Lembaran Kedua

Istana itu dingin, besar, dan kadang kala agak sedikit mencekam.

Renjun terus menghitung hari sejak ia menjejakkan kaki ke kediaman utama si penguasa ini. Ia dan Jeno masih tinggal di istana utama raja, sebelum nanti akhirnya pindah ke kediaman mereka. Renjun tak tahu kapan pastinya, dan tidak pernah berani untuk bertanya.

Menjadi keluarga kerajaan mengajarkannya banyak hal, satu di antaranya adalah bahwa tak semua pertanyaan dapat disuarakan dengan gamblang.

Hari ke sembilan, tanpa perubahan signifikan. Ia masih kesepian, orang tuanya sudah kembali ke Jilin sejak hari keempat ia resmi menyandang sebagai anggota kerajaan. Dan istana tak cukup ramai meski ada banyak pelayan yang berlalu-lalang, yang jumlahnya bahkan melebihi  anggota inti kerajaan. Mungkin karena mereka tak benar-benar bertindak sebagai eksistensi bebas dan bergerak layaknya robot yang terkontrol sehingga Renjun merasa bahwa mereka semua hanyalah raga tanpa jiwa yang menggantungkan hidupnya dalam lingkup kekuasaan istana.

Sangat menyedihkan, namun memang begitulah adanya.

Renjun menyusuri bagian belakang istana yang selalu tampak sepi, meski sesekali ramai oleh para pelayan yang melakukan pekerjaan mereka di sana. Hari akan segera beranjak meninggalkan pagi saat ia ingat bahwa sore nanti adalah jadwalnya untuk pergi ke rumah sakit bersama arak-arakan kerajaan, menyambut sekaligus menjemput calon putranya yang telah lahir.

Sudut bibir Renjun tertarik saat ia merasa bahwa kesepiannya kini tersimpul pada harapan baru yang tak ia pikirkan sebelum ini.

Seorang bayi, ia akan menjadi seorang ibu dalam kurun waktu beberapa jam lagi.

Sebuah nama muncul dalam benaknya dan menyentil sensitifitas hatinya. Renjun kenal dan familiar dengan perasaan ini. Perasaan yang menghadirkan efek kupu-kupu pada perutnya, perasaan yang membuat jantungnya berdebar lebih dari normalnya.

Sebuah euforia saat ia membayangkan bahwa mungkin ia akan mendapatkan hak untuk menamai bayinya.

"Bongshik,"

Matanya terbuka saat sebuah suara menyapa tulang sanggurdinya. Terdengar begitu samar, namun mudah ditemukan saat kini langkahnya membawa ia pada seorang pria yang tengah asyik mengatur kucingnya.

Renjun agak sulit percaya bahwa itu adalah Jeno, suaminya yang sudah menghilang sejak setelah sarapan.

"Bongshik, aku memerintahkanmu untuk tetap di situ!"

Suara si pangeran tunggal itu menggema jauh lebih keras. Wajahnya terlihat begitu ekspresif, jauh lebih dari biasanya yang hanya berupa air muka datar. Renjun yang terkesima memilih untuk diam-diam menontoni Jeno yang kini sudah kembali fokus pada kameranya, meski sesekali mulutnya masih mengomeli si kucing berbulu putih yang bergerak gelisah dalam aturan pose tuannya.

Jeno kembali marah, memarahi si kucing yang berontak dan kabur begitu saja sebelum blitz kamera membidiknya. Dan Renjun menyukai bagaimana suaminya itu berwajah kesal hingga mengeluarkan decakan sebal.

"Yak Bong--"

"Bongshik lebih nyaman bersamaku...."

Ia tersenyum manis saat mata Jeno membelalak tak suka pada kucingnya yang kini nyaman berada di pelukan Renjun, "Butuh bantuan, Jeno-ssi?"

Si pangeran yang kini hanya mengenakan setelan kemeja basic hitamnya itu mengangguk ragu. Wajahnya masih memberengut kesal, dan ambisinya pada si kucing yang kini sudah mengeong pasrah itu masih menggebu-gebu.

Satu jepretan berhasil Jeno dapatkan berkat bantuan Renjun yang menahan Bongshik dengan sebuah berry yang ia petik langsung dari pohonnya.

"Jeno-ssi...."

Setelah satu jepretan itu, keheningan melanda keduanya. Jeno masih fokus pada kameranya, mulai mengacuhkan si kucing yang kini sudah kabur ke sudut taman. Sementara Renjun dengan canggung masih duduk di sana mengamati Jeno dengan wajah seriusnya.

"Hm."

"Nanti sore kita akan ke rumah sakit, menjemput bayi Pangeran Minhyung."

Wajah tampan itu terdongak seketika. Raut seriusnya kini berubah semakin tajam, membuat Renjun bungkam dalam ketakutannya yang samar.

"Aku tidak peduli."

Sekejap saja rasa takut itu sirna dalam kekecewaannya yang hampa. Renjun tak mengharapkan kelanjutan akan rasa takutnya seperti ini. Ia mungkin akan lebih senang dengan respon meledak-ledak sang pangeran, atau kemarahan eksplisitnya. Namun nihil, sekali lagi, ia hanya mendapatkan bias abu-abu yang semakin memperbesar tanda tanyanya.

Orang di depannya ini adalah suaminya, tapi Renjun selalu akan meringis tiap kali menyadari bahwa ia tak tahu apa-apa tentangnya.

"Aku--aku senang sekali karena bayi itu."

"Meski mungkin.... akan jauh lebih senang kalau itu adalah bayiku sendiri."

Sekali lagi Jeno mendongak, nampak muak dengan keengganan lawan bicaranya yang tak menyerah untuk membuka mulutnya. Napasnya kemudian memburu bersama dengan emosinya yang seketika meledak-ledak di dalam benak.

"Tahan naluri binatangmu itu, brengsek!"

Namun kemudian ia memilih untuk menahan ledakan itu di dalam benaknya sendiri saat sebuah suara dengan redaksinya yang menyakitkan berputar di dalam kepalanya.

Dan ia berhasil menahannya, sejalan dengan hatinya yang kemudian berdenyut sakit.

"Kau.... menginginkan bayi hanya untuk tahta permaisuri?"

Kini giliran Renjun yang terperangah kaget. Hatinya mencelos dan matanya berkedip-kedip, mencoba menyesuaikan diri dengan kata-kata si pangeran yang terdengar begitu menusuk hati.

Apakah selama ini Jeno bersikap dingin kepadanya karena pria itu menaruh curiga seperti itu?

"Ti--tidak, bukan begitu maksudku!"

Renjun tetap tidak menyerah. Ia sudah melangkah sejauh ini untuk menembus dinding kokoh antara ia dan sang pangeran. Satu sarkasme seperti tadi harus ia telan bulat-bulat dan ia buang lewat helaan napasnya, tanpa perlu dimasukkan ke dalam hati.

"Aku suka anak-anak, dan kini aku sudah menikah--"

"Kau pikir hubungan antara raja dan ratu akan berjalan selayaknya suami istri pada umumnya?!"

Jeno kembali menatapnya nyalang, membuat semua rangkaian kata dalam otak Renjun hancur begitu saja hingga tak ada respon yang dapat ia berikan selain anggukan ketakutan.

Pria itu kemudian mendecih sinis, matanya yang tajam seketika berkilat-kilat penuh amarah.

"Lupakan fantasimu soal dongeng indah antara pangeran dan putri kerajaan! Kau tidak akan pernah mendapatkan dongengmu di sini!"

"Mungkin memang begitu, tapi...."

Renjun kembali memutar otak, ia tak akan menyerah begitu saja pada lawan bicaranya yang begitu emosional.

"...aku mungkin bisa mewujudkan dongeng antara pangeran dengan sang ibu, kan?"

Redaksi kalimat itu diucapkannya dengan suara bergetar menahan tegang, yang justru tak disangka-sangka mampu menghancurkan kilat marah dalam manik hitam sang pangeran.

Bak rottweiler yang berhasil dijinakkan, Jeno tampak jauh lebih tenang sekarang.

Dan Renjun harus kembali menelan kekecewaan karena keheningan sang pangeran akan selalu menjadi sebuah keadaan stagnan yang bias dan tak terbaca olehnya.

"Jeno-ssi--"

"Apa kau akan mulai menceritakan dongengmu itu?"

Renjun menggeleng kecil untuk respon sengit Jeno yang membuat sudut bibirnya tertarik tipis, "Aku minta maaf jika mengganggu waktumu. Aku akan masuk ke dalam."

Dan Jeno hanya terdiam, tak memberikan respon apapun yang kembali membuat Renjun diam-diam mendesah kecewa. Ia tidak ingin akhir seperti ini, setidaknya, ada harapan kecil bahwa mungkin mereka bisa mengobrol ringan sekedar berbasa-basi.

Renjun tertawa miris. Mana mungkin akan ada obrolan ringan di antara mereka jika baru saja Renjun menyulut emosinya?

Melangkah memasuki dapur istana, Renjun diam-diam masih memerhatikan sang pangeran yang kini sudah kembali sibuk dengan kucingnya. Keduanya tampak jauh lebih harmonis, dengan si kucing yang kini berada dalam gendongan nyaman sang tuan. Senyum Renjun terkembang lebar saat maniknya mendapati sesuatu yang membuat perasaannya bergetar halus.

Jeno mengelus sayang bulu Bongshik dengan tatapannya yang jauh lebih dalam, dan Renjun tak mampu mengendalikan fantasinya saat membayangkan bahwa suatu hari nanti akan ada seorang bayi yang menggantikan posisi si kucing putih itu di gendongan nyaman sang pangeran.

Sejenak, Renjun memejamkan mata dan mulai merapalkan harap.

Ya, semoga saja....











-









Renjun tak mengerti soal tahta, dan tak pernah tertarik dengan hal berbau mahkota serta singgasana.

Ia hanya seorang penduduk di wilayah persemakmuran yang orang tuanya kebetulan mantan staff di pemerintahan Korea Selatan. Renjun bukan anak konglomerat maupun bangsawan, jadi saat kerajaan memintanya untuk menikahi sang pangeran besar, yang ada di pikirannya hanyalah tunduk dan menurut, menganggap bahwa itu perintah mutlak yang tak dapat dibantah. Mungkin karena prestasi sang ayah di masa lampau yang berhasil menyelamatkan negara kelahirannya dari aksi separatis sehingga kerajaan memberikan keluarganya hadiah berupa keanggotaan istana. Renjun tak tahu apa pastinya, namun yang jelas, meski kini statusnya adalah pasangan dari sang pangeran penerus tahta, tak terbesit sedikitpun di dalam bayangannya soal tahta dan singgasana.

Dan kini, sesuatu yang bahkan tak berani untuk ia kelola dalam aktifitas otaknya itu tersuguh nyata di hadapannya.

"Jeno dan Renjun akan sementara menjadi pemangku tahta putra dari Pangeran Minhyung."

Pemangku tahta, apa itu artinya? Renjun bertanya-tanya, pertanyaan yang terus bercabang pada substansi-substansi serupa.

Mengapa harus putra Pangeran Minhyung? Mengapa Jeno memerlukan cadangan penerus tahta jika memang eksistensinya saja sudah sangat sah untuk meneruskan tahta kerajaan? Mengapa istana tak menunggu saja sampai ia hamil dan melahirkan anak Jeno untuk kemudian menempati posisi calon penerus ayahnya?

Renjun kini sudah seperti kaum papa yang terlunta-lunta dalam situasi ambigu di sekitarnya.

"Upacara penobatan akan dilakukan lusa. Pastikan Jaemin sudah cukup sehat untuk menghadiri upacaranya. Bagaimanapun, kalian berhak untuk menyaksikan penobatan anak kalian di istana."

Pangeran Minhyung, yang Renjun ketahui sebagai sepupu dari suaminya, hanya termenung dalam sembari menghela napas berat. Ia menggenggam tangan istrinya yang masih terbaring lemah sembari sesekali mengalihkan pandang ke arah Jeno yang masih mematung kaku di sisi lain ranjang. Sejak kedatangan mereka ke rumah sakit istana beberapa jam yang lalu, Jeno banyak menutup mulut setelah mengucapkan selamat kepada sang kakak sepupu dan iparnya.

Ucapan selamat dalam tatapan getirnya.

"Minhyung-ah, kita sudah membicarakan ini."

Pangeran Sungmin selaku ayah Minhyung mulai buka suara. Ia tatap anaknya dengan resah, "Persiapan penobatan sudah hampir sempurna."

Semua yang ada di sana membisu, hanya mata Pangeran Minhyung yang seolah aktif bercengkrama dengan sosok adik sepupunya.

"Mengapa Ayah dan Yang Mulia tidak coba bertanya kepada Jeno?"

Beberapa pasang mata di sana terbelalak tak percaya, termasuk Renjun yang kini mulai berani untuk mendongakkan kepala dan mendapati wajah tegang mereka semua.

Tatapan Pangeran Minhyung masih melekat pada Jeno yang hanya terdiam kaku di tempatnya, seolah mengabaikan ketiga sosok paruh baya yang kini memandangnya penuh penuntutan.

"Kita tak memerlukan pendapatnya.

Ia tak diperlukan dalam krusial seperti ini. Tak akan pernah."

Entah mengapa ada denyutan sakit di dalam hatinya saat suara sang ayah mertua terdengar menembus telinga. Renjun tak mengerti apa maksud ucapan yang mulia raja, namun tetap ingin memahami bagaimana perasaan suaminya saat ucapan bermakna bias itu terucap gamblang dari mulut ayahnya.

Saat ia dengan ragu mencoba memandang seseorang di sampingnya, yang ia dapati tetaplah sebuah bias semu yang tak terlukis dengan jelas. Meski pada akhirnya ia menyadari bahwa ada kilat luka di manik segelap jelaga suaminya.





Suaminya, si pangeran yang malang.

























Note

1. Wilayah Persemakmuran : negara-negara yang dinaungi oleh Korea Selatan selaku pemegang kekuasaan monarki (dalam setting alternatif ini, Cina termasuk ke dalamnya).

2. Pangeran Minhyung (NCT Dream's Mark) : putra Pangeran Sungmin (Super Junior's Sungmin).

3. Pangeran Sungmin (Super Junior's Sungmin) : kakak sepupu dari Raja Lee Donghae. Ayahnya merupakan adik dari ayah Raja Donghae sehingga ia tidak berhak atas tahta monarki.













Ada yang bisa nebak alur ceritanya bakal kaya gimana?

















Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top