Lembaran Kedua Puluh Tujuh
Hai? Aku ngga tau mau greetings apa, intinya semoga kalian masih mau baca cerita ini hehe.
Happy Reading!
****
"Jadi Pangeran Jeno akan segera punya anak? Dan suksesinya—bagaimana dengan suksesinya?"
"Anda bicara soal apa, Tuan Im?"
Pria setengah baya itu tertawa kecil saat pria muda di sampingnya tampak sedikit kaget dengan pertanyaannya barusan. Makan siang di ruang makan para staff siang itu tampak lebih ramai dengan jam istirahat yang lebih panjang. Sudah lama sekali rasanya keleluasaan macam ini tak dirasakan oleh para pegawai kerajaan, meski sejujurnya tugas mereka juga tak terlalu padat untuk mengurusi segala tetek bengek istana di balik layar. Sejak pengumuman kehamilan itu, rasanya istana menjadi lebih leluasa dan tak sekaku biasanya.
"Kita di sini tak peduli dengan yang semacam itu. Yang penting istana menggaji kita dan memberikan tunjangan yang besar."
Tuan Kim kembali berkomentar setelah meneguk segelas sherry yang siang ini terasa lebih nikmat, "dan ini yang penting juga—segelas sherry yang nikmat untuk menemani sepiring daging asap!"
Siwan tersenyum kecil. Ia ikut mengambil segelas sherry lantas meneguknya perlahan, "yah, tapi bukankah penting juga untuk mengikuti perkembangan yang demikian? Kita tidak pernah tahu kan nasib istana ke depannya?"
"Yang jelas Wang Lee akan terus berkuasa. Mendiang Raja Sooman pasti akan senang sekali. Dengan keberadaan calon anak Pangeran Jeno, sudah barang tentu anak keturunannyalah yang akan terus berkuasa."
Kim Kyunwoo terus berbicara. Staff senior yang pembawaannya selalu menenangkan itu lantas menyulut rokok dan menghisapnya dengan ekspresi menikmati. Sudah lama sekali rasanya ia tak mendapatkan istirahat makan siang yang suasananya santai dan menyenangkan begini.
"Pangeran Jisung, yah bagaimana pun aku juga agak memikirkannya."
Siwan secara diam-diam mulai memusatkan perhatiannya pada kata-kata Tuan Kim. Otaknya secara tiba-tiba memproses sesuatu. Sesuatu yang membuat mulutnya merasa harus segera mengucapkan sebuah pertanyaan—yang bagaimanapun harus tetap diutarakan dengan hati-hati.
"Pangeran Jisung? Ya, bagaimana dengan Pangeran Jisung nantinya?"
Tuan Kim mengangkat bahu acuh. Ia lantas menyendokkan kentang gorengnya ke saus keju yang hari ini dibuat dengan baik sekali, tidak terlalu asin maupun terlalu berminyak.
"Tidak tahu. Harusnya istana memang tidak mengurusi dulu hal-hal semacam itu. Sekali-kali Yang Mulia Raja berhak untuk bergembira dan bersenang-senang sedikit."
"Aku jadi ingin tahu...." Siwan tanpa sadar bergumam sembari kembali meneguk sherry yang masih tersisa di gelasnya, "bagaimana nasib Pangeran Jisung ke depannya."
"Ah sudahlah! Tak usah dipikirkan! Keluarga Pangeran Mark pasti akan senang, karena itu artinya anaknya akan kembali menjadi milik mereka."
Siwan menyeringai mendengar itu. Benaknya diam-diam menertawai ujaran polos dan sedikit bodoh dari staff senior ini. Rasanya ingin sekali ia berkata bahwa ada banyak hal yang ia tahu. Bahwa ada banyak tabir yang perlu dibuka untuk menunjukkan bagaimana wajah-wajah asli di balik topeng istana mereka.
Sembari meneguk sisa sherry-nya, staff muda itu membayangkan bagaimana raut tegang Pangeran Sungmin saat pertama mereka bertemu dulu, berbulan-bulan silam yang lalu.
****
Renjun mematut dirinya di cermin dan dengan malu-malu memutar tubuhnya ke segala sisi. Pria manis itu sedang ingin memastikan sesuatu—sesuatu yang menunjukkan apakah perutnya akan mulai terlihat di balik pakaian musim dingin yang sedikit tipis ini. Ia menahan napas dan menghembuskannya secara bebas, membiarkan perutnya menunjukkan bentuknya yang asli di balik baju berbahan satinnya ini.
Sebuah tonjolan samar terlihat dari sana. Di balik kaca, Renjun dapat melihat senyumnya yang terkembang cerah kala tangannya bergerak memutari tonjolan kecil itu. Hatinya terasa penuh oleh kebahagiaan yang seolah tak berkesudahan. Ia berandai-andai, bahwa sebentar lagi perutnya akan membesar, akan ada tendangan yang menggembirakan, akan ada banyak pengalaman yang memberikan makna dan arti mengesankan.
Semua bayangan itu.... Renjun rasanya merasa tak sabar.
Pintu kamarnya diketuk dan Renjun yang sempat terperanjat kaget buru-buru mempersilakan seseorang di luar sana untuk masuk. Ketua pelayan Kim muncul bersama seorang pelayan lain yang membawa nampan berisi beberapa sajian sarapan.
"Yang Mulia Raja menginstruksikan untuk sarapan di kamar masing-masing, Yang Mulia." Jelas Kim Taeyeon, waktu raut wajah Renjun menunjukkan kebingungan yang samar. Yang baru saja mendapatkan penjelasan demikian lantas mengangguk paham.
"Hari ini saya khusus menyajikan beberapa menu sarapan yang baik untuk ibu hamil. Roti Anda saya ganti dengan roti gandum yang dipanggang dengan isian alpukat dan telur. Semangkuk oat dengan buah-buah berry mungkin akan membantu apabila Anda merasa mual setelah memakan rotinya. Jangan lupakan susunya juga. Jika Anda membutuhkan sesuatu yang lain Anda bisa langsung memanggil saya."
Renjun menatap sajian sarapannya sementara mendengar penjelasan Ketua Pelayan Kim. Diam-diam ia meneguk ludah, merasa tergugah dengan semua menu yang tersedia. Salah satu yang ia syukuri di kehamilan pertamanya ini adalah bahwa ia tak mengalami gangguan makan ekstrim seperti yang ia khawatirkan sebelum ini.
"Roti panggangnya tampak enak, Nona Kim."
Taeyeon tersenyum tipis, "izinkan saya tahu jika ada menu yang tidak Anda sukai. Mulai hari ini saya akan mengevaluasi menu-menu apa saja yang sekiranya baik untuk Anda konsumsi, sekaligus dapat Anda nikmati."
"Saya akan senang sekali untuk membaginya dengan Anda, Nona Kim."
Wanita setengah baya itu sedikit membungkuk sebagai ucapan terima kasihnya. Saat akan pamit setelah mempersilakan tuannya untuk menikmati sarapan dengan tenang, ia harus kembai menahan langkah oleh suara yang terdengar tertahan memanggilnya.
"Apakah—apakah Pangeran Jeno juga sarapan di kamarnya, Nona Kim?"
Renjun bertanya dengan canggung lantas buru-buru memperbaiki pertanyaannya tadi, "maksud saya, apakah sudah ada yang mengantar sarapan ke kamarnya?"
Taeyeon tak lantas menjawab. Dalam keterdiamannya, wanita setengah baya itu seolah tengah memastikan sesuatu di dalam kepala. Seingatnya yang sering mengurusi sarapan Raja dan Pangeran adalah Madame Choi, kepala dapur. Dengan ragu Taeyeon menatap pelayan junior di sampingnya yang sedari tadi menunduk.
"Salah satu teman saya diminta Madame Choi untuk menyiapkan sarapan di ruang pribadi Raja, Nona Kim. Katanya Yang Mulia Raja ingin sarapan bersama Pangeran Jeno."
Taeyeon mengangguk mendengar jawaban itu. Ia lantas kembali menatap orang di depannya yang tampak merenung setelah mendengar penjelasan itu, "apakah ada sesuatu lagi yang Anda butuhkan, Yang Mulia?"
"Ah tidak." Renjun buru-buru menjawab lantas sedikit membungkuk hormat sebagai ucapan terima kasih. Setelah pintu ditutup lelaki itu lantas duduk di pinggiran kasurnya dengan perasaan bimbang yang tiba-tiba datang. Meski ia harap bahwa perasaan itu hanya buah dari prasangka buruknya semata, namun Renjun tak bodoh untuk tidak menyadari betapa janggalnya penyatuan antara ayah dan anak di waktu sarapan begini. Apakah ada hal-hal penting yang ingin diutarakan sang raja kepada putra semata wayangnya? Apakah pembicaraan itu menyakut mereka semua, Jeno, Renjun, dan calon anak mereka?
Perutnya yang terasa perih dan bergemuruh membuyarkan lamunan Renjun. Dalam sekejap kebimbangannya hilang, terganti menjadi serangkaian senyuman tipis kala ia menyadari bahwa mungkin saja bayinya di dalam sana sudah merengek ingin segera menyantap roti panggang yang tampak lezat itu. Substansi mengenai sang suami tiba-tiba hilang begitu saja saat lidahnya mengecap rasa nikmat dari gurihnya perpaduan alpukat dan telur rebus meski bersatu di dalam roti gandum yang tak begitu ia sukai itu.
"Hum, rasanya roti ini akan lebih enak kalau disantap bersama ayahmu ya, adik bayi?"
****
Sarapan pagi itu adalah sarapan paling menyebalkan yang sialnya tak membuat Jeno kaget. Pagi-pagi sekali (pukul sembilan—hampir sepuluh—Jeno definisikan sebagai waktu pagi yang sangat pagi) pintu kamarnya sudah diketuk dan Madame Choi dengan nada membujuk memintanya untuk segera bersiap menemui sang ayah di ruangan pribadinya. Jeno yang masih setengah mengantuk kala itu sudah dapat yakin dengan pasti bahwa sarapan paginya akan ia lalui dengan suasana hati yang rusak.
"Kau pikir, dengan perayaan kemarin itu, kau bisa seenaknya lagi? Kau pikir perayaan kemarin itu adalah perayaan untuk pangeran tidak berguna sepertimu, huh? Kau pikir bahwa statusmu sebagai calon ayah akan memudahkanmu untuk semakin berlaku seenaknya dan terus melanggar peraturan istana?!"
Nada yang semakin meninggi itu tak lantas membuat Jeno takut untuk memutar bola mata malas. Sembari menghela napas bosan, ia menyandarkan tubuhnya ke kursi lantas melipat lengan di dada. Tak ia sangka bahwa kegiatannya berkuda sampai pagi membuat pria tua ini sampai naik darah begini.
"Bersikaplah selayaknya manusia, brengsek! Apakah kuda-kudamu yang mengajarimu untuk jadi manusia tidak bermoral seperti ini?!"
"Setidaknya aku sudah memberikan Ayah penerus, bukan? Seandainya Ayah mau membunuhku, ada anakku yang bisa mewarisi gelarmu itu."
"Brengsek!"
Donghae berteriak marah sembari menggebrak meja. Pria itu mengacungkan jari telunjuknya ke arah sang putra yang matanya kini menatap lurus ke arahnya, seolah tak merasa takut akan kemarahannya.
"Kau pikir keturunanmu nanti akan bisa diandalkan hah? Dengan kualitas ayahnya yang seperti sampah, anak-anakmu nanti juga mungkin akan seperti sampah!"
Aristokrat nomor satu di Negeri Ginseng itu lantas meninggalkan ruangan pribadinya dengan membanting pintu kasar, meninggalkan Jeno yang masih duduk bersender di kursinya. Seorang pelayan masuk dan dengan tundukkan kepala yang mengindikasikan ketakutannya, ia meminta diri untuk membereskan ruang makan sang raja.
"Sialan." Gumam Jeno, seraya keluar dari ruangan ayahnya yang terasa bak neraka. Lelaki itu menyeringai lebar lantas meremat jari-jarinya dengan penuh rasa kesal, "pria tua bangka itu, beraninya dia mengejek calon anakku!"
"Yang Mulia!"
Langkahnya di sepanjang lorong area khusus raja itu terhenti. Di ujung lorong dengan dengan pintu pembatas, terlihat Renjun yang tersenyum sembari melambaikan tangan ke arahnya.
"Anda sudah sarapan? Mau sarapan bersama?"
****
"Sudah berapa banyak roti gandum yang kau makan pagi ini?"
"Ini yang kelima." Renjun menjawab singkat sembari menyodori Jeno sepotong roti gandum yang sudah hancur bersama alpukat dan kuning telur, "kamu harus mencobanya juga. Ini lebih sehat dan enak."
Jeno menggeleng dan dengan malas menunjuk sepotong sandwich berisi daging ham, "aku mau disuapi yang ini saja. Ibu hamil di depanku rasanya akan menghabiskan stok alpukat dan telur di dapur kalau aku memakan bagian dari sandwich anehnya itu."
Renjun tertawa mendengar sindiran halus itu. Ia dengan senang lantas mengambil memotong sandwich ham itu menjadi potongan kecil dan menyuapkannya kepada sang suami, "nafsu makanku meningkat. Aku mungkin akan jadi sebesar kudamu nanti."
Mendengar kata kuda membuat Jeno sontak mendengus malas, teringat akan ucapan ayahnya yang merusak paginya tadi. Renjun yang menyadari perubahan suaminya itu lantas buru-buru membawa pembicaraan ke arah lain sembari kembali menyuapkan bagian dari potongan lainnya kepada Jeno.
"Atau mungkin, akan jadi segendut Moomin? Kamu tahu, karakter lucu animasi anak-anak yang dulu sangat aku sukai!"
Renjun berharap dirinya tak terlihat aneh sekarang, meski sepertinya ia pasti terlihat sekali tengah gugup. Bagaimanapun ia merasa sedikit menyesal karena harus mendengar sedikit percakapan sang suami dan ayah mertuanya tadi.
"Aku bisa membayangkan perutmu akan menggembung dan tubuhmu menjadi gemuk."
"Oh ya? Apakah itu berarti aku harus mengurangi porsi makanku?"
Jeno mengerutkan alisnya dan tampak kebingungan, "buat apa? Kalau kamu sehat itu berarti anak kita juga akan sehat, kan? Aku ingin bayi kita lebih gemuk dari Jisung."
Mendengar itu membuat Renjun sontak mengulas senyum lega. Sekonyong-konyong perasaan tak nyaman yang tadi bercongkol di dalam dada lenyap begitu saja. Setidaknya ia merasa berhasil mengalihkan perhatian suaminya ini dari suasana hatinya yang buruk karena percakapannya dengan sang ayah tadi. Percakapan mengerikan yang sialnya harus Renjun dengar!
Oh, barangkali ini adalah karma instan yang harus ia terima karena telah menguping pembicaraan orang lain sembarangan..
"Kalau begitu aku akan menambah porsi sandwich-ku supaya bayi kita semakin sehat nanti."
Renjun tersenyum sembari membayangkan seorang bayi mungil dengan pipi tembam kemerahan yang lucu. Waktu ia menatap suaminya, Jeno justru hanya termenung dengan raut wajah tak terbaca. Tidak ada keramahan maupun amarah, seolah-olah sosok itu sedang ditinggalkan jiwanya barang sesaat.
"Kamu mau aku suapi lagi hum?"
"Anak kita harus menjadi yang terbaik, Renjun." Ujar Jeno secara tiba-tiba. Dengan tajam ia tatap istrinya yang kini mulai kehilangan senyuman, "aku ingin membuktikan kepada pria tua bangka itu bahwa anak kita bukan sampah."
"Jeno!"
Renjun tanpa sadar sedikit berteriak lantas menaruh pisau dan garpunya dengan sedikit kasar. Lelaki itu lantas menghela napas dan dengan terpaksa menyunggingkan senyuman.
"Aku tahu kamu sedang marah, tapi tidak baik sekali rasanya berbicara seperti itu."
"Lalu aku harus mengiyakan ujaran menyebalkannya itu seperti apa huh?"
Jeno menanggapi istrinya dengan tenang. Pria itu rasanya kehilangan energi untuk marah-marah sekarang. Sementara Renjun yang mendengar jawaban sang suami kembali menghela napas lantas mengenggam jemari pucat itu.
"Masalahnya adalah berkuda sampai pagi, bukan? Aku rasa Yang Mulia Raja memang ada benarnya. Berkuda sampai sepagi itu bisa membahayakan kesehatanmu juga, Jeno.
Beliau tidak bermaksud melecehkan anak kita."
"Tapi dia juga tidak bermaksud mengkhawatirkan kesehatanku, Renjun! Yang dia pedulikan hanyalah soal moral, norma, dan segala aturan konyol yang memuakkan itu! Apa enaknya menjadi raja kalau pada akhirnya kita akan jadi manusia yang kolot dan membosankan seperti dia?"
Setelah menyelesaikan kata-kata penuh emosinya itu, Jeno meneguk kopinya dengan kasar. Pria itu membuang muka dari Renjun yang kini menatapnya dengan datar. Itu adalah tatapan yang sejujurnya membuatnya merasa tak nyaman mengingat selama ini istrinya itu selalu berlaku lembut dan keibuan.
"Kadangkala aku mengkhawatirkanmu, Yang Mulia."
Keheningan yang itu terpecah oleh suara Renjun yang terdengar asing, seolah ada emosi tertentu yang tersembunyi dan tak Jeno mengerti. Ia dengan ragu lantas memberanikan diri untuk menatap manik di depannya ini.
Setidaknya manik itu tetap sama, menenangkan dan membuatnya terbuai. Jeno selalu merasa seperti bayi yang dapat mempercayakan dirinya untuk tertidur lelap dalam buaian mata itu tiap kali ia menatap Renjun. Sesuatu yang rasanya asing—sesuatu yang bahkan tak pernah ia rasakan seumur hidupnya sebagai seorang anak yang butuh rasa aman dan kasih sayang.
Mata itu membuatnya merasa aman.
"Aku tidak suka dikasihani." Jawabnya, singkat. Ia lantas menyibukkan diri dengan sisa sandwich yang sudah Renjun potong menjadi empat bagian. Dalam kesibukannya menghabiskan sisa sarapan itu, ia tahu bahwa ada sepasang mata yang sedari tadi sibuk mengawasi, seolah menuntutnya untuk kembali angkat bicara dan melanjutkan obrolan menegangkan mereka.
"Setelah ini ayo pergi ke perpustakaan." Lanjutnya lagi, masih tanpa menatap Renjun. Helaan napas sang istri yang terdengar lantas membuatnya mendongak, meski ia merasa tenang karena Renjun hanya mengangguk singkat sembari memaksakan sebuah senyuman.
"Ya, sesuai permintaan Anda, Yang Mulia."
****
Some hints that will guide (and remind you, in case you have no clue since this is superrrrr a long time after the last update) you about the main conflict:
1. Chapter 17 (kalau ga salah ya, pokoknya pas Siwan datang nemuin Sungmin)
2. Chapter 24-26 (not sure which one. Pokoknya bagian Mark dan semua pikirannya dia, percakapan dia, dan konflik batin dia).
3. "Pangeran Jisung? Bagaimana dengan suksesinya?"
4.. "Kadangkala aku mengkhawatirkanmu, Yang Mulia."
Dah segitu aja. Selamat menikmati hari senin ayang-ayangku tercinta muah<33333
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top