6 - Jenderal Crux

Angin membawa aroma besi tua yang berkarat ke hidung Jenderal, itu mengingatkan dirinya pada aroma darah yang tumpah di atas tanah. Ladang pembantaian di mana yang mati berbalik menjadi Soulless. Mata sewarna tembaganya menyipit, pupil vertikalnya meruncing hingga membentuk garis lurus saat dia mengamati reruntuhan kota yang ditinggalkan.

"Kita terlalu dekat," ucap Haakon, orang ke dua dalam komandonya, sekaligus suara nalar dan nuraninya. Tentu saja Haakon benar. Mereka terlalu dekat. Tidak aman untuk mengintai Soulless sedekat ini dengan sarang mereka.

"Ryker?" ucap Crux, mengabaikan kata-kata orang ke duanya. Mereka telah pergi sejauh ini. Mereka tidak mungkin menyerah begitu saja.

Ryker. Pemanah terbaik di tim mereka menyipitkan mata untuk melihat dengan lebih baik. "Aku melihat setidaknya selusin dari mereka. Jika kita ingin melakukan ini, lebih baik kita melakukannya sekarang."

Haakon menggelengkan kepalanya. "Kita mungkin menarik lebih banyak gerombolan keluar. Lebih banyak dari yang bisa kita tangani."

"Aku bisa mengacaukan arah angin, itu akan menyesatkan mereka," usul Karhu muda, terlalu bersemangat untuk pertempuran nyata pertamanya.

Anak itu baru bergabung dengan kelompoknya secara resmi satu bulan yang lalu. Naif dan terlalu percaya diri mungkin akan menjadi penyebab kematiannya. Tetap saja Crux mengambil anak itu di bawah sayapnya. Karhu memiliki potensi. Seorang anak muda dengan bakat dan semangat. Dengan sihir langka miliknya, dia telah menjaga aroma mereka menjauh dari Souless sejauh ini, tapi Crux tidak percaya itu akan banyak membantu dalam pertempuran.

Souless tidak hanya peka terhadap aroma, tapi juga suara. Tidak masalah jika mereka buta. Mereka berburu lebih baik dari pada seorang pemburu bermata tajam.

"Tenang Nak, kamu akan membunuh dirimu sendiri. Dan apa yang harus aku katakan pada saudara perempuanmu jika itu yang terjadi?" potong Vidarr, menepuk bahu Karhu dengan ringan.

Crux tidak benar-benar yakin apa hubungan Vidarr dengan saudara perempuan Karhu, meski dia pernah menangkap mereka masuk dan keluar dari beberapa penginapan. Apakah itu hubungan kenyamanan sederhana atau ada lebih di antara mereka. Apa pun itu Vidarr jauh lebih protektif mengenai Karhu.

"Dua belas dari mereka, dan kita hanya berlima. Bukan perhitungan yang menguntungkan, ditambah kemungkinan gerombolan lain. Lebih baik mundur dan tidak memaksakan keberuntungan kita," ucap Haakon, dan bagian rasional dari diri Crux ingin setuju dengannya.

Kecuali mereka telah melacak gerombolan ini berhari-hari dari desa terakhir yang diserang. Kerusakan yang mereka tinggalkan. Kehilangan yang harus ditanggung setiap Chorian. Crux perlu melihat itu dihancurkan.

"Dalam tandaku, aku ingin Ryker dan Karhu tetap di belakang. Lindungi titik buta kita." Crux beralih pada Vidarr, petarung jarak dekat terbaik setelah dirinya sendiri. "Kita menghancurkan mereka semua tanpa mendapat satu goresan."

"Aku benci ketika kamu menjadi tidak masuk akal," desah Haakon, sudah menarik pedang melengkung yang tergantung di pinggangnya.

"Kamu bisa tinggal di belakang, aku pikir Haakon Kaz Mandu yang terkenal akhirnya menjadi tua dan kehilangan beberapa sentuhannya," ejek Crux menarik kapaknya sendiri yang terikat di punggungnya.

Mata kapak raksasa itu memantulkan cahaya suram dari dua matahari yang menembus langit kelabu di atas kepala mereka. Sudah seperti itu sejak beberapa tahun terakhir. Seolah Fala dan Rani tidak ingin memberkati rumah mereka lagi. Mungkin karena Dewi mereka tidak lagi berada di antara mereka. Mungkin karena kutukan itu semakin mengakar. Crux tidak akan tahu, dia juga tidak peduli. Dia hanya ingin menghapus semua kengerian ini dari tanah mereka. Bersihkan mereka semua dan mungkin setelah itu dia bisa memaafkan dirinya sendiri.

"Jika aku tidak datang siapa yang akan menjaga kepalamu tetap berada di tempatnya?" balas Haakon tersenyum masam pada pria yang lebih muda. Memang benar Haakon adalah yang tertua di antara mereka. Dua kali lipat dari Crux sendiri, pamannya, saudara laki-laki dari ibunya. Seseorang yang seharusnya membencinya, tapi sepertinya tidak pernah merasa seperti itu.

"Baik, kita akan lihat." Crux mengangkat bahunya tak acuh. Meregangkan lengan saat dia menguji berat kapak di tangannya. Gagangnya yang dibungkus kulit telah ternoda darah hingga berubah warna menjadi cokelat kemerahan.

Tanpa aba-aba Crux mengangkat kapaknya, bergerak seperti pemangsa di puncak rantai makanan saat dia menyerbu setidaknya dua belas Soulless yang berjarak beberapa meter dari mereka.

Aroma dari daging busuk mereka menyerang hidung Crux sebelum setiap Souless berkedut. Menggerakkan kepala mereka yang kebanyakan berbopeng saat mendeteksi suara. Dua belas kepala dengan rongga mata kosong berputar dengan mengerikan ke arahnya. Kulit biru mereka berubah menjadi pucat seperti mayat yang telah terendam di dalam air terlalu lama, menggelembung dengan menjijikan. Mulut dengan gigi kehitaman tercabik menjadi geraman.

Tidak hanya sekali Crux bertanya-tanya, apakah dia akan mengenalinya jika dia pernah melihatnya lagi dalam wujud ini? Atau apakah selama ini dia telah membunuhnya, dan tidak pernah menyadarinya? Crux mendorong pikiran itu menjauh, dia perlu fokus pada saat ini dan di sini.

Dengan tubuh mati dan tanpa mata, beberapa akan mengira Souless bergerak dengan lambat. Berharap koordinasi tubuhnya akan melemah setelah kematian dan pembusukan. Namun, itu tidak benar. Kutukan yang membangkitkan setiap orang mati tidak peduli fakta seperti itu. Setiap Souless sepertinya bergerak dengan koordinasi sempurna, kecepatan yang menakutkan, dan tentu saja mematikan. Itu juga tidak membantu ketika hanya ada tiga cara untuk membunuh mereka, pertama dengan pemenggalan kepala secara bersih, pecahkan tengkorak mereka yang lebih keras dari batu, atau panah langsung ke rongga mata mereka. Itu juga alasan kenapa Crux lebih menyukai kapaknya. Beban berat dari mata kapak cukup untuk memecahkan tengkorak Souless yang sepertinya diperkeras setelah kematian.

Crux tidak berhenti, tidak ada keragu-raguan saat dia membawa mata tajam kapak ke leher Souless pertama yang berhasil dia capai. Darah merah kehitaman memercik diikuti bunyi gedebuk dari kepala yang jatuh ke tanah. Dia tidak berhenti, tidak mengambil jeda saat detik berikutnya dia berputar di tempatnya. Kapak mengayun tinggi di atas kepalanya, turun langsung ke tengkorak Souless lain dengan bunyi derak yang memuakkan.

Dari sudut matanya Crux dapat melihat Vidarr dengan pedang melengkung serupa dengan mikik Haakon menebas salah satu Souless yang hampir menancapkan gigi ke bahunya.

"Fokus!" bentak Crux pada temannya, satu goresan salah. Satu gigitan kecil. Hanya itu yang dibutuhkan Souless untuk mengubah seseorang.

Vidarr mendengus meski tidak mengatakan apa-apa. Bergerak dengan anggun saat menghindari dua Souless yang berada di sisi kirinya. Lengan pedangnya bergerak, menusuk ke depan, tenggelam jauh ke dalam salah satu perut Souless sebelum dia menariknya kembali hanya untuk menebas leher mereka.

Crux mengalihkan perhatiannya kembali kapaknya seolah memiliki pikiran sendiri saat dia memecahkan tengkorak dari tiga Souless yang mendatanginya. Tidak memberi mereka kesempatan. Darah merah hitam berbau busuk itu memenuhi lubang hidungnya. Napasnya dipercepat hingga terengah-engah, saat keheningan mengikuti setelah suara derak logam pada tulang. Mata oranye Crux memindai sekeliling mereka. Menemukan Haakon telah memenggal tiga Souless yang lain. Kepala mereka menggelinding tidak jauh dari kakinya. Pria tua itu mengelap darah dari pedangnya sebelum membiarkannya meluncur kembali ke sarungnya.

"Itu lebih cepat dari yang aku bayangkan," ucap Vidarr, bilah pedang melengkung yang dipoles sekarang dicat merah oleh darah. "Kita sebaiknya pergi sekarang. Jika bukan suara kita yang menarik gerombolan keluar, maka aroma darah pasti akan."

Crux mengangguk. Matanya kembali menyimpang pada reruntuhan kota tua. Pagar tinggi mengelilingi tempat itu terlihat lapuk, meski Crux tahu lebih baik. Mereka masih berada ratusan meter dari tembok-tembok itu. Ratusan meter dari sejarah mereka yang selamanya akan menjadi misteri. Karena hanya orang bodoh yang akan mencoba masuk ke salah satu reruntuhan kota-kota tua di Choria. Tempat itu dipenuhi Souless. Ratusan. Ribuan. Jutaan mungkin?

Pada suatu waktu dikatakan bahwa Choria adalah sebuah peradaban yang maju. Bahwa pernah ada masa di mana tidak ada penyakit yang membunuh Chorian secara perlahan. Tidak ada Soulless. Tidak ada kutukan. Suatu waktu di mana Crux tidak pernah melihatnya, dan tidak pernah berani berharap sebaliknya. Sampai dia menerima surat dari Ynez pagi ini.

"Kita harus kembali ke Pangeran, kita sudah pergi terlalu lama. Tidak aman meninggalkan Torndane tanpa perlindungan," ucap Vidarr ketika mereka hampir mencapai tempat Karhu dan Rykon bersembunyi di sisi lain bebatuan.

"Aku takut kita tidak bisa melakukan itu," ucap Crux, Vidarr mengerutkan dahinya, tidak mengerti dengan kata-kata pria yang telah menjadi Jenderal dan sahabatnya sejak mereka bertemu sepuluh tahun yang lalu.

"Apa maksudmu?" ucap Vidarr, tapi Crux tidak menjawabnya sampai mereka semua berkumpul.

Saat Haakon menatapnya dengan pengertian. Ryker dengan tatapan dingin dan jauh seperti biasa. Sementara Vidarr menatapnya dengan penasaran dan Karhu dengan rasa ingin tahu yang tidak ditutupi. Crux mengambil napas perlahan.

Dia tidak pernah mempercayai ramalan. Itu alasan kenapa dia memilih untuk menjadi Jenderal di bawah panji Pangeran Jedrek. Alasan kenapa dia pergi jauh dari Torndane dan memburu setiap Souless. Karena Crux percaya jika dia tidak membunuh setiap Souless dengan tangan dan kapaknya, maka mereka tidak akan pernah dihabiskan. Namun, setiap hari yang lewat dia semakin putus asa. Setiap hari melihat dan mendengar lebih banyak kematian. Rasanya tidak pernah ada harapan. Jadi mungkin sangat bodoh karena percaya pada kata-kata kuno, tapi siapa yang bisa menyalahkannya? Crux putus asa, dan mereka yang putus asa akan mempercayai harapan apa pun yang tersisa. Bahkan jika itu harapan yang paling tidak masuk akal.

"Kita akan pergi lebih jauh ke Selatan, dekat dengan dinding luar. Kita akan mengunjungi Ynez."

"Pendeta Wanita Ynez yang melayani di kuil Dewi Choris itu sendiri?" tanya Karhu dengan kegum.

"Dan kenapa kita melakukan itu?" tanya Vidarr menyuarakan pertanyaan semua orang kecuali Haakon yang telah mendapatkan cerita lengkapnya sebelum mereka bergerak pagi ini.

Crux mengeluarkan surat itu dari kantong yang terselip di kemeja kulitnya. Mengulurkannya pada Vidarr sehingga temannya bisa membacanya sendiri. "Kita akan mengawal Yang Cerah ke Torndane."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top