannya."
"Maka bisakah aku menjadi orang tersebut?" sahut Jungkook dengan cepat dan seakan tak mendengar apapun, raut wajah Changkyun tak menunjukkan perubahan apapun.
Jungkook kemudian meraih gagang pedang milik Changkyun yang berada di tangan kiri pemuda itu. "Bisakah aku menjadi seseorang itu malam ini?"
Keduanya terdiam untuk beberapa saat dengan tatapan yang saling mengunci sebelum pada akhirnya Jungkook menarik pedang milik Changkyun. Namun hal itu masih tak bisa merubah raut wajah Changkyun yang begitu tenang dan sangat dingin.
"Bisakah aku mati malam ini?" perkataan putus-asa yang membuat Hwagoon dan Hoseok tersentak begitu mereka mendengarnya, di saat mereka yang datang dari arah belakang Jungkook untuk sekedar menumpang lewat.
Kedua orang itupun sontak menghentikan langkah mereka tepat di ujung jembatan yang hanya berjarak sekitar satu meter dari tempat Jungkook.
"Jika kau membunuhku sekarang, mungkin aku baru bisa bahagia. Atau biarkan aku yang melakukannya sendiri." bibir yang gemetar menahan tangis, Jungkook tak mampu menghentikan airmata yang menganggu penglihatannya.
"Jika Putra Mahkota mati di hadapan hamba, maka di hari selanjutnya, hamba akan kehilangan kepala hamba karna keinginan Putra Mahkota sendiri."
Hwagoon dan Hoseok sekilas saling bertukar pandang, merasa keadaan di sana sedikit berbeda. Jungkook menjatuhkan pandangannya beserta pedang di tangannya sebelum tubuhnya merosot ke bawah, mempertemukan satu persatu lututnya pada lantai jembatan. Saat itu pula netra Changkyun bereaksi ketika menemukan keberadaan Hwagoon dan juga Hoseok yang tak ia sadari sebelumnya.
Ketiganya saling bertemu pandang untuk sepersekian detik hingga Changkyun yang kemudian menjatuhkan pandangannya kepada Jungkook yang berlutut di hadapannya. Tentu saja orang yang melihat hal itu akan berpikir bahwa Jungkook telah berlutut di hadapan Changkyun, meski pada kenyataannya Jungkook berlutut karna rasa putus-asanya.
"Bahkan seribu kali aku merenunginya, tak ada sedikitpun dari dosaku yang akan berkurang." gumam Jungkook dengan pandangan yang terarah ke bawah.
"Putra Mahkota." ucap Changkyun berusaha memberitahu bahwa Jungkook harus berhenti, namun sepertinya Jungkook tak menyadarinya.
"Aku ingin setidaknya bisa melihat wajah Hyeongnim di hari pernikahanku."
Hwagoon dan Hoseok sama-sama terkejut mendengar pernyataan dari mulut Jungkook, namun tidak dengan Changkyun yang masih terlihat seperti sebelumnya, seakan-akan ia yang tak lagi memiliki hati untuk bisa merasa iba kepada seseorang.
"Aku..."
"Putra Mahkota."
Batin Jungkook tersentak ketika teguran itu kembali menghampirinya, namun kali ini bukan suara berat milik Changkyun, melainkan suara ringan milik seorang wanita yang berasal dari arah belakang. Jungkook lantas menolehkan kepalanya dan sedikit terperanjat ketika mendapati sosok Hwagoon dan juga Hoseok.
Hwagoon lantas mendekati Jungkook yang segera bangkit dan berhadapan dengannya. Hwagoon sekilas menundukkan kepalanya dan berucap, "hamba, hanya ingin menumpang jalan... Hamba permisi." Hwagoon kembali menundukkan kepalanya dan hendak berjalan melewati Jungkook, namun langkahnya kembali terhenti ketika Jungkook tiba-tiba menahan lengannya.
"Bisakah, kita bicara sebentar?"
Meninggalkan kedua orang berada di jembatan, Hoseok dan juga Changkyun berdiri di tempat yang tidak begitu jauh dengan jarak yang membentang di antara keduanya. Berbeda dengan Changkyun yang terkesan tak menganggap kehadiran Hoseok, Hoseok justru terlihat beberapa kali memperhatikan wajah Changkyun tanpa berani menyapa pemuda yang begitu dingin itu.
Sementara Jungkook kini berhadapan dengan Hwagoon, masih si tempat sebelumnya. Merasa sedikit ragu karna insiden sebelumnya, Jungkook merasa bimbang harus memulai pembicaraan dari mana hingga Hwagoon lah yang pada akhirnya harus membuka suara terlebih dulu.
"Sudah larut malam, tidak baik jika Putra Mahkota tetap berada di luar seperti ini."
Jungkook terlihat kebingungan, pasalnya dia tidak pernah sekacau ini saat berhadapan dengan seseorang. "Yang, kau lihat barusan..."
"Hamba tidak melihat apapun," sahut Hwagoon dengan cepat, "hamba tidak melihat apapun."
Jungkook sempat tertegun sebelum ia yang menundukkan kepalanya dan tertawa ringan tanpa suara, merasa malu harus menunjukkan kelemahannya di hadapan calon istrinya sendiri.
"Bagaimana kau bisa mengatakan hal seperti itu di saat kau sendiri melihatnya dengan jelas di hadapanmu?"
"Hamba datang bukan untuk mencampuri urusan siapapun."
Jungkook menghela napasnya ke udara. "Aku merasa malu sekarang... Bisakah kau menyisakan sedikit lebih banyak waktu untuk menemaniku di sini?"
"Hamba tidak yakin akan hal itu, Nyonya akan memahari hamba jika hamba tidak segera kembali."
"Jika begitu, aku yang akan mengantarmu kembali dan menjelaskan semuanya pada Ibuku."
Tak mendapatkan respon, Jungkook pun duduk di bawah dan bersandar pada pembatas jembatan. Tampak begitu santai, bersikap seakan-akan ia bukanlah Putra Mahkota dan tentu saja hal itu sedikit mengejutkan bagi Hwagoon.
Jungkook mendongak menangkap keterkejutan di wajah gadis itu yang kemudian membuatnya memberikan seulas senyum dan berucap, "jangan terkejut, aku memang seperti ini... Jika kau tidak keberatan, bersediakah kau duduk di sampingku?"
Sempat tampak ragu, pada akhirnya Hwagoon pun memutuskan untuk duduk di sebelah Jungkook dengan kedua tangan yang memeluk lututnya. Merasa sedikit canggung karna masih asing dengan pemuda di sampingnya.
"Seminggu lagi... Seminggu lagi aku akan melepas masa lajangku, dan sepertinya aku tidak bisa bersikap seperti ini lagi... Adakah yang ingin kau katakan padaku?"
Menatap canggung dan penuh keraguan, Hwagoon tak yakin dia bisa melakukan komunikasi yang baik dengan orang asing di hadapannya.
"Hamba... Tidak tahu apa yang harus hamba katakan."
"Tapi aku ada." celetuk Jungkook, "aku memiliki sesuatu untuk di katakan padamu."
"Apakah itu?"
"Di pertemuan pertama kita waktu itu... Aku tidak tahu menahu tentang dirimu, tapi sekarang... Aku sedikit tahu tentang siapa dirimu sebelum datang kemari."
"Hamba hanyalah gadis dari kalangan biasa."
"Tidak." Jungkook menggeleng, "menurutku kau adalah wanita yang keren."
"Apa maksud Putra Mahkota?"
"Sejak kecil aku selalu berharap bisa menjelajahi Joseon menggunakan kedua kakiku sendiri, sayangnya aku tidak bisa melakukannya... Tapi kau, kau hebat karna bisa melakukannya... Tidak, kau adalah wanita paling hebat yang pernah ku temui."
Sebuah pujian yang harusnya mampu membuat pipi gadis yang mendengarnya bersemu, namun hal itu tidak terjadi pada Hwagoon. Gadis muda itu justru merasa heran dengan sikap Jungkook yang sebelumnya terlihat emosinal dan sekarang terlihat baik-baik saja.
"Jangan salah paham, aku tidak bermaksud untuk merayumu... Aku mengatakan sebuah kebenaran."
"Putra Mahkota tidak perlu khawatir bahwa hamba akan salah paham, karna hamba sudah sering mendapatkan pujian seperti itu."
"Benarkah?"
"Ye."
Jungkook terkekeh pelan meski sudut hatinya terasa sakit ketika ia tertawa. "Entah aku menjadi orang ke berapa yang mengatakan hal itu padamu."
Keduanya kembali terdiam untuk beberapa waktu dengan pandangan yang sama-sama mengarah pada bulan sabit yang sudah bergeser dari posisi awal ketika mereka bertemu di sana.
Jungkook kemudian bergumam, "bulannya ingin melarikan diri."
"Itu berarti malam semakin larut."
"Tapi aku tidak ingin dia pergi."
Hwagoon menjatuhkan pandangannya pada Jungkook. "Setiap yang datang pasti akan pergi suatu hari nanti."
Jungkook turut menjatuhkan pandangannya. "Tapi jika aku kembali sekarang, aku tidak akan melihatmu dan pasti akan kembali merasa kesepian." Jungkook kembali mengalihakn pandangannya ke arah lain. "Aku... Ingin bahagia setelah menikah denganmu, aku... Ingin merasa beruntung karna bisa mendapatkan pendamping seperti dirimu. Aku... Aku ingin tertawa bahagia di hari pernikahanku... Tapi sepertinya itu bergitu sulit," Jungkook mengembalikan pandangannya kepada Hwagoon, "kau tahu apa penyebabnya?"
Hwagoon menggeleng dan seulas senyum itu mengiringi jawaban Jungkook setelahnya, "karna kakakku tidak ada di sini."
"Siapa yang Putra Mahkota maksud?" berpura-pura bodoh, Hwagoon tak ingin mengungkit Lee Taehyung terlebih dulu.
"Kau pasti sudah tahu jika aku memiliki seorang kakak. Dia... Adalah orang yang hebat, tapi aku yang bodoh ini justru membuatnya menderita." senyuman miris di akhir kalimat, menarik Hwagoon untuk lebih jauh memasuki kisah pilu yang sepertinya terjadi di antara Putra Mahkota dan Pangeran yang telah menghilang.
"Kenapa Putra Mahkota mengatakan hal seperti itu?"
"Dulunya aku hanya seorang anak kecil yang bodoh sampai Taehyung Hyeongnim menipuku."
"Menipu?"
Jungkook mengangguk, mengarahkan pandangannya pada kegelapan. "Dia mengatakan akan pergi sebentar dan memintaku untuk menempati posisi Putra Mahkota untuk sementara waktu. Aku begitu bodoh karna mempercayai hal itu... Waktu itu aku menempati Paviliun Taehyung Hyeongnim dan dia mengatakan akan tinggal sementara waktu di rumah Kakeknya... Tapi dia justru menipuku dan tidak pernah kembali sampai sekarang."
"Dan Putra Mahkota menyalahkan diri sendiri atas kepergian Pangeran." tebak Hwagoon.
Jungkook kembali mempertemukan pandangannya dengan Hwagoon. "Pada kenyataannya itu memang salahku... Aku benci kepada para tetua yang mengatakan bahwa aku tidak bisa mengembalikan tempat ini pada Taehyung Hyeongnim, padahal waktu itu Taehyung Hyeongnim mengatakan bahwa aku bisa mengembalikan tempat ini begitu ia kembali."
"Tapi dia tidak kembali hingga detik ini."
Jungkook mengangguk. "Waktu itu... Aku sempat mendengar kabar bahwa Baginda Raja telah merencanakan pernikahan untuk Taehyung Hyeongnim,"
Batin Hwagoon tersentak. Seandainya Jungkook tahu bahwa ia lah gadis yang akan di persunting oleh kakaknya, mungkinkah ia masih akan tetap melanjutkan pernikahan ini.
"tapi setelah Hyeongnim jatuh sakit, kabar itu menghilang begitu saja... Sepertinya Baginda Raja sudah membatalkannya."
"Putra Mahkota mengenal siapa orang yang sudah membunuh Ayahmu."
Teringat kembali oleh Hwagoon perkataan Hoseok sebelumnya, dia sempat berpikir bahwa Jungkook turut ambil alih dalam pembunuhan Ayahnya. Namun setelah mendengar penjelasan Hoseok setelahnya, dia menyimpan pemikirannya tersebut.
"Putra Mahkota tidak tahu menahu tentang hal itu, tapi pembunuhnya adalah orang yang dekat dengan Putra Mahkota."
Hwagoon merasa bimbang, dia bisa saja memilih menggigit lidahnya sendiri sampai mati agar bisa terhindar dari pernikahan ini. Namun jika dia mati sekarang, maka tak akan pernah ada keadilan atas kematian Ayahnya. Dan jika Jungkook tidak tahu menahu tentang hal itu, maka ada seseorang yang diam-diam bermain di belakang Jungkook dan itu artinya Putra Mahkota yang berada di hadapannya ini hanyalah sebuah alat politik.
"Kenapa kau diam?"
Hwagoon tersentak dari lamunannya, dia segera mempertemukan pandangannya dengan Jungkook dan memberikan sebuah gelengan.
"Jika boleh tahu... Siapakah pria yang selalu berada di sampingmu itu?"
"Hoseok Orabeoni, Jung Hoseok... Dia adalah tangan kanan Ketua Kim."
Sebelah alis Jungkook terangkat. "Ketua Kim? Ada berapa banyak Ketua yang di miliki oleh Kelompok Pedagang?"
"Hanya satu. Ketua Kim adalah Ketua baru yang menggantikan mendiang Ayah hamba."
Kedua netra Jungkook membulat terkejut. "A-apa, apa yang baru saja kau katakan?"
"Ketua Park, Ayah hamba sudah tutup usia sejak tiga tahun yang lalu."
Seketika perasaan tidak enak menyelimuti Jungkook. "M-maafkan aku, aku tidak bermaksud."
"Putra Mahkota tidak perlu merasa bersalah, hamba sudah bisa menerima hal itu... Tapi sekarang, hamba menginginkan sebuah keadilan atas kematian Ayah hamba."
"Keadilan? Keadilan seperti apa yang kau maksud?" Jungkook di landa kebingungan.
"Keadilan yang bisa hamba dapatkan setelah hamba menikah dengan Putra Mahkota."
"Apa yang baru saja kau katakan?"
Selesai di tulis : 22.12.2019
Di publikasikan : 30.12.2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top