14 - Aria

Ada bercak gelap di permukaan kanvas tenda tepat di atas kepalaku. Aku tidak bisa menentukan bentuknya.
Ketika kamu melihatnya dari sudut tertentu itu terlihat seperti seekor kucing yang meringkuk dan dari sudut yang lain, itu terlihat seperti kepala terpenggal. Mata melotot dan bibir yang menyeringai lebar. Itu gambar yang mengganggu tapi tidak ada yang bisa aku lakukan untuk menghapusnya saat aku berbaring tepat di bawahnya. Sama seperti aku tidak bisa menghapus kata demi kata dari Jenderal Crux yang menghantuiku.

Sejujurnya caranya menjauhkan orang-orang mengingatkanku pada Aadam. Aadam baru bukan Aadam lama. Aadam setelah kecelakaan bukan sebelum kecelakaan. Ada hal-hal yang tidak akan pernah bisa aku pahami tapi sebagian besar waktu itu tidak masalah. Lagi pula aku tidak ingin tahu masalah setiap orang. Seperti kenapa Avery melakukan hal-hal yang dilakukan Avery. Kenapa dia begitu terobsesi untuk menjadi ratu sosial dan menjadi lebih baik dari semua orang. Atau kenapa Bibi Nora berusaha keras untuk membuat semua orang berdamai. Aku juga tidak tahu kenapa Kakek dan Papa begitu peduli dengan tampilan kesempurnaan. Sementara Paman Vinch sepertinya puas dengan yang dia miliki. Kenapa Gatra menjadi Gatra. Sementara Serena memiliki masalah perfeksionis miliknya. Aku bahkan tidak terlalu mengenal adik bungsuku Ilana untuk mengatakan apa persisnya yang akan menjadi masalah untuknya. Aku hanya mencintai mereka begitu saja, tidak peduli apa.

Aku tidak harus mengetahui apa yang menggerakkan seseorang untuk mencintai mereka atau peduli pada mereka. Aku hanya merasakan hal-hal dan membuatnya begitu saja, dan sekarang aku tidak bisa menyangkal ketertarikan ini. Ketertarikan yang membuatku datang setelah Jenderal Crux mundur ke dalam hutan. Ketertarikan yang membuatku bertanya. Ketertarikan yang membuatku berani untuk menawarkan telinga yang ramah. Aku tidak pernah memikirkan semua ini sebelumnya, tapi sekarang aku memang bertanya-tanya.

"Apakah kamu akan mencoba tidur? Atau kamu hanya akan terus membiarkan slide demi slide bermain di kepalamu."

Suara Avery menarik perhatianku dari bentuk noda kanvas di atasku.

"Kamu tidak benar-benar tahu apa yang sedang bermain di kepalaku," jawabku, aku jarang menyembunyikan apa pun dari Avery tapi, mengakui bahwa aku baru saja melamun tentang Jenderal Crux membuatku merasa bodoh.

Avery tentu tidak akan menghakimiku. Dia menikmati tantangan lebih dari aku dan Jenderal Crux jelas meneriakkan tantangan dengan lonceng bergemerincing. Aku terkejut Avery tidak terjun ke arahnya sesegera mungkin, atau mungkin Avery akhirnya memiliki akal sehat yang lebih baik dariku. Jadi dia memberikan ruang yang luas untuk Chorian dengan bekas luka di matanya alih-alih masuk ke hutan setelah dia.

"Aku bisa membuat beberapa tebakan," balas Avery sudah bergeser dari kantung tidurnya untuk berguling menghadapku.

"Aku tidak ingin kamu membuat tebakan."

Karena kamu mungkin akan menebak dengan benar dan aku belum siap untuk mengakui ketertarikan aneh yang membuatku menyadari keberadaan Jenderal setiap kali dia dekat. Atau betapa jantungku berdegup liar saat dia memilih untuk membagikan ceritanya padaku. Rasa sakitnya begitu tebal dan nyata, aku ingin menggosok dan meringankannya tapi, aku tahu itu hanya akan membuatnya mundur seperti rusa yang ketakutan.

"Jadi ini sesuatu yang kamu tidak ingin aku tahu? Menarik." Godaan di suaranya sangat jelas dan sekarang aku tidak akan terlalu terkejut jika dia menebak dengan benar.

"Setiap orang punya rahasia, Avery," balasku sama main-mainnya tapi, keheningan darinya membuatku gelisah dan ketika dia bicara sekali lagi itu tidak menghilangkan bulu tidak nyaman yang merayap di kulitku.

"Kamu benar Aria, semua orang punya rahasia."

Aku tidak memiliki balasan untuk itu dan aku tidak membutuhkannya karena saat itu perasaan kesadaran yang menusuk mengambil alih kewaspadaanku sepenuhnya. Itu seperti saat pertama kali aku terbangun di tengah kuil. Saat aku menyadari tanpa dapat dijelaskan ketika seseorang mengawasiku. Saat aku tahu Ynez ada di sana tanpa perlu melihatnya. Semenjak aku terjatuh ke dunia ini, aku mengembangkan indra yang tidak dapat dijelaskan. Kesadaran yang membuat kulitku tertusuk setiap kali seseorang mendekat. Terkadang jika aku cukup memfokuskan pikiranku aku pikir aku bisa tahu persis posisi orang-orang. Itu membuatku takut karena Avery sepertinya tidak merasakan hal yang sama sepertiku, jadi aku tutup mulut berpikir itu hanya salah satu hal yang diinduksi paranoiaku.

Hanya saja perasaan kali ini berbeda. Aku merasakannya seperti jari yang berlendir, yang mencoba merayap di atas kulitku. Aku bersumpah merasakan sesuatu yang sangat jelek dan kontor seperti lumpur rawa dengan bau busuk paling menusuk di pertengahan musim panas. Aku mengerutkan hidungku.

"Kamu mencium bau busuk itu?" ucap Avery sudah mendorong dirinya keluar dari kantung tidurnya.

Jadi aku tidak membayangkan bau itu. Aku mengernyit dan keluar dari selimutku sendiri untuk duduk dengan tegak. Aku menarik napas panjang kali ini dan aku memang tidak membayangkan hal-hal. Aroma tajam dari sesuatu yang membusuk tiba-tiba begitu kental di udara. Itu mengaduk perutku, mual naik ke tenggorokanku saat aromanya menjadi lebih pekat.

Kanvas tenda kami ditarik terbuka saat Ynez menyeruak ke dalam dengan wajah yang gelap. Mulutnya menekan garis lurus yang keras sebelum kata-kata mencair dari mulutnya seperti sumpah serapah saat dia menarik selimut bulu terdekat dan datang padaku.

Dia menyampirkan selimut itu di bahuku, membantuku berdiri dengan terburu-buru sambil menggerutu tentang Dewa dan Dewi yang tidak adil pada mereka.

"Kita dikelilingi. Kami tidak tahu jumlah tepatnya tapi dari aroma yang begitu kental aku berani bertaruh itu akan menjadi gerombolan. Ayo, kita harus bergerak sekarang," ucapnya dengan suara yang begitu rendah, aku hampir tidak dapat menangkap setiap kata darinya.

Aku menelan dengan gugup, tubuhku bergerak tanpa berpikir hampir seakan mereka memiliki pikiran mereka sendiri saat aku menemukan lengan Avery dan menariknya bersamaku.

"Apa yang mengepung perkemahan?" tanya Avery tapi Ynez tidak menjawabnya. Hanya mendesis untuk membuatnya diam seolah dia takut apa pun itu dapat mendengar suara paling ringan dari kami.

Kami bertiga keluar dari tenda dan aku sama sekali tidak terkejut saat menemukan lima Chorian yang lain sudah berdiri membentuk dinding pelindung di sekitar pintu tenda kami. Aku bertemu tatapan Jenderal Crux yang muram tapi dia segera mematahkannya untuk memberi isyarat pada Karhu.

"Lindungi mereka. Sementara kami akan menarik perhatian dan menahannya cukup lama. Kami akan segera menyusul," ucap Jenderal singkat dan kemudian dia mengencangkan tangannya pada kedua kapak yang sudah siap di genggamannya.

Karhu mengangguk tanpa perkataan dan cengkeraman Ynez di pergelangan tanganku semakin erat saat dia mulai menarikku untuk mengikuti Karhu. Aku menjejakkan kakiku, tidak terlalu terkejut saat Avery mengerang dengan tidak setuju karena aku pasti memperlambat kita. Aku tidak tahu ke mana kami akan pergi tapi aku tidak merasa benar meninggalkan yang lain di belakang untuk menghadapi apa pun itu yang saat ini belum mencapai perkemahan. Tentunya kita semua bisa lari saja dari pada membiarkan setengah yang lain tinggal di belakang.

Jenderal Crux berbalik untuk mengebor tatapannya yang membakar padaku dan saat dia mengambil langkah yang terburu-buru untuk datang ke arahku, aku ingin menyusut tapi aku menahan diriku tegak dan menemui dirinya dengan tinggi penuh, dagu terangkat dan tanpa gentar.

"Pergi! Sekarang!" ucapnya ke wajahku lebih menyerupai geraman dari pada apa pun. Jika aku punya akal sehat aku akan mundur. Aku tahu pasti apa yang mampu dilakukan oleh tubuh dan otot yang membangun tubuhnya menjadi senjata.

"Aku akan tinggal jika kalian tetap," ucapku keras kepala.

"Ini bukan waktunya Aria," desis Avery yang sudah melepaskan diri dari genggamanku dan mundur lebih dekat ke Karhu sementara Ynez masih belum melepaskanku.

"Kamu tidak akan berguna dalam pertarungan ini," ucapnya dan kemudian menatap Ynez, "bawa dia pergi!"

Aku tidak berpikir aku bisa melawan Ynez jika dia memaksaku tapi dia tetap diam.

Crux memelototinya sekarang dengan rasa frustasi yang menggelapkan pandangannya. "Kamu seharusnya menjaga keselamatannya!"

Ynez tetap teguh di sisiku saat kata-katanya tersaring dengan ketenangan yang membuatku takut. "Aku tidak akan memaksakan kehendak pada Yang Cerah. Jika dia akan tinggal untuk pertempuran, maka itulah yang dimaksudkan Dewi untuk terjadi."

Mungkin aku harus mendengarkan Jenderal, aku sebaiknya mundur karena ketika Ynez tidak mencoba membawa kami pergi. Dia menarik pedang pendek dari ikatan di pinggulnya. Satu-satunya senjata yang aku lihat dia miliki.

Aku membuka mulutku, ingin menyuruhnya pergi bersama Avery dan Karhu. Hanya saja Karhu juga tidak pergi, dia merapat ke sisiku yang lain sementara Avery membakarku dengan tatapan tidak setuju yang menghanguskan kulitku. Jika kita semua mati semua itu ada padaku.

"Jika kamu keras kepala untuk tinggal setidaknya jadilah berguna," ucap Ryker menghancurkan kebuntuan di antara kami saat dia melemparkan tabung anak panah padaku. Aku menangkapnya dengan mudah, menggantungnya di bahuku dan saat Ryker memberikan busur yang baru saja dia selesaikan aku ingin memeluknya.

Aku memegang busur itu dengan erat, aku bukan tembakan yang sempurna tapi aku cukup baik. Memegang senjata di tanganku memberiku rasa percaya diri yang sebenarnya tidak kumiliki. Aku masih bisa mengacaukan semua ini tapi setidaknya aku bisa mencoba menjadi berguna seperti yang dikatakan Ryker.

"Tepat ke mata, itu satu-satunya cara membunuh mereka menggunakan panah."

Aku ingin bertanya pada Ryker apa tepatnya mereka tapi ternyata itu tidak perlu.

Jenderal adalah orang yang pertama kali bergerak. Anggun seperti macan kumbang yang pernah aku lihat saat masih kecil. Gerakannya begitu mengalir, kamu akan berpikir dengan otot yang membebaninya ditambah dua mata kapak yang berat akan membuatnya kikuk tapi itu tidak benar. Kakinya mendorong ke depan, kapaknya terayun dengan mudah seolah tidak menimbang apa pun, dan saat mata kapak bertemu dengan daging dan tulang itu tidak pernah melambat. Dia baru saja memenggal kepala sebelum kakinya membuat gerakan berikutnya. Mendorong dirinya ke posisi lain hanya untuk mengayun ke kepala lain. Itu seperti tarian. Aku bahkan lupa berteriak saat darah merah gelap membasahi tanah.

Ada geraman, aku menyadari sedikit terlambat. Itu menarikku dari mantra tarian maut Jenderal. Mataku langsung waspada saat detik berikutnya enam sosok Chorian dengan tampilan compang-camping melompat ke arah kami. Perlu satu detik lebih lama untuk menyadari daging mereka yang membusuk, mata cekung yang tenggelam ke dalam tengkorak mereka, bersama kulit biru pucat yang sakit-sakitan. Apa pun mereka, jelas itu bukan sesuatu yang seharusnya hidup.

"Zombie," ucap Avery terengah-engah, punggungnya membentur punggungku.

Karhu siap dengan pedang pendeknya tapi dia tidak terjun ke pertempuran untuk membantu yang lain dan tetap dekat di sisiku. Matanya terus bergerak dari satu fokus ke yang berikutnya seolah dia sedang mencoba untuk mengikuti setiap gerakan teman dan musuhnya. Ynez juga tinggal di sisiku, dua orang yang seharusnya bisa membantu terjebak di sini karena mereka begitu keras kepala untuk melindungiku. Aku bahkan tidak bisa marah karena itu, dan sebagian dari diriku senang. Aku tidak yakin bisa tetap tenang jika mereka pergi.

"Ayo pergi!" ucap Avery, setengah berbisik dan menggeram padaku. Kepanikan di suaranya benar-benar membuatku merasa bersalah karena aku membuatnya tertahan di sini bersamaku. Meski itu masih tidak cukup untuk membuatku setuju dengannya. Aku tidak pergi sebelumnya, aku pasti tidak lari sekarang.

"Apakah mata mereka masih berfungsi?" tanyaku tidak yakin akan ada yang memperhatikan atau menjawabku.

"Mereka buta," jawab Karhu dan terlepas dari sikapnya yang teguh suaranya sedikit bergetar.

Jadi cahaya tidak akan membutakan mereka, itu juga berarti tidak ada salahnya jika kami bisa mendapatkan pencahayaan yang cukup karena tidak ada bedanya dengan mereka. Dengan bara api unggun yang sekarat aku hampir tidak dapat melihat dengan baik apa lagi membidik. Jadi meskipun aku sudah menarik satu anak panah dan memasangnya di busurku, aku tidak berani melepaskannya.

"Bisakah kamu membuat cukup kembang api, Rory? Kita akan memiliki perayaan," ucapku, dan aku hampir bisa melihat kedutan di ujung bibir Avery. Sudah lama sekali sejak aku memanggilnya seperti itu, dan sudah cukup lama kami tidak mengacau bersama. Kebanyakan karena dia sepertinya ingin menempatkan jarak yang aman denganku. Seolah dia tidak ingin orang salah menilai dirinya sebagai diriku. Atau sebaliknya.

"Aku menyala bukan percikan," ucapnya dengan kesombongan yang melapisi setiap kata. Menyiratkan betapa dia lebih baik dariku, terkadang aku pikir dia melakukannya dengan sengaja. Meski itu jarang menggangguku, aku bukan Avery, dan aku tidak pernah ingin menjadi dia. Aku tidak pernah ingin menjadi siapa pun selain diriku sendiri, dan aku tahu itu terkadang juga membuat Avery gila.

"Lakukan jadi aku bisa membidik," balasku, aku pikir aku tidak bernapas. Aku baru saja menjatuhkan setiap kekhawatiran dari pundakku saat aku menarik tali busur hingga tegang. Saat Avery mengangkat tangannya dan memanggil bola cahaya yang dia tahan di antara jari-jarinya.

Untuk sesaat aku terpesona pada seberapa cepat dia belajar hal-hal sihir ini, tapi kemudian aku tidak terkejut. Ini Avery, dia akan mati mencoba untuk menjadi lebih baik dari siapa pun. Tidak pernah puas, tidak pernah merasa cukup. Aku memperhatikan wajahnya yang berkerut dengan konsentrasi untuk menjaga bola cahayanya. Itu sebesar bola sepak dan cahayanya cukup terang untuk menyinari seluruh perkemahan kami.

Aku menghirup udara melalui gigiku, dan meskipun selimut bulu membungkus bahuku dengan nyaman, aku bisa merasakan perasaan merinding di kulitku. Menusukku dengan kesadaran dan ketika aku berfokus padanya, itu semakin kuat. Merinding itu menarik kencang kulitku, seolah aku bisa merasakan muatan listrik dan setiap tegangannya terasa berbeda. Aku tergoda untuk memejamkan mataku, untuk mencari tahu lebih banyak tentang perasaan aneh yang aku rasakan di bawah tekanan. Satu-satunya hal yang mencegahku untuk melakukan itu adalah pelatihan memanahku. Kamu tidak membidik dengan mata tertutup. Tidak pernah.

Aku mengangkat busurku, bahuku lurus, sikapku benar dan aku bersumpah aku merasa seolah sihir mengaliriku saat aku memicingkan mata dan membidik. Itu reflek, itu ajaib aku bersumpah. Aku melepaskan anak panahku, dan aku ketakutan. Bukan karena takut itu tidak akan mengenai sasaran, tapi takut pada keyakinan yang begitu final dan gamblang bahwa itu tidak akan meleset. Aku bahkan tidak menunggu untuk melihat apakah itu akan mengenai sasaran. Aku tahu itu akan.

Aku baru saja beralih untuk mencabut anak panah berikutnya. Bidik. Lepaskan. Ambil lagi. Itu refleks dan sihir. Aku tidak tahu tapi, aku tidak berhenti saat aku menancapkan setiap anak panah ke mata yang mati. Aku tidak berhenti saat gelombang lain menyerbu kami. Aku pikir mendengar Avery mengumpat, tapi saat itu, satu momen itu, aku tidak peduli. Aku tidak tergoyahkan saat aku mengambil setiap anak panah dari tabung yang dilemparkan Ryker. Aku merasa seperti aku baru saja dilepaskan dan aku tidak ingin kembali ke kandangku.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top