2 - Aria

Seharusnya aku mengatakan tidak, tapi sangat sulit untuk menolak Avery ketika dia sangat menginginkan sesuatu. Jadi kami pergi dari aula utama bahkan sebelum makan malam. Aku cukup yakin Kakek kesal dengan itu, tapi tidak mungkin aku membiarkan Avery menjalani kebodohan ini sendirian.

"Apakah kamu sudah memutuskan?" Membungkuk di belakang bahuku, aku bisa mencium parfum adas manis dari Avery.

"Aku masih berpikir ini ide yang sangat buruk," jawabku, tahu itu jawaban seorang pengecut tapi aku tidak bisa menahannya.

Pria bertato itu telah melepaskan kemejanya begitu kami berada di kabin miliknya. Membiarkan aku dan Avery memeriksa setiap tato yang terukir di dagingnya. Dia mengklaim semua itu adalah hasil karyanya sendiri, yang sejujurnya sangat mengesankan.

"Aku sekarat menunggumu, Sweetie," ucap pria itu membuat Avery tertawa sementara aku mengerang dengan putus asa.

"Aku tahu kamu menginginkan ini," ucap Avery, tersenyum seperti iblis karena dia benar. Aku menginginkannya. Aku hanya terlalu takut untuk melakukannya.

"Apakah itu akan menyakitkan, Zack?" tanyaku, jariku sedikit mengencang di tepian buku sketsa yang tengah aku pegang.

"Seperti gigitan semut," jawabnya. Aku tidak percaya sedikit pun.

"Entah mengapa aku pikir kamu sedang menipuku," balasku meski saat aku kembali menunduk dan menatap sketsa matahari dengan awan mengelilingi tepinya aku tidak bisa berpaling.

Itu sangat cantik, bagaimana warna cerah dari matahari berbenturan dengan kegelapan. Bagaimana itu terlihat begitu nyata. Aku sangat ingin menempatkannya di kulitku. Itu seperti apa yang aku suka bayangkan tentang diriku. Cerah dan cantik, hanya sedikit tersembunyi. Sementara Avery adalah kilat yang menarik perhatian, aku pikir aku lebih suka menjadi cahaya yang tersembunyi. Ada di sana, tapi tidak perlu menarik perhatian semua orang.

"Anggap saja ini kenang-kenangan dari liburan bersama kita," bujuk Avery jelas tidak akan melewatkan kesempatan untuk mendorongku, "dan bantu aku menghabiskan uang yang aku menangkan dari Sepupu kita yang malang."

Nah itu membuatku tertawa, aku masih ingat wajah kesal Ciel saat Avery mengambil semua chip taruhan darinya.  Bagaimana wajahnya berubah menjadi gelap dan akhirnya Avery memutuskan dia sudah cukup bermain.

"Aku pikir dia benar-benar membencimu untuk itu," ucapku, aku menarik napas dan akhirnya mengangguk, "dan sepertinya aku menginginkan tato itu. Persetan dengan rasa sakit, bukankah beberapa orang menikmati rasa sakit seperti memakan gula-gula?"

"Aku tidak yakin itu konsepnya tapi selama kamu ikut, aku tidak peduli," ucapnya bersemangat dengan memelukku dari belakang. Lengannya melingkari tubuhku, memerasku dengan erat dan menempatkan satu ciuman di pipiku.

"Lebih baik kita lakukan sekarang, sebelum aku berubah menjadi pengecut sekali lagi," ucapku sambil memberikan buku sketsa itu padanya. Aku menunjuk sketsa yang aku inginkan.

"Kamu yakin?" Dia melihat ke halaman yang terbuka, dan aku mengangguk, kali ini dengan sungguh-sungguh.

"Tentu, hanya seperti gigitan semut," jawabku, membawa senyum cerah ke wajah saudariku.

"Aku akan menunjukkan pada Zack sketsa yang kamu inginkan," ucapnya, praktis berlari ke arah pria bertelanjang dada dengan kulit dipenuhi tato. Aku mungkin akan mempertimbangkan tidur dengan Zack jika Avery tidak memikirkan hal yang sama.

Pikiran itu segera berlalu ketika Zach mendekat ke sofa dengan tas peralatan tatonya dan duduk di sampingku. "Pilihan yang aneh, Sweetie, tapi aku tidak akan menghalangi. Di mana kamu ingin mendapatkan tato pertamamu?"

Aku mengulurkan perbelanjaan tangan kananku, menunjuk kulit tepat di atas nadiku. "Di sini."

"Kamu tidak ingin mendapatkannya di tempat yang lebih pribadi?"

"Tidak, seni yang indah tidak seharusnya disembunyikan," jawabku, Zack bukan bajingan yang aku pikirkan pertama kali. Baik dia menggoda Avery tanpa malu, tapi sejauh ini dia benar-benar hanya ingin membagikan seninya bersama kami.

Dia tersenyum cerah pada pujian itu. "Baik, santai saja. Aku tidak akan bilang itu tidak menyakitkan tapi kamu akan melaluinya dan kemudian viola ... kamu mendapatkan mahakarya agung menjadi bagian dari dirimu."

"Oke," jawabku, berusaha untuk tidak gugup tapi sangat sulit ketika aku masih sangat sadar dengan jarum yang akan menembus kulitku.

"Mungkin kamu butuh beberapa tembakan? Punya sesuatu yang cukup kuat di lemarimu Zack?" ucap Avery saat Zack menyiapkan pewarna yang akan dia gunakan bersama mesin dan jarum tato.

"Aku mungkin punya sebotol wiski di kabinet paling atas," jawab Zack tanpa mengalihkan perhatiannya.

"Aku akan mendapatkannya!" teriak Avery, meninggalkan kami untuk berburu di ruangan lain.

"Aku benci wiski, itu membakar tenggorokanku seperti api cair."

Zack tertawa tentu saja, "Jadi? Apa yang lebih kamu suka?"

Dia mengoleskan sesuatu yang dingin di kulit pergelangan tanganku. Sementara aku melihat ke arah lain. Sudah cukup membuatku gugup mengetahui dia akan menusukkan jarum di kulitku. Aku tidak ingin memperparah itu dengan melihatnya.

"Aku lebih suka cocktail, cosmo atau margarita biasanya. Anggur juga baik-baik saja atau sampanye. Aku suka sesuatu yang lebih halus."

"Seperti seorang Putri sejati," ucapnya diikuti dengungan mesin tato yang menyala. Aku memejamkan mataku.

"Aku tidak memiliki darah bangsawan," balasku saat cubitan rasa sakit pertama menembus kulitku. Erangan kecil lolos dari mulutku dan aku segera menggertakkan gigiku bersama.

Zack berhenti sesaat, mengusapkan sesuatu di atas kulitku. Mungkin manghapus darah, aku tidak tahu. Aku tidak berani melihat.

"Meragukan itu, keluarga von Dille seperti para bangsawan bukan? Kekayaan yang begitu besar, dan sepertinya kalian semua sangat sempurna."

Aku tertawa pada pernyataan itu tapi segera kembali mengerang kesakitan saat jarum tenggelam di kulitku sekali lagi.

"Orang pikir kami sangat sempurna, tapi percayalah ketika aku mengatakan kami tidak. Kami hanya terlihat seperti itu."

"Saudaramu tidak akan setuju."

Lebih banyak tikaman rasa sakit, tapi aku berusaha untuk mengatur napas dan berjuang agar ototku lebih santai. Coba fokus pada percakapan kami.

Aku mengangguk setuju saat memikirkan Avery. "Avery adalah Avery. Dia selalu berpikir seperti itu. Suka menjadi lebih baik dari semua orang."

"Aku mendapatkan botol itu, tapi aku tidak menemukan gelasmu!" teriak Avery dari ruangan lain, aku tersenyum mendengarnya.

"Ada di rak satunya!" balas Zack, aku mendongak untuk melihatnya menangkapnya melirikku dengan bingung. "Dan kamu baik-baik saja dengan itu? Untuk menjadi yang ke dua?"

Aku hanya tersenyum. Zack bukan orang pertama yang berpikir seperti itu. Ini juga bukan pertama kalinya seseorang bertanya. Teman-teman kami di sekolah menengah telah menanyakan pertanyaan yang sama. Aku tidak berpikir mereka mengerti, aku bukan Avery ke dua. Aku tidak akan pernah karena aku tidak pernah ingin menjadi Avery. Aku Aria dan aku menyukainya seperti itu.

"Apakah buruk karena aku tidak peduli?" tanyaku dan kali ini Zack benar-benar tersenyum lebar.

"Kurasa tidak."

"Baik, sekarang fokus pada karya senimu. Aku tidak ingin kamu mengacaukannya." Masih tidak berani melihat tempat jarum bertemu kulitku.

Aku kembali memejamkan mata, biarkan goyangan lembut kapal dan dengungan mesin tato menenangkanku. Aku kembali membuka mata saat Avery mendorong gelas ke tanganku.

"Minum!" ucap Avery, kelas dia sudah mengambil tembakannya sendiri.

"Kamu tahu aku benci wiski, itu membakar tenggorokanku seperti jalang," protesku meski aku tetap menenggaknya dalam sekali teguk. Mataku kembali terpejam dan wajahku mengernyit saat cairan yang membakar itu melewati tenggorokanku. "Ini lebih buruk dari yang aku bayangkan!"

"Kamu sepertinya benar-benar membencinya," ucap Zack, tawa terdengar di suaranya.

Aku kembali membuka mataku dan merasakan goyangan kapal menjadi lebih buruk. "Apakah minuman itu lebih keras dari yang aku bayangkan atau kapal berguncang lebih buruk?"

Zack menarik mesin tato menjauh dariku, mematikannya saat goyangan kapal menjadi lebih kuat. Seolah ikan paus Orca mencoba membalik kapal kami. Apakah jenis paus itu ada di sisi samudra ini?

"Kapalnya. Aku akan memeriksa apa yang sedang terjadi. Aku dengar cuaca akan menjadi buruk tapi aku tidak tahu kalau akan separah ini," ucap Zack, sudah bangkit dari sofa.

"Pergilah," ucap Avery, kerutan kekhawatiran muncul di antara alisnya.

Aku menarik tanganku. Mengerutkan dahiku saat aku akhirnya berani melihat pola yang diukir jarum di atas kulitku.

"Zack?" panggilku dan pria itu menoleh melalui bahunya. "Ini bukan sketsa yang aku pilih."

"Apa?" balasnya di saat yang sama gelombang lain menghantam kapal.

Aku tidak yakin apa yang terjadi. Atau apakah itu nyata, rasanya tidak mungkin nyata saat gelombang menghempaskan kapal. Saat Guntur membelah malam. Saat jeritan pecah. Saat satu detik aku berada di atas sofa dan detik berikutnya aku terlempar ke sisi dinding kabin dengan keras.

Avery jatuh telungkup di sisiku, dahinya membentur sesuatu dengan keras karena aku melihat itu berdarah. Aku berusaha untuk membantunya duduk tapi guncangan kapal menjatuhkan kami sekali lagi.

"Kita akan mati," ucap Avery, kulit putih yang biasanya bercahaya terlihat pucat.

Aku menggelengkan kepala, tanganku segera menggenggam tangannya. Meremasnya erat-erat saat dia balas meremasku. Tidak peduli apa, kami tetap bersama.

"Tolong!" Suara serak Zack menarik perhatianku, menyadarkanku bahwa kami bukan satu-satunya orang di ruangan itu.

"Zack?" teriakku, aku mencoba menemukannya di tengah kekacauan kabin dan mataku melebar saat melihatnya.

Darah mengotori sisi wajahnya yang bertato, pecahan kaca dari botol wiski tertanam dengan menyakitkan di wajahnya.

"Kita harus—"

Aku tidak pernah menyelesaikan kalimatku saat seluruh kabin terbalik. Saat aku dan Avery terlempar ke udara. Untuk waktu singkat aku merasa tanpa bobot sebelum gravitasi menarik kami ke bawah. Benturan yang menyakitkan mengusir udara dari paru-paruku. Rasa sakit menusuk dadaku tapi aku tidak pernah melepaskan genggamanku dari Avery.

"Avery."

Tidak ada jawaban, tapi jari kami masih terjalin bersama. Aku mencengkeramnya lebih erat. Mengabaikan rasa sakit yang membakar dari bekas tatoku yang masih baru.

"Avery?" desisku melalui rasa sakit tapi tetap saja tidak ada jawaban.

Aku membuka mataku, mengerjap beberapa kali saat cahaya putih memenuhi penglihatanku. Membutakanku sehingga aku tidak dapat melihat apa pun dari kabin yang sebelumnya kami tinggali. Satu-satunya hal yang aku pedulikan adalah jari-jari Avery yang masih terjalin bersamaku. Kulit hangat yang ada di bawah telapak tanganku.

Cahaya menjadi lebih cerah, berkilauan bahkan seperti permata yang menangkap cahaya matahari. Aku tidak tahu dari mana datangnya cahaya itu, tapi itu mendekat, dan membungkus kami bersama. Itu mencoba menarikku seperti lubang hitam, yang konyol kerena itu cerah seperti fajar. Jika kamu bisa melihat humor di dalamnya, pikirku muram. Cahaya itu menangkapku, mencoba menelanku. Memisahkan diriku dari Avery.

Aku pikir aku mendengar seseorang berteriak. Aku pikir itu mungkin aku. Aku tidak tahu. Yang aku tahu, aku berguling saat aku memeluk tubuh Avery. Saat cahaya berubah menjadi tak tertahankan hingga membutakan dan membakar mataku. Saat akhirnya tarikan tidak mungkin ditolak, dan akhirnya semuanya menjadi gelap.

Yah seseorang akan mati malam ini.

Yuk vote, komentar, dan share ;)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top