Lembaran Kedua Puluh Delapan

Suasana perpustakaan istana tampak jauh lebih sepi dari biasanya. Seorang pustakawan paruh baya tampak fokus dengan buku bacaannya, sebuah novel sastra kuno yang sudah sedikit usang dan berdebu. Seorang pustakawan lainnya tampak setengah tertidur dengan kacamata yang bersangga di hidungnya yang kecil. Yang sedang membaca novel sastra kuno sedikit mengalihkan perhatian waktu Renjun dan Jeno datang. Pria dengan kepalanya yang seperti telur itu sedikit menganggukkan kepala hormat kepada kedatangan pangeran dan pasangannya.

"Perlukah saya mengosongkan ruangan? Buku mana yang akan Anda baca?"

Renjun menggeleng sembari tersenyum kecil, "tidak usah, tak apa. Saya hanya kemari sebentar."

Jeno sudah berada di jajaran lemari dengan keterangan science & engineering dan membaca salah satu majalah mobil. Renjun bergegas ke sisi yang lain. Ia mengambil sebuah buku tentang kehamilan dan mencari tempat yang nyaman untuk membawa. Kurang dari satu halaman yang baru ia baca waktu dirinya mendengar sebuah kursi ditarik dan itu sontak membuatnya menoleh.

"Anda mau duduk, Yang Mulia?"

Seorang pria dewasa dengan rambutnya yang hitam dan tertata rapi tersenyum menyenangkan ke arahnya. Renjun rasanya familier dengan wajah ini. Ia ingat pernah melihatnya di jajaran para staff istana tiap mereka melakukan rapat besar bersama.

"Terima kasih."

"Nama saya Siwan." Ujar pria itu, memperkenalkan diri. Ia menduduki kursi lain di samping Renjun, "Im Siwan."

Renjun mengangguk dan tersenyum kecil. Lelaki itu dengan canggung kembali membuka halaman terakhir bukunya, sementara pria dewasa di sampingnya juga kini tengah sibuk dengan sebuah buku hukum dan ketatanegaraan. Cukup lama mereka bergelut dengan buku masing-masing, sampai suara Siwan kembali terdengar—kali ini dengan gesture tubuh yang lebih leluasa dan tak hanya sekedar formalitas semata.

"Calon penerus raja masih dapat terselamatkan."

Kata pembuka dari percakapannya itu Siwan ucapkan dengan senyum ramah. Renjun sontak mengerutkan kening dan diam-diam melipat lembar halaman terakhir yang dibacanya.

"Setidaknya ia akan memiliki ibu yang pintar seperti Anda, Yang Mulia."

Senyuman ramah itu terlihat berbeda, seolah ada intensi yang membuat Renjun harus merasa waspada. Sembari memaksakan senyuman, lelaki itu mencoba memahami apa maksud perkataan dari staf istana ini.

"Maaf, tapi sepertinya saya tidak mengerti apa maksud Anda."

"Ah, lupakan saja!" Siwan tertawa sembari mengibaskan tangannya, "yang tadi itu hanya kelakar saya saja."

Renjun tahu bahwa itu adalah sebuah kebohongan. Pria ini jelas sedang tidak berkelar. Ia tahu apa maksud dari kata-kata itu waktu matanya tak sengaja mendapati bagaimana sosok Siwan sedari tadi mengawasi Jeno yang kini masih asyik dengan dunianya—Pangeran Lee Jeno dan majalah otomotifnya.

"Suami saya juga orang yang pintar." Ujar Renjun, dengan nada yang ia buat menyenangkan. Siwan yang mendengar itu langsung memasang raut kaget, merasa bersalah.

"Ah, bukan begitu maksud saya, Yang Mulia."

"Bukan maksud saya juga berkata seperti itu." Renjun buru-buru menerangkan, "tolong jangan merasa bahwa saya telah menyinggung Anda."

"Saya yang takut Anda berpikir demikian."

Renjun menggelengkan kepalanya. Sedetik kemudian ekspresinya berubah cerah. Matanya sesaat memandang pada Jeno yang masih tak terusik di sudut sana.

"Saya benar-benar serius dengan ucapan saya tadi. Pangeran Jeno itu pintar. Saya selalu berpendapat orang-orang yang memahami mesin itu pasti cerdas sekali, ya? Soalnya waktu sekolah dulu saya tidak pernah benar-benar serius belajar fisika dan matematika."

Ujaran semangat yang diutarakan oleh pendamping putra mahkota itu membuat Siwan tersenyum kecil. Pria itu lantas kembali membawa matanya untuk memandang objek dalam radius tidak kurang dari dua ratus meter dari tempatnya sekarang. Si Pangeran Mahkota, entah mengapa, tampak seperti tidak nyata. Pria itu seolah-olah tidak pernah dilahirkan dan diperuntukkan untuk hidup di dunia manusia. Ia begitu mencolok, namun kehadirannya seolah tak pernah benar-benar ada. Siwan pernah mendengar pendapat yang demikian, tidak hanya dari satu orang. Dan sekarang, saat ia melihat bagaimana sosok pucat dan tampan itu tampak tak tergoyahkan dalam dunianya yang tak terbaca, Siwan baru dapat memahami apa arti dari pendapat-pendapat demikian.

Lee Jeno barangkali memang tak sepatutnya hidup di dalam istana yang temboknya tak dapat ditembus bahkan oleh pedang. Pria itu seperti tahanan yang kuat dan mematikan. Namun, itulah ironinya. Kekuatannya tak ia gunakan untuk mengalahkan musuhnya, atau menghancurkan banteng istana. Ironis sekali bahwa kekuatannya itu seolah-olah ia gunakan untuk membunuh dirinya sendiri.

"Tuan Im harus tahu bahwa Pangeran Jeno juga pintar berkuda, dan ia tahu cara merawat kuda dengan baik. Tuan Shindong pernah bercerita bahwa mereka pernah diam-diam pergi ke tempat pacuan kuda dan Pangeran Jeno paham kuda mana yang pernah kalah pertandingan."

"Oh, ternyata Yang Mulia sangat uhm... apa namanya?" Siwan tampak tidak fokus saat lamunannya dibuyarkan oleh perkataan dari lelaki muda di sampingnya ini. Secepat kilat ia berusaha untuk mengembalikan kembali kesadaran dari lamunan sesaatnya.

"Observatif? Analitis? Yah... kemampuan-kemampuan seperti itu memang kadang tidak kelihatan bentuknya."

"Iya...." Renjun menjawab dengan nada lega. Pandangan matanya tertuju pada sosok sang suami dan senyumnya terkembang tanpa sadar, "orang-orang yang tidak terlalu mengenalnya mungkin akan agak kaget kalau mengetahui bahwa ia bisa sangat menguasai hal-hal yang disukainya karena kemampuannya dalam menganalisis detail dan hal-hal kecil."

"Betul, betul."

Hal-hal yang disukai? Memang apa sederetan hal-hal yang disukai oleh pangeran yang tampaknya hidup hanya untuk membuat kekacauan ini? Siwan jarang sekali mendengar perbincangan terkait apa yang disukai oleh si pangeran mahkota ini. Ia hanya tahu bahwa orang-orang istana—khususnya—lebih banyak membicarakan aristocrat yang lain. Entah itu sang raja yang masih gemar berolahraga setiap pagi di pukul enam, ratu yang gemar menaburkan bubuk coklat terbaik yang ia dapatkan dari setiap tur kerajaan ke kopi paginya, maupun Pangeran Mark yang terkenal akan prestasinya sebagai delegasi kerajaan terbaik ke berbagai negara. Pangeran Mark yang baru berumur dua puluh lima, yang pidato-pidatonya selalu berhasil mengukuhkan dirinya sebagai sosok yang memikat dan berkharisma.

Pangeran Mark yang—Siwan tiba-tiba terperanjat, seolah mendapatkan suatu ilham dari renungan sesaatnya. Pria itu diam-diam tersenyum menyeringai.

Yah, Pangeran Mark. Sosok yang seolah tak nyata di depan sana itu, sayangnya, bukanlah Pangeran Mark.

****

Jeno dan Renjun melangkah keluar perpustakaan saat mendengar secara samar-samar suara gong yang dibunyikan, yang mereka yakini berasal dari pondok para pelayan sebagai penanda waktu makan siang. Jika gong yang berbunyi adalah panggilan makan untuk para staff dan pelayan, sudah dapat dipastikan bahwa gong di istana sudah terlebih dahulu dibunyikan.

"Ayo kita makan di kamarku." Ajak Jeno, tak acuh. Pria itu tampak serius dan beberapa kali tadi masih meracaukan beberapa istilah yang Renjun yakini pria itu dapatkan dari majalah otomotifnya tadi.

"Kamu masih ingin membaca bukunya?"

Jeno menggeleng dan mendengus kecil, "aku sudah paham betul apa yang ada di majalah itu. Semuanya membosankan."

"Tapi kamu tampaknya masih tidak bisa lepas dari majalah otomotifmu itu."

Tiba-tiba saja langkah tegap yang tadi tampak tak bergairah itu terhenti. Jeno mendongak dan menatap langit yang semburat mataharinya tampak pucat.

"Aku merindukan mobil-mobilku."

"Aku juga merindukan pacuan kuda dan suara kuda yang seperti orang kerasukan." Ia menyeringai dan menatap Renjun, "Paman Shindong suka menirukan suara kuda waktu aku kecil, dan sampai sekarang aku masih merasa senang kalau ia melakukan itu."

Renjun terdiam barang sejenak, takt ahu harus merespon apa. Tiba-tiba saja ia jadi teringat kata-kata Tuan Im di perpustakaan, yang sedikit menyinggung dan entah mengapa kini membuatnya kesal.

"Kalau ada orang yang menganggapmu bodoh dan orang lain membelamu, apa yang akan kamu lakukan?"

Mendengar tanggapan yang tidak relevan dengan ujarannya tadi membuat Jeno merengut tak suka, "aku tidak mengerti."

Renjun tersenyum dan menggenggam tangan pucat itu, "ayo kita bicarakan kuda setelah ini, setelah kamu menjawab pertanyaanku tadi."

"Pertanyaan tidak jelas seperti itu? Kau meracau huh?"

Ada helaan napas yang Renjun keluarkan, namun ia masih tak gentar. Kini ia berdiri di hadapan Jeno dan mendongak untuk menatap mata itu.

"Yang Mulia, tolong, aku merasa sepertinya kau harus mulai menjaga sikapmu mulai dari sekarang."

"Ayah lagi?"

Renjun menggeleng dan dengan sayang mengelus pipi tirus di depannya, "bukan. Aku tidak membicarakan soal Yang Mulia Raja."

"Lantas apa?" Jeno memicing tajam dan melepaskan genggaman tangan mereka, "aku benar-benar tidak suka dengan kata-katamu tadi, Renjun."

Pria itu lantas beranjak dari sana, berjalan dengan kecepatan yang seolah menjadi luapan dari emosinya. Renjun yang ditinggalkan hanya dapat termangu kaku. Sekali lagi pria itu menghela napas berat, dan wajahnya terdongak untuk menatap matahari yang pucat.

Jika matahari adalah raja, maka Renjun marasa bahwa matahari musim semi yang pucat ini sejatinya adalah sosok yang baru saja meninggalkannya pergi. Sosok raja yang seolah tak pernah ada, yang kehadirannya disangsikan oleh mereka yang lebih menggemari musim dingin tanpa cahaya.

Jeno yang malang itu, barangkali memang seperti matahari pucat di penghujung musim dingin.



xxxx

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top