1 - Aria
"Seseorang Akan Mati Malam Ini."
Kata-kata Avery mencapai telingaku saat aku berputar di tempatku berdiri. Halter dress yang aku kenakan berwarna merah muda pucat, tidak cukup menempel di lekuk tubuhku, tapi cukup untuk memberi petunjuk. Potongan terakhir jatuh di sekitar lututku, memperlihatkan kaki ramping yang berakhir dengan sandal bertali perak.
Aku berputar sekali lagi, menikmati sensasi berputar dan sedikit pusing sambil tertawa kecil. "Menurutmu begitu?"
"Tentu saja, kita akan mendapatkan beberapa pria acak untuk bersenang-senang, dan mereka akan beruntung jika tidak mendapatkan serangan jantung, atau serangan secara harfiah dari Papa atau mungkin ... Kakek?" ucap Avery bangkit dari ranjangku. Senyum manik mencabik bibirnya yang dicat merah.
Avery sendiri adalah visi kecantikan, sheath dress sewarna sampanye miliknya melekat sempurna di lekuk tubuh yang indah. Itu berakhir di pertengahan pahanya, mengekspos kaki jenjang yang mustahil untuk diabaikan. Stiletto yang ia kenakan memberinya beberapa inci lebih tinggi dariku. Jika ada dari kami yang akan menyebabkan seorang pria mendapatkan serangan jantung, itu adalah dia.
"Kamu, bukan aku. Aku tidak tertarik dengan pria acak Avery," balasku saat kami berdua keluar dari kabin.
"Ayo Aria, jangan seperti itu. Kamu membuatku sedih, aku tidak membantumu memilih gaun dan riasan hanya untuk kamu mundur lagi. Kamu harus mengendurkan tali itu."
"Dan bercinta?" tanyaku, setengah tertawa. Avery memutar bola matanya, dia pikir aku benar-benar tidak pernah melakukan hal seperti itu.
Bukan salahnya juga, karena aku tidak pernah menceritakan hal seperti itu. Maksudku, aku tidak dapat melihat apa untungnya memberi tahu orang-orang dengan siapa kamu bercinta, kapan, dan di mana. Seks itu menyenangkan, tapi hanya itu. Aku bersenang-senang dan aku tidak harus mengiklankannya kepada semua orang.
Meski mungkin Aadam akan tahu lebih baik tentang kepolosanku yang sebenarnya telah lama hilang. Itu adalah satu kejadian canggung yang konyol. Bahkan ingatan malam itu masih membuatku memerah.
Saat buku jari Aadam mengetuk kaca jendela mobil Tobias-pacarku untuk sementara waktu-yang sedang parkir di depan halaman rumah. Kami baru saja pulang dari pesta, aku sedikit mabuk dan terbawa suasana. Aku hampir melakukannya di sana. Di mobil, tidak terlalu peduli jika Papa menangkapku, atau Kakek jika aku bernasib sangat buruk. Aku curiga seseorang mungkin mencampur sesuatu di minumanku, tapi aku tidak pernah punya bukti. Atau mungkin aku hanya menjadi gadis delapan belas tahun yang sembrono. Apa pun itu, aku bersyukur Aadam ada di sana untuk menghentikanku.
Saat aku mendengar ketukan di kaca mobil kami, aku menarik keluar lidahku dari mulut Tobias. Mengabaikan erangan protesnya hanya untuk melihat wajah Aadam yang mengintip dari jendela buram kami. Menangkap basah adiknya yang bodoh bercumbu di dalam mobil, tepat di halaman rumah, tidak kurang. Itu seperti seember air dingin dituangkan ke sekujur tubuhku. Memadamkan panas yang mendidih perutku dan menyingkirkan kabut dari kepalaku.
Aku tidak mengatakan apa-apa pada Tobias, baru saja keluar dari mobilnya untuk mengejar Aadam. Ingin menjelaskan bahwa, itu tidak seperti yang terlihat. Meski sebenarnya itu benar-benar seperti itu.
Kepalaku tertunduk, rasa malu membakar pipiku saat aku berhasil menyusul Aadam. Aku meraih lengannya memaksa dia untuk berhenti dan melihatku.
"Aku ... itu ... maksudku ...." Aku menggelengkan kepalaku, mendorong rasa malu ke belakang untuk bertemu mata cokelat saudara laki-laki yang untuk sementara waktu terasa jauh. Sesuatu berubah semenjak kecelakaan itu, aku tidak bisa mengatakan apa yang berubah, tapi Aadam berubah. "Aku bisa menjelaskan."
Aadam hanya menaikkan alisnya saat suaranya yang datar berkata, "Kau tidak harus menjelaskan apa pun. Itu urusanmu, lagi pula kau sudah besar."
Aku membuka mulutku saat itu tapi aku tidak yakin apa yang bisa aku katakan? Sebagain diriku merasa lega karena Aadam tidak menghakimiku, tapi sebagian diriku yang lain. Bagian yang akan selalu ingin menjadi adik kecilnya merasa sedih. Sebelum kecelakaan itu, Aadam akan cukup marah dan akan mengomel hingga telingaku panas. Bukan Aadam yang sekarang.
"Apakah kamu bahkan mendengarkan?" desis Avery kesal menarikku dari ingatan canggung itu, aku tersenyum meminta maaf dan menggeleng.
"Maaf, aku teralihkan. Apa kamu bilang?" tanyaku saat Avery menerobos ke aula utama, aku mengikuti di belakangnya.
"Aku bertanya padamu tentang threesome," ucap Avery membuatku tersedak.
Baik. Aku telah kehilangan kartu V, itu benar, tapi aku juga bukan hardcore seperti Avery. Tidak ada penghakiman dalam hal ini, setiap orang berhak untuk membuat pilihan mereka sendiri.
"Mungkin itu terlalu banyak untukku, bisakah kita kembali ke seks vanilla atau tidak ada seks sama sekali? Injak rem itu Avery," ucapku setengah tertawa.
"Kamu mungkin menyukainya," ucapnya keras kepala, seperti biasa suka mendorong batas seseorang.
"Atau mungkin tidak," balasku membuatnya mendengus, setidaknya dia tidak mendorong ide gila itu.
Mataku menyisir ruangan, menemukan sepupu kami, Auri sedang memainkan gitar di panggung yang berdiri di sudut ruangan. Musiknya hampir ditenggelamkan oleh suara obrolan tapi nadanya tepat dan indah, gadis itu luar biasa meski tetap saja menurut Papa dia benar-benar payah. Karena Ehrlich von Dille membenci segala hal yang berhubungan dengan Vinch von Dille. Sepertinya kebencian itu mencakup anak-anaknya juga.
Beberapa gerakan di lantai atas dekat dengan balkon menarik perhatianku, aku melihat Bibi Nora yang sedang memastikan makan malam untuk Kakek Aefar sementara Ilana adik bungsuku berjalan dengan sedikit terhuyung menaiki tangga ke arahnya. Salah satu tangan Ilana memegang perutnya sementara yang lain menutupi mulut. Jelas mual karena mabuk laut itu tidak mereda sejak dia berada di atas kapal. Tidak semua anggota keluarga von Dille menikmati liburan ini.
Ilana bukan satu-satunya yang menderita di liburan keluarga ini. Kakek senang membuat kesan keluarga yang harmonis dan bersatu untuk orang luar. Namun, semua itu penuh dengan omong kosong. Paman Vinch sering berbeda pendapat dengan Papa dan Kakek, merasa tidak sejalan dan kadang-kadang tidak masuk akal. Nah, Bibi Nora akan berada di tengah-tengah mereka, mencoba menghaluskan tepi yang kasar dan mengembalikan kedamaian yang tentatif. Adikku Serena sendiri sepertinya sependapat dengan Paman Vinch meski jelas Serena lebih baik dalam menyembunyikannya. Bukannya ada yang benar-benar tahu apa yang terjadi di kepala saudari perempuanku itu. Hanya saja terkadang aku curiga Serena membenci semua orang di keluarga ini.
Nah itu membuatku bertanya-tanya di mana anak itu sekarang. "Avery? Kamu melihat Serena? Aku pikir Kakek akan ingin makan malam bersama untuk tampilan publik yang lebih nyata."
Meskipun Kakek belum terlihat sejauh ini. Yah aku sendiri tidak terlalu bersemangat untuk pertemuan itu. Aku bukan orang favorit Kakek, dan Kakek pasti juga bukan orang favoritku. Dia berharap terlalu tinggi kepada semua orang, nyaris seperti Papa. Bagaimanapun juga aku tidak terlalu bahagia ketika mereka mulai membandingkan diriku dan Avery. Jadi bagaimana jika Avery lebih pintar? Lebih bisa diandalkan? Lebih baik? Avery bisa menjadi Dewi dan aku bahkan tidak peduli. Aku hanya ingin menjadi diriku sendiri.
Avery mengedikkan bahu pada pertanyaanku. Jika ada seseorang yang bisa lolos dari murka Kakek dan Papa, itu adalah Avery, dia benar-benar memiliki mulut yang pintar. Atau licik, tergantung bagaimana kamu ingin menilainya.
"Terakhir aku melihat Serena menuju perpustakaan mungkin untuk bergabung dengan Sepupu Liesl kita," jawabnya sebelum menarikku ke meja baccarat.
"Dan Aadam? Gatra?" Aku memikirkan dua kakak laki-lakiku. Ini mungkin bukan keluarga yang sempurna, tapi aku mencintai masing-masing dari mereka.
Aku tidak ingin seseorang harus mendapatkan sisi buruk Kakek, dia tajam dengan kata-kata dan memprovokasi Kakek tidak pernah menjadi ide yang bagus.
"Aadam belum keluar dari kamarnya sejauh yang aku tahu, sementara Gatra bersama seorang wanita di dek. Jangan tanya aku siapa wanita itu," ucap Avery sebelum aku menyuarakan pertanyaanku.
"Bagaimana kamu bisa melacak keberadaan semua orang di tengah hiruk pikuk ini? Apakah kamu memasang pelacak di bawah kulit kami?" ucapku skeptis.
Avery memutar bola matanya dan mendengus. "Itu karena aku mengawasi semua orang."
"Uhuh, jadi kamu mengaku tahu di mana sisa sepupu kita?" tantangku, dia menghentikan langkahnya untuk menatapku dengan licik.
"Tentu saja," jawabnya tersenyum mengejek, jari-jarinya masih berada di pergelangan tanganku. "Sepupu Agatha dan Lunara berada di kamar dengan PSP yang akan menahan mereka untuk sementara waktu. Sepupu Alden berada di dek lain, mungkin memikirkan tentang bagaimana dia bisa mendapatkan pekerjaan ... ingatkan aku berapa lama sepupu Alden tersayang kita menjadi pengangguran?"
Nada merendahkannya tidak luput dariku, tapi Avery hampir meremehkan semua orang, itu adalah sifat pertamanya, aku sudah lama mengabaikan itu.
"Aku sudah berhenti menghitung," jawabku sembari berusaha untuk melepaskan diri dari cengkeraman Avery. Sejujurnya aku tidak ingin ditarik ke salah satu meja judi, aku tidak memiliki keberuntungan untuk memainkan permainan-permainan ini.
"Dan aku berencana menguras dompet sepupu Ciel kita, mungkin juga sedikit menggoda pria dengan tato itu, bagaimana menurutmu?"
Mataku segera melihat dengan lebih baik ke arah meja baccarat. Benar saja sepupu kami Ciel sedang berada di tengah-tengah permainan dengan seorang pria bertato. Setengah wajah pria itu dipenuhi tato hingga ke lehernya, aku curiga kemeja lengan panjang yang ia kenakan menyembunyikan lebih banyak tinta di baliknya.
"Menurutku Kakek tidak akan bahagia ketika menemukan cucunya di meja judi. Baik terlibat permainan atau hanya menggoda orang di sana, sama saja."
"Kamu benar-benar tidak menyenangkan," gerutu Avery, bertekad untuk tidak mendengarkan aku.
Ciel mengangkat pandangannya saat menyadari pendekatan kami, sudut bibirnya tersenyum meski aku tidak yakin itu adalah senyum yang tulus.
Ketika kamu tumbuh di sebuah keluarga yang sebagian besar saling membenci atau kacau di kepala, atau hanya berusaha mendapatkan perhatian dari semua orang, yang terakhir Avery adalah yang berusaha paling keras. Maka kamu tidak akan tahu lagi senyum dan seringai, atau mungkin itu satu dan sama.
"Bergabung dengan kami Sepupu?" ucap Ciel melirik dari Avery kemudian padaku.
Aku menggelengkan kepala sambil mengangkat kedua tanganku menyerah. "Aku akan lewat."
"Tidak ingin memasang taruhan, Aria? Mungkin ini malam keberuntunganmu." Ciel mengangkat alisnya dalam pertanyaan.
"Jangan pedulikan Aria, saudariku selalu melewatkan semua kesenangan berdosa, tapi aku akan ikut," ucap Avery saat Ciel mengumpulkan chip taruhan yang sepertinya telah dia menangkan dari pria bertato.
"Kamu yakin Nona? Dewi Keberuntungan sepertinya mencintai pria itu, dia mencuri semua uangku malam ini," ucap pria bertato yang memandang Avery dari atas ke bawah.
Pandangan itu tidak mengejutkanku, atau setidaknya tidak lagi. Semua pria memeriksa Avery karena yah siapa yang tidak tertarik dengan gadis cantik dengan lekuk seksi itu?
"Apakah begitu? Mungkin kamu harus tinggal dan belajar, perhatikan!" ucap Avery, senyum succubi melengkungkan bibirnya. Dia membawa jari-jarinya ke dada pria itu, menggerakkannya dengan cukup provokatif saat turun lebih rendah.
Senyum yang serasi segera muncul di bibir pria bertato. "Dan mungkin kamu bisa mengajariku beberapa hal lain setelah itu? Saudarimu mungkin ingin bergabung?"
Aku mendengus, tidak berusaha menyembunyikan itu sama sekali.
"Aku bisa membujuknya tapi tidak akan menjanjikan apa pun. Omong-omong aku suka tato itu," balas Avery, menggoda seperti biasa. Ini seperti permainan untuknya.
"Aku sendiri yang melakukannya, tidak mudah, tapi aku cukup bagus. Aku bisa melakukan beberapa jika kamu mau," ucap pria itu, menarik Avery lebih dekat.
Ciel memperhatikan dua orang itu, bertemu dengan mataku sebelum memutar bola mata kami bersama dengan berlebihan. Itu membuatku tersenyum padanya, Avery terkadang bisa menjadi sangat konyol. Tidak akan berbohong.
"Nah kita punya rencana kalau begitu," ucap Avery berjinjit untuk menempatkan satu ciuman di sudut bibir pria bertato. Sepertinya tidak peduli jika mereka tidak tahu nama satu sama lain.
Aku memutar bola mataku lagi, tepat di saat yang sama aku mendengar suara batuk yang tidak mungkin disamarkan dari arah balkon. Bukan jenis batuk biasa, tapi jenis batuk yang digunakan Bibi Nora untuk menegur orang lain. Benar saja saat aku mendongak aku menemukan Bibi Nora tengah menatap Avery. Tatapan menghakimi di matanya. Avery ternyata mendengarnya juga karena ketika aku meliriknya, dia juga tengah melihat ke arah balkon.
"Perusak kesenangan," cibir Avery sebelum dia mengembalikan perhatiannya ke meja baccarat. "Bagaimana kalau kita mulai?"
Selamat membaca dan selamat menunggu aku update, jan lupa pencet bintang dan komentar. luv yu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top