Lembaran Keempat
Ratu Sooyeon akan kembali ke ruangannya saat ia melintas di depan ruangan sang raja dan seolah merasa terpaku untuk berdiri di sana selama beberapa saat, di tengah lorong dengan jarak kurang dari dua puluh meter dari pintu tinggi di hadapannya. Otaknya secara otomatis mulai mempertimbangkan untuk dirinya masuk ke dalam sana, sembari memastikan bahwa tamu sang raja--Pangeran Sungmin--sudah pergi dari ruangan khusus suaminya.
Tanpa mengulur waktu lebih lama, Ratu Sooyeon mulai melangkahkan kakinya dan membuka pintu itu dengan ragu. Ruangan luas yang dihiasi banyak lukisan yunani kuno itu terasa hening tanpa suara, seolah tak ada kehidupan di sana.
Ratu Sooyeon kembali terpaku untuk menertawai pemikiran terakhirnya soal tak ada kehidupan di kamar mewah ini. Hatinya tertawa miris saat menyetujui bahwa sejak lama, suaminya memang sudah mati.
Kematian yang ia kehendaki sendiri.
"Kau mau melapor soal kelakuan Jeno lagi?"
Suara pertama yang didengarnya adalah suara yang berhasil membuat dahinya mengerut tak suka. Si pemilik kamar yang sejak tadi tak tampak batang hidungnya ini muncul dengan wajah lesu dan penampilan kacaunya. Ratu Sooyeon mengira bahwa suaminya itu pasti baru saja meminum beberapa cangkir sake sebelum ia kembali ke sini.
"Berhenti bertanya seperti itu."
"Lalu bagaimana?"
Raja Donghae terkekeh sinis sembari mendudukkan diri di kursi kebesarannya. Ia memandang sang istri pasrah saat mata indah itu masih setia menghujaninya dengan tajam, tatapan yang sama yang diberikan seseorang yang baru saja meninggalkan kamarnya.
"Cobalah lebih bersikap ramah padanya."
"Apakah itu permintaan khususmu, Permaisuri?"
Ratu Sooyeon tersenyum meremehkan sembari meremat map dalam genggamannya, "Itu permintaan anakmu, Yang Mulia.
Atau mungkin rakyatmu? Ia bahkan memandangmu sebagai rajanya, bukan ayahnya."
"Katakan saja apa yang dilakukannya kali ini!"
Donghae memandang Sooyeon dengan resah. Pikirannya sedang kacau, juga ia tidak berada dalam suasana hati yang baik sekarang. Penobatan sore nanti akan jadi satu-satunya agenda yang menguras tenaganya, dan ia tak menyiapkan tenaga cadangan untuk permasalahan memuakkan lainnya.
Apalagi, jika itu menyangkut putra semata wayangnya.
"Aku rasa hanya akan membuang-buang waktu untuk berbicara dengan orang sepertimu."
Sooyeon memandang suaminya dengan tajam, sebelum menghentakkan kakinya dan hendak meninggalkan ruangan. Saat berbalik untuk meraih pintu yang berdiri kokoh itu, netranya teralih pada sebuah lukisan rusa salju yang termangu indah di sudut ruangan.
Ia tersenyum getir, "Sekarang aku tahu mengapa ia harus meninggalkanmu, Donghae-ya...."
-
Penobatan pangeran kecil itu tak Renjun sangka akan diadakan secara tertutup meski tetap mengundang pers dan seluruh anggota inti istana. Bayi yang belum genap berusia dua minggu itu dipakaikan gaun putih yang cantik, diserahkan kepada Renjun yang menerimanya dengan tangan dan tubuh yang bergetar hebat. Di altar sana, Pak Pendeta dan pengurus senior kerajaan telah siap menyakralkan prosesi penobatan. Menunggu dengan wajah teduh dirinya juga Jeno yang kini berjalan berdampingan dengan wajah tegang.
Suaminya lagi-lagi terjebak pada raut yang tak dapat Renjun tebak. Sosok di sampingnya ini tak ubahnya bak raga tanpa jiwa, hanya mengikuti protokol seadanya hingga acara berada di penghujung akhirnya. Lagi untuk kesekian kalinya, Renjun kembali menerka-nerka. Kiranya, apakah yang tersimpan di dalam sana di balik wajah muram dan tak bersahabatnya?
Apakah itu luka tak kasat mata, atau sesuatu paling asing yang tak akan pernah Renjun sangka?
"Sehabis ini kita akan langsung beranjak menuju ruang makan. Acara makan malam akan diadakan keluarga besar Pangeran Sungmin."
Seorang pelayan senior memberitahu agenda lanjutannya dengan tempo suara yang cepat dan sibuk. Setelah mendapat anggukan patuh dari Renjun, pria paruh baya dengan jas hitam rapinya itu langsung membungkuk kecil untuk segera meninggalkannya, barangkali harus mengurusi acara yang lain. Jadi saat kini anggota kerajaan mulai berbaur seiring dengan acara yang telah usai, Renjun hanya dapat berdiri kebingungan dengan sosok bayi laki-laki bergaun putih di gendongannya.
"Jisung!"
Sampai sebuah suara terdengar, yang membuat Renjun menoleh seketika.
Itu Na Jaemin, istri Pangeran Mark yang kini tengah mencoba mendapatkan atensi putranya dengan memanggil namanya tadi. Renjun yang mendapati kedatangannya tersenyum bersahabat sembari mengulurkan tangannya, yang langsung dibalas oleh jabatan tangan hangat Jaemin.
Tanpa Renjun sadari, satu beban tak kasat mata seolah tanggal begitu saja dari benaknya. Sebelum hari ini, ia pernah sebegitu cemasnya memikirkan hubungan dirinya dengan Pangeran Mark maupun Jaemin sehubungan dengan pengangkatan putra mereka sebagai 'anaknya'. Tapi saat ini, saat Renjun melihat sendiri bagaimana wajah bersahabat Jaemin yang tengah menggoda putranya tanpa berniat memisahkannya dari Renjun, ia jadi merasa sangat lega dan setidaknya dapat memastikan bahwa hubungan kekerabatan mereka masih baik-baik saja.
"Sudah dengar protokolnya?"
Jaemin secara spesifik membuka percakapan dengannya setelah sedari tadi sibuk mengajak bicara Jisung yang terlihat tak nyaman dalam gaun putihnya. Renjun yang menyadari itu langsung terbelalak kaget, meminta penjelasan lebih dari pertanyaan tak eksplisit tadi.
"Soal pengasuhan Jisung. Memang belum ada ketentuan pasti, tapi untuk sementara selama masa asi, Jisung akan lebih banyak bersamaku. Mungkin ia juga akan dibawa kalian saat tur kerajaan nantinya. Yang pasti, kita harus banyak berkomunikasi untuk bekerja sama mengasuhnya sesuai protokol istana."
Ibu biologis dari bayi yang tengah digendongnya itu menjelaskan maksud ucapannya tadi sembari membawanya duduk di luar ruangan penobatan. Tempat yang mereka pilih adalah tempat terluar yang menyatu langsung dengan taman. Letaknya sangat strategis untuk menjadi tempat berbincang, karena memang cukup sepi dan tenang dari hiruk pikuk tempat penobatan yang masih ramai oleh para anggota kerajaan.
Jaemin tampak senang sekali waktu Renjun dengan sopan memberikan Jisung ke pangkuannya saat bayi itu terus meronta ingin diberikan kepada ibunya.
"Aku juga sebenarnya agak kaget saat tahu bahwa bayi yang akan menjadi anakku ternyata masih sangat kecil dan mustahil untuk berada dalam pengawasanku sepenuhnya."
Renjun membuka suara sembari mengelus pipi gemuk Jisung yang kini sibuk menghisap jarinya. Senyumnya terkembang gemas saat bayi itu ikut menggenggam telunjuknya yang dari tadi bermain-main di pipinya.
Jisung mungil, lucu, dan begitu murni. Renjun merasa takjub saat tahu bahwa ia dihadiahi bayi selucu ini, meski pada kenyataannya, bayi ini bukan miliknya.
Itu adalah sisi paling menyedihkan yang terkadang tak ingin ia akui.
"Bagaimana perasaanmu?"
Renjun mendongak dan mendapati tatapan teduh Jaemin yang mengiringi pertanyaannya tadi. Senyumnya terkembang tipis, merasa bahwa pertanyaan itu terlalu luas untuk ia jawab dengan substansi sederhana.
Bagaimana perasaannya? Renjun terkekeh dalam hati. Selama ini, ia bahkan tak pernah mendengar pertanyaan itu dari mulut siapapun di istana ini. Entah pelayannya, entah suaminya. Jadi mungkin karena itulah ia merasa tersentuh akan pertanyaan itu, juga merasa tak memiliki jawaban apapun untuk ia utarakan secara gamblang dan pasti.
"Aku senang dapat memiliki kesempatan menjadi seorang orang tua, Jaemin-ssi."
"Jisung masih sangat bayi waktu aku menggendongnya dan mengiringi penobatannya. Ia juga masih sangat bayi saat aku diperkenalkan sebagai anakku. Jadi mungkin...."
Renjun menggantungkan ucapannya, menatap Jaemin yang masih setia menatapnya dengan teduh.
"Aku akan memberi kesan dalam hidupnya, bahwa aku juga adalah ibunya."
"Aku harap Anda tidak tersinggung dengan itu, Jaemin-ssi...."
Jaemin terkekeh kecil sembari menggeleng, tindakan non verbal untuk secara tak langsung menyangkal ujaran terakhir Renjun tadi. Satu tangannya yang bebas terulur untuk menyentuh tangan Renjun, menggenggamnya dengan lembut dan hangat.
"Aku tidak se-egois itu, Renjun-ssi...."
Tanpa perlu meyakinkannya terlalu jauh, Renjun sudah percaya dengan itu. Jaemin memang terlihat begitu santai dan menikmati skenario istana dengan anggun. Istri dari Pangeran Minhyung ini tak banyak bicara, apalagi membantah. Yang tak Renjun habis pikir adalah bagaimana ia bisa lapang dada merelakan anaknya diklaim sebagai anak orang lain dalam ranah penobatan tahta istana.
"Sejak menjadi istri Minhyung, ada hal-hal yang mulai kupelajari dan kuterima sedikit demi sedikit."
Renjun menaruh minat yang besar pada ucapan Jaemin barusan, dan merasa bahwa obrolan macam inilah yang ia butuhkan selama ini. Ia tak memiliki satu pun teman bicara, dan selalu merasa buta akan kehidupan istana meski ia hidup di dalam naungannya.
Jaemin adalah seorang anak pengusaha, datang dari latar belakang keluarga non bangsawan sepertinya. Jadi mungkin Renjun dapat belajar banyak bagaimana istri Pangeran Minhyung ini dapat beradaptasi dengan baik di dalam lingkup kehidupan istana yang begitu misterius dan penuh tanda tanya, setidaknya bagi Renjun yang memang merasa tak memiliki siapa-siapa.
"Aku belajar banyak hal, tidak cuma hal-hal teoritis seperti tetek bengek peraturan istana, tapi juga hal-hal filosofis seperti merelakan dan menerima."
Renjun membisu, membiarkan dirinya masuk dalam dimensi di mana kata-kata Jaemin tadi terngiang-ngiang dan merasuki benaknya tanpa kasat mata.
Merelakan dan menerima, Renjun mungkin dapat memaknai itu sebagai sesuatu yang berkorelasi dengan keadaan Jaemin sekarang. Merelakan anaknya sebagai kandidat utama penerus tahta, dan menerima fakta bahwa secara hukum ia tak akan dipandang sebagai ibunya.
"Kalau kamu menganggap kata-kataku tadi ada hubungannya dengan Jisung, maka sebenarnya itu jauh lebih dari ini, Renjun-ssi...."
"Bagaimana bisa Anda tahu?"
Renjun kaget dan terkesima, tentu saja. Ia tak menyangka bahwa Jaemin tahu apa yang menjadi substansi pikirannya sedari tadi.
"Aku mengerti bahwa kau pasti merasa tak enak padaku, dan kondisi psikologis seperti itu biasanya akan membuatmu mudah terpancing untuk menyangkut pauti semua hal dengan sesuatu yang tengah mengganggumu."
Jaemin terkekeh kecil saat melihat wajah malu-malu Renjun. Sekali lagi tangannya terulur untuk menyentuh telapak tangan Renjun yang dingin.
"Percayalah, ada banyak pelajaran dan perjuangan yang akan kau lalui selama tinggal di istana. Entah perjuangan soal merelakan dan menerima hal-hal yang bisa kau relakan dan terima, maupun perjuangan dalam merelakan dan menerima sesuatu yang sulit kau relakan dan kau terima."
Renjun tahu bahwa makna di balik kata-kata itu tak sesederhana kedengarannya, juga akan jauh lebih nyata kenyataannya. Harus ia akui bahwa benaknya mulai terasa berat seolah memikul beban besar yang tak bahkan tak mampu ia definisikan secara gamblang.
"Lantas, apakah Anda bisa melewati semuanya, Jaemin-ssi?"
Sekali lagi Jaemin menarik sudut bibirnya, kali ini lebih tipis dan berarti.
"Aku tidak tahu, hal-hal semacam ini tidak pernah akan berakhir. Tapi satu yang kutahu adalah bahwa aku memiliki pegangan untuk selalu mencoba bertahan meski berkali-kali terhantam dan jatuh."
Mata dengan bulunya yang lentik itu melabuhkan pandangannya tepat pada netra rubah Renjun yang terbelalak, "Rasa cintaku kepada Minhyung.
Perasaan sederhana yang selalu kukembangkan menjadi hal-hal luar biasa. Salah satunya, adalah untuk menjadi kuat."
-
Renjun tak percaya pada cinta, tidak sampai ia mendengar kata-kata itu dari mulut Jaemin. Kata-kata yang terus mengiangi kepalanya sepanjang malam ini, di kamarnya yang redup dan sunyi.
Cinta, Jaemin memiliki cinta untuk Pangeran Minhyung, begitu pun sebaliknya. Terlepas dari status keduanya yang merupakan salah satu dari pasangan istana, mereka memiliki satu pondasi paling esensial untuk selalu bersama, untuk berbagi suka dan duka, untuk menjadi kekuatan bagi masing-masing jiwa. Entah bagaimana akhir dari kisah keduanya, tapi setidaknya mereka mengawali cerita mereka dengan hal paling sederhana namun esensial. Cinta.
Renjun menghela napas berat, kepalanya terasa penuh oleh berbagai substansi sekarang. Ia mulai berdiskusi dan berdebat dengan dirinya sendiri. Mengajukan satu premis bahwa mungkin jika ia datang ke istana ini dengan 'kejelasan', semuanya tidak akan seberat ini, semuanya akan baik-baik saja tanpa cinta, tanpa mencintai, tanpa dicintai.
Tapi mungkin, itulah masalah utamanya. Renjun bahkan tak tahu untuk apa ia menapaki kaki di sini, hidup di sini, mengabdikan hidupnya di sini, dan bahkan.... mencintai kehidupannya saat ini.
Ia tak tahu apa-apa. Ia tak yakin soal apa, mengapa, dan untuk apa.
Jadi mungkin karena itu, ia mulai berpiki betapa penting dan esensialnya kekuatan sebuah perasaan. Perasaan yang pasti, kuat, dan jelas.
Dan sekali lagi, itulah simpul dari permasalahannya saat ini. Ia tak yakin akan perasaannya kepada Jeno, perasaannya kepada suaminya sendiri.
Waktu kepikiran plot cerita ini, aku sebenernya semangat banget buat konsisten namatin ini. Tapi lama-lama aku ngerasa takut kehilangan arah dan plot buat nyelesain ini :'D
-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top