Lembar 158

    Fajar menyingsing, menggatikan sang malam yang penuh ketenangan yang memendam kekhawatiran dengan cahaya yang berpedar di langit dan memancing kebisingan yang bersiap untuk mendengar angin yang membawa kabar tak mengenakkan dari istana Gyeongbok.

    Pagi itu, Changkyun akan di bawa meninggalkan istana Gyeongbok dengan menggunakan tandu terbuka serta jeruji kayu yang menegaskan bahwa ia merupakan seorang tersangka yang akan segera di adili. Dengan tubuh yang terluka dan juga tangan terikat di depan tubuh, tak ada sedikitpun perasaan yang tersirat dalam tatapan dingin yang terkesan kosong tersebut.

    Di sisi lain, di sudut istana bagian lain. Putra Mahkota Lee Jungkook telah berhasil membuat murka sang ayah ketika pemuda itu bersujud di hadapannya sembari menangis.

    "Bangunlah, apa yang sedang kau lakukan?" kalimat yang terucap dengan tenang namun terdengar begitu dingin.

    "Mohon, selamatkanlah Kim Changkyun, Yang Mulia."

    "Kembalilah ke paviliunmu."

    "Hamba menolak..." suara Jungkook memberat ketika ia masih bertahan untuk bersujud di bawah singgahsana yang kelak akan menjadi miliknya, "hamba menolak menjalani sisa hidup hamba hanya untuk sebuah penyesalan. Hamba menolak..."

    Batin Lee Jeon tersentak, tak menyangka jika kalimat menohok itu bisa terucap oleh Jungkook. Sedangkan Kasim Hong hanya mampu menatap iba dengan apa yang kini di lakukan oleh Jungkook.

    "Lee Jungkook!" suara Lee Jeon tiba-tiba meninggi, "tidak sadarkah kau apa akibat dari tindakanmu yang membela seorang pengkhianat?!"

    "Tidak! Changkyun bukanlah orang seperti itu." balas membentak, untuk pertama kalinya Jungkook berani berucap lantang kepada sang ayah. Lantas di pertemukannya tatapan kekecewaan yang bercampur kemarahan dengan tatapan kemarahan sang ayah.

    "Hamba yang sudah memintanya untuk kembali. Jika memang harus ada yang mati, maka hamba lah orang yang pantas untuk menerima kematian itu!"

    "Lee Jungkook! Gunakan akal sehatmu. Orang yang kau perjuangan saat ini adalah orang yang akan membunuhmu, kelak." entah sadar atau tidak, Lee Jeon segera menyesali perkataan yang tak mungkin ia tarik kembali.

    "Jika memang itu yang akan terjadi, maka itu akan menjadi lebih baik." suara yang terdengar putus-asa dan benar-benar membuat Lee Jeon semakin merasa terpojok.

    "Kembalilah ke paviliunmu." Lee Jeon beranjak dari singgahsananya, namun semua terhenti oleh bentakan Jungkook.

    "Ayah!!!"

    Lee Jeon menjatuhkan pandangannya pada Jungkook, mendapati kemarahan pada sosok putra bungsunya tersebut.

    "Aku menolak, aku menolak untuk mewarisi takhtamu." Jungkook lantas meninggikan nada bicaranya, "aku menolak untuk menjadi Raja! Aku menolak takhta ini! Aku... Aku lebih memilih kematian dari pada harus menduduki singgahsana itu!!!"

    "Lee Jungkook!!! Sadarlah!"

    Napas Jungkook terputus oleh kemarahannya dan memberat oleh keputus-asaan. Untuk pertama kalinya tak ada sedikitpun ketakutan yang ia rasakan ketika dengan terang-terangan ia bertatap muka dengan sang ayah yang tampak lebih murka dari sebelumnya.

    "Kau..."

    Perhatian Lee Jeon teralihkan oleh pergerakan Kasim Hong yang tiba-tiba berlutut di sampingnya. Mengutarakan permohonan yang sama dengan Jungkook.

    "Yang Mulia... Mohon berikanlah pengampunan kepada Pangeran Kim Changkyun..."

    Batin Jungkook tersentak ketika ia mendengar bagaimana cara Kasim Hong memanggil Changkyun. Dan Lee Jeon yang menyadari hal itu pun lantas menjatuhkan pandangannya pada Jungkook yang tampak kebingungan.

    Lee Jeon lantas berucap dengan suara yang lebih tenang, "tidak ada seorang pun pengkhianat yang bisa di bebaskan dari hukuman."

    "Kalau begitu, biarkan aku mati bersama Changkyun."

    Batin Lee Jeon kembali tersentak, namun saat itu, untuk pertama kalinya Kasim Hong menangis di hadapan Lee Jeon. Namun seakan berteriak sekencang apapun tak akan sampai ke telinga sang ayah, Jungkook lebih memilih berujar dengan tenang meski pandangannya semakin memburuk oleh airmata yang tak kunjung mereda.

    "Biarkan aku menyusul Hyeongnim. Dengan begitu, Yang Mulia tidak akan mengkhawatirkan pada siapa takhta ini akan jatuh nantinya."

    "Lee Jungkook!" Lee Jeon kembali murka, begitu pula dengan Jungkook yang balas membentak.

    "Aku tidak pernah menginginkan tempat ini! Kenapa ayah membuang Hyeongnim dan menempatkanku di tempat terkutuk ini? Aku benci! Aku benci tempat terkutuk ini... Aku hanya ingin hidup sebagai adik Taehyung Hyeongnim, tapi kenapa kalian semua tidak ingin mengerti? Kenapa? Kenapa???"

    "A-apa, apa yang sedang kau bicarakan?"

    "Aku... Tidak ingin menjadi Raja! Aku menolaknya, aku menolaknya!" tangis Jungkook kembali terdengar dan semakin tak terkendali. Dalam hatinya, ia mengutuk semua orang yang terlibat dalam skenario mengerikan hidupnya. Setelah kehilangan Taehyung dan kini ia harus kehilangan Changkyun. Dia benci di tinggal sendiri, dia sangat benci.

    "Ayahanda..." dalam tangisnya, dia masih sanggup untuk memohon sedikit kemurahan hati dari sang ayah hingga tangisnya yang masih tetap berlanjut ketika ia tak menyadari bahwa pintu di belakangnya terbuka dan mengalihkan perhatian dari Lee Jeon yang menampakkan sedikit keterkejutan di wajahnya.

    "Kau?"

    Di kawal oleh beberapa prajurit istana. Changkyun di bawa untuk meninggalkan istana dan akan menjadi bahan tontonan bagi rakyat Joseon sebelum di eksekusi. Menulikan pendengarannya, membutakan penglihatannya. Si Rubah mencoba mendapatkan ketenangan bagi jiwanya di detik-detik terakhir tanpa ada satupun harapan yang mampu menyelamatkannya.

    Kepala yang tegak seakan menantang kematian. Terlihat dalam jangkauan pandangannya, Gwanghwamun yang begitu megah. Besar, tinggi dan kokoh meski telah melewati empat musim yang terus berlalu.

    Semakin dekat ia dengan Gwanghwamun, maka semakin dekat pula ia dengan kematian. Namun tak ada sedikitpun ketakutan dalam tatapan dinginnya yang masih tetap sama seperti sebelumnya.

    "Berhenti!" sebuah teguran dari suara tegas yang kemudian menghentikan pergerakan semua orang.

    Prajurit dari paviliun Baginda Raja datang mendekat dan membuka gulungan di tangannya yang kemudian ia tunjukkan kepada salah satu petugas Pengadilan yang tampak terkejut akan hal itu.

    Si petugas Pengadilan lantas memberikan isyarat kepada para bawahannya untuk segera menurunkan tandu Changkyun dan berganti prajurit utama dari paviliun Baginda Raja yang mengambil alih tandu dan membawa Changkyun pergi menjauh dari Gwanghwamun.

    Tak memiliki ketertarikan hingga beberapa waktu kemudian netra Changkyun bereaksi ketika pandangannya menangkap tempat yang tak asing lagi baginya.

    Paviliun selatan Gwansanggam. Tidak salah lagi bahwa saat ini mereka berada di sana. Pandangan Changkyun lantas menemukan ketiga Guru Besar Gwansanggam yang kala itu berdiri di bawah tangga paviliun seakan tengah menunggu kehadirannya, dan tak butuh waktu lama hingga tandunya di turunkan tepat di hadapan ketiga Guru Besar yang kini menatapnya dengan tatapan prihatin.

    Pintu sel di buka oleh prajurit utama. "Mari, Tuan Muda."

    Tak mengerti apa yang saat ini telah terjadi. Changkyun beranjak dari duduknya dan turun dari tandu. Namun tepat saat kaki telanjangnya yang penuh dengan luka itu menginjak lantai halaman, saat itu pula tubuhnya limbung. Menciptakan sedikit kepanikan di antara ketiga Guru Besar Gwansanggam yang segera menghampirinya.

    "Tuan Muda..."

    "Berhati-hatilah." Guru Dong Il dan Guru Kiseung menahan kedua lengan Changkyun.

    "Kalian boleh pergi sekarang." ujar Guru Heojoon, mempersilahkan para prajurit yang sudah menyelesaikan tugas mereka untuk pergi.

    "Bawa Tuan Muda masuk ke dalam."

    Kedua Guru Besar Gwansanggam itu lantas memapah tubuh lemah Changkyun untuk menaiki anak tangga dan memasuki paviliun.

    "Pelan-pelan saja Tuan Muda." tegur Guru Dong Il ketika melihat wajah Changkyun yang sesekali mengernyit.

    Guru Heojoon yang berjalan paling depan pun segera membuka pintu ruangan di salah satu paviliun dan membiarkan kedua Guru Besar lainnya membawa Changkyun masuk ke dalam. Di mana pandangan si Rubah langsung tertuju pada punggung yang tampak tak asing lagi.

    Siluet biru tua yang kini terduduk di lantai dengan kepala yang tertunduk. Tentu saja tak akan mudah untuk menghapus sosok itu dalam ingatannya. Kedua Guru Besar itu lantas menurunkannya tepat di belakang Jungkook dalam jarak satu meter sebelum pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun.

    Suara pintu yang kembali menutup kemudian memaksa Jungkook untuk menghentikan sisa-sisa tangisnya. Mengusap kasar airmatanya, sang Putra Mahkota lantas berbalik dan kembali menangis setelah melihat bagaimana kondisi si Rubah saat ini.

    Bahunya kembali berguncang, menunjukkan penyesalan yang mendalam bagi pemuda yang kini melihatnya tanpa ada perasaan yang mampu tercurah dalam sorot mata yang begitu dingin.

    "Maafkan aku... Harusnya aku tidak memintamu untuk kembali, maafkan aku... Changkyun... Kau berhak membenciku."

    Mengumpulkan sisa tenaga yang ia miliki. Changkyun berusaha mencapai tempat Jungkook dengan cara merangkak. Satu-satunya cara yang bisa ia lakukan dalam kondisi fisiknya saat ini.

    Dan tepat setelah ia sampai di tempat Jungkook, ia menumpukan satu lututnya pada lantai dan merengkuh tubuh Jungkook. Hal yang bahkan tak pernah ia lakukan pada siapapun.

    Namun pada kenyataannya pelukan itu justru membuat Jungkook semakin di himpit oleh rasa penyesalan yang membuat tangisnya semakin menjadi. Seakan tangisnya yang sebelumnya masih belum cukup, di dalam rengkuhan sang Rubah yang menyimpan kehangatan di balik sikap dinginnya, Jungkook mengadu dengan sebuah tangisan di saat tangannya yang bahkan tak mampu ia gunakan untuk merengkuh balik tubuh yang terluka tersebut.

    Maaf, satu kata sederhana yang menyimpan ribuan luka. Jika seandainya si Rubah tahu bagaimana pemuda yang berada di dalam rengkuhannya kini menentang ayahnya sendiri untuk menyelamatkan. Masihkah ia akan tetap bertahan pada hatinya yang begitu dingin.

    Benarkah tidak ada lagi tempat di hatinya untuk sekedar di singgahi oleh Lee Jungkook, pemuda naif yang baru saja melakukan pemberontakan pertamanya untuk Rubah kecil milik sang kakak yang tak kunjung memenuhi janjinya untuk kembali.

Selesai di tulis : 17.02.2020
Di publikasikan : 18.02.2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top