Chapter 2 : Menjadi Dayang Istana

Pagi yang sejuk di istana utama Hi no Kuni. Tapi, tidak untuk bocah kecil berambut pirang yang memandang bosan buku pelajarannya.

"Bosan..." dengan malas dia meletakan buku itu di atas meja belajarnya.

"Onii-san, seharusnya serius dalam pelajaran kali ini. Bukankah Okaa-sama bilang kita harus menjadi calon kaisar yang baik," jelas saudara kembarnya yang memiliki prawakan sama dengan kakaknya. Pengecualian rambutnya yang lebih panjang dari sang kakak.

Naruto langsung melihat pada adiknya, "Kau ini suka sekali belajar. Aku tidak bisa berdiam diri terus. Aku ingin keluar melihat kota dan bermain bersama anak sebaya dengan kita."

Menma yang mendengar perkataan kakaknya. Menatap malas dia, "Onii-san, kita tidak bisa bermain dengan orang yang ada di luar istana."

"Maksudmu?"

"Okaa-sama sudah mengajari kita kan? Status kita dengan mereka itu berbeda. Kita ini bangsawan dan calon kaisar. Kita lebih hebat dari mereka yang hanya rakyat biasa."

"Huh, kau ini memang anaknya Okaa-sama. Selalu menuruti perintahnya. Kalau aku, aku tidak mau. Bagiku berteman itu boleh dengan siapa saja. Tidak memandang status, entah itu dari rakyat jelata atau bangsawan."

"Kogo-sama telah tiba," teriakan terdengar dari luar ruangan.

"Kaa-sama?!" Serentak kedua anak ini berdiri dari duduknya dan menunggu ibunda mereka masuk ke dalam ruangan.

Permaisuri dari Klan Uzumaki. Pandai dalam hal tata krama kerajaan. Serta memiliki ketegasan sebagai permaisuri yang bertanggung jawab pada kedua pangeran yang suatu saat akan menjadi calon pengganti kaisar.

"Hormat kepada Kogo-sama," Naruto dan Menma membungkuk hormat kepada ibu mereka.

"Berdirilah," perintah Kushina sang permaisuri.

Kedua anak itu pun berdiri dari sujud hormat mereka pada ibunya. "Kalian boleh keluar. Naruto dan Menma duduk di tempat kalian."

Perlahan para dayang serta kasim dari permaisuri keluar dari ruang belajar pangeran. Kini ruangan itu hanya berisi mereka bertiga. Kushina menatap kedua anaknya, terutama pandangannya tak lepas dari Naruto. 

"Ka-kaa-sama?" Naruto bertanya ragu pada ibunya.

"Naruto," panggil Kushina.

"Hai."

"Bagaimana pelajaran mu hari ini? Apa kau sudah menghafal buku yang Kaa-sama berikan padamu?"

Naruto menatap kearah lain, dia tidak berani menjawab ibunya. "Anoo..., etou..."

"Huh," Kushina menghela nafas panjang. "Lagi-lagi kau tidak belajar?"

Naruto menunduk dalam, "Maaf Okaa-sama."

"Bukankah Okaa-sama pernah mengajarimu? Agar terus belajar untuk mempersiapkan dirimu menjadi calon kaisar. Jika seperti ini, yang akan menjadi kaisar bukanlah kau, melainkan Menma adikmu. Menma saja sudah bisa menghafal buku yang Okaa-sama berikan padamu. Bahkan dia sudah belajar lanjutan dari buku itu."

Naruto menunduk lebih dalam, tangannya pun mengepal kesal. 'Lagi-lagi Menma, Menma, dan Menma.'

"Menma memang lebih pantas menjadi kaisar dibanding dengan dirimu, Okaa-sama kecewa padamu." Kushina menatap tajam pada anak sulungnya.

Memang dalam hal pelajaran, Naruto kalah dengan adiknya. Daya otak Naruto memang berbeda dari adiknya yang memiliki otak yang jenius. Bahkan kepintaran adiknya bisa setara dengan lulusan sarjana. Bagi Kushina, Menma adalah anak kebanggaan kekaisaran. Calon Kaisar yang sebenarnya, anak yang ditakdirkan membawa kedamaian di Hi no Kuni.

"Berdiri Naruto," Kushina mengeluarkan rotan yang memang sudah ditaruh di samping tubuhnya.

Perlahan Naruto berdiri, menatap takut pada ibunya. Inilah yang selalu ibunya lakukan jika anaknya berbuat nakal atau tidak mengerti pelajaran. Dia akan memukul betis anaknya dengan rotan panjang.
"Aku a-akan berusaha men-menjadi anak yang Okaa-sama inginkan. Jadi, kumohon jangan pukul aku."

"Apakah bisa?"

"..."

Kushina menghela nafas panjang. "Naruto!"

Dalam diam Naruto mendekati ibunya dan menarik ke atas kimono yang dia kenakan, sehingga betisnya pun terlihat.

Plak...

"Ugh..." Naruto mengigit bibir bawahnya menahan sakit.

Plak...

Sampai 10 kali betis Naruto dipukul menggunakan rotan. Hingga menimbulkan bekas merah di betisnya.

"Okaa-sama..." Panggil Menma pada Kushina.

"?"

"Sudahlah. Kasihan Onii-san jika dipukul terus seperti itu. Ku mohon Okaa-sama menghentikan hukuman ini," Menma menunduk dalam pada Kushina.

Kushina menutup matanya, meredahkan gemuruh di hatinya. Dia perhatikan betis anak sulungnya yang sudah membekas berwarna merah. "Kembali ke tempatmu Naruto."

Naruto perlahan berjalan dengan tertatih, menahan sakit pada betisnya. Jika seperti ini, dia akan sulit untuk berjalan.

"Okaa-sama harap kamu sudah mengerti posisimu sebagai pangeran, Naruto. Okaa-sama tidak ingin melihat kamu bermalas-malasan lagi. Kau paham?"

Naruto menunduk kepalanya dalam, menutupi wajahnya dari hadapan ibu serta adiknya. "Haik."

***

"Ouji-sama!" Seorang dayang menghampiri Naruto yang berjalan tertitah. "Apa anda baik-baik saja?"

Naruto melihat kearah dayang itu dan memberikan senyuman lebarnya. "Tidak apa-apa Ayama-nee. Seperti ini kan sudah biasa."

Dayang yang dipanggil Naruto, Ayame hanya menghela nafas pasrah. Memang Naruto sering mendapat hukuman berupa pukulan rotan dari ibunya. Jika dia berbuat nakal, melanggar tata krama kerajaan, tidak belajar, atau kabur dari istana. Naruto memang anak yang paling suka berbuat onar berkebalikan dengan adiknya Menma. Tetapi, sang kaisar Minato, terlihat lebih dekat dengan anak sulungnya. Jika sudah dihukum seperti ini sang kaisar pasti akan memanggil anaknya ini dan akan menasehati dengan pelan sambil mengajari anaknya tentang kesalahan yang dia perbuat.

"Tolong kalian bantu menggendong Ouji-sama kembali ke kamar," perintah Ayame. Ayame memang mempunyai kuasa, karena dia adalah kepala dayang dari Naruto.

"Ayame-nee. Aku bisa berjalan sendiri. A-aduh..." Saat Naruto mencoba untuk berjalan, rasa sakit dibetisnya membuat dia terjatuh.

"Ouji-sama, kumohon jangan memaksakan diri. Anda harus digendong kembali ke kamar dan harus diobati."

Segera para pengawal dari Naruto membantu Naruto ke kamarnya, dengan menggendongnya. "Arigatao. Maaf aku merepotkan kalian," ucap Naruto berterima kasih kepada pengawalnya.

"Tidak apa-apa Ouji-sama. Ini sudah menjadi tugas kami."

Naruto, dikalangan orang-orang yang bekerja di istana. Dia adalah orang yang paling baik. Walau memang kenakalannya diluar batas seorang bangsawan. Tetapi, dia memiliki kebaikan hati kepada para pekerja, terutama pengawal, kasim, dan dayang yang melayaninya.

"Ayame-nee?"

"Yah Ouji-sama?"

Naruto menatap pohon yang berada di depan paviliunnya, "Apa sudah berbuah pohon itu? Aku ingin memberikan pada Otou-sama dan Okaa-sama. Aku juga ingin memberikan pada pegawai istana di sini."

Yah, di depan paviliun Naruto tertanam pohon jeruk yang sebentar lagi akan berbuah. Pohon itu adalah hadiah dari ayahnya untuk ulang tahunnya. Memang saat dia meminta ingin menanam pohon jeruk di depan paviliunnya terasa aneh bagi sang kaisar. Tetapi, itulah Naruto. Bagi dia saat melihat tanaman di paviliunnya bisa membawa kedamaian di hatinya. Terutama jika dia sendiri yang merawatnya.

Inilah salah satu hobi dari Naruto, merawat tanamannya. Bahkan dia lebih senang merawat sendiri semua tanaman di paviliunnya. Tidak boleh ada yang membantu merawat tanaman Naruto, jika tidak mendapat ijin langsung dari sang pemilik taman.

"Hamba lihat sudah ada beberapa buah kecil. Kita masih harus menunggu sampai buahnya matang Ouji-sama," jelas Ayame.

Naruto memandang murung tanaman yang berada di halamannya serta pohon jeruk yang paling dia sukai. "Dengan keadaan seperti ini akan sulit untuk merawatnya setiap hari..."

Ayame tersenyum mendengar ucapan Naruto. "Bagaimana..."

Sebelum menyelesaikan perkataannya, para pengawal Naruto dan dayang pribadinya menghadap pada Naruto. "Ouji-sama jika soal tanaman serahkan pada hamba," kata seorang pengawal.

Naruto melihat para pengawal serta dayang istananya. Tidak dipungkiri pengawal dan dayang yang melayani Naruto memiliki loyalitas yang tinggi padanya. Bahkan kasih sayang mereka terhadap Naruto sudah seperti keluarga.

"Haik, kuserahkan pada kalian semua."

"Terima kasih Ouji-sama."

***

Dari kejauhan Menma menatap kakaknya yang sedang bercengkrama dengan pengawal serta dayangnya. "Ouji-sama?"

Kepala dayang Mitarashi Anko, dia adalah kepala dayang yang bertanggung jawab atas Pangeran Menma.

"Sudah saatnya anda pergi ke istana Kogo-sama. Hari ini ada pertemuan dengan Fraksi Barat yang mendukung anda sebagai Putra Mahkota."

Menma tidak menggubris perkataan Anko, dia hanya berjalan menuju istana ibunya dalam diam. "Onii-san..."

***

Beberapa hari kemudian...

"Naruto-ouji!"

"Naruto-ouji..."

"Kalian sudah menemukan Ouji-sama?" Tanya Ayame pada dayang bawahannya.

Mereka menggeleng dan menunduk lesu, "Maafkan kami Ayame-sama. Kami sama sekali tidak menemukan Ouji-sama di mana pun."

Ayame berpikir keras di mana kira-kira pangeran nakalnya pergi. 'Jangan-jangan...'

"Semua tolong pergi sampai gerbang istana. Minta tolong pada penjaga istana untuk menjaga setiap pintu masuk, bahkan lubang tikus sekalipun. Mengerti?"

"Baik akan kami laksanakan."

Dengan cepat dayang-dayang pergi ke tempat yang diperintahkan Ayame pada mereka. 'Lagi-lagi Ouji-sama pasti bermain keluar istana. Jika ketahuan Kogou-sama bisa bahaya.'

"Kenapa aku harus merawat anak nakal itu sih?! Naruto-ouji...!!!"

***

"Hatchim, sepertinya Nee-san sedang bingung mencariku."

Mata biru safirnya menatap ke gerbang penghubung dunia luar dengan istana. "Yosh, Naruto kau tidak boleh gagal."

"?"

Kembali kedalam persembunyiannya Naruto yang awalnya berjalan maju, kini mundur kembali bersembunyi di balik salah satu bangunan istana. "Sial kenapa dayang-dayang itu ke sini?"

"Ayame-nee pasti yang menyuruh mereka. Cih, kalau seperti ini aku harus lewat jalan lain."

***

"Ini kan?"

Naruto yang menghindar dari kejaran para dayang serta pengawalnya, membuat dia sampai di salah satu gedung pelatihan calon dayang istana. "Sepertinya tidak ada orang. Eh?"

Mata birunya tanpa sengaja menatap ke salah satu anak yang seumuran dengannya, terlihat dia sedang menyapu halaman istana. 'Bukankah kelas sudah dimulai? Tetapi kenapa hanya anak itu yang di sini?'

Naruto memperhatikan anak itu, rambutnya berwarna indigo pendek serta kulitnya yang putih bagaikan salju. Tidak lupa mata teduhnya yang berwarna seperti lavender. 'Diakan?!'

"Oy..."

Gadis yang merasa dipanggil itu menengok ke arah suara yang memanggilnya. "...?"

Gadis itu terdiam saat melihat sosok bocah dengan ramput pirang acak, tak lupa senyuman secerah matahari yang elok dipandang mata. "O-ouji-sama?"

Gadis yang tadinya memegang sapu itu, berjalan menghampiri Naruto dan berlutut hormat kepadanya. "Hormat saya kepada Naruto-oujisama."

"Heh? Jadi kau masih mengingatku yah, Hinata."

Tetap sambil membungkukkan badannya, Hinata menjawab pertanyaan Naruto. "Te-tentu saja. Hamba tidak akan lupa dengan kebaikan Ouji-sama terhadap hamba."

Naruto mengerutkan dahinya saat Hinata menyebut dirinya Hamba. "Hei, bisakah kau jangan terlalu formal? Aku merasa risih mendengarnya."

"Maksud Ouji-sama?"

"Maksudku jangan panggil dirimu dengan sebutan hamba. Lagipula kita seumuran. Tidak enak rasanya. Aku merasa seperti orang tua saja."

"Baik saya mengerti Ouji-sama."

Naruto mengangguk senang karena Hinata yang menuruti permintaannya. "Sekarang berdirilah."

Hinata berdiri berhadapan dengan Naruto tetapi wajahnya yang memerah tetap ditundukan.

"Hinata?" Naruto menatap heran pada seragam calon dayang yabg dikenakan Hinata.

"?"

"Kau sekarang menjadi calon dayang yah. Tetapi kenapa kamu menyapu halaman ini? Bukankah kau seharusnya belajar di dalam kelas?"

"..." Hinata diam. Seolah takut menjawab pertanyaan Naruto.

Naruto menghela nafas lelah, "Apa kamu dituduh sesuatu? Atau kau melakukan kesalahan di sini?"

"S-saya... tidak apa-apa. Ouji-sama tak perlu khawatir. Saya hanya diperintahkan untuk menyapu halaman ini," Hinata menjawab pertanyaan Naruto dengan agak ragu.

Naruto bisa melihat jika gadis di depannya menyembunyikan sesuatu. "Kau bisa melaporku jika terjadi hal buruk. Aku tidak suka melihat orang yang tidak berdaya ditindas."

"Tidak apa-apa Ouji-sama. Saya hanya melaksanakan tugas."

Naruto menghela nafas pasrah. "Kau ini. Baik di rumah Sensei dan di sini, kau mendapat masalah. Tetapi aku tidak menyangka kamu bisa mencalonkan diri sebagi dayang. Sebenarnya ada apa?"

Hinata tersentak dengan pertanyaan dari Naruto. Haruskah dia jujur bahwa alasannya menjadi calon dayang, agar suatu saat bisa menjadi dayang di istana Naruto.

Hinata mengambil nafas panjang untuk meredakan debaran jantungnya. "S-saya hanya ingin membalas kebaikan Ouji-sama kepada saya. S-saya berpikir jika saya menjadi dayang istana, dan menjadi salah satu dayang di istana Ouji-sama. S-saya bisa membalas kebaikan Ouji-sama."

Hinata menutup matanya, dia sangat malu melihat ekspresi Naruto. Mungkin dia akan ditertawakan.

"Kau ini."

Pukkk

Tangan tan Naruto menyentuh puncak kepala Hinata dan mengusapnya lembut. "Kau tak perlu berbuat sejauh itu. Aku memang ingin membantumu. Tetapi, aku tidak berharap balasan darimu juga."

"O-ouji-sama?"

"Tetapi..., Aku berjanji akan melindungimu dari istana ini Hinata. Setidaknya aku bisa melakukan beberapa hal..."

"Ouji-sama ku mohon jangan."

"OUJI-SAMA...!!!"

Teriakan keras dari belakang Naruto membuat buluk kuduk Naruto berdiri seketika. 'Ketahuan yah?'

Naruto berbalik pelan, melihat Ayame yang sudah mengeluarkan aura gelap padanya. "Nee-san? Hehehe..., Konichiwa..."

"..."

Set....

"ITTAIII...."

"Kembali ke istana sekarang!!!"

Ayame yang telah menjewer telinga Naruto langsung menarik tangannya.

"Hinata maaf. Nanti kita mengobrol lagi yah..."

"Ouji-sama, sudah berapa kali saya bilang. Jangan bermain di luar istana apalagi tanpa pengawalan. Apa Ouji-sama tahu bahwa...."

Ceramahan Ayame memenuhi perjalanan Naruto menuju istananya. Sedangkan Hinata yang menatap kejauhan hanya tersenyum simpul melihat tingkah laku Naruto. Tak dipungkiri memang sikap dan perilaku Naruto berbeda dengan bangsawan pada umumnya.

'Semoga Ouji-sama tidak apa-apa.'

***

Malam hari...

"Ah, mataku sudah lelah membaca..."

"Ouji-sama. Saya Ayame."

Naruto yang sudah memakai baju tidurnya, sedang membaca buku-buku politik yang diberikan ibunya.

"Masuk."

Pintu terbuka, dan terlihat Ayame yang datang membawa cemilan manis untuk Naruto. "Silahkan Ouji-sama."

"Arigatao Ayame-nee."

Naruto menutup bukunya dan mulai memakan kudapan manis yang ada dihadapannya. "Ayame-nee?"

"Hm, ada apa Ouji-sama?"

Naruto menatap serius pada Ayame, "Bisakah Nee-san membantuku?"

"Apapun akan saya lakukan demi Ouji-sama."

"Ada seorang gadis bernama Hinata. Dia sekarang sedang dalam masa belajar sebagai dayang di istana luar."

Ayame berpikir sejenak dengan maksud permintaan sang pangeran, "Apa yang dimaksud Ouji-sama, gadis yang Ouji-sama temui siang itu?"

Naruto mengangguk, "Yah, aku ingin kau melihat bagaimana keadaan dia beserta akademisnya selama di pelatihan."

Ayame bingung mendengar permintaan Naruto. "Ouji-sama?"

"Aku punya rencana. Ku harap kau bisa mendukungnya."

Ayame menatap kedua mata biru Naruto. Tidak ada keraguan di dalammya, jika seperti ini berarti Naruto sedang serius dalam pembicaraanya.

"Saya mengerti, besok saya akan bertanya langsung dengan kepala pelatihan."

"Kuserahkan semuanya padamu Onee-san."

"Haik."

Bersambung...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top