4 - Aria

Menyentak tanganku menjauh dari sentuhannya yang begitu tiba-tiba, aku membawa pergelangan tanganku lebih dekat ke wajahku. Perhatikan kulit yang benar-benar sembuh di mana tato yang sebelumnya aku torehkan di sana seharusnya masih memerah. Aku menyentuhnya dengan jari-jariku yang lain, berharap setidaknya akan merasakan sengatan rasa sakit, tapi tidak ada. Itu benar-benar sembuh.

"Kamu memiliki kulit yang begitu cerah, dan kamu membawa sigilnya di kulitmu. Aku yakin kamu adalah yang dimaksud oleh ramalan."

Itu masih terdengar gila untukku, tapi lebih baik bermain bersama dengan kegilaan ini, bukan? Apa alternatifnya? Menyangkal bahwa aku bukan yang dimaksud oleh ramalan bodoh ini, dan mungkin menyebabkan permusuhan dari satu-satunya orang, yang mungkin bisa membantu aku dan Avery? Karena Avery jelas membutuhkan bantuan. Dia belum juga membuka matanya sejak kami terdampar di sini. Di mana sebenarnya di sini?

"Baik, jadi ada sebuah ramalan?"

Aku melihat wanita biru itu mengangguk satu kali sebelum dia mengarahkan matanya pada sosok tak sadarkan diri Avery.

"Meski tidak disebutkan dalam ramalan bahwa akan ada dua Yang Cerah. Apakah dia memiliki sigil Dewi seperti milikmu juga?" Dia menunjuk Avery, merujuk pada tato di pergelangan tanganku. Tato yang seharusnya menjadi bencana yang cukup merepotkan ketika kami akhirnya pulang.

"Tidak. Itu hanya aku. Sebelum kita membahas seluruh ramalan ini lebih jauh, bisakah kamu membantuku? Saudariku belum membuka matanya sejak kami terlempar ke tempat ini. Aku tidak yakin seberapa buruk lukanya, tapi jika kamu bisa membantu aku akan sangat berterima kasih."

Kata-kataku keluar dengan getaran yang begitu parah saat aku mulai membantu Avery bangun. Ngeri saat menyadari darah yang menggenang di belakang kepalanya. Bagaimana aku tidak menyadari itu sebelumnya?

"Tolong?" ucapku sekali lagi, tatapanku tidak meninggalkan wajah pucat Avery.

"Kita bisa membawanya ke pondokku untuk merawatnya."

Aku mengangguk begitu saja, tidak masalah jika ternyata semua ini menjadi bencana, yang terpenting adalah membuat Avery baik-baik saja untuk saat ini.

"Tolong aku untuk mengangkatnya, aku tidak bisa melakukannya sendirian," ucapku, sudah bergerak untuk memegang salah satu lengan Avery dan menyampairkannya di bahuku.

Bagaimanapun wanita biru itu tidak segera bergerak untuk membantu. Alih-alih dia malah berjalan ke arah lain. Aku memperhatikan saat dia berlutut di depan patung yang sepertinya dibangun dari batu pualam tunggal yang begitu besar. Tingginya praktis lima kali dari ukuran normal manusia. Kedua tangannya yang terentang mengingatkanku pada patung Yesus di Rio de Janeiro. Hanya saja itu adalah patung seorang wanita yang berlutut dalam pose menyambut orang-orang atau anak-anak untuk merangkulnya. Menawarkan keamanan dan kehangatan. Mahkota matahari membingkai belakang kepalanya, dan di lehernya tergantung simbol salib matahari yang sama dengan yang terukir di pergelangan tanganku. Sang Dewi?

Aku mengamati sekelilingku sekali lagi, pada tumbuhan merambat yang telah mengklaim sebagian besar bangunan. Batu yang membangun tiang penyangga rotunda telah berubah menjadi aus dan retak. Tidak terawat dan ditinggalkan. Meski begitu aku bisa membayangkan bagaimana tempat itu pernah berkilau dengan warna putih yang hangat. Bayangkan saat nyala api keemasan bergoyang di dalam setiap baskom yang mengelilingi ruangan. Kemegahan dan detail yang terkubur oleh waktu. Jika tebakanku benar, kami telah berada di semacam kuil, atau suatu tempat peribadatan. Hanya saja aku tidak pernah tahu tempat seperti ini di Bumi, atau Dewi yang—makhluk ini sembah. Makhluk, karena dia bukan manusia bukan? Lalu apa dia? Di mana kami? Bagaimana kami sampai di sini? Daftar pertanyaan itu terus tumbuh di dalam kepalaku.

Perhatianku kembali pada wanita biru itu saat dia membawa kedua tangan dengan jari yang teekatup ke dahinya. Sedikit menundukkan kepalanya pada patung di depannya dan mundur.

"Bisakah kita pergi sekarang?" ucapku, meringis karena suaraku terdengar begitu melengking.

"Pondokku tidak jauh," ucapnya akhirnya bergerak untuk membantu menyangga sisi lain Avery.

Bersama-sama kami menyeret bobot mati Avery keluar dari rotunda, langsung ke arah hutan yang sepertinya membentang selamanya. Aku pasti gila karena mempercayai seorang wanita berkulit biru di tempat aneh seperti ini, tapi apa alternatifnya? Biarkan Avery mati kehabisan darah?

Menyingkirkan pikiran suram dari kepalaku, aku melirik penyelamat kami. Aku sedikit menarik lengan Avery, memposisikan agar dapat membawanya dengan lebih baik. Itu sangat canggung mengingat perbedaan tinggi antara aku dan wanita biru ini. Omong-omong aku harus berhenti memanggil dia wanita biru di dalam kepalaku bukan? Pertama itu sangat kasar dan tidak sopan. Ke dua, aku sangat penasaran.

"Jadi aku belum bertanya," ucapku menarik perhatian wanita itu saat dia menyingkirkan ranting rendah yang menutupi jalan setapak di hutan.

"Apa yang ingin Yang Cerah ketahui?" ucapnya, matanya mengamatiku dengan ketertarikan dan pemujaan yang menakutkan. Aku benar-benar tidak ingin mengecewakannya saat dia menyadari bahwa aku bukan seperti yang dia pikirkan.

"Hanya aku tidak tahu namamu. Namaku Aria, bagaimana dengan milikmu?"

"Ynez Taj Jinan, Pelayan Wanita Choris dengan begitu melayanimu juga Yang Cerah."

Dia menatapku. Sepertinya berharap aku akan memiliki kata-kata untuk pernyataan yang baru saja dia katakan. Aku tidak punya apa-apa.

"Aku membuat Yang Cerah tidak nyaman," ucapnya setelah beberapa saat keheningan di antara kami yang hanya dirusak oleh derak ranting pohon di bawah kaki kami dan angin yang menggerakkan batang serta dedaunan di atas kepala kami.

Aku menggelengkan kepalaku. Awalnya aku pikir itu sedang musim gugur di sini. Dengan daun merah, kuning, oranye, hingga cokelat tapi ketika aku memperhatikan dengan lebih baik, angin tidak menerbangkan daun. Bahwa semua warna itu apa adanya seperti itu, bukan karena sentuhan jari musim gugur. Aku juga memperhatikan batang yang menjulang ke atas menantang langit. Kayunya entah bagaimana berwarna hitam gelap seperti arang, bukan cokelat yang biasa di Bumi. Aku melihat lebih jauh melalui kanopi pepohonan yang terbuka, dan semua harapan yang sebelumnya aku tahan melarikan diri dari dadaku.

Dua matahari pucat. Satu yang lebih besar tengah berada tepat di atas kepala kami sementara satu lagi hampir tenggelam di barat. Di bagian mana Bumi yang memiliki dua matahari? Langit abu-abu membentang tak terbatas dan semua itu seperti mengejekku. Sesuatu di dalam diriku tersentak saat itu, seolah aku bisa merasakan tali yang meregang begitu ketat. Tidak ada lagi penyangkalan bahwa kami tidak berada di Bumi. Bukan Bumi. Pikiran itu begitu nyaring di kepalaku seperti seseorang meneriakkannya hingga bergema dan memantul melalui otakku.

Aku bahkan tidak menyadari telah menghentikan langkah sampai suara Ynez membawaku kembali ke saat ini. "Sesuatu yang salah Yang Cerah?"

Aku berkedip pada matahari di atas dan melihat Ynez. Kulit biru. Mata dengan celah vertikal. Rambut merah gelap yang diikat menjadi banyak untaian tebal. Pakaian yang ia kenakan adalah potongan sederhana dari kain yang dijahit menjadi gaun panjang penuh. Itu membingkai tubuh tingginya, mulai dari bahu hingga mata kaki. Lengan gaunnya memiliki ukuran yang lebih besar sehingga itu tersingkap ke sikunya saat dia menahan lengan Avery.

"Di mana kita?" ucapku, tidak benar-benar berharap mendapatkan jawaban karena apa pun yang dia katakan, aku yakin tidak akan mengenalinya.

"Hutan Aldam Wood, bagian selatan tepatnya. Itu membentang mulai dari Pegunungan Taring di Utara sampai Laut Mendidih di Selatan. Ini adalah wilayah terluar dari Choria, beberapa kilometer dari sini adalah dinding perbatasan. Ada ramalan—"

"Oke cukup," ucapku memotong kata-katanya dan hampir menyesal saat dia menatapku dengan kecewa. Aku tahu tidak sopan memotong pembicaraan seseorang tapi aku tidak berpikir bisa menangani lebih banyak kegilaan untuk saat ini. "Aku akan ingin mendengar tentang semua itu, tapi pertama aku perlu tahu kalau saudaraku baik-baik saja."

"Benar. Tidak jauh lagi," jawabnya, memberiku isyarat untuk berjalan kembali.

Aku menatap sepasang matahari di atas kepalaku untuk terakhir kalinya. Berharap entah bagaimana itu akan menghilang, tapi itu tetap berada di sana. Menyerah dengan harapan bodoh itu, aku kembali berjalan. Mulai sedikit iri karena Avery belum bangun untuk menyadari kegilaan ini bersamaku.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top