12 - Aria
Mustahil untuk tidak menyadarinya, sepertinya semua orang merasakan bagaimana ketegangan berderak di udara saat Ynez berjalan ke dalam kelompok kami langsung ke arah Jenderal Crux. Avery masih memelukku tapi bahkan dia bisa merasakan sesuatu sedang terjadi. Mataku melesat dari satu orang ke yang lain menemukan semuanya menatap ke arah Ynez dan Jenderal Crux. Seolah mereka menahan napas untuk melihat sesuatu yang akan meledak.
"Kamu datang," ucap Ynez dengan ketenangan yang hampir menakutkan. Jelas keduanya telah saling mengenal. Aku hanya tidak tahu apakah itu hal yang bagus.
"Rupanya aku cukup putus asa," jawab Jenderal Crux dengan nada kasar yang sama seperti yang dia gunakan padaku.
Aku menunggu. Semua orang sepertinya menunggu untuk melihat sesuatu. Aku punya firasat aneh bahwa mungkin akan ada ledakan supernova jika dua orang ini bertabrakan. Jelas sekali ada sejarah di belakang mereka, yang tidak aku mengerti adalah mengapa Ynez terdengar sangat mempercayai Jenderal Crux saat menceritakannya padaku tapi dia terlihat ingin membunuhnya sekarang.
"Pada akhirnya aku rasa semua orang akan begitu," ucap Ynez sebelum memalingkan pandangannya padaku. Menelusuri wajahku hingga berakhir pada memar di rahangku. Itu masih sakit ketika disentuh tapi aku yakin itu tidak terlihat terlalu buruk. "Meski aku tidak mengerti kenapa kamu harus menyerang Yang Cerah? Aku memintamu untuk melindunginya, apakah kamu akan gagal ini juga sama seperti kamu gagal lima belas tahun yang lalu?"
Aku pernah terjepit di bawah tubuh besar Jenderal Crux. Aku tahu kekuatan macam apa yang terkubur di bawah dinding otot tebal itu. Butuh lebih dari sekedar pukulan untuk membuatnya tersentak, tapi sepertinya kata-kata Ynez dengan mudah membuatnya terhuyung-huyung. Mata oranye miliknya tiba-tiba terlihat kehilangan kehidupan saat dia memandang gadis yang berdiri di depannya. Aku tidak tahu apa sejarah yang mereka miliki, tapi itu tidak masalah. Mungkin berdiri di antara mereka bukan hal yang paling cerdas untuk dilakukan, tapi aku tidak tahan. Aku bisa melihat kehancuran yang saat ini berkedip di balik keteguhan yang ditahan Jenderal Crux.
Perlahan aku mendorong diriku menjauh dari Avery untuk berdiri di samping Ynez. Wanita yang telah merawataku beberapa hari terakhir ini. Kekerasan yang sekarang aku lihat di wajahnya benar-benar kontras dengan sikap cerah yang dia miliki saat berada di sekitarku.
"Aku baik-baik saja. Itu hanya salah paham, aku yakin Jenderal tidak akan menyakitiku jika dia tahu siapa aku," ucapku tanganku sudah melingkari pergelangan tangan Ynez. Menariknya sehingga dia memalingkan muka dari Jenderal. "Lihat, itu bahkan sudah mulai sembuh."
"Dia berburu Flameking," ucap Jenderal Crux, menghancurkan usahaku untuk menarik perhatian Ynez darinya. "Apa yang kamu harapkan dariku ketika melihat seseorang memburunya? Aku pikir kamu juga akan bereaksi dengan cara yang persis sama denganku."
Ynez menggertakkan giginya tapi apa pun kata-kata yang mendidih di dalam dirinya gagal meninggalkan lidah. Sebaliknya dia berbalik, mengambil lenganku untuk membawaku menjauh dari Jenderal Crux. Aku memutar kepalaku, melihat melalui bahuku pada tatapan tajam Jenderal pada kami. Itu membuatku menggigil. Mata itu sepertinya ingin menghancurkan kami, atau hancurkan dirinya sendiri sebagai gantinya.
"Aku saharusnya datang lebih awal. Seharusnya mendengarkan kata-kata saudarimu dari pada mempercayainya dengan hidupmu," ucap Ynez saat Avery mendekat.
"Sudah aku bilang itu hanya karena sebuah kesalahpahaman. Aku baik-baik saja."
"Itu bisa diperdebatkan. Aku melihat dia menjepitmu ke tanah di hutan itu. Aku percaya dia akan membunuhmu saat itu dan kemudian aku tidak berpikir, aku hanya menyerangnya. Aku pikir aku bisa menanganinya. Aku pikir aku bisa menyelamatkanmu. Betapa bodohnya aku.
"Kemudian dia mengalihkan mata itu padaku. Mata iblis itu menatapku saat bayangan sepertinya robek darinya. Aku pikir akan mati juga di sana. Lalu kamu mematahkan bayangannya. Aku seharusnya tidak lari. Aku seharusnya berjuang lebih keras untuk menyelamatkan kita berdua, tapi aku lari seperti pengecut. Aku benar-benar minta maaf Aria. Aku benar-benar menyesal."
Aku menggelengkan kepalaku, bagaimanapun tidak ingin Avery merasa buruk karena meninggalkanku di sana pada nasibku sendiri. Aku yang menyuruhnya untuk lari dan aku tidak menyesalinya.
"Aku yakin aku akan melakukan hal yang sama jika berada di posisimu," ucapku meyakinkannya meskipun itu bohong. Aku tidak akan lari, bukan karena aku pemberani atau karena aku lebih kuat, tapi karena aku tidak akan memiliki kekuatan seperti Avery. Aku tidak memiliki cukup keteguhan untuk meninggalkan saudariku bahkan jika itu adalah hal yang benar untuk menyelamatkan kami. Untuk mencari bantuan yang kami butuhkan. Sebaliknya aku hanya akan tinggal dan mati bersamanya.
"Jika ada yang harus disalahkan itu aku. Avery menemukanku tidak lama setelah melihatmu. Aku pikir dia akan mengenalimu sebagai Yang Cerah, dengan begitu dia akan menjagamu. Aku seharusnya tahu lebih baik," ucap Ynez muram.
"Tidak ada yang harus disalahkan. Aku baik-baik saja dan karena kamu sekarang sudah ada di sini apakah kita akan langsung pergi?" tanyaku, pikiran melihat lebih banyak jiwa yang menggantungkan harapan padaku benar-benar tidak menarik, tapi mengulur lebih banyak waktu untuk sesuatu yang tak terhindarkan sepertinya hanya sia-sia.
"Jika kamu siap," jawabnya tapi aku hanya mengedikan bahu. Lagi pula aku tidak punya rencana yang lebih baik.
Avery meremas jari kami yang bertautan, isyarat sederhana untuk memberitahuku bahwa dia ada di sana. Dia bersamaku dalam hal ini. "Kita akan baik-baik saja."
"Aku berjanji untuk mencoba, aku akan melakukannya," jawabku, dan meskipun aku masih merasa ramalan ini bodoh aku menemukan diriku berharap ada semacam kebenaran di dalamnya. Berharap aku benar-benar bisa melakukan sesuatu yang nyata untuk membantu mereka. "Lalu sebaiknya kita segera bergerak."
"Pendeta Tinggi Ynez, kamu terlihat jauh lebih baik dari pada saat terakhir aku melihatmu," ucap Haakon menyela di antara kami dan Ynez tersenyum padanya. Aku tidak berpikir itu adalah senyum yang tulus tapi setidaknya tidak ada kemarahan panas yang membakar matanya saat dia melihat Haakon mendekat.
Jadi apa pun sejarahnya, itu hanya dengan Jenderal. Itu masih bukan urusanku tapi aku tidak bisa menghentikan pikiranku yang penasaran. Dan aku tidak mengerti dengan perasaan yang duduk tidak nyaman di perutku. Kenapa pikiran tentang Jenderal Crux dan Ynez mungkin pernah memiliki sejarah bersama membuatku tidak senang? Aku bahkan tidak bisa menjelaskan itu pada diriku sendiri.
"Dewi menjaga mereka yang melayaninya, aku yakin itu. Aku telah hidup dengan baik selama lima belas tahun terakhir, Haakon. Aku berharap kamu juga demikian," jawab Ynez.
"Sulit untuk mengatakan bagaimana kita hidup dengan pilihan kita masing-masing. Keponakanku tidak berbeda, dan terlepas dari perbedaan di antara kalian aku harap itu masih bisa diperbaiki," ucap Haakon terus terang seperti yang sudah aku pelajari. Haakon adalah orang yang tanpa basa basi. Dia akan mengatakan apa yang ingin dia katakan, tidak peduli jika itu mungkin menyinggung perasaan orang itu. Aku menghargai sikap itu, tapi terkadang ada beberapa kata yang tidak pernah boleh diucapkan.
Yah benar, aku salah satu dari orang-orang yang percaya terkadang kebohongan yang baik diperlukan disaat kebenaran jelek harus dibiarkan tidak keluar. Katakan aku lembut, aku picik, tapi aku benci ketika seseorang merasa sakit. Tidak peduli siapa mereka.
"Aku tidak akan membuat masalah jika itu yang kamu khawatirkan Haakon," ucap Ynez menghindari permintaan Haakon dengan tenang. Haakon baru saja akan membuka mulutnya kembali tapi aku masuk lebih dulu.
"Baik!" pekikku sambil tersenyum lebar, itu mungkin senyum yang dipaksakan tapi setidaknya itu masih senyuman. Aku bertepuk tangan dan melompat dengan semangat yang berlebihan, apa pun untuk menghindari pembicaraan yang mungkin akan jatuh lebih rendah lagi.
Ayolah, kita tidak membutuhkan percakapan penghancur suasana. Kita semua sudah cukup murung apa adanya. Jadi aku berteriak cukup keras untuk didengar setiap makhluk hidup di sana.
"Kenapa kita tidak berangkat saja sekarang? Kita sudah selesai berkemas dan kita semua sudah berada di sini. Jadi ayo kita mulai petualangan ini!" aku menoleh pada Vidarr karena dia mungkin akan menjadi satu-satunya orang yang mengambil umpanku tanpa alasan lain selain membuatku tertawa, "bukankah itu terdengar seperti sebuah rencana yang bagus, Vidarr?"
Senyum geli membuat bibirnya sedikit terangkat dan matanya berkilat dengan jenaka. Jelas Vidarr tahu pasti apa yang sedang aku lakukan.
"Rencana terbaik yang aku dengar sejauh ini. Jadi tunggu apa lagi, tidak ada alasan untuk menunda lebih lama," ucapnya padaku dan kemudian dia beralih pada Karhu, "kumpulan setiap ransel, kita berangkat! Dan Ryker? Kamu pergi dulu dan lihat apakah ada masalah di depan kita!"
Ryker hanya mengangguk pada perintah itu dan menghilang di antara pepohonan. Sementara itu Avery menyenggol bahuku, membuatku menoleh untuk melihatnya. "Apa?"
"Tidak ada. Aku hanya tidak menantikan perjalanan melalui alam liar dan pria itu baru saja mengisyaratkan kemungkinan akan ada masalah di depan kita."
"Jangan pikirkan itu, Vidarr sering melebih-lebihkan segala sesuatu. Kita akan aman," kataku tenang bahkan ketika aku sendiri khawatir di dalam.
Avery mendengus, dia sepertinya banyak melakukan itu ketika kami berada di sini jadi mungkin itu adalah indikasi yang sangat nyata bahwa aku banyak mengatakan omong kosong. Padahal aku biasanya yang sering memutar bola mata, kembali ketika kami di Bumi.
"Dan mengapa pemimpin mereka memelototimu seolah dia ingin menggigitmu?" desis Avery, dia membenahi posisi ransel di bahunya.
Aku baru saja akan menjawabnya ketika Karhu datang untuk menyela kami. "Bisakah aku membantumu dengan membawanya?"
Avery memelototinya saat Karhu menunjuk ke rasel yang digendongnya. "Aku lebih suka membawanya sendiri."
"Begitu pula denganku. Aku lebih suka jika bisa membantu," ucapku dan dengan sangat enggan Karhu menyerahkan ransel paling ringan padaku. Aku tersenyum padanya sebelum dia berlari pada Vidarr yang memanggilnya.
"Jadi apakah dia ingin menggigitmu?" tanya Avery lagi, matanya masih melekat pada Jenderal.
Aku mengikuti tatapannya. Jenderal Crux masih belum bergerak dari tempatnya berdiri. Sepertinya puas saat orang-orang melakukan tugas di sekitarnya sementara dia melakukan hal melotot yang menakutkan itu.
"Iya aku rasa. Maksudku jenis gigitan yang sangat menyakitkan bukan jenis gigitan yang membuatmu menggeliat dan meneriakkan namanya dalam permohonan untuk lebih." Aku mendesah dan merendahkan kata-kataku berikutnya, "Aku menendang bolanya, aku tidak berpikir dia benar-benar memaafkanku."
Avery melihatku kemudian kembali padanya, mengernyitkan alis sebelum dia menggeleng dan menarikku lebih dekat untuk berbisik di telingaku. "Entahlah Aria, aku tidak yakin. Dia terlihat seperti pria kelaparan dan dia melihatmu seperti kamu adalah buah termanis yang bisa dia temukan."
Nah, itu sesuatu. Jadi apakah aku ingin Jenderal Crux memakanku?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top