Lembaran Kedua Puluh Empat

Hai?


.

.

.

.


Seorang pelayan berlari tergopoh-gopoh melewati lorong panjang dengan dinding-dinding berukiran emas menuju suatu ruangan yang pintu besarnya seolah tengah menantinya sedari tadi. Setelah mengetuk dan mendapat instruksi untuk masuk, sesosok wanita paruh baya yang berdiri tepat di belakang meja ruangannya langsung memberinya pandangan penuh harap tanpa kata. Jari-jari lentik dengan kuku halus dan mengkilat itu saling terpaut dan menciptakan kesan bahwa pemiliknya sedang resah, dan kedatangan si pelayan seolah menjadi puncak dari keresahannya.

Pelayan wanita bersetelan jas dan rok selutut itu mengangguk dengan sopan saat mata si  penguasa ruangan seolah memintanya untuk segera memberikan jawaban. Ia tersenyum tipis kala menyadari ada kelegaan yang luar biasa terpancar dari mata tuannya. Jari-jari indah itu tak lagi saling tertaut, atau bermain-main satu sama lain, dan matanya yang tadi terbelalak tak sabar kini menyayu tenang. Wanita setengah baya dengan predikat Ratu Monarki itu tak pernah terlihat sebahagia ini sebelumnya.

"Katakan padanya aku akan berkunjung ke kamarnya. Beri pengertian bahwa ia tidak perlu bersiap."

"Saya mengerti, Yang Mulia."

Tepat setelah pintu itu tertutup, satu kelegaan ia ekspresikan dengan pekikan tertahan dan sebutan untuk nama Tuhan. Tangannya lantas membuat gerakan salib, sementara mulutnya mengeja syukur untuk berkat yang rasanya tak ia kira akan begitu menggembirakan layaknya mendapat jaminan atas pengampunan dosa. Jiwanya yang menua seolah kembali hidup dalam semangat dan euforia yang begitu ia damba; sesuatu yang membawanya pada indahnya kenangan yang pernah hidup dan kini hanya ada dalam angan-angan saja.

Tangisan seorang bayi yang melambangkan suka cita yang murni.

.

.

.

.

Renjun tak bisa merasa tenang sejak saat seorang pelayan senior memberitahunya bahwa ia akan kedatangan tamu secara pribadi di kamarnya sekarang, dan tamu tersebut tak lain adalah ibu mertuanya. Sejak kepergian dokter istana kurang dari tiga puluh menit yang lalu, Renjun sudah disibukkan dengan dirinya sendiri; sesuatu yang bergejolak pada hatinya--yang membuatnya merasa perlu untuk setidaknya menenangkan diri. Tapi belum sempat ia menyelesaikan kesibukan tak kasat mata itu, pintu ruangannya sudah terlebih dahulu diketuk. Seorang pelayan membukakannya dari luar, itu adalah pelayan yang sama yang tadi datang ke kamarnya untuk memberitahukan niat kedatangan tamunya. Segera setelahnya sosok yang dinanti itu masuk dengan keanggunannya yang khas, yang kali ini terlihat sedikit menggebu-gebu dan hidup.

Ia tahu bahwa ini mungkin akan terdengar tak masuk akal. Tapi di matanya, sosok dari pendamping penguasa monarki ini jadi terlihat jauh lebih muda. Tubuhnya yang mungil berjalan dengan luwes, dan matanya yang tak lagi muda memancarkan sinar yang tak pernah Renjun lihat sebelumnya.

"Aku akan jujur padamu bahwa kabar yang baru saja kudengar amat menggembirakan buatku."

Suara sang ratu terdengar jauh lebih tinggi dari biasanya, namun di dalamnya terdapat sesuatu yang berusaha ia tahan demi sebuah kewibawaan. Agaknya wanita paruh baya itu sadar bahwa ia tak dapat memekik semangat atau melompatkan tubuhnya untuk memeluk sosok di hadapannya ini, atau berkata panjang lebar mengenai petuah tentang menjadi orang tua. Ia cukup tahu diri dan sadar akan posisi bahwa yang dapat dilakukannya sekarang hanyalah menyeringai senang sembari menunjukkan kebahagiaan lewat tatapan matanya yang berbinar-binar.

Sementara itu, sosok lawan bicaranya justru tak terbantu sama sekali dan masih bersikap layaknya seorang mangsa yang siap diterkam. Sang ratu yang tahu kegugupan menantunya itu semakin melebarkan senyum dan menggenggam tangan si calon ibu yang terasa dingin juga berkeringat.

"Aku sangat senang bila Anda juga senang, Yang Mulia."

Sooyeon sedikit tertawa puas saat suara itu mengalun dengan terbata-bata, meski pemiliknya berusaha menyunggingkan satu senyuman paksa, "kalau begitu cobalah untuk relax, Renjun. Berita kehamilan harusnya jadi sesuatu yang menggembirakan. Sudah lama sekali istana tidak memberitakan kabar kelahiran selain Pangeran Jisung kemarin."

Otot di sekitar wajah Renjun seolah melemas dan rahangnya jatuh begitu saja. Lelaki itu seolah tertampar akan sesuatu, sesuatu yang membuat perasaannya semakin tak menentu. Tanpa sadar bibirnya lantas menyunggingkan satu senyuman tulus yang samar, yang kemudian turut menggerakkan tangannya untuk berlabuh pada permukaan perutnya yang datar.

Dalam bayangannya, Renjun dapat merasakan bahwa perut ini akan membesar dan menjadi tabir penghubung antara suatu kehidupan baru di dalam sana.

"Aku akan secara khusus memberitahukan ini kepada Raja agar ia bisa langsung memutuskan perayaan apa yang berhak kau dapatkan setelah ini."

"Jika itu tidak merepotkan--"

"Oh jelas tidak, Renjun."

Sooyeon memberikan senyuman dengan sentuhan manis yang mengiringi kepergiannya setelah itu, meninggalkan Renjun yang memandangi kepergiaannya dengan kelegaan yang tak terdeskripsi. Seorang pelayan masuk lagi, ia memberitahukan Renjun bahwa dirinya harus tetap ikut agenda harian istana.

Renjun menghela napas dalam. Matanya memandangi langit-langit kamarnya yang tinggi, dan senyumnya perlahan terkembang lebar--tulus dan tanpa beban.

.

.

.

.

"Beritanya cepat sekali menyebar, dan itu sepertinya benar."

Jaemin memandangi sang suami yang terpengkur bisu di kursi. Sosok tampannya yang terbalut kemeja berlapis sweater coklat tua tampak kontras dan hangat oleh pemandangan salju di belakangnya yang dingin dan pucat. Kopinya yang masih panas dan mengepulkan asap menambah rona hangat pada sosoknya yang tampak tak hidup. Harus Jaemin akui bahwa suaminya ini tampak seperti lukisan indah yang merepresentasikan suatu kehampaan dengan sempurna; kosong dan seperti tanpa jiwa.

Lelaki dengan wajah manis itu menghela napas berat lantas menggenggam tangan suaminya, meminta agar jiwa itu kembali dan hidup bersamanya untuk saat ini.

"Kita harus berbahagia kan, Mark?"

"Jisung akan sepenuhnya menjadi milik kita."

Pria itu tersentak saat namanya dipanggil dengan berbeda, dengan sebutan yang seolah membawanya pada kehidupan lain. Kehidupan di mana tidak ada embel-embel Pangeran dalam sebutan namanya, kehidupan di mana ia dapat dengan bebas mengekspresikan dirinya; bermimpi, menjadi diri yang utuh tanpa bayang apa-apa. Sekonyong-konyong bayangan California melintas dalam benaknya--begitu hidup dan seolah menghadirkannya di sana. Mark kecil yang hobi bermain violin dan bermimpi menjadi seorang penulis. Mark kecil yang begitu berharga bagi kedua orang tuanya, tanpa terkecuali apa-apa.

Mark kecil yang penuh talenta dan semangat yang murni, tanpa terkecuali bahwa ia bukanlah apa-apa melainkan hanya seorang pangeran biasa.

"Aku tidak menyangka bahwa kencan kita akan garing begini,"

Lamunan yang terlanjur menenggelamkannya dalam nostalgia itu buyar saat suara Jaemin kembali bergema, kali ini diikuti raut sang istri yang tampak kesal dan tak terima. Minhyung tersenyum kecil saat Jaemin mengerucutkan bibir dan memberinya tatapan protes yang familier.

"Aku minta maaf."

"Akan lebih baik kalau kamu bercerita."

Sosok Jaemin yang lembut kembali dalam sekejap mata. Matanya yang tadi jenaka kini berubah menjadi teduh dan sayu, dan senyumnya terbit dalam wajah kuyu yang sendu.

"Aku harap bukan hanya aku yang merasakan kebahagiaan ini--bahwa putra kita akan kembali."

Senyuman di wajah Minhyung pudar. Rasa bersalah menyergap kala ia menyadari bahwa mungkin perasaannya saat ini adalah sebuah kesalahan--kesalahan yang ia sadari ternyata sudah sejauh ini.

Harap dalam tatapan itu selalu sama, dan Mark sudah terbebani olehnya.

Itu adalah sebuah dosa--ia mengingkarinya.


.

.

.


"Aku dengar akan ada yang jadi ibu sungguhan, apakah itu benar?"

Renjun sedang bersiap-siap untuk makan malam saat pintu kamarnya dibuka dan menampilkan sosok yang belum ia lihat keberadaannya sejak pagi tadi. Jeno masuk dengan kaus panjang berkerah tinggi dan jas tak terpakai yang tersampir di lengannya. Penampilan pria itu tak seformal biasanya, namun cukup rapi untuk hanya sekedar mendatangi jamuan makan malam tak resmi. Lelaki itu menyeringai saat Renjun tampak gugup dan kelimpungan.

"Aku harusnya sadar bahwa kau tampak berisi akhir-akhir ini."

"Aku--aku senang kau sadar." 

Sosok calon ibu itu berkata gugup. Perasaannya kembali meledak-ledak dan ia merasa tak tenang sekarang. Namun itu hanya bertahan sementara sampai tubuh tegap itu jatuh ke dalam pelukannya, melabuhkan wajah tampannya pada perpaduan ceruk lehernya. Jeno tampak seperti seorang bayi yang haus ingin menyusu, sebelum akhirnya memilih untuk mendekap sayang sang ibu.

Renjun tergugu saat pagutan mereka berakhir dalam sebuah ciuman sederhana, tanpa nafsu dan murni hanya sebuah rasa.

"Aku tidak tahu... harus berkata apa."

Jeno berujar serak. Matanya yang biasanya tajam dan mengintimidasi kini hanya dapat menampilkan tatapan sayu yang menenangkan, yang melabuhkan Renjun pada sebuah letupan perasaan yang menyenangkan. Perutnya terasa hangat, dan ia tahu bahwa itu berkat wajah yang menunduk dan memandanginya sekarang.

"Bagaimana perasaanmu?" Tanya Renjun, dengan suara lirih dan sedikit tercekat. Dengan sayang ia elus rahang tajam itu sebelum mengecup pipinya dengan penuh kasih. Mata Jeno terpejam menikmatinya, dam ia tersentak saat tangan halus itu tak lagi berada di sana.

"Aku--aku tidak tahu."

Jawaban lirih itu tak mendapatkan reaksi apa-apa. Kebisuan menghinggapi mereka selama beberapa saat, dan hanya dua pasang mata yang saling bertemu yang seolah melempar kata. Jeno yang kembali memeluknya menghadirkan suatu ketenangan yang sejenak tadi terampas hilang.

"Rasanya aku hanya ingin memelukmu seperti ini."

Tidak ada yang lucu pada kata-kata itu, tapi Renjun terkekeh begitu saja. Tangannya yang mengelus surai yang sedikit basah milik sang suami sontak mengerat memegangi bahu itu saat Jeno membawa mereka jatuh pada kasur empuk miliknya. Dengan kehati-hatian penuh, lelaki dengan aroma kayu pinus yang mengingatkannya pada pergumulan panas di belakang istana itu menenggelamkan wajah pada dadanya yang kini terasa sensitif, mengusakkan wajahnya dengan tak sabar sebelum ia berhenti dan memilih untuk memeluk pinggang berisi itu dengan erat.

"Aku tahu dadamu akan jadi sesuatu yang menyenangkan setelah ini."

Pipi Renjun sedikit memerah mendengar penuturan pria yang kini tengah meringkuk seperti bayi di pelukannya ini. Ia sedikit melenguh pelan saat menyadari bahwa mereka sudah tak berjarak sama sekali, dan bahwa pakaian rapi yang dikenakan oleh keduanya membuat pelukan ini menjadi sedikit tidak nyaman.

"Kita akan lebih sering seperti ini."

Renjun berujar tak yakin, tapi ia tetap tersenyum dan kembali mengelus surai itu dengan sayang, "tapi kamu harus berhati-hati dengan bayi kita."

"Itu akan sedikit sulit... tapi aku akan berusaha."

Dalam sekejap Jeno membuka mata. Ia mendongak untuk menyunguhi lelaki cantiknya itu sebuah kesungguhan dalam tatapannya.

"Ingat janjiku?"

Renjun tertegun selama beberapa saat sebelum tersenyum harus dan kembali membawa kepala itu dalam rengkuhan hangatnya.

"Jeno-ssi...."

"Aku akan berjuang untuk kita, 

barangkali kau lupa."


.

.

.

.

.

.

.




Aku udah ngga berharapbanyak kalian masih get into this book sebenernya, hehe:')





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top