Lembaran Ketiga
"Kita harus mulai meregulasi peraturan soal pewaris tahta."
Pagi itu di ruangan raja yang selalu terasa sepi dan menggemakan suara siapa saja yang berbicara di dalamnya, Pangeran Sungmin menengadah menatap sang raja yang mengalihkan pandang dengan iris resah. Anak tunggal dari pamannya yang merupakan seorang raja besar itu kini tak ubahnya bak pria biasa yang tak ingin diajak bicara, bukan seorang raja yang biasanya selalu berhasil menciptakan kesan tegas dan berwibawa.
"Donghae-ya...."
Pangeran Sungmin mengeja nama yang baru saja diucapkannya di dalam hati. Untuk pertama kali sejak pengangkatannya sebagai raja, ini kali pertama ia dipanggil dengan nama aslinya.
Donghae, Lee Donghae. Bagi Sungmin, itu hanya nama sederhana dari adik sepupunya yang dulu sering menghabiskan waktu bersamanya, bermain sebagai sahabat kecil tanpa embel-embel pangeran istana. Mereka tumbuh bersama sebagai sepasang adik dan kakak, tanpa peduli bahwa masing-masing ayah keduanya menduduki kursi yang berbeda. Donghae dengan warisan kursi tahta ayahnya, dan Sungmin yang selamanya hanya akan mewarisi gelar pangeran biasa, layaknya sang ayah.
Tapi itu bukan masalah, Sungmin tak pernah mempermasalahkannya. Ia sadar dan paham betul bahwa singgasana raja selalu diturunkan secara statis berdasarkan urutan kelahiran, tanpa disertai kualifikasi khusus lainnya. Jadi saat sang ayah justru hanya akan menyandang gelar sebagai pangeran tanpa memungkinkan menjadi seorang raja, Sungmin memaknai itu sebagai takdir anak kedua yang memang tidak dapat disangkalnya. Juga, ia tak dapat menghakimi takdirnya yang hanya seorang anak dari pangeran kedua yang tidak mewarisi tahta apapun dari ayahnya.
Seandainya kerelaannya itu sejalan dengan situasi yang seharusnya terjadi saat ini.
"Apa yang perlu diregulasi? Pengangkatan cucumu sebagai pewaris cadangan sudah merupakan perubahan peraturan yang sangat besar. Orang-orang di luar sana sudah cukup dibingungkan dengan hal itu."
Donghae mencoba tenang, meski sejatinya ia ingin mengenyahkan sosok dengan sorot penuh tuntutan itu dari hadapannya sekarang. Tapi ia tidak mampu. Sebuah ketidakmampuan yang seharusnya tak dimiliki oleh seorang raja sepertinya.
"Hyung...."
Sang raja yang kini memposisikan dirinya sebagai seorang adik kecil itu kembali membuka mulutnya, mengeja panggilan yang paling ia rindukan kepada seseorang yang kini menatapinya dengan sorot mata tajam.
"...aku mohon mengertilah posisiku."
"Aku pikir seharusnya kau yang mulai memahami kondisi anakmu."
Ada tatapan kaget untuk penanggapan sederhana itu, seolah substansinya tak seringan redaksi katanya. Dan Sungmin menyadarinya, hanya untuk membiarkan itu sebelum kemudian berlalu dari hadapan si raja besar.
"Aku berharap suatu saat kau mau membuka mata untuk keadaan istana saat ini, Yang Mulia...."
Setelahnya pintu tertutup dengan derit suaranya yang menggema, menemani sang raja yang kini hanya seorang diri di dalam ruangannya. Bayangan soal bagaimana sang kakak sepupu memandanginya dengan serius sepanjang obrolan mereka tadi merenggut ketenangannya, pun dengan kata-kata si pangeran yang kini seolah menjadi latar belakang suara dari kegundangan hatinya.
Lee Donghae menghela napas kasar. Netranya berangsur-angsur basah saat terpaku tepat pada lukisan yang termangu bisu di sudut ruangan itu.
"Yoona-ya...."
•
/Brak/
Ratu Sooyeon melempar kasar laporan kegiatan sang calon penerus tahta saat kertas dengan map berstempel kerajaan itu disodorkan oleh putranya. Matanya yang terukir indah melotot tajam, mencoba mencerca si putra mahkota yang kini duduk di kursi kebesarannya sembari menunduk takut.
Wanita setengah abad itu kemudian menghela napas berat. Matanya terpejam perlahan saat benaknya mencoba meredam emosinya yang meledak-ledak.
"Apa maksudmu dengan menonton pertandingan balap mobil di pekan kedua setelah penobatan putra Pangeran Minhyung?"
Suaranya mengudara dengan dingin, mengalahkan pendingin ruangan yang setia mendengkur halus di sudut ruangan si pangeran besar. Jeno yang sudah menduga akan amarah sang ibunda hanya dapat menghela napas kasar, mencoba meredam kekesalannya dengan meremat tangan.
Pria itu tengah merasakan kekesalannya yang memuncak untuk sebuah penolakan yang sudah muak ia terima di sepanjang hidupnya.
"Aku sudah menjadwalkan itu sebelum rencana penobatan ini, Bu."
Namun meski yang meledak-ledak di dalam benaknya saat ini adalah seekor singa buas, gelagat dan kata-kata yang keluar dari mulutnya tak ubahnya bak kucing jalanan yang tengah memelas saat terkepung oleh si pemilik rumah setelah ketahuan mencuri sepotong daging di meja makan.
Jeno tak menyukai dirinya yang seperti ini, tapi naluri primitifnya harus mulai ia enyahkan demi sebuah kamuflase kebertahanan.
Ratu Sooyeon kembali menghela napas jengah. Ditatapnya kertas dengan tanda tangan sang putra itu dengan dingin.
"Pekan kedua setelah ini kau akan tur bersama istrimu ke wilayah selatan. Orang-orang di sana membutuhkan calon raja mereka dan kau malah mementingkan balap mobil tidak berguna itu?!"
"Tapi ini penting untukku, Bu!"
"Kau masih berani memanggilku Ibu saat kini aku tak memandangmu sebagai anakku?!"
Ukiran indah itu terbelalak nyalang, entah untuk kembali mencerca putra semata wayang, atau justru untuk perasaan kaget akan ucapan kerasnya barusan. Tangannya yang sedari tadi meremat ujung kertas itu kini mulai melemah, bersamaan dengan rasa lelah yang tiba-tiba menghinggapi benaknya.
Atau mungkin sebuah perasaan bersalah? Rasa bersalah yang selama bertahun-tahun ia tekan dalam dinding pertahanannya untuk menghadapi kejamnya takdir yang menggariskan hidupnya seperti ini.
Putranya kini balik mencercanya dengan sorot mata yang tak dapat ia baca. Bertahun-tahun Jeno sering memberikannya tatapan itu tiap kali penolakan keras ia utarakan namun dirinya tetap tak mampu memaknai perasaan apa yang sebenarnya disimpan oleh sang putra di balik iris segelap jelaganya.
Apakah itu sorot mata ketakutan, kilat penuh luka, atau sebuah akumulasi dari kebencian yang terus tertimbun dan mengendap di dalam dirinya?
Sebagai seorang ibu, Sooyeon selalu merasa gagal untuk ketidakmampuannya dalam memaknai sang putra.
"Ibu sedang berhadapan dengan seorang calon raja sekarang."
Dengan suara lirih, ia kembali memberanikan diri untuk membuka mulutnya. Netranya ia coba untuk menembus benteng kokoh si jelaga di depannya, berusaha menemukan apa yang sebenarnya tersimpan di dalam sana. Tangannya ingin terulur untuk menggapai rahang kokoh itu, mengusapnya dengan lembut dan memastikan bahwa pria tampan yang dua puluh satu silam ini masih menangis di gendongannya, kini sudah tumbuh dewasa dan bisa diandalkan.
Diandalkan dalam istana yang kejam.
"Kau harus tahu bahwa antara memperlakukan seorang anak dan raja itu berbeda, Jeno-ya."
Setelahnya ia bangkit dari kursinya dengan tangan yang menggenggam selembar map berstempel istana tersebut. Tanpa kata, ia melangkah meninggalkan sang putra yang kini membisu di tempatnya, masih dengan tatapan yang sama yang mengiringi dirinya dalam perasaan menyerah yang melelahkan.
"Yang Mulia...."
Hingga akhirnya ia kembali dibuat tercekat oleh panggilan yang entah mengapa sedikit melukai hatinya.
Sooyeon hampir mencapai muka pintu sebelum suara sang putra kembali menahan langkahnya.
Tidak, bukan putranya, tapi si putra mahkota. Calon rajanya.
"Bisakah.... untuk tidak menyerahkan itu kepada Yang Mulia Raja?"
Permaisuri itu mematung kaku di tempatnya berdiri. Tangannya tanpa sadar meremat laporan kegiatan yang terselip di balik map yang ia genggam saat suara sang putra kembali menyapa indra pendengarannya.
"Aku--aku takut Yang Mulia memarahiku...."
"Kau masih takut pada ayahmu?"
Saat ia membalikkan wajah, hal pertama yang dilihatnya adalah perubahan raut pada wajah tampan sang putra yang kini berubah semakin muram.
"Aku--tidak pernah menganggapnya sebagai seorang ayah."
"Seperti katamu, Beliau adalah sosok Raja bagiku."
▪︎
Renjun tersenyum kecil setelah berhasil merebut salah satu tugas kepala pelayan suaminya dan mendapatkan sepasang pakaian formal milik si putra mahkota dari ruang pakaian. Lebih dari tiga puluh menit ia bernegosiasi dengan Nyonya Choi untuk membiarkannya menyiapkan putra mahkota dalam upacara penobatan sore nanti, dan usaha yang dilakukannya tidak sia-sia saat wanita dengan kisaran usia kepala lima itu mengizinkannya. Akhirnya, Renjun kembali dari ruang pakaian dengan setelan milik Jeno, tak peduli dengan tatapan para pelayan lainnya yang memandangnya aneh meski masih dalam mimik wajah segan.
Di lorong kamar sang putra mahkota, Renjun berpapasan dengan ibu mertuanya yang berjalan dengan pandangan kosong, tampaknya baru saja meninggalkan ruangan yang tengah ia tuju sekarang.
"Selamat pagi, Yang Mulia...."
Renjun menyapa sopan sembari sedikit menundukkan kepala. Dekapannya pada setelan milik Jeno semakin mengerat saat sang permaisuri memberi atensi lebih pada hal itu.
"Apa yang akan kau lakukan dengan pakaian itu, Renjun-ah?"
Ratu Sooyeon bertanya datar, meski wajahnya kini berusaha menciptakan kesan seramah mungkin untuk membuat menantunya nyaman. Dan Renjun bersyukur karena dapat menangkap maksud baik dari ibu mertuanya yang selalu memberikan kesan dingin dan anggun tersebut.
"Saya berencana menyiapkan Pangeran Jeno untuk penobatan sore nanti, Yang Mulia."
Si pendamping raja itu tersenyum tipis untuk jawaban Renjun. Hatinya sedikit menghangat, dan perasaan itu membawanya pada langkah untuk berbalik dan memandangi pintu kamar sang putra yang baru saja ia tinggalkan dengan kecamuk hati sebelum ini.
"Baguslah. Kau berusaha keras untuk dekat dengannya."
Renjun dapat melihat wajah hangat sang permaisuri meski hanya dimanifestasikan oleh senyum tipisnya yang nyaris tak terlihat. Ia kembali sedikit menundukkan kepala saat wanita dengan surai brunette itu menjauh meninggalkannya bersama suara langkah heels yang beradu dengan lantai marmer yang mengkilat. Si manis Huang itu akhirnya dapat dengan leluasa menyunggingkan senyumnya untuk kata-kata sang permaisuri barusan.
Berusaha keras untuk dekat dengannya.
Renjun memikirkan kata-kata itu dengan jantung berdebar halus, menemaninya hingga langkahnya kini telah membawanya pada kamar Jeno yang besar dan sunyi. Di muka pintu, ia hanya diam memandangi sang suami yang terlihat begitu muram memandangi sinar matahari dari kaca jendelanya yang besar.
"Kau ke sini hanya untuk berdiri di sana?"
Kata-kata yang menggema itu kemudian menyadarkannya dari keterpakuan. Renjun sedikit mendengus malu dan dengan hati-hati melangkah mendekati Jeno yang masih tidak beranjak dari posisinya saat ini. Rasa percaya dirinya tiba-tiba menurun drastis saat menyadari bahwa mungkin ia hadir dalam situasi yang tidak tepat seperti sekarang ini saat hanya ada kebisuan dari si pangeran yang menyambut kedatangannya.
Tapi kemudian Renjun menertawakan pikirannya itu. Memang sejak kapan suaminya ini akan antusias dengan kedatangannya?
"Aku datang untuk menyiapkanmu dalam penobatan sore ini, Pangeran."
Ia tersenyum lembut dan berusaha mendapatkan atensi Jeno yang kini hanya mendengus malas dan mengalihkan pandang ke arahnya dengan sorot mata tajam, "Aku tidak mau bersiap secepat ini."
"Tapi jadwal untuk persiapan sudah berlangsung saat ini, Jeno-ssi."
Si tampan mengerang kesal sembari bangkit dari duduknya dan menatapnya dengan tajam, "Aku bukan orang membosankan sepertimu yang mau diperbudak oleh aturan bodoh itu!"
Ia kemudian membaringkan diri di kasurnya yang sudah rapi dan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Renjun yang mendapati pemandangan itu hanya mematung tak percaya, meski ia juga sedikit geli karena saat ini suaminya itu persis seperti anak-anak yang merajuk karena tidak dituruti keinginannya.
Masih tak menyerah untuk meruntuhkan pertahanan kuat sang putra mahkota, Renjun memilih untuk mendudukkan diri di ujung kasur sembari memantau tingkah suaminya itu.
"Untuk apa kau masih di sana?!"
Samar-samar dapat ia dengar erangan kesal Jeno dari balik selimutnya yang menimbulkan senyum simpulnya. Si manis Huang itu semakin mendekat, tangannya tanpa sadar terulur untuk mengelus rambut suaminya yang sedikit mencuat.
"Menunggumu sampai mau dipakaikan baju."
Rambut itu agak sedikit basah dan membuat tangannya beraroma mint. Si pangeran besar ini pasti sudah mandi beberapa saat yang lalu tapi lupa mengeringkan rambutnya. Renjun yang menyadari itu tanpa sadar mendengus kecil dan kembali menyunggingkan senyumnya.
"Aku akan menunggu sambil mengeringkan rambutmu."
"Apa?!"
Renjun beranjak dari sana, tak mengindahkan tatapan kesal suaminya. Ia kembali dengan sebuah hair dryer yang langsung dipasangkannya dengan stop kontak di nakas samping kasur Jeno, mengatur volume anginnya sekecil mungkin, dan mulai mengeringkan rambut hitam itu dengan hati-hati.
"Kau--lancang sekali kau?!"
Renjun hanya mendengus kecil, tak memedulikan erangan kesal Jeno yang masih berbaring dengan kaku. Pria itu nampaknya ingin segera memberontak sebelum tangan Renjun menahannya dengan usakan lembut di rambutnya.
"Ibuku suka melakukan ini kepadaku--"
Jeno akhirnya membisu, membiarkan sang istri meneruskan ucapannya dan melanjutkan kegiatan mengeringkan rambutnya sekarang.
"Aku merindukannya sekarang. Jadi--bisakah aku melakukan ini untukmu?"
Mata mereka bertemu dalam tatapan tak biasa untuk kesekian kali setelah pemberkatan pernikahan mereka beberapa bulan yang lalu. Renjun dengan binar hangatnya masih tak menyerah untuk menemukan sesuatu di balik iris jelaga sang suami. Sementara Jeno menemukan sesuatu yang tak pernah dirasakannya selama ini.
Sesuatu yang menenangkan kecamuk jiwanya, juga sesuatu yang menggetarkan sudut terdalam hatinya.
Ada yang masih bingung sama posisi tiap karakternya ga?
Aku jelaskan di sini ya.
1. Ayahnya Donghae (Kakek Jeno) itu raja terdahulu yang punya adik, nah adik kakeknya Jeno ini punya anak yaitu Pangeran Sungmin. Tapi, Sungmin di sini lebih dulu lahir dari Donghae, yang otomatis Sungmin adalah kakak sepupunya Donghae. Begitu pun dengan Mark yang anaknya Sungmin.
2. Mark sama Jaemin di sini ngga ada sangkut pautnya sama kondisi/? Jeno, tapi sedikit banyaknya pov mereka bakal menjelaskan gimana keadaan Jeno selama ini.
3. Cerita ini latarnya monarki modern ya. Anggap aja Korsel itu kerajaan monarki kaya Inggris yang punya beberapa negara persemakmuran, salah satunya negaranya Renjun. Dan kerja para anggota senior istananya itu bukan megang pemerintahan Korsel, tapi megang monarkinya. Kerja mereka bakal lebih banyak di militer sama di kegiatan kemanusiaan, bukan di pemerintahan.
Gimana? Masih penasaran?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top