Lembaran Pertama
Lonceng pernikahan menggema di hari sabtu yang mendung itu.
Renjun masih setia memandangi lautan rakyat dari dalam kereta kencananya saat dua kuda gagah mulai mengambil langkah. Ia melambai dalam senyum haru juga bahagia yang menggebu. Perasaannya meledak-ledak, membawa jiwanya pada bumbungan tinggi yang tak terdeskripsi. Tubuhnya masih bergetar hebat selayaknya saat ia berjalan di sepanjang karpet merah altar. Mulutnya masih keluh sejak ia mengucapkan sumpah sehidup semati itu.
Sumpah sehidup semati.
Sesuatu dalam jiwanya meredup tenang saat memori jangka pendeknya kembali memutar memoar yang ia lukis bersama seseorang yang kini duduk dengan tenang di sampingnya.
"Yang Mulia...."
Suaranya yang serak ia paksakan untuk menggumamkan nama dari si pangeran yang kini menatap jalanan dengan matanya yang kosong. Renjun tersenyum tipis saat wajah tampan itu teralih dan menyuguhinya senyuman manis.
"Ya, Renjun-ssi?"
Untuk pertama kali saat telinganya dapat dengan jelas mendengar suara dari si pangeran tampan, Renjun bersumpah bahwa itu akan menjadi stimuli khusus yang ia taruh dalam peta kognitifnya.
"Apakah.... anda baik-baik saja?"
Termasuk wajah muramnya saat kata-kata itu terucap sebagai sebuah pertanyaan sederhana dalam mulutnya.
Renjun ingin mengingkarinya, namun wajah muram si pangeran saat pertanyaan itu terucap dari bibirnya terus membayangi malam-malamnya setelah itu.
Apakah.... ia tidak baik-baik saja?
-
"Bayinya diperkirakan akan lahir lusa nanti. Kau dan Renjun akan menjemputnya langsung sebelum upacara penobatan."
Hari ini adalah hari ketujuh sejak pemberkatan pernikahan. Hari ini juga sekaligus hari di mana Renjun tahu bahwa ia dan Jeno akan langsung menjadi orang tua asuh dari bayi yang tidak pernah dilahirkannya.
Renjun tak mengerti, juga terus bertanya-tanya. Ia merasa bahwa ia bisa mengandung dan melahirkan keturunan, tapi mengapa Yang Mulia Raja justru membiarkan seseorang memberikan anaknya kepada mereka?
"Minhyung akan marah...."
Setelah keterdiamannya yang cukup lama, Jeno akhirnya buka suara. Ia tatap sang raja dengan kilatan marah. Tangannya yang tersembunyi di pangkuan tangan meremat celana bahannya dengan erat, seolah meluapkan amarah yang ia tahan di dalam benak.
Renjun menyadarinya, dan ia menyesal karena hanya bisa menghela napas dalam sementara hatinya memberontak ingin menggenggam tangan pucat itu.
Mengapa pangerannya tak pernah terlihat bahagia?
"Minhyung adalah sepupumu, ia tak akan marah. Sudah ada kesepakatan kalau anak yang dilahirkan Jaemin akan sementara menjadi pemegang kekuasaan sampai--"
"Sampai aku mati?!"
Si pangeran yang tertekan dalam emosinya kembali membuka suara dengan ledakan yang membuat semua mulut di sana ternganga. Matanya yang tertunduk mulai menyalang nyala, memandang si orang nomor satu di Korea dengan kilatan yang semakin membara. Napasnya memburu sementara rematannya semakin menguat di balik pangkuan tangannya.
Renjun yang ketakutan perlahan memberanikan diri untuk mengambil tindakan yang tak pernah ia sangka akan berani ia lakukan di tengah situasi seperti ini, menyentuh tangan Jeno dan menggenggamnya dengan erat.
Tangannya begitu dingin.
"Aku bisa punya anak secepatnya dan aku tidak butuh bantuan apapun dari Minhyung!"
Genggaman tangan mereka kemudian terlepas. Dengan tak rela, Renjun membiarkan si pemilik tangan dingin itu meninggalkannya. Jeno pergi dengan napas memburu sebelum membanting pintu dengan kasar.
Sementara Renjun di tempatnya hanya mampu memandangi punggung yang hilang di balik pintu itu dengan sedih. Meratapi sudut terdalam hatinya yang terus bertanya-tanya, mencoba menjangkau sisi terdalam sang pangeran yang begitu sulit ia gapai.
"Renjun-ah...."
Sebuah suara menghancurkan ratapan nestapanya yang tak kasat mata. Sang ratu yang duduk di samping raja menghela napas dalam saat suaminya beranjak dari singgasana dan meninggalkannya dalam keheningan yang mencekam.
Renjun merasa tertampar pada kenyataan bahwa kini hanya ada ia dan sang ratu di sini.
"Iya, Yang Mulia?"
Wanita anggun dengan wajah dinginnya itu mulai mengalihkan tatap, mencoba menyesuaikan air mukanya yang tak bersahabat untuk membuat Renjun tetap merasa nyaman. Karenanya, Renjun melukiskan sebuah senyuman manis sebagai bentuk penghargaannya atas usaha sang ratu. Ia tahu bahwa wanita pendamping si penguasa ini pasti tengah berada dalam kesulitannya sekarang.
"Apa yang kau lihat dan dengar tadi...
Tolong lupakan semuanya."
Senyum Renjun perlahan luntur saat ia menyadari bahwa apa yang menjadi substansi larangan sang ratu, justru adalah sesuatu yang menamparnya pada tanda tanya besar.
Note
1. Setelah chapter satu ini, aku mau memastikan apakah kalian tertarik dengan ceritanya? (Karena aku bisa aja ngeunpblish ini kalau sekiranya kalian merasa ngga tertarik)
2. Untuk yang bingung apakah ini bxb atau gs, aku tekankan bahwa itu tergantung pada imajinasi kalian. Aku sendiri membuat ini sebagai bxb, dan itu artinya ada bias gender dalam cerita ini (but I thought it isn't problem anymore).
3. Terima kasih untuk yang sudah mau baca dan vote. Yang sekedar baca tanpa vote aku tetap maklumi karena mungkin cerita ini tidak semenarik itu sampai kalian tidak memberikan vote (dan karenanya, tidak menutup kemungkinan aku akan menghentikan publisitasnya).
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top