Lembaran Kedua Puluh

Aku mengucapkan banyak terima kasih kepada semua yang masih mau baca cerita ini;) Semoga kalian terhibur dan bisa memetik hal baik jika sekiranya memang ada yang bisa dipetik:))

Happy Reading!<3




-

"Kita harus mulai beraliansi dengan semua orang. Rakyat tampaknya mulai serius dengan usulan gila itu."

"Semua orang?"

Donghae membalikkan tubuh, menatap Jungsoo yang tampak kebingungan. Setelah rapat dengan hampir seluruh staff, ia memutuskan untuk membicarakan sesuatu yang mengganggu pikirannya akhir-akhir ini. Sesuatu yang ia rasa hanya dapat dibicarakan oleh penasihat pribadinya, Penasihat Park.

Kadangkala, ia mengalami fase kesepian yang mengerikan. Jungsoo yang sosok tuanya selalu ada, selalu duduk menemaninya dengan sabar, membuat Donghae sadar betapa biasnya ikatan keluarga saat orang yang justru selalu ia andalkan adalah orang-orang di luar marganya, di luar keterikatan darah dengannya. Itu terkadang membuatnya lelah, berpikir bahwa hidup memang akan selalu menemui masalah, masalah yang tak ada ujungnya.

Dan masalah yang ada di dalam diri, tersimpan di dalam hati lantas meronta-ronta minta dibebaskan, adalah jenis masalah paling buruk yang menyiksanya selama ini. Menyiksa jiwanya, menyiksa kedamaian terdalamnya.

Donghae tak mengerti akarnya, dan itu adalah sebuah petaka.

"Aku mulai berpikir untuk tak lagi gegabah dan mengabaikan semua orang,

dan mulai merangkul semuanya, semua yang bahkan hanya ingin menjilati harta kekayaan istana."

"Anda baik-baik saja, Yang Mulia?"

Seakan tersadar dari lamunannya yang suram, Donghae kembali membalikkan tubuh lantas menatap lawan bicaranya dengan tatapan kosong. Kepalanya kemudian terangguk-angguk kecil, bersamaan dengan napasnya yang naik-turun tak beraturan, tergesa-gesa meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Netra lelaki paruh baya itu basah dan berkaca-kaca meski bibirnya yang bergetar kini menarik serangkaian senyum getir yang menyedihkan. Ia tergugu dalam emosinya yang meledak-ledak. Wajahnya tersembunyi dalam telapak tangannya yang tua.

"Yang Mulia...."

"Sudah berapa banyak keputusan yang kubuat dan semuanya berakhir kacau? Pengangkatan Jisung? Rencana penyingkiran Jeno? Apakah publik akan melihat ini semua sebagai drama komedi istana?"

Jungsoo mengerti, ia paham sekali. Dirinya adalah saksi hidup atas segala keputusan yang dibuat oleh rajanya. Tuannya ini telah berkuasa di singgasana raja selama hampir setengah abad, dan selama itu pula, Jungsoo mengamati dinamikanya. Ia mengerti bagaimana bahasa tubuh Donghae di berbagai situasi dan kondisi, tak terkecuali saat ini.

Donghae tampak begitu emosional, seolah-olah sesuatu di dalam dirinya tengah pria itu tekan kuat-kuat, yang justru malah balik menyerangnya dengan membabi buta.

"Suruh Kepala Choi untuk memasukkan nama Im Siwan ke dalam jajaran pekerja senior istana, dan biarkan Kepala Pelayan Kim menyiapkan kamar untuknya."

-

-

-

Saat ia tahu bahwa salah satu agenda istana besok pagi adalah perayaan ulang tahun Renjun, Jeno rasanya mengerti apa alasannya tak bisa tidur saat ini.

Itu adalah sebuah perayaan sederhana, tanpa pesta besar atau perkumpulan semua orang. Staff media mungkin akan mengambil beberapa potret resmi dirinya dan Renjun untuk kemudian diunggah di akun resmi kerajaan, setelahnya mungkin akan diadakan acara makan malam khusus dengan mengundang sanak keluarga istrinya. Jeno tahu bahwa tak ada yang spesial di perayaan ulang tahun Renjun dan karena hal itulah, ia tak semestinya pusing memikirkan kiranya kado apa yang harus ia persiapkan.

Renjun yang masuk ke ruangan saat Jeno masih bergumul dengan pikirannya yang rumit pria itu hadiahi tatapan tajam tanpa sengaja.

"Kamu belum tidur hm?"

"Apa yang kamu mau untuk hadiah ulang tahunmu?"

Merasa terkejut dengan pertanyaan itu, Renjun tersenyum kikuk, "kenapa tiba-tiba?"

"Kalau kamu tidak mau hadiah ya sudah, aku juga malas menyiapkannya."

Renjun tidak begitu paham. Jeno baru saja menawarinya hadiah ulang tahun tapi kemudian pria itu bersikap ketus?

"Aku akan menerima hadiah apapun darimu."

Merasa dipojokkan oleh topik yang ia bawa dan ia putuskan sepihak, Jeno kembali menatap Renjun dengan tajam, "aku sudah tidak berniat memberimu hadiah."

Jeno lantas menunggu reaksi istrinya yang masih terlihat kaget, sebelum kelegaan perlahan menghinggapinya saat melihat Renjun yang terkekeh kecil. Entah mengapa sempat terbesit rasa takut bahwa Renjun akan kecewa akan kata-katanya tadi, dan Jeno bahkan tak mengerti mengapa rasa itu ada.

"Baiklah, tidak apa-apa. Aku tetap senang karena kamu mengingat ulang tahunku." Seru Renjun dengan senyum manis. Ia lantas duduk di samping Jeno, menatap wajah tampan suaminya dari tempatnya duduk. Jeno tampak seperti anak kecil yang merajuk, sama seperti biasanya.

Senyumnya terkekeh tiba-tiba waktu Jeno balik menatapnya. Mata dengan sudut tajam itu kembali menatapnya dengan intens, tampak tak terima saat ditertawai seperti itu.

"Kamu selalu seperti anak kecil, aku jadi tidak bisa marah." Kata Renjun saat memaknai tatapan suaminya sebagai tuntutan non-verbal akan sebuah penjelasan.  Sementara Jeno yang ditertawai diam-diam hanyut dalam lamunan, tertegun dalam rasa asing yang mendebarkan.

Ia suka Renjun yang menertawainya, mengatainya seperti anak kecil, dan menanggapi sikap menyebalkannya secara dewasa. Ia menyukainya, Renjun tak merasa takut padanya.

"Aku berharap bisa melakukan sesuatu denganmu di momen ulang tahunku, tapi lusa aku akan pergi ke Busan untuk tugas perdanaku."

Jeno masih tetap hening. Perasaannya terisi oleh sesuatu yang terasa memberatkan. Tugas perdana itu akan membawanya dan Renjun ke masing-masing tempat yang berbeda, dan sejujurnya, Jeno tak menyukainya.

Ingatannya terbang ke saat di mana mereka pertama kali melakukan tugas kerajaan pertama setelah resmi menjadi suami-istri, ingatan yang bertumpu pada serangan paniknya waktu itu. Jeno lantas bertanya-tanya, bagaimana ia melakukan tugasnya kali ini tanpa Renjun di sisinya?

"Aku juga akan pergi...." katanya, tanpa minat. Waktu ia mengalihkan tatap, Renjun sudah memandanginya dengan senyuman ceria.

"Sejujurnya aku merasa gugup, tapi juga senang. Bagaimana denganmu, Jeno-ssi?"

Aku merasa buruk. Itu adalah suara batinnya saat ini, suara yang ingin ia ucapkan dengan lantang dan angkuh. Tapi entah mengapa ia merasa ada yang berbeda dengannya sekarang, sesuatu yang membuatnya berada dalam situasi melankolis. Renjun terlihat begitu bersemangat dan hidup, apakah ia harus merusak itu dengan sisi pengecut dalam dirinya? Sisi pengecut yang tak kunjung sembuh.

Jeno terkadang merasa begitu dungu, konyol, dan menyedihkan. Ia tak mengerti apa yang terjadi dengan dirinya; apa yang membuatnya begitu takut dengan orang-orang di luar sana, sementara di dalam istananya sendiri ia bisa bertindak seperti diktrator yang kejam dan tak punya hati. Barangkali sekelebat ingatan tentang banyaknya tatapan yang menatapnya aneh di masa lalu, membuat Jeno berpikir bahwa mata orang-orang adalah gambaran neraka yang memuakkan juga mengerikan.  

"Aku tidak yakin bisa melakukannya dengan baik."

"Tapi kamu harus!"

Renjun tiba-tiba saja terlihat menggebu-gebu. Lelaki manis itu tanpa sadar sudah memajukkan tubuhnya, membiarkan Jeno menatap matanya yang berbinar cerah, "kamu akan menghadiri upacara peringatan militer Korea, itu sangat penting dan keren! Kamu akan berdiri di samping Ayah dan ikut menyalami para veteran perang. Semua orang akan senang melihat Pangeran Besar sepertimu ada di perayaan seperti itu!"

"Bagaimana jika--"

Sekali lagi Jeno termangu, perasaannya kembali teracak dan membentuk simpul rumit yang tak ia mengerti. Mungkinkah Renjun lupa insiden tempo lalu saat ia membuat kunjungan kerajaan mereka kacau? Mengapa istrinya ini selalu terlihat naif dan menganggap bahwa dirinya baik-baik saja?

"--aku kembali mengacaukan semuanya?"

Seolah disadarkan pada esensi perasaan yang menaungi suaminya, Renjun pada akhirnya ikut bungkam. Senyumnya perlahan memudar dengan canggung dan ingatannya terbang mengitari memori yang kembali segar dalam ingatan.

Jeno dan serangan paniknya; sebuah insiden yang membuka tabir lain dari pria di sampingnya.

"Aku tidak bermaksud--" ucapnya tergantung. Renjun menghela napas berat lantas memandang suaminya lembut, "aku minta maaf. Aku hanya begitu senang dengan tugas perdanaku dan--dan menganggap bahwa tugas perdana itu juga akan baik buatmu."

"Apakah akan seperti itu?"

Pertanyaan yang diutarakan Jeno dengan ragu itu berhasil membuat Renjun kembali bersemangat. Ini adalah kali pertama Jeno menanggapi ucapannya tanpa ujaran bermakna putus asa. Pria itu secara tidak langsung tengah meminta pandangannya terkait apakah ia akan berhasil di tugas perdananya atau tidak, dan Renjun tentu saja akan dengan sangat antusias mengamininya.

Jeno adalah raja masa depan. Seorang pangeran yang meskipun selalu bersikap kekanakan layaknya anak kecil, namun Renjun percayai dengan sepenuh hati bahwa ada sesuatu berharga yang tersimpan di dalam dirinya.

"Tentu saja! Kamu akan berhasil kali ini, aku percaya itu!"

Iris yang muram itu perlahan runtuh, tergantikan oleh tatapan lembut yang tak termanifestasikan oleh apapun, tidak dengan senyumnya, tidak juga dengan aksinya.

Hanya mata itu saja yang mendefinisikan betapa hati yang dingin itu telah melunak sekarang.

"Kalau begitu.... aku akan berusaha."

Dan Renjun dapat memahami, juga merasakannya dengan sepenuh hati.


"Terima kasih untuk selalu mempercayaiku...."


-

-

-


Siwan tak menyangka bahwa ia pada akhirnya dapat menginjakkan kaki di istana. Berbagai rencana yang telah tersusun rapi di dalam otaknya untuk mengantisipasi kemungkinan kegagalannya itu runtuh begitu saja. Melalui surat resmi berstempel kerajaan, dirinya tahu-tahu sudah diterima bekerja di sana, dengan pekerjaan dan jabatan bangsawan kelas tiga. Suatu hal yang tidak begitu buruk untuk mengawali karirnya.

"Anda akan bekerja di pondok para staff, Tuan. Ada beberapa ruang kamar yang tersisa dan Anda bisa menggunakannya."

Ia diterima secara resmi setelah rapat besar dengan seluruh staff. Dua orang pelayan pria membantunya mengangkuti barang-barang yang akan ia pindahkan ke tempat tinggal barunya. Atau, tempat tinggal sewaktu-waktunya? Sejujurnya Siwan tak pernah berniat menetap di sana. Bagaimanapun, ia memiliki sanak keluarga yang tinggal jauh di kota pinggiran. Sisa bangsawan Im yang nyaris berada di ambang kemiskinan mereka.

Siwan tersenyum kecut. Ia menapaki kediaman orang nomor satu di negeri ini, sementara keluarga nyaris sekarat dan hanya bertahan dengan sisa kebangsawanan mereka yang tak berguna. Ia lantas bertanya-tanya, apa orientasinya dengan berada di sini sekarang? Apakah untuk mendapatkan gaji dan subsidi atas hidupnya, atau.... sesuatu yang lebih dari itu?

Langkah Siwan terhenti begitu saja saat ia menyadari bahwa bagian dari istana yang tengah dipijakinya sekarang terasa mengusik benak dan memaksanya mengingat sesuatu, area kebun belakang istana. Siwan ingat bahwa beberapa hari ke belakang pernah ada keributan di kalangan pegawai istana kelas bawah, dan itu berasal dari kebun ini.

"Tuan Shin...."

"Ya, Tuan?"

"Apa yang terjadi di kebun ini kemarin?"

Kepala keamanan istana yang rambutnya sudah nyaris memutih semua itu mengangkat sebelah alis bingung. Matanya lantas ikut memandang apa yang Siwan pandang, sebuah kebun dengan banyaknya pohon ek yang dipagari pintu kawat. Ia lantas berpikir sejenak, sebelum kemudian otaknya mempersepsikan pertanyaan sebagai pertanyaan yang mengarah kepada desas-desus yang sempat menjadi santapan para pelayan.

Tuan Shin memandang Siwan yang tampak serius dengan tatapan tenang, "bukan apa-apa. Hanya gosip internal istana."

"Pangeran Jeno dan istrinya yang--"

Siwan sengaja menggantungkan kata-katanya, membiarkan pria tua di sampingnya ini mengerti maksudnya. Tuan Shin yang raut tenangnya tampak terusik membuat Siwan diam-diam tersenyum tipis.

"Aku tidak bermaksud membicarakan sesuatu yang tak seharusnya, hanya penasaran saja."

Anggukan Tuan Shin seolah menandai kelegaanya. Pria itu lantas tersenyum bijaksana sebelum kembali memimpin perjalanan yang sempat tertunda, "tidak apa-apa, aku mengerti. Entah benar atau tidak, tapi kita harus tetap memaklumi Pangeran. Bagaimanapun, Pangeran Jeno dan istrinya masih muda."

Di belakang tubuh tua itu, Siwan diam-diam tersenyum puas.

"Ya, mereka masih perlu banyak belajar untuk mengontrol diri."

Ia lantas bertanya-tanya, bagaimana kiranya jika publik tau sisi lain dari anak satu-satunya raja di negeri ini? Sisi lain yang selama ini tersembunyi, dengan latar belakang kelam yang meruntutinya.

Siwan memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan adrenalin dalam dirinya yang menggebu-gebu. Bukankah ia baru saja mempertanyakan apa orientasinya di sini? Haruskah ia tetap mempertanyakannya ketika kini ia memiliki banyak celah untuk mencapai semua yang mungkin ia capai?



-


-


-


Jeno berbaring di kasurnya dengan pikiran dan perasaan yang berkecamuk sibuk. Besok ia harus bangun pagi-pagi untuk tugasnya bersama sang ayah, namun matanya sulit terpejam meski jarum jam sudah nyaris mencumbu angka sebelas.

"Renjun-ssi...."

Renjun yang sudah ikut berbaring di sampingnya tak ia biarkan terlelap begitu saja. Bagaimanapun, lelaki itu berkontribusi terhadap insomnianya sekarang. Percakapan mereka tadi siang begitu membekas dalam benaknya dan entah mengapa, rasanya saat ini ia terjaga hanya untuk mengingat kembali kata-kata istrinya.

"Kamu akan berhasil, aku percaya itu!"

"Hm? Kamu belum bisa tidur ya? Mau kubuatkan susu hangat?"

Suara halus itu membawa tubuh Renjun yang kini menghadapnya. Wajah cantik itu terkekeh kecil saat melihat kerutan tajam suaminya.

"Aku bukan anak-anak yang harus minum susu sebelum tidur!"

"Apakah tawaranku barusan terdengar seperti tawaran seorang ibu yang menawari anaknya segelas susu sebelum tidur?"

Jeno mendengus tak suka, tapi tampaknya itu tak bekerja untuk membuat Renjun berhenti menertawainya sekarang.

"Apa yang akan aku dapatkan kalau aku berhasil dengan tugasku besok?"

Sesuai dengan harapannya, tawa Renjun terhenti begitu saja saat telingnya mendengar kata-kata yang keluar dari mulut suaminya. Lelaki cantik itu mengerjap-erjap bingung, sejenak mencoba mencerna pertanyaan itu.

Apakah ia baru saja mendengar Jeno yang meminta hadiah darinya?

"Apa yang kamu mau hm?"

Renjun bertanya lembut, menatap suaminya yang lama-lama terlihat tak nyaman ia tatap begitu. Jeno terlihat malu-malu dan itu tampak lucu.

"Baiklah, bagaimana kalau makan malam spesial? Kita akan memilih tempat yang enak dan aku akan memasak untukmu."

Jeno menatap Renjun sanksi, "aku tidak terbiasa memakan masakan selain buatan koki istana. Apakah aku bisa percaya bahwa masakanmu enak?"

"Hei, aku ini pintar masak tahu! Jisung saja hanya mau makan sup buatanku kalau sedang rewel dan susah makan!"

"Itu memang karena bayi botak itu hobi mencari perhatianmu!"

Mata Renjun terbelalak tak percaya, apakah selama ini Jeno merasa bahwa Jisung memang selalu mencari perhatian kepadanya? Bagaimana mungkin pangeran besar ini bisa beranggapan seperti itu terhadap bayi mereka yang bahkan belum genap satu tahun?

"Jeno-ssi, aku ini orang tuanya Jisung juga! Bagaimana mungkin kamu menganggap Jisung mencari perhatian kepada ibunya sendiri?"

Jawaban Renjun yang terdengar seperti menertawainya itu, sekali lagi, membuat Jeno mendengus sebal. Untuk kali ini ia biarkan istrinya itu menertawainya dengan puas sampai akhirnya Renjun berhenti dan kembali memandanginya dengan lembut.

"Bagaimana, kamu setuju untuk makan malam denganku? Di kediaman baru kita?"

"Apa maksudmu?"

Renjun tersenyum lebar, tangannya terulur untuk mengelus pipi pucat suaminya, "aku belum memberitahu ya? Katanya Ayah akan segera mengurus kepindahan kita dari istana utama."

Mata Jeno terbuka, memancarkan ketidak-percayaan sekaligus antusiasme yang besar. Naluri yang sedari tadi ia tahan lantas membawa tubuhnya ke arah Renjun, menciumi tengkuk hangatnya dengan puas sebelum kepalanya terkulai nyaman di dadanya.

Renjun yang mulai terbiasa dengan aksi suaminya berusaha mengatur napas sembari tersenyum lebar. Dengan sayang, ia rengkuh kepala yang kini bersembunyi di dadanya itu sebelum mengecupi pucuknya dengan banyak ciuman lembut. Meski tak pernah mengungkapnya secara gamblang, namun Renjun tahu bahwa Jeno menyukai aksi yang keduanya lakukan saat ini. Pria itu suka dipeluk layaknya seorang anak di dada ibunya, dan Renjun selalu bersedia untuk melakukannya dengan tulus.

"Hadiah itu masih lama. Bisakah aku minta hadiahku yang lain?"

Jeno bertanya dengan suara parau. Ia mendongak untuk menatap Renjun dengan tatapan penuh arti, sebelum tubuhnya ia angkat dan ia sejajarkan dengan kepala sang istri. Ciumannya kini ia lengkapi dengan aksinya mendekap tubuh sang istri.

Renjun yang mengerti berusaha untuk menyetujui permintaan itu sehalus mungkin. Sebagai balasan, ia kalungkan lengannya di leher Jeno yang kini tengah menciumi bibirnya dengan membabi buta.

"Jeno-ssi...."

"Renjun, biarkan aku menuntaskannya dulu!"

Kekehan kecil keluar dari mulut Renjun saat Jeno tampak marah karena kegiatannya mereka yang ia intrupsi.

"Aku lupa memberi tahu bahwa ada satu lagi hal yang mungkin dapat kuberikan kepadamu sebagai hadiah."

"Apa?!" Geram Jeno, tampak tak sabar untuk kembali melanjutkan penyaluran hasratnya. Ia lantas tertegun saat kini Renjun mulai menunjukkan aksinya, mengecupi nyaris seluruh wajahnya, sebelum mendaratkan bibir ranumnya di bibir milik Jeno.

Tangan istrinya itu kembali bermain di wajahnya, mengelus tiap sisinya dengan lembut, membiarkan mereka untuk sejenak tenggelam dalam keterdiaman yang menenangkan.

Renjun lantas membawa kepala Jeno untuk kembali berbaring di dadanya, memeluknya dengan segala perasaan yang meledak-ledak di dalam sana.

"Ayah membiarkan kita untuk memiliki anak."

Mulutnya kemudian terbuka setelah sebelumnya mendaratkan sebuah kecupan di dahi Jeno yang berkeringat dan sedikit basah. Tatapan tak percaya yang Jeno berikan kepadanya lantas membuat senyumnya terkembang perlahan, memanifestasikan euforia yang meledak-ledak di dalam dadanya saat ini.

"Renjun...."

"Maukah Anda memulai semuanya bersama hamba, Yang Mulia?"



-











Jaemin itu latar belakangnya dari keluarga pengusaha besar. Walaupun non-bangsawan, tapi keberadaan keluarganya cukup berpengaruh untuk menjalin relasi sama keluarga kerajaan yang notabenenya juga membutuhkan 'uang' selain dari peninggalan aset keluarga dan pajak rakyat. Jadi kalau dijelaskan kenapa Mark terkesan 'enggan' menjadi raja, itu karena dari awal emang Jaemin ngga pengen Mark terlibat dalam konflik berat di istana. Selain karena memang ngga ambisius sama tahta, Jaemin juga khawatir sama reputasi perusahaan keluarganya yang mungkin akan kena dampak buruk kalau suaminya terlibat konflik perebutan tahta. That's why konfliknya Markmin mungkin akan mengarah pada konsistensi pernikahan mereka, di mana Mark mungkin akan dilema sama dua pilihan yang harus dia pilih nantinya.

Apakah penjelasan ini sudah cukup menjawab pertanyaan kemarin, yeorobun?


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top