The Letter
[Dimohon selain juri jangan komen]
Beberapa waktu yang lalu, cuaca berangin kencang disertai hujan yang agak deras mengguyur bumi. Bahkan pohon-pohon di jalan ada yang tumbang, dan jalanan sulit terlihat dengan jelas. Sangat bahaya untuk bepergian, bukan? Tentu kau berpikir lebih baik di rumah dan menikmati cokelat panas sambil mendengarkan opera atau membaca buku. Aku pun ingin demikian, tapi takdir berkata lain.
Hari itu, aku kehilangan kunci rumahku. Kupikir tertinggal di rumah teman yang baru saja kukunjungi. Dengan cepat—tanpa memikirkan cuaca yang ganas—langsung aku berlari menuju stasiun dan bertekad kembali ke rumahnya.
Tapi, tentu saja pada akhirnya aku tidak mencapai stasiun ketika sebuah pohon besar tumbang tepat di hadapanku. Payungku terlepas dari genggaman dan hilang terbawa angin entah ke mana. Perasaan kaget dan terguncang memenuhi otakku. Bagaimana jika pohon itu baru saja menimpaku?
Gemetar, kaki melangkah dengan perlahan mencari tempat untuk berteduh dari hujan yang tak berkesudahan ini. Aku menatap ke sekeliling; jalan raya yang kosong, rumah-rumah yang agak kumuh, dan pohon-pohon yang nyaris tumbang.
Kebetulan, mata menangkap ada sebuah kedai yang tak jauh, hanya berjarak sekitar 100 meter dari sini. Oh, syukurlah, kuharap kedai itu buka. Setelah berjalan beberapa langkah, benar saja, kedai itu buka!
Terdengar bunyi gemerincing lonceng yang khas saat aku memasuki kedai itu. Kehangatan langsung menyambut raga dan menyelimuti tubuh dengan erat. Sungguh aku sangat ingat bagaimana rasanya.
Seorang lelaki yang sudah agak berumur—kira-kira limapuluh atau enam puluh tahun—menyambutku. "Selamat datang di kedai kopi kami." Ia tersenyum ramah, sambil menunjukan tempat duduk untukku. "Silakan duduk di sini, Nona." Lalu ia pergi.
Aku duduk termanggu, sambil mata menatap ke luar dari jendela kedai ini. Hanya pemandangan hujan badai yang nampak. Seluruhnya berwarna kelabu.
Tak lama kemudian, seseorang yang kuduga seorang pelayan menghampiriku. Aku tahu, tentu saja ia ingin menanyakan pesananku, kan? Kupikir waktu itu adalah waktu yang tepat untuk menyesap secangkir kopi panas. Jadi aku memesan itu.
Sebelum ia benar-benar pergi meninggalkan mejaku, pelayan itu memberikan sebuah kemeja putih, katanya ia ingin memberikan service terbaik untuk pelanggan, terutama yang datang saat badai menerpa. Aku sempat menolak dengan alasan tak enak. Tapi ia bersikeras dan berkata, "Kau boleh mengembalikan itu kapan saja, Nona." Ia melempar senyuman yang memiliki lesung pipit.
Sebelum pesanan datang, aku sempat menanyakan di mana letak toilet. Karena tubuh basah semua, kupikir tak apa mengganti baju dengan kemeja itu. Toh, sudah diberikan, kenapa tidak kugunakan saja?
Dengan cepat kuganti bajuku dengan kemeja putih ini, lalu kusisir rambut dengan agak kasar, dan segera kembali ke meja.
Betapa terkejutnya hatiku mendapati setangkai mawar hitam dan sebuah surat dengan cap merah aneh tertempel di sana. Semua itu diletakan di samping kopi pesananku.
Sempat aku menanyakan perihal surat dan mawar itu, akan tetapi tak seorangpun mengetahui siapa yang meletakannya.
oOo
Sesampainya di rumah, kubuka surat itu. Isinya hanya sebuah tiket untuk memasuki sebuah pesta dansa topeng yang sedang marak dibicarakan akhir-akhir ini, disertai sebuah kalimat yang berbunyi:
"Kutunggu hadirmu dalam gelapku, berharap kau membawa pelita di kegelapan temaram ini. Datanglah dengan pakaian sewarna api, di mana pun kau berada, 'kan kucari sosok manismu."
Apakah aku baru saja memiliki seorang penggemar? Oh, astaga! Seumur hidup, belum pernah aku memiliki penggemar. Bolehkah aku merasa senang? Tentu saja boleh. Memangnya siapa yang akan melarangku?
Langsung saja kubuka lemari bajuku dan mulai memilah gaun. Sewarna api? Apakah itu merah lychoris? Pasti cocok dengan rambut merahku, kan?
Dan aku harus berbelanja berbagai perlengkapan yang kubutuhkan, karena pesta itu diselenggarakan dalam dua hari mendatang.
oOo
Kereta kuda telah sampai membawaku sampai tujuan. Dengan anggun, kaki menuruni kereta sambil dibantu seorang lelaki—mengetahui kereta itu agak tinggi dan aku mengenakan sepatu dengan tumit tinggi,
Aku menunjukan tiket untuk memasuki gedung ke penjaga loket, lalu baru beberapa langkah, sayup-sayup terdengar musik klasik dari dalam sana. Semakin jauh kaki melangkah, suara itu makin jelas disertai tawa bahagia orang-orang.
Aula dansa itu sangatlah megah. Chandelier tergantung di sana sini dengan sangat indah, lantainya berhiaskan keramik dengan corak bunga mawar, dan rangkaian bunga yang besar-besar menghiasi sudut-sudut ruangan. Semuanya terlihat begitu bersinar. Meja panjang yang berisi penuh makanan terletak di ujung, sedangkan minuman ditawari satu per satu oleh pelayan yang sejak tadi hilir mudik.
Luar biasa.
Belum pernah aku menghadiri pesta yang semegah ini.
Lalu aku teringat surat itu. Di mana aku harus menunggunya? Apakah ia bahkan mengenaliku?
Agak resah, kaki tetap melangkah, menyusuri lorong-lorong yang ada, mencari tempat sepi yang sepertinya tidak mungkin ada. Tawa selalu terdnegar di sana sini. Setengah jam berkeliling, hampir habis kesabaranku dan memutuskan untuk pulang.
Saat itu, seseorang mencekal lenganku dan berbisik sambil mengenakan topeng. "Ingin berdansa beberapa lagu, Nona?"
Spontan, kepala menoleh ke si empunya suara. Mata menatap dengan penuh selidik. Dia hanya mengenakan topeng setengah wajah, hidungnya mancung dengan sempurna, rambutnya berwarna cokelat seperti kayu eboni. Saat aku menatap matanya, dari situlah seluruh keindahannya berasal. Bagaikan malaikat jatuh. Mata yang seperti swarga loka. Cokelat menawan.
Apakah dia si pengirim surat itu?
"Nona?" Suaranya menyadarkan lamunan keterpesonaanku.
Agak malu dan sedikit menunduk, aku menjawab, "Boleh."
Jarinya menyentuh daguku, dan menghadapkannya langsung supaya menatap manik surganya itu. Wajahnya mendekat, lalu berbisik di telingaku. "Jangan tundukkan kepalamu. Sayang sekali bila kecantikanmu tidak terlihat."
Hatiku seolah bergetar. Seolah kata-katanya merasuki jiwaku secara menyeluruh. Entah hanya perasaanku atau memang degup jantungku terpacu dua kali lebih cepat dari biasanya? Entahlah. Wajahku memanas.
Menyeringai kecil, ia menarik tanganku menuju aula dansa.
Kita menuruni tangga demi tangga dengan perlahan dan sangat anggun, sambil masih ia menggenggam tanganku. Aku benar-benar merasa seperti sedang berada di sebuah lukisan.
Sesampainya di lantai dansa, ia merentangkan tanganku, lalu memegang pinggangku. Aku merasa sangat dekat. Mengikuti irama, kita menari dengan tempo agak cepat. Sempat nyaris bertubrukan dengan penari lainnya, tapi dia sangat pandai menghindari hal itu. Aku kagum.
Disela-sela tarian, ia mengajakku berbicara.
"Siapa namamu?" tanyanya. Suaranya berat dan dalam, memiliki ciri khas tertentu.
Masih sambil berdansa, aku menjawab, "Valera Clare. Kau?"
"Eros. Cukup panggil aku Eros." Kita berputar. "Jadi, Nona Clare—"
"—Valera. Kau boleh memanggilku begitu."
Tertawa kecil. "Baiklah, Nona Valera, apakah kau tidak lelah berdansa?"
"Sebenarnya aku agak lelah," desahku. "Ingin istirahat sebentar?"
"Harusnya itu kalimatku." Dan ia—tetap menggenggam tanganku—membawaku menjauhi lantai dansa, menuju ke tempat makanan. Di sana disediakan kursi-kursi untuk para tamu yang ingin mengobrol sambil duduk, atau hanya duduk sendirian, atau makan.
"Jadi," katanya. "Kau lapar?"
Aku menggeleng. "Tidak. Daripada itu, aku lebih ingin ketenangan."
Setelah aku berkata demikian, kita tidak jadi menuju meja yang berisi penuh makanan, tetapi ke lantai atas lalu kelewati lorong-lorong. Entah ke arah mana, tapi rasanya ia tidak membawaku menuju pintu keluar. Rasanya seperti dibawa semakin masuk ke dalam, dan semakin gelap suasana maupun penerangannya.
Aku memaksanya berhenti. Jujur, karena aku agak takut dengan tempat gelap. "Kita mau ke mana?"
"Ke sebuah tempat yang tenang. Kau pasti suka," jawabnya. Pengaruh pencahayaan yang temaram, nampak wajahnya tak terlihat.
"T-tapi—"
Perkataanku terhenti, bibirku dikecupnya dengan sigap. Walau dalam gelap, yang sedang bersentuhan dengan bibirku adalah bibirnya.
Kecupan itu berubah menjadi sebuah lumatan. Salah satu tangannya merengkuh pipiku, dan yang lainnya memegangi pinggangku. Lumatan itu berhenti, diganti kecupan yang berpindah ke leher. Dan tak sengaja, desahan itu keluar dengan sendirinya.
Ia berhenti dengan tiba-tiba, lalu kembali menarik tanganku. "Sudah diam? Nah, ikuti aku saja."
Apa maksudnya? Apakah ia mempermainkanku? Ah, tidak mungkin! Ini adalah takdir karena kita dipertemukan di tempat seperti ini. Meski tak bertemu si pengirim surat, tapi aku bertemu dengannya, si makhluk surga. Kejadian ini pasti sudah disusun seperti ini oleh semesta. Aku yakin sekali karena seumur hidup, belum pernah kurasakan debaran seperti ini. Perasaan merinding yang membuat makin penasaran. Aku yakin memang begini jalannya, bahwa aku harus bertemu dengannya.
Bahwa kita ditakdirkan saling mencintai. Benar, kan?
"Kita sampai," ucapnya tiba-tiba. Dia membuka sebuah pintu. Saat pintu itu terbuka, di dalamnya berisikan taman kecil yang indah. Bunga-bunga bertebaran warna-warni, rerumputan hijau tersebar di segala penjuru. Ada air mancur kecil menghiasi tengah taman, dan terdapat bangku serta meja.
Karena hari sudah malam, maka lampu taman menyala. Pencahayaan hanya remang-remang di sana.
"Indah sekali. Bulannya terlihat sangat jelas," kataku. "Seakan dapat kugapai."
Kita duduk di bangku taman tersebut.
"Ingin aku mengambilkannya untukmu?" tanyanya jenaka.
Aku tertawa kecil, nyaris melupakan yang baru saja terjadi seutuhnya. "Tidak mungkin."
"Di sini tenang dan nyaman, kan?"
"Tentu saja!" jawabku antusias, sambil menatap langit. Para gemintang berhamburan di sana. Berkerlap-kerlip menghias langit.
"Ingin kulanjutkan yang tadi?" Ia melepas topengnya, sambil menyeringai kecil. Percayalah seringaiannya membuatku semakin jatuh hati padannya. Tuhan, mengapa Kau ciptakan makhluk semenawan ini? Aku dibuat jatuh hati olehnya.
Aku terdiam. Tak tahu harus menjawab apa. Aku tidak membencinya, tapi aku takut. Hei, tapi apa yang aku takutkan sesungguhnya?
"Jawabanmu terlalu lama."
Lagi, Eros mengecupku. Di bibir. Tangannya merengkuh pipiku, yang lainnya ada di punggungku. Kecupan itu berpindah ke leher, lalu turun ke dada.
Aku tidak membencinya, aku menikmatinya, tapi aku tidak menyukainya.
Salah satu tangannya menarik resleting gaunku turun, membuat dadaku terekspos di hadapannya. Haruskah aku malu? Dialah yang ditakdirkan untukku, bukan? Mengapa harus malu?
Eros membuka celanannya. Dan semuanya terjadi begitu cepat. Bulanlah yang menjadi saksi bisu penyatuan cinta kita.
Meja taman bagaikan kasur. Dan aku terbangun setelah tidur beberapa jam, dalam dekapannya. Apakah pesta dansa sudah selesai? Oh, mungkin belum. Setahuku, biasanya pesta seperti ini bisa berlangsung sampai pagi.
Di tengah heningnya malam, ia bertanya dengan tiba-tiba. "Apakah kau percaya adanya malaikat atau Tuhan?"
"Percaya," jawabku.
"Apakah kau percaya malaikat bisa dijatuhkan dari surga?"
Aku berpikir sejenak. "Hm, kenapa kau menanyakan hal itu?"
"Tidak apa-apa."
Dan pintu yang awalnya kami lewati tiba-tiba menjeblak terbuka. Seorang pria yang sepertinya familiar berjalan mendekati kami. Aku—yang tidak berbaju ini—langsung mengenakan pakaian seadanya.
"Bukan begini maksudku...," lirihnya. "Aku tak pernah mengharapkan begini jadinya. Semua sudah terlambat."
Ah, dia yang bekerja di kedai itu. Apa yang terjadi sebenarnya di sini?
"Hoo, kau marah karena gadismu kucuri?" tanya Eros menantangi.
Pria itu mengacuhkan Eros. "Kenapa kau mau saja berhubungan dengan setan busuk ini?!" Dia menunjuk Eros.
Setan? Makhluk surga ini di sebut setan?
"Kau tidak tahu betapa bahayanya ia. Dengan menyetubuhimu, ia mendapat energi magis yang bisa dia gunakan untuk apapun, termasuk kembali ke Dunia Atas!"
Aku marah. Bagaimana mungkin pasangan takdirku dihina begitu saja dan aku hanya diam? "Dia Eros. Dia bukanlah setan! Apa maksudmu?"
Dia maju selangkah. "Kau bahkan tidak tahu apapun tentangnya, tapi kaumau saja berhubungan dengannya? Apakah dunia ini sudah gila? Dan kau mau melakukannya tanpa paksaan? Dia adalah malaikat jatuh yang menjadi setan! Dia akan menghalalkan segala cara untuk kembali lagi ke Dunia Atas, kau tahu?"
"Kalau memang begitu, kalau memang dia mendapatkan energi dari bersetubuh, lalu mengapa harus aku?" tanyaku tak kalah ngotot.
"Lihat rambutmu, berwarna merah menyala! Hanya orang-orang tertentu yang bisa melihat nyala warna rambutmu. Dan itu membuktikan kau memiliki garis keturunan dewa atau dewi, yang artinya kau spesial! Energi yang ia serap darimu pasti lebih banyak dari biasanya."
Aku melihat rambutku. Entah faktor apa, aku benar-benar melihatnya menyala! Apakah... karena aku habis melakukan itu? Entah.
"Apakah kau membawa mawar hitam itu?" tanyanya.
"Tentu saja." Aku mengeluarkan mawar itu dari dalam tas kecilku,
Seketika raut Eros menjadi horor. "Jangan dengarkan katanya, Valera."
"Berikan padaku."
"Tidak." Kugenggam mawar itu kuat-kuat. Meski duri menusuk tangan, entah kenapa itu tak terasa sakit.
Rasanya penglihatanku semuanya mulai menggelap.
"Bodoh! Kau tidak boleh tertusuk duri itu! Kau bisa mati dalam waktu satu menit!" Pria itu langsung lari mendekatiku.
Dengan sisa tenaga yang kupunya aku bertanya, "Kau siapa sebenarnya? Kaukah yang mengirimiku surat itu?"
"Aku hanya meletakan bunga mawar itu setelah surat, jadi bukan aku. Dan aku adalah malaikat yang diutus untuk menjaga para manusia."
Air mata menetes, membasahi pipi. "Aku mencintaimu, Eros. Hanya kaulah pasangan takdirku. Aku mencintaimu."
Eros seperti mengucapkan sesuatu, hanya saja aku tidak mendengar apapun.
Pandangan terakhir yang kulihat adalah raut Eros yang pucat karena ditusuk mawar oleh si malaikat, kemudian rautnya berubah sedih.
Semua menggelap. Kesadaranku perlahan hilang tanpa rasa sakit.
Author's note:
JIJIK ANJAY. SELAIN JURI TOLONG GAUSA KOMEN. ASLI. Ngebut parah. Yang ngetik aja gatau apa yang diketiknya. Yha.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top