Lembaran Kedua Belas

--romantisasi hujan dan awal pelepasan.



-



Waktu remaja dulu, Renjun suka sekali meromantisasi hujan.


Tinggal di kota kecil yang tak terlalu ramai dan padat, pulang sekolah lebih cepat saat musim gugur dengan rintikan hujan yang tenang, dan berkesempatan untuk menyambangi kafe dengan dinding kaca yang luasnya tak lebih dari ruang tamu istana, adalah hal-hal yang selalu Renjun antusiasi hingga tanpa sadar tertanam apik dalam benak. Semua playlist lagu-lagu balada maupun akustik yang dulu selalu menemaninya di situasi-situasi favoritnya itu--yang jika didengarkan saat ini pasti akan terkesan jadul dan ketinggalan zaman--diam-diam masih tetap Renjun dengarkan hingga sekarang, meski dalam situasi yang tak lagi sama.

Saat ini istana diguyur rintikan hujan, dan entah mengapa Renjun jadi senang sekali rasanya.

Ini adalah hujan pertamanya sejak ia tinggal di istana, setelah berbulan-bulan menghadapi kehidupan berbeda yang acap kali membuatnya kaget dan tertekan luar biasa. Hujan pertama yang memberikan kesan sejuk dan menenangkan setelah hari-hari terik yang ia habiskan dengan tur-tur melelahkan, hujan pertama yang membawanya pada euforia masa remaja.

Sembari menuangkan air panas ke dua cangkir berisi serbuk teh hijau, diam-diam Renjun melengkungkan senyum sehangat minuman yang ia buat. Ia merasa tengah digoda oleh dirinya sendiri saat menyadari bahwa kebahagiaannya di tengah hujan saat ini bukan hanya semata-mata karena euforia yang melanda, melainkan karena keberadaan seseorang yang kini tengah termangu di balkon istana seolah tengah menyatukan jiwanya dengan rintikan hujan yang dengan tenang menghantam tanah.

Jeno yang memangku dagu sembari memandangi rintikan hujan adalah pemandangan paling indah dan menenangkan yang Renjun dapati selama tinggal di sini.

"Boleh aku dan Jisungie bergabung?"

Renjun datang bersama dengan Jisung yang terduduk nyaman di kain gendongan, juga sebuah nampan berisi dua cangkir teh dan satu botol susu. Jeno yang mungkin merasa diganggu hanya mendengus sebal lantas memandang istrinya tajam.

"Kalau aku tidak mengizinkan, apakah kamu akan pergi?"

Yang ditanya dengan nada mengintimidasi hanya menggeleng pelan sembari tersenyum manis, menyodorkan secangkir teh hangat ke arah sang pangeran yang tampak kesal.

"Jisungie sedang rewel, mungkin setelah dinina-bobokan di udara segar begini dia akan tertidur?"

Si pangeran kecil yang tengah dibicarakan oleh kedua orang tuanya itu menguap lucu lantas menggosok-gosokan wajahnya ke dada sang ibu, kebiasaannya jika sedang menghalau kantuk yang menyerang sebelum kemudian menyandarkan kepala dengan nyaman.

Renjun yang mendapati pemandangan menggemaskan itu terkekeh kecil lantas mengecup pipi Jisung sembari menepuk-nepuk pantatnya dengan sayang, berbeda dengan Jeno yang hanya memberikan tatapan datar.

"Berhenti repot-repot mengurusinya, para pelayan dibayar untuk melakukan pekerjaan itu."

"Tapi aku ibunya, dan seorang ibu tidak mempunyai anak hanya untuk diurus oleh orang lain meski ia mengeluarkan uang untuk itu."

Jeno terkekeh sinis mendengar itu, "Kau bahkan tidak melahirkannya, lucu sekali mendengar ujaran sok bijakmu itu!"

Hujan yang terus merintik mencapai klimaksnya seolah menghanyutkan rasa tak enak hati yang seharusnya dirasakan oleh Renjun setelah mendengar kalimat suaminya itu. Ia justru terkekeh manis sembari mengeratkan pelukannya di tubuh Jisung yang matanya sayup-sayup didera kantuk, mengecupi wajah mungil itu dengan perasaan sayang yang semakin meluap-luap. Semakin Jeno mencibirnya, Renjun semakin tertantang untuk menunjukkan betapa sayangnya ia kepada si calon penerus itu.

"Itulah hebatnya seorang ibu, ia tidak perlu melahirkan anaknya untuk mencurahkan kasih sayang yang besar."

Kini giliran Jeno yang dibuat bungkam. Pangeran tampan itu seolah kehilangan sisi intimidasinya saat kini terpaku pada dua makhluk di depannya, tenggelam pada bagaimana manifestasi kasih sayang seorang ibu kepada putranya.

Jeno merasa ada yang mengusik sudut terdalam hatinya saat menyadari betapa sederhananya manifestasi itu. Kesederhanaan yang tak pernah ia rasakan. Kesederhanaan yang tak pernah tersuguhkan sepanjang kehidupannya di istana yang dingin dan mencekam.

Suara yang tak ia sangka-sangka lantas bergema begitu saja di dalam benaknya,

apakah.... ia juga pernah berada di posisi Jisung saat ini?


"Kadang aku berkhayal, bagaimana jika seandainya kita memiliki bayi sebagaimana Jaemin dan Pangeran Minhyung, dan membuat Jisung resmi menjadi seorang kakak? Itu pasti menyenangkan bukan?"

Lamunan sentimental Jeno terbuyarkan oleh suara ceria Renjun. Istrinya itu masih sibuk menepuk-nepuk punggung Jisung, namun kali ini dengan mata yang tak lagi terpaku pada bayi kecilnya. Saat ini tengah ia memandangi rintikan air hujan dengan mata berbinar-binar, seolah guyuran air itu adalah rol film yang tengah menampilkan khayalan dalam otaknya.

Bayi lucu yang menggemaskan, Jeno mendengus kecil lantas melipat tangan, menolak otaknya untuk ikut membayangkan lamunan konyol si Huang.

"Teruslah berkhayal, itu tidak akan terjadi."

"Kenapa?"

"Aku tidak suka bayi...."

...dan istana mungkin tak akan mengizinkan aku memilikinya.

Mendengar itu membuat Renjun mendesah kecewa lantas menarik kembali senyumnya, diam-diam mencuri pandang ke arah Jeno yang kembali bereskpresi datar. Pria itu, untuk kesekian kalinya, selalu menutup segala pintu untuk mencegah obrolan mereka menjadi sesuatu yang mendalam. Alih-alih merasa sedih untuk perbedaan keinginan mereka soal anak-anak, Renjun lebih merasa kecewa terhadap jawaban Jeno yang selalu singkat dan tanpa minat.

Untuk kesekian kalinya Renjun kembali bertanya-tanya, kiranya, apa yang tersimpan di dalam ketertutupan dan ekspresi datar suaminya itu sekarang?

"Dokter Kwon bercerita padaku bahwa kamu saat kecil dulu adalah Jeno yang lucu dan menggemaskan, seperti anak anjing mahal."

Jeno kembali terintrupsi oleh suara Renjun yang membuatnya mau tak mau kembali menoleh, mendapati sosok itu yang kini kembali memandangi hujan dengan damai seolah meneruskan putaran film khayalan yang ia ciptakan sejak tadi.

Lucu dan menggemaskan. Jeno tersenyum sinis, menyadari betapa selama ini ia jarang sekali mendengar penilaian positif dari orang-orang terhadapnya. Selama ini ia lebih familiar dengan anggapan-anggapan bahwa saat kecil dulu dirinya adalah anak kecil bertempramen buruk yang menyebalkan, yang selalu membuat jengkel hampir semua pelayan, hingga katanya tidak ada yang mau berteman dan bermain dengannya. Ia adalah pangeran yang diharapkan mampu bersikap lebih baik, sopan, dan ceria, setidaknya seperti Pangeran Minhyung yang selalu dibangga-banggakan jika dibandingkan dengan dirinya.

Entah bagaimana Jeno selalu percaya bahwa dirinya adalah sosok yang tak pernah diharapkan oleh orang-orang istana.

"Aku jadi penasaran, kira-kira kalau kita punya anak nanti, apakah akan menjadi seperti anak anjing mahal yang lucu dan menggemaskan? Seperti saat kamu kecil dulu?"

Renjun masih beretorika sendiri, seolah menciptakan dunia tak kasat mata yang membuat Jeno semakin ingin menertawainya, menertawai bagaimana bodohnya lelaki Huang ini. Tak sadarkah ia bahwa yang ia nikahi adalah seorang pangeran monster yang tak diharapkan? Hidup bahagia apalagi sampai memiliki anak-anak yang lucu adalah sebuah kemustahilan, istana tentu tak akan mengambil resiko jika yang dilahirkan istrinya nanti adalah sosok pangeran yang sama seperti ayahnya, tak beradab, kasar, dan pembangkang.

Jeno diam-diam membatin, menertawai hidup lelaki malang di sampingnya. Lelaki yang tengah menjalani drama komedi menyedihkan di istana yang kejam ini.


-


Hujan kembali lagi saat mentari nyaris kembali ke peraduan, setelah sebelumnya sempat terjeda di jarum jam yang mencumbui angka tiga dan empat sore.

Jeno kembali ke kamarnya setelah kebersamaannya dengan Renjun yang berhenti di obrolan mengambang mereka. Ia memerintahkan seorang pelayan untuk membawakannya anggur terbaik di gudang penyimpanan yang kemarin luas baru saja mendapat stok anggur import dari Rusia. Ayah dan Ibunya sejak kemarin sedang menjalani tugas kerajaan di Daegu untuk mengevaluasi sekolah milik yayasan istana, dan kesempatan ini Jeno manfaatkan untuk bersenang-senang dengan anggur-anggur favoritnya sekaligus melepas penat sebelum nanti kembali aktif dengan tugas istana setelah masa liburnya ini.

Sembari memandangi hujan dari kaca jendelanya yang besar, Jeno mengecap tiap tegukan anggur dari gelas birnya, menikmati sensasi hangat yang menjalari tubuhnya. Matanya secara perlahan terasa berkunang-kunang, begitupun dengan perutnya yang mendadak mual. Jeno mendesis sebal, tak menyangka bahwa toleransinya pada alkohol mendadak turun dratis seperti ini.

Setelah memuntahkan isi perutnya di kamar mandi, Jeno dikejutkan oleh sosok Renjun yang secara tiba-tiba berada di kamarnya. Lelaki itu tampak khawatir saat melihat mulut Jeno yang  basah dan langkah suaminya yang sedikit terhuyung.

"Untuk apa kamu di sini?!"

"Menawarimu makan. Kamu melewatkan makan siangmu, Jeno-ssi."

Renjun berujar khawatir sembari menuntun tubuh Jeno yang sedikit limbung, mendudukkan tubuh itu di sisi ranjang. Jeno tak berkutik dan seolah dikuasai oleh pening yang semakin menjadi saat Renjun keluar dari kamarnya dan kembali lagi dengan sebuah minyak kayu putih dan air hangat. Tampaknya sang istri tahu bagaimana merawatnya yang kini tengah overdosis alkohol.

"Harusnya tadi makan dulu sebelum minum anggur. Belakangan ini jadwal makanmu sangat berantakan."

Jeno hanya terdiam sembari berusaha menguasai dirinya saat Renjun terus berceloteh panik. Mual yang menderanya sudah sedikit membaik berkat tangan cekatan Renjun yang kini sudah membaluri perutnya dengan minyak kayu putih. Pria itu tak mengerti terhadap apa yang terjadi dengan tubuhnya saat kini ia merasakan ada yang menegang di bawah sana, sesuatu yang juga turut membuat gerak sang istri menjadi sebuah kebungkaman perlahan yang tak Jeno mengerti.

"Kenapa?"

Ia bertanya datar sembari menahan erangannya, sementara Renjun hanya menunduk sembari menahan tarikan bibirnya lantas menuntunnya untuk berbaring dengan hati-hati.

"Istirahatlah, aku akan menungguimu di sini sampai kamu siap untuk makan. Aku akan memasak untukmu--"

Ujaran Renjun terhenti saat tangan Jeno menarik tangannya yang membuat tubuhnya kini sedikit berbaring di atas dadanya yang telanjang. Jeno terlihat semakin kehilangan kesadaran saat kini beberapa kali menyipitkan mata sembari memegangi kepalanya, dengan erangan tertahan yang semakin membuat Renjun menahan napas tegang.

Renjun tahu bahwa ada sesuatu yang tak beres dengan suaminya, yang mungkin akan turut menularinya.

"Diamlah, berbaringlah di sini. Aku tahu kamu sedang ingin memelukku, kan?"

Setelah menarik tubuhnya dari jangkauan tangan sang pangeran, Renjun bungkam selama beberapa saat. Ia pandangi tubuh indah bak pahatan dewa romawi di hadapannya sebelum matanya kemudian terfokus pada sesuatu yang menegang di selatan sana. Senyumnya terkembang tipis saat fantasi gila itu diam-diam tercipta di dalam otaknya.

"Bagaimana jika seandainya kita punya anak nanti?"

"Kamu menegang, Jeno-ssi...."

Renjun berbisik lirih, menjatuhkan tubuhnya di samping Jeno sebelum melingkarkan tangannya di dada telanjang itu. Jeno mendesis seduktif saat merasakan kaki sang istri yang ditumpukan di atas kakinya itu mengenai kejantananya. Di bawah kesadarannya yang semakin menipis dan umpan balik yang diberikan oleh Renjun, Jeno mulai mengikuti naluri alamiah yang kini menguasainya. Naluri seorang pria dewasa yang selama ini selalu diabaikannya, naluri yang ia tahu akan mendatangkan kemungkinan sebuah petaka bagi istana.

Naluri yang diharapkan tak dimiliki oleh seorang monster sepertinya.














Aku ngga bisa bikin smut, serius. Tiap baca cerita smut suka mikir, "Ini apaan? Emang kaya gini?" terus abis itu ngga bisa nyontohin ke dalam ceritaku sendiri saking ga mudengnya.


Btw, kalian sampe sini udah bisa nebak alur ceritanya ga? Aku jadi gregetan pengen spill nih wkwkwkwk:D




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top