Lembar 131
Fajar menyingsing, mengeringkan embun yang menyelimuti dedaunan yang mulanya menunduk, kemudian kembali pada keadaan seperti sedia kala untuk menyambut sinar sang surya yang mengasihi mereka dengan kehangatan di pagi hari.
Suara burung yang bersahutan dengan gemericik air yang mengalir menuruni gunung. Pagi itu, Kim bersaudara yang baru saja di pertemukan kembali tengah menjelajah jalanan setapak di dekat Kuil. Hanya berdua, tanpa ada Hwajung di sekitar mereka.
"Bagaimana keadaanmu sekarang?" Hwaseung sebagai yang lebih tua memulai pembicaraan dengan pertanyaan ringan, mengingat bahwa semalam mereka tak di beri kesempatan untuk berbicara.
"Hyeongnim sudah melihatnya, aku tidak perlu menjawab apapun."
Jawaban tak memihak yang membuat sudut bibir Hwaseung terangkat, membentuk seulas senyum tipis.
"Kita berhenti di sini saja." ujar Hwaseung kembali, dan keduanya pun duduk berdampingan di atas rumput dan melihat pemandangan yang di suguhkan di hadapan mereka karna mereka berada di lereng yang cukup tinggi.
"Kau tidak terlihat begitu baik di bandingkan dengan saat terakhir aku melihatmu. Kau... Terlihat sedikit pendiam." kalimat terakhir yang terdengar begitu ragu-ragu.
"Manusia sangat lemah terhadap waktu. Mereka bisa berubah kapan saja di saat waktu itu terus berjalan."
Senyum Hwaseung melebar dan diapun menjatuhkan pandangannya pada Changkyun yang juga melakukan hal yang sama, meski tak ada segaris senyumpun yang terlihat di wajah dinginnya.
"Dan kau juga menjadi orang yang bijaksana."
Changkyun justru memalingkan wajahnya ketika kalimat pujian itu keluar dari mulut sang kakak yang turut mengalihkan pandangannya.
"Aku masih jauh dari kata itu."
"Tapi kau bisa merangkai kata dengan baik. Tentunya bukan orang sembarangan yang telah mengajarimu."
Tak ingin merespon kalimat yang baru saja di ucapkan oleh Hwaseung, Changkyun pun menjatuhkan pandangannya pada sang kakak karna ada begitu banyak pertanyaan yang harus ia ucapkan. Meski dia sendiri tak yakin bahwa ia akan mengatakan separuhnya.
"Kemana Hyeongnim pergi selama ini?"
Hwaseung turut menjatuhkan pandangannya pada Changkyun. "Aku tinggal di Hanyang, namun aku sering pergi ke tempat jauh dan berpindah-pindah tempat. Kau tahu? Kakak mu ini, sudah menjadi seorang Saudagar." ujar Hwaseung dengan senyum yang di tujukan untuk membanggakan diri justru terlihat begitu menyedihkan.
"Hyeongnim memiliki kehidupan yang baik sekarang."
Seulas senyum tipis itu terlihat untuk pertama kalinya di hadapan Hwaseung, dan tentunya hal itu membuat batin sang kakak terusik. Di mana dia bisa melihat bayangan ibu mereka ketika si bungsu tersenyum dan membuatnya berpikir bahwa Dewa benar-benar adil dalam meciptakan manusia. Dia yang mirip dengan ayahnya, sedangkan si bungsu mirip dengan ibu mereka. Namun meski di perhatikan secara sekilaspun, kedua kakak beradik itupun memiliki wajah yang sangat mirip.
"Kau terlihat lebih tampan jika sedang tersenyum." gumam Hwaseung dan perlahan senyum di wajah Changkyun memudar seiring dengan ia yang kembali mengalihkan pandangannya dari sang kakak.
"Nu'i, bagaimana Hyeongnim bertemu dengannya?"
Nu'i = Noona.
"Tidak sulit, aku bertemu dengannya ketika orang tua angkatku melakukan kunjungan ke rumahnya. Dan kami bertemu, hanya seperti itu."
"Aku tidak tahu jika ternyata, Hyeongnim masih tinggal di Hanyang." ujar Changkyun dan terdapat sedikit penyesalan dalam nada bicaranya.
"Sebelumnya, aku ingin meminta maaf padamu."
"Hyeongnim tidak membuat kesalahan, kenapa harus meminta maaf?"
"Maafkan kami, karna kami meninggalkanmu begitu saja. Maafkan aku karna aku tidak mencoba untuk mencari tahu keberadaanmu."
Changkyun menjatuhkan pandangannya, dan senyuman tipis itu kembali terlihat di sudut bibirnya untuk sepersekian detik.
"Aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk hal itu."
"Aku tahu, kau pasti sangat marah. Kau pasti merasa kecewa pada kami, dan untuk itu kau bebas untuk membenci kami."
Changkyun menggeleng. "Seseorang mengatakan padaku, bahwa kebencian hanya di miliki oleh seseorang yang siap untuk menjadi seorang pecundang. Dan aku belum siap untuk hal itu."
"Kau membuatku terkejut."
Hwaseung menepuk pelan bahu Changkyun beberapa kali dengan senyum yang mengembang namun tak terlihat bahwa dia benar-benar bahagia ketika terdapat penyesalan yang mendalam saat ia melihat si bungsu tumbuh dewasa tanpa pengawasan dari pihak keluarga.
"Bocah kecil yang selalu ingin tahu, sekarang sudah benar-benar mengerti bagaimana cara untuk bersikap... Kau sudah mengalahkan kakakmu ini."
Keduanya sempat terdiam dan di sibukkan dengan pemikiran masing-masing, meski tak ada yang mampu mereka pikirkan ketika mereka merasa tenang hanya dengan duduk berdampingan seperti ini. Hingga pada akhirnya, si bungsu lah yang kembali berucap.
"Abeoji... Apa Hyeongnim pernah bertemu dengannya?"
Hwaseung menggeleng. "Aku tidak pernah bertemu dengannya. Tapi, sejauh dari apa yang ku dengar bahwa dia bersembunyi dari kejaran para Prajurit Istana."
"Mereka belum melepaskan Abeoji."
"Akan sangat sulit, mengampuni seseorang yang telah di anggap sebagai pengkhianat. Tapi... Di mana kau tinggal sekarang?" Hwaseung menjatuhkan pandangannya pada Changkyun.
"Hanyang, aku tinggal di Hanyang."
"Di bagian mana?"
"Istana Gyeongbok."
"Ne?"
Dahi Hwaseug mengernyit, merasa terkejut sekaligus tak percaya dengan apa yang baru saja di katakan oleh adiknya. Changkyun yang menyadari keterkejutan dari sang kakak pun kemudian mempertemukan pandangan keduanya.
"Setelah kepergian Abeoji dan juga Hyeongnim, aku menetap di Istana."
Mata Hwaseung mengerjap tak percaya. "B-ba-bagaimana bisa? Dengan siapa kau tinggal di sana?"
"Putra Mahkota Lee Taehyung."
"A-apa?" gumam Hwaseung yang benar-benar tercengang kali ini.
Putra Mahkota Lee Taehyung, nama yang terus berputar-putar di kepala Hwaseung. Tidak ada satu orang pun yang tidak mengenalnya dan tidak ada seorang pun di Joseon yang tak mengetahui bahwa dia memiliki Rubah kecil yang selalu berada di sisinya. Jadi, siapakah Rubah kecil itu?
"Jangan mempermainkan kakakmu ini. Kau benar-benar serius, bukan?" ujar Hwaseung kembali memastikan dan di balas oleh anggukan kecil dari Changkyun.
"Rubah kecil milik Putra Mahkota. Mungkinkah, itu adalah dirimu?"
"Ye." gumam Changkyun yang kemudian mengalihkan pandangannya dan sedikit tertunduk. Menampakkan keputus-asaan dalam tatapan sayunya.
Hwaseung yang masih sulit untuk mempercayainya pun sekilas memijat keningnya, namun dengan cepat kembali menurunkannya dan menjatuhkan perhatiannya pada Changkyun.
"Kau tinggal di Istana bersama dengan Putra Mahkota Lee Taehyung, apa mereka memperlakukanmu dengan baik?"
"Ye." Changkyun kembali bergumam, meski ia tak sepenuhnya membenarkan hal itu.
"Kau tahu siapa ibu kita?" pertanyaan yang terdengar lebih serius.
"Ye, Guru Dong Il dari Gwansanggam yang telah mengatakannya padaku."
Hwaseung memalingkan wajahnya, merasa menjadi orang yang paling bodoh dan pecundang sejati di saat ia yang tak pernah berniat untuk mencari tahu kabar tentang adiknya. Dan di pertemuan pertama mereka, dia baru menyadari fakta itu dari mulut Changkyun sendiri. Betapa tidak bergunanya dirinya.
Hwaseung menghembuskan napas beratnya sebelum kembali menjatuhkan perhatiannya kepada Changkyun yang mengarahkan tatapan sayu yang sarat akan kesedihannya pada lembah di bawah mereka.
"Tapi yang aku dengar, bukankah Putra Mahkota Lee Taehyung telah di turunkan dari tahta dan di asingkan karna penyakit menular?"
Changkyun menggeleng. "Penyakitnya tidak menular, dan dia pergi atas kemauannya sendiri. Bukannya di asingkan."
Dahi Hwaseung kembali mengernyit, kenapa fakta yang di bawa Changkyun sangat berbeda dengan apa yang tersebar luas di masyarakat.
"Tunggu sebentar."
Changkyun perlahan menjatuhkan pandangannya pada sang kakak yang terlihat kebingungan.
"Jadi siapa yang mengatakan bahwa dia telah di asingkan?"
"Itu hanya di gunakan untuk menutupi kejadian yang sebenarnya. Dia meninggalkan Istana dan tinggal di Bukchon selama beberapa hari, namun dia tiba-tiba pergi dalam keadaan sekarat."
"Dari mana kau mengetahui semua itu?"
"Karna aku, adalah orang terakhir yang bersamanya waktu itu."
"Jika begitu, lalu di mana sekarang dia berada?"
Changkyun menggeleng dan kembali mengalihkan pandangannya. "Aku masih mencarinya."
"Jadi, kau pergi sejauh ini untuk mencari keberadaannya?"
"Ye."
"Jika seperti itu, bukankah akan lebih mudah jika Istana mengerahkan Prajurit untuk mencari keberadaan Pangeran?"
"Percuma saja. Yang mereka yakini adalah bahwa beliau sudah mati."
"Kenapa? Kenapa bisa seperti itu?"
"Bintang beliau, menghilang di atas langit Istana Gyeongbok. Dan itu berarti bahwa sang pemilik bintang telah gugur."
"Kalau begitu kenapa kau masih mencarinya hingga selama ini?" pertanyaan yang lebih menuntut, membuat Changkyun kembali mempertemukan pandangan keduanya.
"Dia masih ada, dia masih hidup. Bintangnya masih ada, namun tidak terlihat dari Istana Gyeongbok. Dia hanya sedang bersembunyi di suatu tempat."
Hwaseung menjatuhkan pandangannya dengan seulas senyum tak percaya yang terlihat di wajahnya untuk sepersekian detik.
"Bagaimana bisa mereka menyembunyikan kenyataan dengan mengarang cerita sampah seperti itu?"
"Hyeongnim tidak harus mengatakannya pada siapapun, untuk tetap menjaga kedamaian Istana Gyeongbok saat ini."
"Aku tahu. Tapi... Bagaimana jika memang benar bahwa dia sudah mati?"
Changkyun terdiam, tak memiliki jawaban untuk di ucapkan. Bahkan seribu kali ia menghindar, pertanyaan itulah yang selalu ia khawatirkan setiap waktunya. Namun kembali lagi pada harapannya, dia tetap meyakini bahwa Taehyung masih hidup meski bukanlah Lee Taehyung yang mungkin akan ia jumpai suatu saat nanti. Melainkan Kim Taehyung, putra angkat dari ayah mereka sendiri.
Selesai di tulis : 05.11.2019
Di publikasikan : 11.11.2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top