Lembaran Kelima Belas
"Dapatkah kita menghabiskan satu malam lagi?
Ini yang terakhir, aku janji."
Saat mengatakan kalimat pinta itu, Jeno tidak yakin apa yang tengah merasuki dirinya. Tapi saat akhirnya mereka kembali berbagi udara di ruangan yang sama, Jeno tahu bahwa itu tidaklah berarti apa-apa.
Mereka berbaring di satu ranjang yang sama, kaku dan tanpa suara. Renjun tampak canggung dan enggan terlibat pembicaraan dengannya. Lelaki berstatus sebagai istrinya itu sedari tadi fokus pada buku di tangannya, sesekali mengecek Jisung yang ikut bersama sang ibu untuk bermalam di kamar ayahnya. Mereka tampak seperti dua orang yang terpisah di dimensi dunia yang berbeda meski sejatinya tengah berada di satu ruangan yang sama sekarang. Jeno tak mempermasalahkannya. Tidak, ia bahkan tidak peduli sama sekali.
Jarum jam masih merangkak malas menuju angka sembilan saat ia berusaha untuk pergi ke alam bawah sadarnya, menenggelamkan diri pada bunga tidur yang ia harap akan indah. Jeno memunggungi Renjun yang baru kembali dari kamar mandi. Lelaki itu tampaknya baru saja menyelesaikan ritual malamnya sebelum tidur. Dapat ia rasakan ranjang yang sedikit bergetar saat istrinya itu menduduki ujungnya.
"Kamu sudah tidur?"
Jeno tidak menjawabnya, meski ia juga merasa bahwa Renjun tahu ia belum tidur. Pria itu yakin bahwa kemungkinan besar Renjun akan terus menanyainya pertanyaan-pertanyaan yang cenderung retoris dan tidak penting, kadang juga sedikit mengganggu. Tapi entah mengapa Jeno menunggu itu sekarang. Hebatnya lagi, ia merasa sedikit kecewa saat hanya ada kebisuan di antara mereka setelahnya, tanpa pertanyaan susulan yang seolah ia nanti sejak tadi.
"Apa masalah yang kau dapatkan setelah malam kemarin?"
Renjun akan berbaring saat suara dingin Jeno menyapa gendang telinganya. Pria itu sudah berbalik menghadapnya, memandangnya dengan tatapan datar tanpa minat.
"Apakah sudah ada peringatan resmi yang diturunkan kepadamu?"
Pertanyaan itu, sejujurnya adalah pertanyaan yang ingin sekali Renjun bahas. Bagaimanapun mereka berdua--ia dan Jeno--telah terlibat dalam sebuah malam panjang yang sakral, yang pada akhirnya menimbulkan bumerang bagi mereka berdua. Apa yang mereka lakukan malam ini juga bisa jadi akan menjadi sebuah substansi masalah yang akan dibahas istana keesokan harinya. Para pelayan mungkin akan kembali menganga kaget saat mendapati dirinya yang keluar dari kamar si pangeran, mungkin juga akan kembali memeriksa seprai ranjang dan memastikan bahwa tidak ada cairan biologis yang mengotorinya.
Renjun menghela napas, "Hanya Ratu yang berbicara kepadaku."
"Apa yang dikatakannya?"
Jeno memaku Renjun dalam tatapannya yang tajam, mengintimidasi istrinya yang kini tampak gugup dan sungkan. Pria itu lantas terkekeh kecil saat meyakini bahwa tak akan ada sepatah kata yang keluar dari mulut sang istri.
"Sekarang kamu tahu bagaimana aneh dan tidak masuk akalnya orang-orang di sini."
Setelah berkata begitu Jeno kembali berbaring dan membalikkan tubuh membelakangi Renjun yang masih menatapnya dengan tatapan tak terbaca. Pria itu akan menarik selimutnya saat suara Renjun kembali bergema.
"Apakah kamu merasa sendirian?"
Lelaki Huang itu bertanya dengan lirih, memastikan seksama punggung suaminya yang membelakanginya.
"Sejujurnya aku tidak mengerti dan sulit memahami orang-orang di sini.
Dan aku merasa sendirian karena itu."
Renjun kembali menghela napas berat. Ia menyerah untuk menunggu tanggapan suaminya, karena memang bukan itu yang ia inginkan dari pernyataannya tadi. Renjun hanya butuh teman bicara, atau sederhananya lagi, seseorang yang dapat mendengar problematika krusialnya saat ini.
Jeno yang sedari tadi membisu mulai merasakan pergerakan dari kasurnya. Lewat ekor matanya, dapat ia lihat Renjun yang kini sudah berbaring telentang di sisinya, memandangi langit-langit kamar dengan tatapan kosong tak terbaca.
"Jeno, kadang aku merasa bahwa kamu juga merasakan apa yang kurasakan. Karena itulah aku berani menyuarakan apa yang kurasakan sekarang."
Jeno terpaku mendengar itu. Ia menghela napas dengan hati-hati, berusaha mendamaikan perasaannya yang kembali bergejolak ribut. Entah sejak kapan seseorang di sampingnya ini begitu kuat untuk memporak-porandakan perasaannya.
"Tapi kamu tampaknya tidak mau untuk membuka diri dan menjadi temanku, ya?"
Renjun tersenyum simpul, menertawakan kata-kata konyolnya barusan. Tanpa ia sangka Jeno kini berbalik menghadapnya, membuyarkan lamunan tak kasat matanya.
Mereka bertemu pandang dalam tatapan yang sama-sama tak dapat keduanya deskripsikan.
"Aku tidak punya teman, dan tidak percaya teman. Hentikan omong kosongmu dan nikmatilah kehidupan neraka ini."
"Kenapa?"
Jeno terdiam saat pertanyaan refleks itu keluar dari mulut seseorang yang kini berbaring di sampingnya. Ia mengalihkan tatap saat merasa tidak nyaman dengan sorot netra di depannya.
"Aku pernah punya teman, tapi pada akhirnya mereka semua pergi."
"Tapi aku tidak akan pergi."
Jeno mendesis sinis mendengar jawaban itu. Renjun selalu tampak bodoh dan konyol di matanya.
"Aku akan jadi temanmu, kita bisa jadi teman yang baik. Saling mendukung dan mendengarkan satu sama lain."
Kata-kata yang keluar dari mulut lelaki yang telah terikat sebagai istrinya itu entah mengapa membuat Jeno jengah sendiri. Dengan kasar ia segera membalikkan tubuhnya, kembali membelakangi Renjun yang masih memandanginya dengan resah. Perasaannya kembali dibuat kacau saat ia ingat bagaimana kata-kata konyol istrinya tadi.
Jeno merasa tengah berada di puncak putus asa akan perasaannya. Semuanya bagai paradoks yang tak ia mengerti. Renjun memanglah sosok pengganggu dalam hidupnya, sosok yang tak pernah ia bayangkan dan ia harapkan akan hadir menemaninya. Tapi sikap dan kata-kata lelaki itu seolah menamparnya pada sensasi perasaan yang berbeda. Sensasi perasaan paling hangat yang pernah ia rasakan sepanjang hidupnya.
Jeno tak mengerti bagaimana mendeskripsikannya, tapi yang jelas, hal paling mendominasi yang kini merajai benaknya adalah perasaan bahwa dirinya diterima dan diharapkan dengan sepenuh hati. Sebuah rasa yang tak pernah ia dapatkan dari orang-orang yang hidup bersamanya selama ini, tidak orang tuanya, tidak pula anggota kerajaan lainnya.
"Jeno-ssi..."
Sebuah tangan tahu-tahu sudah melingkari perutnya dengan hati-hati, membuatnya sontak menghentikan napas demi mendamaikan ledakan perasaannya sekarang.
"...aku tidak akan kemana-mana."
-
"Keluargaku mengalami krisis beberapa tahun ke belakang. Istana sudah jarang memberikan tunjangan kepada keluarga kami."
Sungmin menyesap tehnya perlahan, menyembunyikan kejelian matanya dalam menilai seseorang di depannya yang sedari tadi memimpin pembicaraan. Kejutan yang diterimanya lewat seseorang tak terduga ini tak boleh ia salah tafsirkan begitu saja.
Yang menjadi tamunya sekarang memanglah orang biasa, tapi pengaruhnya pasti akan sangat luar biasa. Pria dengan detail wajah tampan di hadapannya ini adalah kerabat dekat dari seseorang yang selama ini selalu disembunyikan istana, saudara dari sosok yang selama ini selalu menjadi tanda tanya orang di luaran sana dan namanya kerap kali muncul dalam pemberitaan media bertajuk diskusi dan konspirasi.
Im Siwan dari Wangsa Im, sepupu dari sosok kontroversial istana, Im Yoona.
Sungmin tahu bahwa tampaknya agak tidak masuk akal untuk orang ini datang ke tempatnya--
"Saya datang ke sini untuk meminta bantuan...
...sekaligus menawarkan penawaran yang mungkin Anda butuhkan."
--tapi cukup masuk akal jika memang ada niat terselubung di dalamnya.
Sungmin menatap intens orang di depannya, mencoba membangun sikap netral terhadap orang yang menurutnya patut ia curigai saat ini. Ia tak bodoh untuk menyadari ke mana arah pembicaraan ini.
"Aku bisa memberimu uang sebagai tanda kepedulian seorang Pangeran kepada rakyatnya."
Pria kepala enam itu berujar tenang sembari diam-diam mengamati ekspresi wajah seseorang di depannya. Tak ia sangka bahwa sikapnya saat ini justru dibalas tak kalah tenang oleh tamunya itu.
"Apakah Anda sedang menguji Saya, Yang Mulia?"
"Tidak, apa maksudmu? Kalau yang kau butuhkan memanglah uang, aku bisa memberinya langsung sekarang. Setelah ini aku akan urus segala yang mengganggu kondisi finansial keluargamu. Oh, apakah kau bekerja? Aku juga bisa mengurus itu jika kau sedang menganggur sekarang."
Siwan terkekeh kecil, tak percaya terhadap kata-kata bangsawan di hadapannya. Ia merasa sedikit kaget terhadap sikap pria tua ini, sekaligus mempertanyakan apa yang sebenarnya pria ini pikirkan soal maksud perkataannya tadi.
"Yang Mulia, pengangkatan Pangeran Jisung tidaklah berarti apa-apa untuk Anda dan keluarga Anda, termasuk juga Pangeran Minhyung, bukankah begitu?"
Apakah pria ini memang benar-benar bodoh, atau hanya berpura-pura polos untuk mendapatkan pancingan yang lebih darinya?
"Lalu mengapa Anda tidak menggunakan kesempatan ini untuk sesuatu yang lebih hebat?
Menjadikan Pangeran Minhyung berada di posisi Pangeran Jeno saat ini, misalnya?"
Siwan tersenyum senang saat menyaksikan bagaimana raut Sungmin yang berubah sekarang. Jelas sekali bahwa pria paruh baya itu tak dapat menyembunyikan kegugupan dan kegundahannya, dan Siwan maknai itu sebagai sebuah pertanda baik dalam langkah awalnya.
"Tarik kata-katamu jika kau tetap ingin hidup tenang."
Peringatan tajam yang diucapkan dengan raut wajah dingin itu hanya pria tampan itu tanggapi dengan kekehan ringan. Ia tak merasa terintimidasi sama sekali dan justru merasa amat terhibur oleh pernyataan bodoh itu.
"Persoalan tentang hidup tenang saat ini berada di pihakku, Pangeran."
Siwan tersenyum tenang sembari dengan santai menyaksikan bagaimana Sungmin yang tampak muram sekarang.
"Aku bisa saja keluar dari persembunyian dan kehinaan ini, bicara soal bagaimana kejamnya istana memperlakukan keluargaku selama ini."
"Aku tidak bodoh untuk terus melewatkan kesempatan, Yang Mulia.
Dan aku tahu, aku dapat membacanya, bahwa Anda juga acapkali ingin memanfaatkan situasi yang ada untuk kepentingan martabat keluarga Anda, bukan?"
Satu senyuman simpul Siwan berikan kepada keluarga senior kerajaan di depannya sebelum membungkuk hormat sebagai tanda pamit kepergiannya.
"Pikirkan dan pertimbangkan baik-baik penawaranku, Yang Mulia.
Aku memohon kepada Anda."
Setelahnya ia segera beranjak dari sana, meninggalkan sang pangeran yang masih mematung kaku di tempatnya duduk. Tanpa mereka sadari, sepasang mata dan telinga menangkap pembicaraan mereka sedari tadi. Mencerna substansi obrolan keduanya, dan memaknai itu sebagai sebuah tanda bahaya.
Sejak tinggal dan menjadi anggota inti istana Jaemin tahu apa mimpi buruk yang mungkin menimpanya, dan itu adalah seandainya terucap persetujuan dari mulut mertuanya untuk rencana substansial yang pasti akan menghancurkan keluarga mereka.
Atau mungkin.... menghancurkan kebahagiaan kecilnya bersama Minhyung dan Jisung. Kebahagiaan yang selama ini selalu ia maknai dalam pemaknaan yang paling sederhana, tanpa angan-angan kekuasaan dan tahta istana.
-
"Aku tidak akan kemana-mana...."
Kata-kata itu terus terngiang-ngiang dalam benaknya, menciptakan efek hebat yang menghantam sanubarinya di gulitanya malam yang akan segera beranjak menjadi pengawal fajar. Sedari tadi Jeno berusaha menutup matanya saat ia kembali dibangunkan oleh substansi rumit dalam benaknya. Dan lagi, ia berakhir dengan membuka mata sembari memandangi langit malam dari jendela besar di depannya.
Lengan Renjun masih bertengger di pinggangnya, bergetar halus mengikuti ritme teratur jantungnya yang begitu terasa di punggung Jeno. Posisi mereka masih tak berubah dan sejujurnya itu sedikit membuatnya pegal, tapi entah mengapa Jeno tak berani untuk sekedar bergerak dan membuat lengan itu beranjak dari tubuhnya.
"Malam ini yang terakhir, aku janji...."
Atau lebih tepatnya, ia merasa tak rela.
Jeno menghela napas kasar, memejamkan matanya erat, lantas memberanikan diri untuk menggenggam tangan halus itu dengan hati-hati.
Sebuah sensasi aneh kembali menghantam perasaannya, menghantarkan Jeno pada satu pertanyaan yang membuatnya tenggelam dalam pergulatan tak kasat mata dengan benaknya sendiri.
"Apakah itu benar? Apakah Renjun memang tidak akan ke mana-mana?"
"Apakah lelaki ini akan tahan hidup bersamanya? Bersama monster sepertinya?"
Jeno tak tahu pasti apa itu namanya, namun saat ini ia mengerti betul apa itu harapan,
juga rasa takut kehilangan.
-
Sejauh ini, kesan dan kritik kalian untuk cerita ini apa sih? Aku boleh tau ngga hehe😬👉👈
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top