Lembaran Kesebelas
"Keadaanmu sudah membaik?"
Pertanyaan berintonasi tenang itu hanya dibalas oleh dengusan tanpa minat. Minhyung yang mendapat respon tak menyenangkan seperti itu hanya tersenyum kecil lantas duduk di samping adik sepupunya, membiarkan kebisuan menaungi mereka.
Perjalanan waktu yang telah mengubah semuanya itu kini seolah terhenti, menghadirkan kembali detail perasaan yang pernah mereka rasakan di masa yang kini hanya dapat mereka renungi. Semuanya telah berubah, begitu drastis, tanpa aba-aba dan begitu saja menghantam mereka yang tak mempersiapkan apa-apa.
"Untuk apa kamu ke sini...."
Minhyung menoleh saat suara tanpa emosi itu bergema dengan ketir di telinganya, begitu datar dan gersang. Pria dewasa di akhir usia dua puluh tahunannya itu hanya dapat kembali tersenyum tipis, merasa lucu pada apa yang menamparnya saat ini. Dulu, dulu sekali saat mereka masih menyandang status sebagai pangeran kecil, ada percakapan sama yang rasanya seperti tengah mereka replikasi saat ini.
Dulu Jeno adalah anak kecil menyebalkan yang tak pernah ingin kalah dalam permainan apapun. Minhyung selalu dinasehati oleh ibunya untuk mengalah, katanya, Jeno adalah adiknya. Jadi apapun yang Jeno lakukan harus ia maklumi. Seribut apapun mereka bertengkar setelah saling berebut mainan, Minhyung harus kembali untuk duduk di sampingnya dan meminta maaf, lalu mereka akan saling melempar ejekan sebelum akhirnya kembali bermain bersama dan seolah lupa pada pertengkaran mereka.
Tapi itu dulu, dulu sekali saat Jeno masih banyak bicara dan merecokinya dengan kata-kata ejekan yang menyebalkan. Dulu, saat Minhyung masih menganggap Jeno sebagai adik kecilnya dan memaklumi semua tingkahnya. Dulu, saat perasaan yang melingkupi mereka sebagai sepasang kakak dan adik hanya perasaan saling sebal belaka, bukan perasaan asing yang kini melingkupi dada masing-masing.
Atau barangkali, hanya Minhyunglah yang merasa begitu?
"Kau akan menertawaiku, Hyung?"
Sekali lagi Minhyung menoleh, tersadar pada fakta bahwa ia telah tenggelam terlalu dalam. Nyatanya, sosok di sampingnya tetaplah Jeno yang menganggapnya sebagai kakak.
"Jangan tertawa, Hyung! Kau tambah terlihat jelek!!"
Atau, begitulah harapnya.
"Tertawa untuk apa?"
Minhyung menanggapi santai lantas menatap Jeno dengan senyum yang dipaksakan, "Aku ke sini untuk memastikan bahwa kau baik-baik saja."
"Aku baik-baik saja."
"Baguslah, aku senang mendengarnya."
Keheningan kembali melanda keduanya setelah itu, hening yang mengalir begitu saja, seolah terlalu nyaman memeluk dua insan yang tengah dibingungkan oleh beban dalam benak masing-masing.
Pintu yang diketuk tak lama setelah itu barangkali menyelamatkan mereka dari dekapan erat sunyi yang mencekik. Jaemin muncul bersama Jisung di gendongan, disusul Renjun di belakangnya. Raut kedua istri itu tampak sumringah dan cerah, menyeimbangi muram di masing-masing wajah Jeno dan Minhyung.
"Aku berpikir bahwa akan menyenangkan kalau kita berempat bisa makan malam bersama nanti. Renjun-ssi telah menyetujuinya."
Renjun mengangguk semangat, duduk di samping Jaemin yang kini dengan sumringah memandangi dua pria beraut datar di depannya. Senyumnya harus terpaksa pupus kala ia menyadari situasi yang tengah terjadi saat ini.
"Mungkin lain waktu, Sayang. Aku yakin Jeno masih banyak butuh istirahat."
Minhyung berkata tenang sembari tersenyum tipis, merapatkan tubuh ke arah sang istri sebelum merengkuh tubuh ramping itu dengan manis. Dapat Renjun lihat gurat kecewa yang sejenak melingkupi raut wajah si pendamping pangeran, sebelum guratan itu hilang oleh interaksi manis antara suami dan putranya yang dalam gendongan.
Renjun yang menyaksikan interaksi sederhana namun bermakna itu hanya dapat mematung kaku di tempatnya, seketika merasa terasingkan begitu saja. Ia lantas memberanikan diri untuk mencuri pandang ke arah sang suami yang masih tak bergeming di tempatnya, tak menaruh atensi lebih pada apa yang terjadi di sekitar mereka.
Pertemuan antara dua pasangan itu berakhir dengan sebuah janji, bahwa suatu hari nanti pasti akan ada makan malam khusus yang akan keempatnya laksanakan bersama. Janji yang Renjun maknai sebagai pemanis belaka untuk mengantisipasi rasa kecewa.
-
Renjun mengantar Minhyung dan Jaemin hingga ke parkiran, turut membawa Jisung di dalam gendongan untuk sekedar membiarkan kedua orang tuanya melambai-lambai dari balik kaca mobil yang terbuka. Renjun mengerti bahwa pasti berat sekali untuk keduanya tiap perpisahan dengan sang anak tiba, karenanya ia mencoba memaksimalkan sebaik mungkin tiap peluang bertemunya Jisung dengan Minhyung maupun Jaemin tiap mereka berkunjung ke istana.
Saat akan kembali, Renjun menyempatkan diri untuk memasuki kamar Jeno. Lelaki manis itu duduk di sisi ranjang si pangeran, membuyarkan lamunan kosong suaminya yang kini kembali berekspresi tajam.
"Kau menyukainya."
Renjun mengerut bingung saat Jeno bertanya dengan wajah datar, pria itu tak menoleh ke arahnya dan masih asyik memandangi jendela besar di depannya.
"Siapa?"
"Minhyung Hyung."
Secara tiba-tiba Jeno menolehkan wajah, menghujani Renjun dengan tatapan tajam miliknya, "Kau menyukainya, Huang."
Renjun yang tak siap dengan pertanyaan itu sontak mengerjap tegang, tak menyangka bahwa Jeno akan menanyainya sesuatu yang bahkan tak ia duga akan keluar dari mulutnya.
Mendapati bahwa tak ada jawaban yang keluar dari mulut lawan bicaranya, Jeno lantas tersenyum sinis, sebelum kemudian terkekeh getir dan kembali memandang jendela di depannya, kali ini tidak dengan tatapan kosong.
"Aku sudah menduganya...."
"Semua orang menyukainya, ia adalah sosok sempurna untuk orang-orang menyebalkan istana."
Melainkan tatapan berkilat-kilat penuh amarah, tatapan yang mampu membuat Renjun bungkam seketika.
Tidak, apa yang dikatakan Jeno tidak sepenuhnya salah. Renjun bohong jika ia menyangkal dugaan suaminya, bahwa tak ada percikan rasa kagum kepada si pangeran dengan senyum manis dan ramah itu. Minhyung yang manis, tenang, dan terlihat sangat mencintai Jaemin adalah representasi dari sosok yang selama ini selalu Renjun idam-idamkan. Sosok pria yang dapat memberikannya sebuah dunia, juga mempercayakan dunia itu kepadanya.
Tapi kemudian Renjun sadar, siapakah ia sampai berharap terlalu besar pada sesuatu yang tak mungkin berada dalam genggaman?
"Aku kadang berpikir bahwa semua orang tengah menyingkirkanku, atau setidaknya berharap aku mati. Atau mungkin mereka berharap bahwa yang menduduki posisiku saat ini adalah seseorang seperti Minhyung, bukan sepertiku."
"Aku benci semuanya. Benci senyuman Minhyung Hyung, benci suaranya yang menanyakan kabarku. Benci keberadaannya yang seolah menertawakanku bersama para brengsek itu."
"Aku benci semuanya....
...kadang aku berpikir untuk menyingkirkan semua orang yang ada di sini."
Jeno lantas menyeringai, kembali menoleh ke arah sang istri yang kini masih membisu, menelan semua luapan kekesalannya yang tanpa sadar ia muntahkan begitu saja. Satu hal yang tak ia sadari setelah itu adalah seringaiannya yang perlahan hilang, terganti menjadi raut kaget saat mendapati wajah teduh Renjun yang seolah mendengarkan ceritanya dengan seksama.
Sepasang netra itu lantas bertemu.
"Singkirkan semua yang ingin kamu singkirkan, Jeno-ssi."
Yang sedari tadi membisu mulai membuka suara meski dengan sedikit serak. Renjun tersenyum tipis dengan mata berkaca-kaca, entah mengapa merasa terharu akan keterbukaan suaminya yang tiba-tiba. Ucapan Dokter Kwon kemarin kembali terngiang dalam otaknya.
"Kalau tidak dapat menyingkirkannya, mungkin kamu bisa menggantinya dengan bersenang-senang.... untuk sementara, sebelum kamu berdamai dengan semuanya dan melupakan keinginanmu."
"Aku tidak mengerti apa yang kamu katakan."
Jeno menanggapi dengan tajam, membuyarkan keterhanyutan Renjun dalam dunianya. Membuat lelaki manis itu lantas menunduk malu, menyembunyikan kecanggungan.
"Jangan berbicara aneh lagi, itu terdengar mengerikan."
Renjun mendongak saat merasakan ranjang yang tengah didudukinya sedikit bergetar saat Jeno beranjak mengangkat bokongnya dari sana. Pria itu berjalan menjauhinya, berdiri di dekat jendela dan memandangi mentari terik yang sebentar lagi akan kembali ke peraduannya.
Sementara Renjun yang masih berusaha berdamai dengan rasa kikuknya mulai memberanikan diri untuk menyusul sang suami ke tempatnya saat ini. Setelah membaringkan Jisung di ranjang, perlahan ia mulai mengambil langkah, berdiri selangkah di belakang suaminya.
"Jika aku tidak bicara apa-apa, apakah kamu akan tetap bercerita seperti tadi?"
"Huh?"
Jeno menoleh dengan iris tajamnya, sebelum kembali membuang muka dengan wajah tanpa datarnya. Renjun yang kembali mendapat penolakan hanya dapat menghela napas lelah, lantas perlahan bergerak menghapus jarak, dan dengan hati-hati melingkari tangannya di pinggang tegap sang pangeran.
Renjun tengah kehilangan kesadaran, anggaplah memang begitu keadaannya. Karena demi Tuhan, ia bahkan tak menyangka dapat melakukan kontak fisik pertamanya dengan sang pangeran lebih dari berpegangan tangan.
"Terima kasih sudah meluapkan semua kekesalanmu padaku."
"Apa yang kau bicarakan?!"
"Mulai sekarang teruslah seperti itu, aku akan mendengarkan apa yang ingin kamu katakan."
"Huang Ren--"
Cup
Protesan keras Jeno tertahan begitu saja saat pergerakan seseorang yang sedari tadi melingkari punggungnya itu membawa bibirnya pada bibir Jeno. Pria tampan itu mengerjap tak percaya, masih membulatkan matanya saat si lelaki yang baru saja melancarkan aksi nekatnya itu kini kembali merapatkan jarak dengan memeluknya, mendarakan kepalanya di dada bidangnya.
"Semuanya, semua yang ingin kau katakan...."
Renjun mengakhiri ujarannya dengan lirih, sebelum menutup mata dan mencoba menikmati sesuatu yang kini seolah menenggelamkannya dalam euforia tak kasat mata.
Pelukan hangat mereka, dan detak jantung suaminya.
Adakah manusia nokturnal yang mau baca update ff di jam segini?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top