5 - Aria

Dia akan baik-baik saja. Aku melafalkan kata-kata itu seperti mantra ajaib di kepalaku. Jika aku mengatakannya cukup sering maka itu akan menjadi kenyataan.

"Kita perlu merawatmu juga."

Aku menggelengkan kepalaku, mengabaikan Ynez yang memberi isyarat padaku untuk berbaring di salah satu dipan kosong. Aku tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan, Avery masih belum bangun. Gerakan naik turun dadanya yang stabil adalah satu-satunya hal yang menenangkanku sejauh ini. Setidaknya pendarahan di kepalanya tidak separah yang aku pikirkan sebelumnya. Luka di kepala cenderung mengeluarkan banyak darah, dan Avery sepertinya membenturkannya dengan cukup keras. Sekarang setelah aku dan Ynez membersihkan serta membalutnya dengan perban sederhana, itu telah berhenti.

"Menurutmu berapa lama waktu yang dia butuhkan untuk bangun?"

Aku bertanya seperti anak kecil. Melihat Avery berbaring di atas dipan kayu sederhana dengan selembar selimut bulu usang membuatku takut. Ini bukan Bumi, jika sesuatu terjadi, jika ada sesuatu yang salah. Apa yang bisa aku lakukan? Aku tidak bisa menelepon taksi dan membawanya ku UGD. Aku tidak bisa memberinya jahitan jika itu diperlukan.

Tidak ada apa-apa. Pikiran itu benar-benar menakutkan.

"Beri dia waktu, aku yakin dia akan baik-baik saja. Aku tidak melihat luka yang serius. Sementara itu kenapa tidak membiarkanku merawat memar di kepala Yang Cerah?" Ynez kembali membujukku, menunjukkan wadah salep di tangannya yang sebelumnya ia terapkan di beberapa memar Avery.

"Aku baik-baik saja, aku hanya perlu waktu untuk membuat otakku yang malang bisa memproses semua ini."

Ynez mengangguk dengan sedih, meski dia tidak menyembunyikan tatapan penuh harapan dan syukur setiap kali menatapku. Dia mungkin bersimpati pada keadaanku, tapi dia juga senang karena sepertinya dia terus berpikir aku adalah semacam penyelamat yang dikatakan dalam sebuah ramalan. Memikirkannya saja sangat menggelikan. Aku? Penyelamat?

"Tidak ada salahnya juga membiarkanku merawat memar, sementara Yang Cerah mencoba menyesuaikan diri," ucapnya membuatku mengernyit pada panggilan yang ia gunakan.

Menghembuskan napas kalah, akhirnya aku menyerah pada kegigihannya. Toh, tidak ada ruginya.

"Baiklah, tapi tolong berhenti memanggilku seperti itu. Rasanya aneh," ucapku, sudah bergerak untuk berbaring di dipan yang disiapkan Ynez.

Bulu lembut melapisi permukaannya, dan sebenarnya itu terasa cukup nyaman. Terutama saat aku meletakkan kepalaku yang berdenyut di tumpukan bulu yang lebih tebal. Astaga aku tidak tahu betapa sakit ototku sampai aku mengistirahatkan mereka. Rasanya seperti surga berbaring di sini.

"Tolong panggil saja Aria, semua orang melakukannya," ucapku saat dia berdiri di sisi dipan, aku tidak benar-benar bisa membaca ekspresi yang melintas di wajahnya tapi puas ketika Ynez mengangguk.

"Karena sepertinya kamu tidak terlalu peduli dengan formalitas, bolehkah kita menjadi jujur satu sama lain?" ucap Ynez mengejutkanku, aku tidak tahu apa yang akhirnya membujuk kata-kata itu darinya tapi aku mendapati diriku mengangguk. Ynez mengambil beberapa salep ke jarinya sebelum mengusapkannya ke dahiku yang terasa berdenyut paling parah.

Aroma pedas dan manis, cukup mirip dengan adas merasuki hidungku saat Ynez mengoleskan lebih banyak. Dia berhati-hati dengan gerakannya. Berusaha menimbulkan sesedikit mungkin rasa sakit.

"Ada sesuatu yang ingin kamu katakan?" tanyaku ketika Ynez bekerja dalam keheningan yang nyaman. Dia telah beralih untuk mengoleskan salep ke lengan dan bahuku.

"Aku mengerti jika kamu tidak percaya sepatah kata pun dariku. Mungkin itu juga yang membuatmu menyangkal bahwa dirimu adalah Yang Cerah, bahwa kamu telah ditakdirkan dan dikirim oleh Dewi Choris sendiri. Namun, bagi kami kemunculanmu adalah harapan. Setelah bertahun-tahun bertahan dalam kutukan ini, tanpa harapan, akhirnya doa kami terjawab."

Aku meringis, bukan karena dia baru saja menyentuh memarku, tapi pada harapan yang terdengar jelas di suaranya. Aku menggigit lidahku, menahan diri untuk tidak langsung menyangkalnya kali ini.

"Baik, katakanlah aku percaya padamu dan ramalan ini. Bagaimana tepatnya aku bisa membantu? Kamu lihat, aku bahkan tidak bisa menolong saudaraku di sini." Aku menunjuk Avery, masih pingsan. Aku tidak punya sihir ajaib atau trik di lengan bajuku. Jujur, aku hanya gadis biasa dari keluarga yang sedikit tidak biasa.

Beberapa orang mungkin akan iri padaku karena terlahir sebagai von Dille. Kenapa tidak? Kami kaya, keluarga kami menjaga reputasi seperti naga menjaga tumpukan emasnya. Apa pun yang kami inginkan dapat dibeli. Seperti ketika aku gagal untuk masuk ke universitas kedokteran, Papa bahkan tidak bertanya padaku, dia hanya—biarkan uang berbicara. Aku mendapatkan tiket emas itu, aku hanya harus mengambilnya. Kecuali, aku tidak ingin hal praktis seperti itu. Maksudku bagaimana aku bisa dipercaya menjadi dokter ketika aku tidak benar-benar lulus dengan adil? Nyawa seseorang bukan mainan. Aku menolak menghadiri undangan itu dan akhirnya Papa benar-benar kesal. Yah, untungnya aku bukan satu-satunya anak yang membuatnya kesal. Bahkan bisa dibilang aku tidak banyak membuat masalah. Bahkan aku pikir Avery lebih sering mengacau, hanya saja dia sangat pandai melakukan itu sehingga Papa hampir tidak tahu apa-apa.

Jadi mungkin Papa tahu Avery meniduri beberapa cowok acak secara rutin. Selama rumor itu tidak pernah keluar itu baik-baik saja. Kupikir kakek juga begitu. Jadi bagaimana jika Avery gagal beberapa ujiannya—bukan karena dia bodoh, sungguh, karena di antara kami berdua aku akan mengatakan tanpa ragu bahwa Avery adalah otaknya. Hanya saja terkadang dia terlalu mendorong dirinya. Maksudku siapa yang mengambil lebih dari selusin ekstrakurikuler dan kegiatan bimbingan dalam satu semester? Avery tentu saja, dan itu mengacaukan nilai ujian Biologinya. Jadi apa yang Avery lakukan untuk membujuk Mr. Meyer? Aku lebih suka tidak membicarakannya. Aku tidak selalu setuju dengan pilihan Avery, tapi dia saudaraku. Aku tidak akan pernah menghakiminya, atau bagaimana caranya menjalankan hidup karena itu yang dilakukan saudara, benar?

"Dikatakan bahwa kutukan akan dipatahkan dengan satu ciuman cinta sejati. Satu ciuman antara Yang Cerah dan Pewaris. Bahwa jika mereka bersama akan menyatukan Choria, atau pisahkan, dan membawa malam abadi bersamanya."

"Kamu pikir jika aku mencium seorang pria maka kutukan ini akan hancur? Tunggu, aku bahkan tidak tahu apa itu kutukannya," ucapku, memejamkan mata pada absurditas pikiran itu. Satu ciuman tidak akan mengubah banyak hal. Tidak ada yang seperti itu.

"Itu yang dikatakan ramalan, dan itu yang tertulis di kitab. Kita tidak akan pernah tahu jika tidak mencoba, dan kamu adalah satu-satunya Yang Cerah. Satu-satunya setelah Sang Dewi sendiri. Kami putus asa. Kami akan mempercayai apa pun. Mencoba apa pun jika itu berarti mengakhiri kutukan. Jika kamu melihat apa yang dilakukan kutukan ini pada orang-orang aku yakin kamu juga akan setuju denganku."

Aku membuka mataku pada suaranya yang begitu terpotong, kesedihan menggelapkan matanya yang cerah. Aku berharap akan ada air mata, tapi matanya benar-benar kering saat Ynez berpaling dari pengawasanku dan menutup stoples salep. Itu benar-benar membuatku merasa seperti jalang yang menyebalkan. Apa yang dilakukan Ynez sejak pertemuan kami hanyalah sangat baik. Dia merawatku dan Avery. Menawarkan kami tempat tinggal dan perlindungan. Dan apa yang aku berikan? Tidak ada. Kecuali berusaha mencekik oksigen dari paru-parunya dan terus menyangkal apa yang dia percaya. Karena dia putus asa, jadi dia katakan. Mungkin kegilaan akan terdengar masuk akal ketika itu satu-satunya harapan yang tersisa, jadi siapa aku berani menghakimi Ynez?

"Apa yang terjadi pada mereka?" tanyaku, lebih lembut kali ini, lebih banyak menyuntikkan rasa simpati ke dalam suaraku.

"Mereka kehilangan jiwa mereka. Mati perlahan. Layu. Tidak ada yang tahu dari mana penyakit ini datang. Itu tidak peduli siapa kamu. Tua? Muda? Seorang bayi? Apakah kamu kaya atau miskin? Seorang ibu? Ayah? Atau  anak yang dicintai. Kutukan itu tidak peduli. Itu mengambil siapa pun yang tersentuh. Tidak ada obat. Tidak ada harapan. Kita hanya bisa meratapi mereka sampai mati. Itu masih lebih baik aku rasa," ucapnya, matanya kembali menemukan mataku. Ada luka yang begitu terbuka, bahkan dengan fitur wajahnya yang sedikit berbeda dari manusia. Mata yang lebih bulat, hidung yang sedikit lebih runcing. Bibirnya yang tipis. Aku bisa tahu seperti apa itu rasa sakit saat aku melihatnya. Ynez telah kehilangan seseorang yang penting karena kutukan ini. Jadi begitu putus asa untuk menghentikannya.

"Lebih baik?" tanyaku, lebih tertarik sekarang. Karena jika ini semacam penyakit, harus ada obatnya.

"Beberapa dekade yang lalu, mereka yang tersentuh kutukan tidak hanya mati. Mereka berubah." Aku mengerutkan dahiku dalam kebingungan, tapi Ynez tidak membutuhkan diriku untuk bertanya, dia hanya meneruskan kata-katanya seolah tidak bisa berhenti, "mereka menjadi Soulless. Makhluk tanpa jiwa. Mereka berburu. Mereka menyerang. Mereka tidak tahu rasa sakit atau takut. Melihat orang yang kamu cintai berbalik menjadi Soulless adalah yang terburuk. Namun sekarang hanya mereka yang dirusak oleh Souless yang berbalik. Penyakit kutukan sekarang hanya membawa kematian. Jadi aku pikir, kutukan itu memudar benar? Mungkin itu pertanda? Aku ingin percaya itu, tapi lebih banyak orang sakit. Lebih banyak yang mati. Bukan hanya orang tapi tanah kami juga. Ladang kami yang subur perlahan mati. Hutan kami yang cerah menghitam dan berubah menjadi kecokelatan. Bahkan Fala dan Rani yang seharusnya menerangi langit kami memudar. Semua orang takut. Putus asa. Kemudian kamu datang. Persis seperti yang diramalkan. Jadi apa yang harus aku pikirkan tentang itu?"

"Aku—"

Tidak ada yang keluar. Apa yang layak untuk diucapkan? Apa yang dia gambarkan begitu mengerikan. Begitu menakutkan sehingga itu seharusnya hanya bisa berada dalam sebuah buku arau film.

"Aku mengerti jika kamu tidak memilih untuk berada di sini. Itu mungkin bukan pilihanmu, dan mungkin itu terlalu banyak jika aku memintamu untuk setidaknya mencoba untuk membantu kami, tapi bisakah kamu menyalahkanku? Menyangkal harapanku?"

Aku menggeleng, dan kali ini ketika dia mengambil tanganku, membaliknya, dan menunjukkan tato di pergelangan tanganku, aku tidak tersentak.

"Dikatakan ini adalah simbol perlindungan Dewi," ucapnya, jarinya mengusap tatoku bolak-balik. Kulitnya terasa lebih kasar dari pada milikku, seperti seluruh kulitnya mengalami kapalan.

"Begitukah? Karena aku baru saja melanggar beberapa hukum di tempatku berasal saat mendapatkan tato itu di kulitku," ucapku masam, salib matahari memiliki banyak arti, beberapa benar-benar tidak buruk, tapi Kakek akan kesal jika tahu salah satu cucunya dengan sembrono melanggar aturan pemerintah. Yah aku tidak perlu khawatir tentang itu, aku rasa, karena aku terjebak di sini sekarang.

"Lalu lebih banyak alasan untuk tetap tinggal di sini," ucap Ynez, tersenyum lemah. Aku membalas senyum itu.

"Kurasa begitu, lihat sisi baiknya, bukan? Itu tidak seperti aku tahu cara untuk pulang."

"Jadi karena kamu akhirnya setuju untuk tinggal, aku harap kamu tidak marah," ucapnya, tiba-tiba membuatku kembali waspada. Aku curiga tidak akan menyukai apa yang dia katakan.

"Apa yang kamu lakukan?" tanyaku, sudah menyipitkan mata dengan tidak senang padanya.

Dia tersenyum menenangkan, tapi efeknya hilang saat sepasang taring muncul di antara bibirnya. Dia menghindari mataku sekali lagi, mengambil cangkir logam yang ia letakkan di meja sebelumnya, dan menyerahkannya padaku. Cairan berwarna cokelat bening, hampir mirip warna madu mengisinya. Ynez mendorongku untuk meminumnya. Berjanji itu akan membuatku merasa lebih baik.

Aku menyesap beberapa teguk. Rasanya tidak buruk. Sedikit pedas seperti mint di rumah. Sedikit seperti teh meski ketika aku menelannya itu meninggalkan rasa sepat di pangkal lidahku. Aku tetap meminum semuanya, tidak ingin menyinggung perasaan Ynez. Atau membuatnya berpikir aku tidak menghargai usahanya.

"Ynez?" tanyaku ketika dia tidak juga menumpahkannya.

"Aku mengirim surat pada Jenderal Crux. Dia mungkin akan berada di sini beberapa hari dari sekarang. Kami harus membawamu pada Pangeran. Cium dia. Patahkan kutukan," ucapnya.

Aku ingin mengatakan sesuatu. Aku ingin merasa kesal karena dia telah melakukan sesuatu tanpa bertanya. Aku bahkan tidak pernah setuju untuk mencium pria mana pun. Namun, satu-satunya perasaan yang aku rasakan adalah kantuk yang begitu tiba-tiba. Kelompok mataku terasa berat, dan tiba-tiba gelas di tanganku terasa seperti sekarang batu. Ynez segera mengambilnya dariku dan meletakkannya di atas meja sebelum membantuku untuk berbaring di tumpukan bulu sekali lagi.

"Kamu membiusku." Bahkan suaraku terdengar cedal di telingaku.

"Kamu butuh istirahat. Aku hanya ingin kamu berada di kondisi terbaik saat kita melakukan perjalanan. Kita akan menemui Pangeran. Kalian akan jatuh cinta. Berciuman. Dan kutukan ini akhirnya akan rusak."

Aku pikir aku tertawa tapi aku tidak yakin saat akhirnya mataku benar-benar terpejam. Jadi mungkin, mempercayai wanita berkulit biru sama sekali bukan hal yang cerdas.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top