Lembaran Kesembilan

+ Hai, gimana pemahaman kalian sejauh ini tentang plotnya?

Sebenernya dari awal chapter aku udah memasukkan banyak hint dan clue untuk cerita ini dan aku juga berusaha untuk memadatkan ceritanya sependek mungkin karena memang book ini tidak akan memuat banyak chapter.

Kalau kalian lihat tagnya, cerita ini memiliki genre utama angst dan setahuku angst punya muatan 'sedih-menderita' yang lebih dari sekedar tag 'sad'. Nah, letak angst ini aku bawa lewat pengaluran konflik batin para tokohnya. Kalau kalian cermati, yang punya konflik batin di sini ngga hanya Jeno, tapi hampir semua tokohnya (Markmin, Haesica, dll), dannnn.... untuk Renjun, bakal ada dinamika tersendiri untuk konflik batin yang dirasakannya (wkwkwk ngerti ga lu pada bahasa tijel gua:3). Intinya, secara plot cerita ini sederhana (mungkin) dan mungkin nyaris seperti konflik cerita monarki pada umumnya.

Satu lagi! Cerita ini juga mungkin bakal kaya akan muatan psikologi, tapi karena sudut pandang yang diambil adalah sudut pandang para karakternya yang merupakan orang awam (bukan psikolog/psikiatri/terapis mental) maka muatan ini akan aku gambarkan secara tersirat dan ngga gamblang.

+ Sekian cuap-cuap dan penjelasan singkat dariku. Semoga kalian masih terus berkenan untuk menikmati ceritanya sampai akhir. Happy reading!




-






Jeno tidak baik-baik saja. Ada sesuatu dalam dirinya yang mungkin perlu disembuhkan, atau setidaknya dipahami secara lebih manusiawi.

Renjun mengetahui itu, ia mulai menyadari hal itu. Suaminya yang beberapa jam yang lalu mengacaukan acara sambutan kedatangan mereka itu kini tengah meringkuk di dalam selimut yang sudah sejak sejam yang lalu ia kenakan di kamar hotel mereka. Renjun yang setia menemani hanya dapat termenung kosong, masih terlalu kaget dan mencoba mencerna apa yang terjadi sebelum ini.

Tapi lebih dari sekedar rasa shock-nya, benaknya mulai diliputi kecemasan kecil. Bagaimana tanggapan istana setelah mengetahui hal ini? Apa yang harus ia katakan kepada mereka?

Ponselnya yang bergetar dan beradu dengan nakas kayu mengaburkan lamunannya. Kontak sang ayah terpampang besar di sana. Menghela napas berat, Renjun mengangkat panggilan itu dan semakin merasa berberat hati saat mendengar suara riang ayahnya di seberang sana.

"Hallo, Ayah?"




-



"Mungkin akan lebih baik kalau kita membiarkannya berada beberapa hari lagi di sana. Barangkali Jeno akhirnya dapat beradaptasi dan--"

"Dan membuat malu lagi seperti ini?!"

Jungsoo mengatup bisu. Saran-saran yang telah tersusun di dalam otaknya seolah hancur berantakan saat telinganya mendengar respon pesimistis yang diucapkan dengan frustasi oleh si raja yang kini mondar-mandir di sekitar kursi kekuasaannya. Pria paruh baya yang ketampanannya tak lekang oleh masa itu tampak frustasi dan berantakan. Tangannya menggenggam ponsel pribadi miliknya dengan erat seolah benda itu bisa hancur kapan saja di dalam genggamannya.

"Hubungi lagi Dokter Kwon! Suruh dia datang ke sini dan membawa obat-obatan yang sekiranya dapat menjinakkan anak sialan itu!"

Napas Donghae memburu hebat. Ia lantas mendudukkan dirinya dengan kasar di kursi kebesarannya dan mengacak rambutnya frustasi. Beberapa saat setelahnya, hanya ada keheningan yang menaungi ruangan pribadi itu.

Jungsoo yang merasa tak lagi diperlukan perlahan mendorong kursinya dan beranjak dari sana. Tanpa kata, ia menunduk hormat kepada rajanya yang masih menenggelamkan wajah dalam penat. Dalam situasi seperti ini, saran dan strategi apapun tak akan berhasil meruntuhkan pertahanan sang raja dan apa yang diperintahkannya merupakan suatu kemutlakan yang tak dapat diganggu gugat.

"Saya akan menghubungi Dokter Kwon, Yang Mulia."

Ia lantas melangkahkan kaki meninggalkan ruangan besar yang kini dinaungi atmofir muram itu. Batinnya bergejolak tak tenang, pun dengan raganya yang lelah tak karuan. Suasana istana makin hari makin terasa suram dan seolah tertutupi kabut tebal. Tidak ada yang dapat diharapkan maupun digenggam selain langkah yang penuh kehati-hatian.

Di ujung ruangan saat tangannya akan menggapai kenop pintu, matanya tanpa sengaja bertemu dengan sebuah lukisan yang terpajang indah di sudut sana. Seekor rusa salju terlihat cantik di antara gumpalan salju yang putih dan berkerlap-kerlip oleh hiasan-hiasan pohon natal. Lukisan itu seharusnya direpresentasikan oleh para pelihatnya sebagai lukisan cantik dengan nuansa natal yang hangat. Tapi entah bagaimana bisa Jungsoo melihat suasana yang berbeda di sana. Ia tak merasakan sedikitpun kehangatan maupun nuansa suka cita, melainkan sebuah kehampaan dan kekosongan yang mendalam.

Sebuah kesepian yang menyedihkan.




-



Renjun menyambut pria paruh baya yang mewariskan marganya itu dengan raut muram yang tak dapat ia sembunyikan. Setelah memberitahukan kedatangannya, mereka berdua bertemu di ruang meeting  yang sengaja pihak hotel kosongkan untuk menyambut kedatangan besan kerajaan. Renjun yang pada awalnya merasa berberat hati meninggalkan Jeno sendirian di kamar mereka tak dapat menahan senyum sedihnya saat sang ayah datang memeluknya.

"Hallo Renjunie. Bagaimana hari-harimu selama ini?"

Renjun nyaris terisak saat tangan tua itu bergerak mengelus surai hitamnya yang sudah sedikit lepek dan berkeringat.

"Aku--aku baik-baik saja...."

Matanya berkaca-kaca, tapi air matanya tertahan begitu saja saat tangannya digenggam oleh tangan sang ayah dengan erat. Pria paruh baya itu secara tiba-tiba menciptakan suasana serius di antara mereka. Lewat kaca mata tuanya, pria itu memandang Renjun dengan tatapan yang terasa asing untuk Renjun maknai sendiri.

"Ayah turut merasa sedih atas kejadian yang menimpa Pangeran."

"Ayah mengetahuinya?"

Kepala pria itu terangguk kecil. Helaan napasnya terdengar berat setelah itu.

"Sejujurnya Ayah ke sini untuk melihat penampilan perdanamu sebagai keluarga istana, berdiri di mimbar wali kota dan berpidato dengan penuh wibawa."

Alis Renjun tertaut bingung. Ekspresinya perlahan menunjukkan keheranan yang semakin nyata saat pria paruh baya di depannya itu tersenyum tipis sembari melepaskan kacamata.

"Ayah tahu bagaimana kondisi suamimu, Renjunie...."

Kondisi? Kondisi apa? Renjun bertanya-tanya meski hanya dalam benak. Lelaki cantik itu masih tak dapat mencerna semuanya setelah semua kekagetan yang ia alami hari ini. Kedatangan ayahnya saat ini pun tak Renjun maknai sebagai hal lain selain dari acara pertemuan biasa yang didasari oleh kerinduan satu sama lain.

"Sedari dulu Ayah tahu kondisi Pangeran Jeno, Renjunie. Karenanya Ayah berharap kau dapat menggantikannya menampilkan diri dan berdiri di atas kondisinya yang tidak memungkinkan itu."

Atau barangkali Renjun salah. Ayahnya datang bukan hanya karena rindu dan ingin bertemu.

"Kamu bisa memanfaatkan situasi ini dengan unjuk diri secara perlahan. Tunjukkan kepintaran dan kepiawaianmu untuk menarik hati dan simpati rakyat. Dominasi kepemimpinan suamimu kelak dengan kelayakanmu untuk mengunggulinya."

"Apakah maksud Ayah adalah--"

Suara Renjun tiba-tiba tercekat, jantungnya berdebar cepat dan intonasi suaranya melirih begitu saja saat satu kata itu tiba-tiba terlintas dalam benak.

"--pengkhianatan?"

Bulu kuduknya terasa berdiri saat mulutnya mengucapkan satu kata terlarang yang tak bisa diucapkannya secara sembarangan dalam lingkup kerajaan. Tangannya yang sedari tadi berada dalam genggaman sang ayah langsung ia tarik dengan panik. Renjun tak mengerti mengapa ia sangat ketakutan sekarang.

Sementara pria yang membuat keadaan batinnya makin kacau hanya tersenyum sendu sembari kembali menggenggam tangan mungil itu, "Jangan berspekulasi secepat itu, Renjunie...."

"Ayah hanya ingin membuka pandanganmu soal kesempatan yang kau miliki. Kamu punya potensi, Renjun. Monarki tidak hanya milik mereka yang mewarisi darah biru raja terdahulu."

Tubuh Renjun terasa lemas dan kekagetannya semakin menjadi-jadi. Gejolak dalam benaknya seolah meletupkan banyak perasaan yang membuat tubuhnya lelah luar biasa. Ekspetasinya soal kedatangan sang ayah yang diharapkannya akan membawa kedamaian dan ketenangan itu kini seolah-olah menghancurkan dunianya begitu saja.

Renjun merasa menyesal untuk kebutaannya selama ini. Ia menutup mata dan melihat segala sesuatunya dari sudut pandang paling aman yang ingin ia lihat. Saat dulu ayahnya tiba-tiba mencalonkan dirinya sebagai pendamping putra mahkota istana, tidak ada yang Renjun pikirkan selain bahwa itu merupakan suatu keharusan yang harus dilakukan oleh keluarganya.

Tapi sekali lagi, Renjun keliru. Ia meluputkan satu fakta bahwa ayahnya tak sesederhana yang ia kira.


"Pikirkan tujuanmu di istana, Renjunie. Kamu tidak mungkin dapat selamanya berdiri di sana tanpa memiliki arah yang jelas. Kamu tidak dapat memilih jalan hanya sebagai pendamping raja yang bahkan tak memiliki cinta untukmu. Kamu bahkan tidak dapat mengharapkannya saat keadaannya sangat tidak memungkinkan untuk menjadi seorang raja."


Kata-kata itu terus terngiang-ngiang dalam otaknya, menciptakan sebuah substansi tak berujung yang membuatnya lelah luar biasa. Renjun masih merasa seolah kehilangan jiwanya meski kini ia tak lagi berada di ruang meeting hotel bersama sang ayah, melainkan di kamarnya bersama Jeno yang sunyi dan sepi.

Sebuah perasaan asing kembali menghantam hatinya saat netranya bersinggungan dengan pria yang tengah tertidur damai itu. Sebuah senyum lelah terukir begitu saja dari sudut bibirnya yang terasa kaku. Jeno terlihat begitu damai dan tenang, dan entah mengapa Renjun merasa bahwa pemandangan ini adalah satu dari sekian hal yang turut membuatnya tenang dan damai.

Melangkah hati-hati untuk membaringkan diri di samping si pangeran, Renjun memberanikan diri untuk menatap wajah tampan itu dari jarak terdekat mereka saat ini. Ia mulai menerka-nerka apa kiranya yang menguasai perasaannya saat ini, saat netranya menikmati wajah tampan dan damai di sampingnya. Apakah itu sebuah perasaan takut, rasa iba, atau sesuatu yang lebih besar dan esensial lagi muatannya?

Memikirkan lagi kata-kata ayahnya soal menentukan tujuannya di istana, Renjun membawanya pada sebuah retorika yang ia gaungkan diam-diam dalam benaknya. Sembari memejamkan mata, ia mulai memberanikan hatinya untuk berbicara di alam ketidaksadarannya.


Dapatkah ia memilih tujuannya sendiri untuk hidup bahagia bersama pria di sampingnya?











+ Plotnya terlalu lambat ga sih?










-








Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top