Chapter 1 : Naruto dan Menma

Ada sebuah legenda di masa lalu, kisah tentang kakak-adik kembar, kasih seorang kakak terhadap adik tercinta. Walau sejahat apapun adiknya. Bagi dia, adiknya adalah orang yang dia sayangi. Rasa sayangnya membuat sang kakak mengorbankan semuanya tahta dan cintanya demi senyuman adiknya. Tetapi, rasa cinta itu melahirkan iblis baru di dalam diri sang adik, keegoisan, ketamakan, foya-foya, dan hal lainnya. Inilah kisah mereka, Uzumaki Naruto dan adik kembarnya, Namikaze Menma.

Legends Of The Twin Brother

Rated : T+
Genre : Family, Tragedy, Romance, Drama, Classic
Inspiration : Evil Series by Mothy
Daugther Of Evil - Kagamine Rin
Servant Of Evil - Kagamine Len
Regret Message - Kagamine Rin
Warning : AU, OOC, Typoo, Cerita Evil Series dikembangkan versi author tetapi tidak mengubah alur yang ada, penambahan karakter yang tidak sama persis dengan Evil Series, etc.

"Onii-chan, tunggu aku," kejar seorang anak berambut pirang panjang ke salah satu anak yang sangat mirip dengannya.

"Ayo Menma sekarang kamu yang jaga, jika kau tidak bisa menangkapku. Permainan ini tidak akan berakhir," ejek Si Kakak. Dia terus berlari tanpa peduli adiknya yang sudah kelelahan.

Di kejauhan dari paviliun atas kerajaan, seorang pria paruh baya berambut kuning menatap sendu kedua putranya. "Kenapa Kami-sama memberikan cobaan seperti ini?"

Flashback

"Tenno-sama tentu tahu tentang peraturan di Kekaisaran kita?" Ucap Sang Perdana Menteri, rambutnya yang hitam panjang dengan kulit seputih mayat.

Sang Raja tentu tahu apa yang diinginkan dari Perdana Menteri. "Tapi itu hanya mitos saja Orochimaru-san."

"Tapi mitos juga berasal dari kenyataan Tenno-sama. Anda tahu beratus tahun kekaisaran kita berjaya dari generasi ke generasi. Tetapi suatu kesalahan telah dilakukan oleh Kaisar Jiraiya. Membunuh seorang yang tidak bersalah dalam sebuah sidang, hanya untuk mengamankan posisinya. Ayah anda sudah membunuh orang yang dianggap berpengaruh di negara ini. Sampai salah seorang Pendeta sudah dia bunuh. Anda tahu sendiri apa yang diucapkan Pendeta itu?" Tanya balik Orochimaru sembari menatap tajam Minato.

Dengan memijit pelipisnya yang berdenyut, Minato bangun dari tahtanya yang megah. Berjalan ke arah kumpulan lukisan mendiang kaisar sebelumnya. Terutama memandang lukisan dari alamarhum ayahnya Jiraiya. "Aku mengingat setiap perkataannya dihadapan Otou-sama dan para menteri."

"Tenno-sama, segeralah engkau bertobat. Sebelum murka Kami-sama datang pada anda dan keturunan anda. Sebab Kami-sama telah berkata pada hamba: Akan datang saatnya Hi No Kuni menerima perbuatan dari dosa yang telah engkau perbuat Tenno-sama. Air akan menjadi darah, tanah menjadi api, tangisan dan jeritan rakyat akan menjadi simfoni kematian negeri kita ini. Saat di mana akan terlahir anak kembar penerus kerajaan ini. Satu diantara mereka berdua akan menjadi pembawa kedamaian di negeri ini. Dan satunya lagi akan menjadi pembawa kehancuran. Dialah iblis yang akan dikirimkan Kami-sama sebagai upah dari dosamu Tenno-sama,"

Memori Minato memutar ke masa lalu di mana dia masih menjadi putera mahkota. Saat ayahnya melakukan sidang pada seorang Pendeta. Ia tahu bahwa pendeta itu benar, tetapi ayahnya sudah dibutakan dengan kekayaan. Menolak segala masukan dan nasihat dari pendeta itu. Pada akhirnya hukuman pancung diberikan padanya karena sudah mengganggu kekaisaran.

"Aku sudah memperingatkan Tou-sama mengenai ucapan pendeta itu. Tetapi, Tou-sama tetap pada pendiriannya untuk menghukum pancung beliau. Sampai sekarang ingatan itu membekas, aku bersumpah agar menjadi kaisar yang bijak dan mensejahterakan rakyat, agar Kami-sama mau memaafkan dosa Tou-sama dan tidak mengakhiri kekaisaran kita. Tetapi, takdir sudah tertulis dan kutukan itu benar adanya."

Orochimaru menghampiri Minato yang masih menatap sendu lukisan ayahnya. "Anda tahu apa yang harus dilakukan? Hanya dengan membunuh salah satu anak Tenno-sama yang pembawa bencana."

Minato berbalik dan menatap tajam pada Orochimaru. Apa dia sudah gila? Membunuh darah daging sendiri? Walau dia tahu diantara kedua anaknya akan membawa bencana bagi kerajaan. Dia tidak akan sudi untuk membunuhnya. "Aku adalah orang tua mereka Orochimaru. Aku tidak bisa membunuh salah satu dari mereka. Atau menyuruh salah seorang pengawalku untuk membunuh mereka."

"Kalau Tenno-sama berpikir seperti itu, ada satu cara lagi tetapi hamba tidak tahu apakah ini bisa membuang mala petaka itu."

"Apa itu?"

Orochimaru menghela nafasnya dan berbisik di telinga Minato.

"Buang salah satu pangeran. Hilangkan statusnya sebagai pewaris kerajaan."

Flashback Off

'Apakah aku tidak bisa menyelamat keduanya?'

Minato menutup matanya, memikirkan beribu cara apapun yang bisa menyelamatkan anaknya serta negaranya. "Kakashi!"

"Hamba menghadap Tenno-sama," ucap salah seorang pengawal kerajaan. Rambut putih mencuat dan mata kanannya sudah tidak bisa melihat. Akibat luka semasa perang, menandakan pengalamannya yang sudah berpuluh tahun menjadi pengawal kerajaan.

"Siapkan kereta kuda. Hari ini kita akan ke rumah Hiruzen-sensei. Dan apa persiapan yang ku minta sudah ada?"

"Lapor Tenno-sama. Semua sesuai dengan permintaan Tenno-sama. 10 karung beras dan bahan makanan lainnya sudah kami siapkan," kata Kakashi.

"Apa permaisuri juga sudah siap Chiyo-baasan?"

Kepala dayang Chiyo pun menghadap pada Minato. Dia sudah lama mengabdi di Hi No Kuni. Dialah dayang yang dipercayakan untuk merawat Minato semasa bayi sampai sekarang. "Lapor Tenno-sama, Kogo-sama sudah bersiap, dia menunggu anda di kereta."

Minato mengangguk paham, "Bagus kita berangkat sekarang. Dan kedua Pangeran juga harus ikut."

***

"Hachim..., udara di sini dingin sekali," gumam anak pirang panjang. "Kenapa Otou-sama mengajak kita ikut ke rumah Hiruzen-jiisan?" tanya bocah itu pada kakaknya yang satu kereta dengannya.

Kakaknya yang mempunyai fisik yang sama seperti dirinya hanya menggeleng tidak paham. Yang membedakan mereka hanya potongan rambut kakak yang lebih pendek dari adiknya. "Aku juga tidak tahu Menma. Coba sini mendekatlah ke Onii-san," perlahan Menma mendekati kakaknya. Sang kakak langsung memeluk Menma. "Bagaimana? Apakah terasa hangat?"

"Ehm, hangat. Naruto-niisan hangat sekali."

"Naruto-ouji, sebentar lagi kita akan sampai di rumah Hiruzen-san," ucap seorang kasim Naruto. Rambutnya diikat keatas dan terdapat luka melintang di wajahnya.

"Iruka-jisan, sebenarnya kenapa kita harus ikut ke rumah Hiruzen-sensei?" tanya Naruto.

"Setiap tahun Tenno-sama akan pergi ke rumah Hiruzen-san untuk memberikan secara langsung makanan dan kebutuhan sehari-hari lainnya kepada Hiruzen-san dan anak-anak yang dididik di rumahnya."

"Ouji-sama juga sudah tahu, bahwa Hiruzen-san adalah guru dari Tenno-sama. Dia juga mendidik banyak anak yatim-piatu di rumahnya. Ini adalah salah satu bentuk kepedulian Tenno-sama terhadap rakyatnya. Sebagai seorang Kaisar, harus mempunyai hati yang peduli terhadap rakyatnya."

"Kenapa harus Raja yang peduli pada rakyat? Bukankah Raja harus dilayani oleh rakyatnya? Untuk apa rakyat membayar pajak? Bukankah untuk kita keluarga kerajaan?" tanya Menma.

Iruka tersenyum mendengar pertanyaan polos dari anak Rajanya. "Adakalanya Raja harus melayani rakyatnya. Rakyat memberi kita pajak bukan untuk keluarga kekaisaran saja. Tetapi, untuk negera kita itu sendiri. Di sinilah tugas seorang Kaisar untuk mengelola uang pemberian rakyat untuk kemajuan dan kesejahteraan negara."

"Aku tidak bisa mengerti," Menma menggelengkan kepalanya tanda tidak mengerti.

"Menma, padahal kau pintar dalam pelajaran tetapi hal ini tidak tahu," kata Naruto.

"Memangnya Onii-san tahu?"

"Tentu saja tahu. Itu...," Naruto mulai berpikir. "Ehmmmm. Apa yah? Sebenarnya onii-san paham tetapi sulit dijelaskan."

"Onii-san~. Sama saja Onii-san tidak tahu apa yang dimaksud ji-san. Baka Onii-san."

Perempat siku muncul dikepala Naruto. Padahal baru saja dia berbaik hati memeluk adiknya yang kedinganan. Tetapi sikap adiknya yang mengejek dia bodoh membuat dia jengkel. "Beraninya kau meledek ku Baka hah?!"

"Kyaa...., hahaha he-hentikan O-onii-san. Hahaha gelih," Naruto mulai menggelitiki adiknya.

"Aku tak akan berhenti. Sampai kau bilang, Maafkan hamba ouji-sama," Menma yang memang lemah saat digelitik. Hanya bisa tertawa terus. Berharap dia tidak akan mati karena digelitik oleh kakanya.

"Huh, mulai lagi deh," Iruka yang berada di samping kereta kuda milik Naruto dan Menma hanya bisa menggelengkan kepalanya. Saudara kembar ini jika sudah bercanda akan sangat lama untuk berbaikan. "Kuharap Kogo-sama tidak mendengar gelak tawa mereka."

***

"Selamat Datang Tenno-sama, Kogo-sama," sambut seorang kakek tua. Umurnya sekitar 70 tahunan.

"Anda tidak perlu sampai membungkuk terlalu dalam Sensei," Sang Permaisuri menghampiri Hiruzen dan membantunya untuk berdiri kembali.

"Hontouni Arigatao Kogo-sama," ucap Hiruzen. Di belakang Hiruzen, tepatnya di dalam rumahnya yang sangat luas. Berkumpul anak-anak didik Hiruzen. Rata-rata adalah anak yatim-piatu. "Anak-anak keluarlah dan beri hormat kepada Tenno-sama, Kogo-sama, dan Ouji-sama."

Satu persatu anak-anak itu keluar dengan grogi, tentu saja karena sekarang Kaisar sendiri dan keluarganya yang datang. Biasanya hanya suruhan istana yang datang untuk membawa pangan dan sandang bagi mereka. "Konichiwa Tenno-sama, Kogo-sama, dan Ouji-sama."

Minato tersenyum  menanggapi sapaan anak-anak yang terdengar lucu baginya, "Konichiwa, hari ini keluarga istana berniat memberikan langsung hadiah bagi kalian anak-anak didik Hiruzen-sensei. Karena sebentar lagi juga masuk tahun baru. Kalian akan mendapat masing-masing hadiah dari kami," jelas Minato.

"Hontouni Arigatao Gozaimashu Tenno-sama, Kogo-sama, Ouji-sama. Kami-sama memberkati anda dan memberikan umur yang panjang," serentak anak-anak berlutut dihadapan Minato dan keluarga.

"Berdirilah anak-anak."

Hiruzen menghampiri Minato, tubuhnya yang sudah agak ringkih membuat dia berjalan agak lambat. "Tenno-sama, anak-anak ku sudah menyiapkan jamuan bagi anda dan para tamu kerajaan. Silahkan lewat sini Tenno-sama."

"Terima kasih Hiruzen-sensei."

Di belakang rombongan kerajaan, Menma melihat sekeliling bingung. Dia seperti mencari orang lain.
"Menma-ouji ada apa?" Tanya Iruka.

"Ano, Ji-san. Onii-san tiba-tiba menghilang. Bisakah Iruka-jisan mencari Onii-san. Kalau ketahuan Okaa-sama, pasti beliau marah."

Raut wajah Iruka menjadi pucat pasih. 'Anak itu kebiasaan. Di saat seperti ini pasti kabur,'.

"Baik. Hamba akan mencari Naruto-ouji. Menma-ouji duluan masuk bersama yang lainnya."

"Terima kasih Ji-san."

***

Rumah Hiruzen memang sangat luas, karena di sinilah Hiruzen juga mengajar anak-anaknya. Tak peduli dari mana asalnya, jalanan, rakyat jelata, yatim piatu, atau budak. Baginya inilah panggilan jiwanya menjadi seorang guru. Rumah ini terdiri dari beberapa ruangan. Dari kamar anak-anak, ruang belajar, ruang makan, dan lainnya. Di taman terdapat kolam ikan koi dan jembatan kecil untuk menyebrangi kolam. Sedangkan di belakang rumah Hiruzen terdapat sumur serta tempat untuk mencuci baju dan alat makan kotor.

"Rumah Ojii-san besar juga yah," Sang ouji-sama sedang berkeliling di dalam rumah Hiruzen. "Kalau aku ikut rombongan pasti di sana hanya acara makan lalu bercengkrama. Aku bisa mati bosan. Apalagi ada Okaa-sama aku jadi sulit bergerak," gerutu dia.

Sreekk, srekkk, sreekk...

'Suara apa itu?'

Naruto menghampiri asal suara itu, membawanya ke bagian belakang rumah ini. 'Sedang apa gadis itu? Kenapa tidak ikut anak lainnya di acara makan bersama?'

"Hiks...hiks...hiks..."

'Dia menangis sambil mencuci piring yang banyak itu?'

Naruto perlahan menghampiri gadis itu. Gadis itu hanya memakai kimono sederhana berwarna abu-abu. Terlihat kimono itu sudah sangat lama. Dan ada beberapa robek di bagian lengannya. Berbeda dengan dirinya yang memakai baju kebesarannya berbahan dasar sutera halus dengan motif bordir dari tinta emas. Rambut gadis itu berwarna ungu gelap pendek.

"Ehem, hei sedang apa kau di sini? Bukankah seharusnya kamu bergabung dengan anak yang lainnya?" Tanya Naruto pada gadis itu.

Reaksi awal yang dia lihat dari matanya, gadis itu sangat kaget. Tangan yang tadi sibuk mencuci alat makan itu pun berhenti. Dia hapus cepat air matanya. Dan berdiri dihadapan Naruto, kepalanya masih menunduk di bawah.

Hening tak ada jawaban dari si gadis. "Hei, kau bisa berbicara kan ttebayou? Katakan siapa namamu? Dan kenapa saat seperti ini kau masih berkerja membersihkan alat makan ini dan lihat banyak sekali malah," Naruto mulai agak geram dengan sikap gadis di depannya.

"Na-nama saya, Hi-hinata. Hyuuga Hinata."

"Oh nama mu Hinata. Lalu kau belum menjawab pertanyaan ku selanjutnya," kata Naruto.

Hinata berpikir sebentar, dia merasa bahwa orang di depannya ini memiliki emosional yang tinggi. Dia tidak boleh salah kata-kata. "Sa-saya diperintah oleh senpai. Untuk membersihkan ini semua sendiri. Senpai bilang kalau acara ini bukan untuk anak baru seperti saya. La-lagipula aku tidak bisa ke acara itu. A-aku hanya mempunyai pakaian seperti ini. Ti-tidak ada yang mau meminjamkan pakaian padaku. Aku ma-malu jika berhadapan dengan keluarga kaisar dengan pakaian seperti ini. Ma-maka dari itu aku mau melakukan perintah senpai."

Naruto memandang iba pada gadis di depannya. Di Hi No Kuni masih banyak rakyat negara ini yang bernasib seperti ini. Walau masa kepemimpinan ayahnya sudah memperbaiki menjadi lebih baik. Tetapi, tetap saja ada rakyat yang masih menderita.

"Ehm, apa kau lapar? Aku bisa meminta mereka membawa makanan ke sini."

"Ti-tidak. Anda tak perlu repot."

"Tidak repot kok. Kamu tunggu di sini," Naruto menepuk punggung kecil Hinata.

Hinata mendongakan kepalanya. Hal yang dia lihat wajah tersenyum anak laki-laki yang seumurannya. Senyum itu bagaikan matahari yang bersinar. Hinata terpanah pada pandangan pertama.

"Tunggu sebentar. Dan kuminta jangan kerjakan apapun sampai aku datang."

***

"Argh, di mana Ouji-sama? Di taman juga tak ada. Apa Ouji-sama pergi keluar?" Wajah Iruka berubah menjadi sangat pucat. Karena di luar sangat berbahaya. Apalagi bagi anak kaisar yang nyawanya selalu diincar banyak orang jahat.

"Apa yang harus hamba lakukan?!" Iruka menggaruk kepalanya bingung.

"Iruka-jisan!" Panggil Naruto.

"Itu seperti, suara Ouji-sama," Iruka menoleh ke asal suara itu ada. Benar saja Naruto sedang berlari sambil melambaikan tangannya. "Ouji-sama!"

"Ouji-sama, anda membuat jantung hamba hampir putus. Ouji-sama tolong jangan berbuat ini. Nanti hamba bisa digantung Tenno-sama," keluh Iruka.

"Iruka-jisan dengar. Bahas hal itu nanti saja. Sekarang ada yang lebih penting ttebayou. Bisakah ji-san melakukan ini...,"

***

'Benar-benar merepotkan,' gumam Iruka dalam hati. "Di mana Ouji-sama tempatnya?"

Tangan Iruka sedang membawa nampan makanan yang berisi makanan untuk dua orang. Dia bahkan harus sampai berkelit di hadapan Minato dan Kushina. Apalagi tatapan penuh curiga dari Kushina membuat dia merasa mati kutu. Tapi, untung saja Minato agak pengertian dan membiarkan Iruka membawa makanan ini keluar untuk Naruto.

"Nah itu dia. Sekarang serahkan nampan itu biar aku yang bawa," minta Naruto pada Iruka.

"Ouji-sama, nampan ini berat. Lebih baik hamba yang bawakan. Nanti hamba akan pergi dan membiarkan Ouji-sama makan berdua dengan gadis itu," jelas Iruka.

"Baik. Tapi jangan lupa bawakan benda satu lagi yang aku minta."

"Baik Ouji-sama."

***

"Gomenne sudah merepotkan anda," gumam Hinata.

"Tidak kok. Lebih baik kita makan. Aku sudah sangat lapar," Naruto mengambil sumpit dan mulai bersiap makan. "Ittadakimasu!"

Naruto-mengambil nasi lalu memakannya bersama telur gulung. "Hm, enak juga. Kamu juga makan. Ini ada udang goreng dan lihat ada cumi juga," Naruto menunjuk udang dan cumi yang ada di depan mangkuk Hinata.

"Anoo..., maaf. Tetapi a-aku alergi udang," ucap Hinata.

"Oh, maaf aku tidak tahu, kalau begitu udangnya buat aku saja ttebayou. Bolehkan?" Dengan cepat sumpit Naruto langsung mengambil udang goreng itu. "Am..., udang goreng memang enak ttebayou."

Hinata tersenyum memperhatikan sikap Naruto. Hatinya terasa hangat melihat setiap sikap Naruto. Tak pernah dia rasakan seperti ini kecuali bersama Naruto.

"Hinata, kalau kita sedang makan jangan memandang orang sambil tersenyum begitu. Cepat makan atau semua lauk di sini akan ku habiskan. Setelah ini aku ingin kau menerima sesuatu dariku," ucap Naruto sambil terus mengunyah makanannya.

"Ehm, ittadakimasu."

Mereka makan bagaikan teman lama, Naruto seperti tuan rumah yang memberikan banyak lauk di mangkuk Hinata. Hinata sampai kagok dibuatnya. Setiap ada makanan yang enak pasti dia akan menyuruh Hinata untuk mencicipinya. Serta diselingi dengan bercanda, rasanya makan kali ini sangat hangat. Rasa kekeluargaan yang terasa. Naruto yang jarang bisa bersikap seperti ini, karena di istana saat makan kita tidak boleh berbicara. Bahkan bercengkrama sedekat ini pun tidak. Bagi Naruto ini adalah kesempatan baginya untuk bisa merasakan seperti orang yang bebas.

"Anoo, tuan?"

"Yah ada apa?" Naruto yang masih baru selesai memakan nasinya menjawab Hinata.

"Maaf jika saya lancang, tetapi bolehkah saya tahu siapa nama tuan?"

"Puft...," Naruto menahan tawa seketika. Anak ini ada-ada saja tidak tahu siapa dia. "Kau ini, apa kau tidak tahu siapa aku?"

Hinata menggeleng sebagai jawaban, tentu saja dia tidak tahu karena dia baru beberapa hari pindah ke ibu kota. Dia yang awalnya hanya seorang anak desa yang jauh dari ibu kota. Ayahnya meninggal karena menjadi prajurit perang, sedangkan ibunya meninggal karena sakit setelah kematian ayahnya. Sebelum ibunya meninggal, ibunya sudah membuat surat wasiat dan diberikan ke Hiruzen untuk merawat Hinata.

"Saya baru di Konoha. Jadi tidak tahu seluk beluk keluarga kaisar. Saya hanya tahu bahwa keluarga kaisar dan para bangsawan Hi no Kuni datang ke sini." Hinata menunduk kepalanya dalam.

"Hm..., ternyata ada juga orang yang tidak tahu siapa aku. Tapi tak apa," Naruto bangun dari duduknya. "Makanannya enak sekali. Terima kasih yah."

"Hei Hinata, kemarilah!" Naruto berdiri dan menghampiri bungkusan yang sudah dia siapkan. "Setiap keluarga kerajaan dan bangsawan pada hari ini akan memberikan hadiah tahun baru pada anak-anak di tempat Hiruzen-sensei. Kau adalah anak didik Hiruzen-sensei. Kau juga patut mendapatkannya."

Hinata berdiri dan menghampiri Naruto. Dia terus menunduk, "Anda tidak perlu repot seperti itu. Lagipula saya hanya orang baru di sini."

"Orang baru atau orang lama, kau tetap murid dari Hiruzen-sensei. Kau juga termasuk. Terimalah ini. Ini adalah hadiah dariku," Naruto memberikan bingkisan yang tersimpan di dalam bungkusan kain merah yang terbuat dari sutera. "Kau tidak boleh menolaknya ini perintah."

Dengan ragu Hinata menerima bingkisan itu. "Sekarang bukalah dan lihat isinya. Kuharap kamu menyukainya."

Perlahan tangan Hinata membuka pembungkus sutera itu, matanya yang berwarna lavender melebar kaget. Betapa indah kimono yang dia dapatkan dari laki-laki kuning dihadapannya. Dia tidak tahu siapa kah dia, tetapi satu hal yang dia ketahui adalah bahwa laki-laki ini berbeda dengan bayangannya tentang bangsawan dan keluarga kerajaan yang congkak. Dia begitu berbeda dan terasa hangat saat di dekatnya. Air mata haru mengalir dari pipi pualamnya.

"Eh...? Kenapa kamu menangis? Kamu tidak suka dengan kimononya? Atau warnanya yang kurang bagus? Aku akan bilang pada ji-san untuk menggantinya sesuai dengan kesukaanmu," Naruto panik melihat air mata Hinata. Sigap dia mengambil sapu tangan yang selalu dia simpan di balik kimononya. Sapu tangan putih yang terdapat bordir emas bergambar naga kecil dan namanya Naruto. "Sudah jangan menangis yah."

Naruto menghapus air mata Hinata, perlakuannya itu membuat wajah Hinata memerah bagi tomat. "M-maaf saya tidak apa-apa. Ini hanya air mata bahagia."

"Ambilah sapu tangan ini," Naruto memberikan sapu tangannya ke dalam genggaman Hinata. Senyuman lebar menghiasi wajahnya. "Kulihat kamu ini cengeng. Ambillah sapu tangan ini. Jika kamu bersedih pakailah ini."

"Ouji-sama sudah saatnya pulang!" Dari balik punggung Naruto muncul seorang pria dikuncir satu.

'Ouji-sama?!' Batin Hinata terasa syok. Jadi selama ini ia bercengkrama dengan seorang pangeran. "A-anda ou-ouji-sama?"

"Dasar Ji-san dia teriak sangat keras," sebal Naruto. "Iya aku akan kembali," balas Naruto.

"Tolong maafkan hamba yang lancang ouji-sama," Hinata bersimpuh di antara kaki Naruto. Awalnya Hinata pikir Naruto hanya anak bangsawan atau anak orang yang bekerja di pemerintahan.

"Hei-hei sudah bangunlah. Aku tidak suka orang yang bersujud di hadapanku. Cepat bangun!" Perintah Naruto.

"Hamba tidak tahu bahwa yang berbicara dan memberikan hadiah serta makan bersama hamba adalah Ouji-sama. Maafkan saya," ucap Hinata lesuh. Dia bangkit dari bersimpuhnya dibantu Naruto.

"Tidak apa-apa. Aku maafkan," kata Naruto.

Iruka yang sudah dekat dengan Naruto berbisik di telinga Naruto. "Kogo-sama sedang mencari anda. Jika tidak cepat..."

"Aku sudah tahu Ji-san," Naruto memandang tak suka pada Iruka yang memaksanya untuk pulang. "Sampai jumpa lagi Hinata, kuharap saat kita berjumpa lagi kamu mau memakai kimono itu."

"Baik Ouji-sama," Hinata membungkuk kepada Naruto.

"Sampai jumpa yah Hinata. Ayo Ji-san."

Perlahan sosok Naruto dan Iruka pergi meninggalkan sang gadis sendiri. Pipinya yang putih perlahan memerah, bibir menyunggingkan senyum kebahagiaan. Rasanya kupu-kupu seperti menari di dalam perut. "Dia kah Ouji-sama? Dia sangat baik dan..." Hinata memandang pemberian Naruto. Mengusap kimono pemberian Naruto.

'Tampan,' batin Hinata. Jantungnya bergemuruh cepat. Setelah melihat kimono pemberian Naruto. Dia melihat sapu tangan Naruto, bordir naga emas serta tulisan nama Ouji-sama. "Naruto," gumam Hinata. 'Jadi namanya Naruto-oujisama. Aku akan mengingatnya. Naruto-oujisama.'

***

Malam menjelang di rumah Hiruzen. Di salah satu bilik kamar, gadis indigo itu tersenyum simpul sambil memegang hadiah pemberian Naruto. Awalnya dia berpikir, hari ini adalah hari yang sial baginya. Hinata baru dalam lingkungan rumah Hiruzen. Tak terbesit dipikirannya akan diperlakukan seperti ini. Mencuci piring makan dan membereskan kamar seniornya. Melapor? Di sini peraturannya sangat ketat, jika melapor tanpa bukti maka kau sendiri yang akan dihukum. Lagipula seniornya akan berbuat baik dan ramah dihadapan Hiruzen, sangat berbeda dengan sikap asli mereka.

"Hei Tayuya, kau tahukan sebentar lagi kerajaan akan membuka pendaftaran untuk calon dayang," ucap Matsuri.

'Pendaftaran calon dayang?' batin Hinata bergejolak.

"Iya aku tahu. Makanya aku sudah bersiap untuk pendaftaran dayang. Kau tahu Ayame-neesan? Dia sekarang sudah menjadi kepala dayang di paviliun Naruto-oujisama. Ayame-neesan pasti enak sekarang bisa membeli perhiasan dan kain sutra yang biasa dipakai bangsawan."

"Yah Tayuya. Aku juga ingin masuk ke dalam istana. Ku dengar di sana tempat yang indah. Dan tidak ada orang yang bisa sembarangan masuk ke dalam sana. Hanya orang-orang yang berkepentingan saja yang bisa masuk," jelas Matsuri.

Tayuya mengangguk, dia menyiapkan futon untuk tidurnya. "Wajar gadis-gadis di sini berbondong-bondong ingin bekerja di sana. Kau lihatkan Menma-oujisama. Dia tampan sekali," ujar Tayuya.

"Iya, sayang kita tidak bisa melihat Naruto-oujisama. Kudengar Naruto-oujisama dan Menma-oujisama itu kembar," Matsuri yang baru saja selesai memakai nagajuban tidurnya.

"Yah begitulah. Aku ingin sekali menjadi dayang ouji-sama. Kudengar Naruto-oujisama itu sangat baik. Dan Menma-oujisama memiliki karisma yang luar biasa. Tatapannya itu Matsuri, rasanya membuatku meleleh," Tayuya memegang pipinya yang sudah memerah, membayangkan sang Ouji-sama.

"Kau jangan bermimpi terlalu tinggi. Masuk sebagai dayang saja kita sudah beruntung. Lalu kau berharap bisa menjadi istri Ouji-sama. Kau tahu sendiri peraturan yang sekarang melarang selir istana menjadi Ratu," jelas Matsuri.

Wajah Tayuya yang awalnya sumringah berubah masam. "Kau ini aku sedang membayangkan hidup bersama Ouji-sama malah mengganggu. Biar saja, walau hanya sebagai selir. Asal bisa bersama dengannya itu tidak masalah bagiku.”

“Dasar Tayu-chan. Selalu mengkhayal terlalu tinggi. Pada akhirnya juga tergantung dengan kemampuanmu sendiri. Menjadi dayang itu tidaklah mudah. Setiap tahun Hiruzen-sensei mengutus murid-murid terbaiknya. Dan lihat tahun lalu saja dari 30 orang saja, hanya diterima 10 orang. Itupun kamu masih masuk pelatihan di sekolah dayang. Tidak bisa menjadi dayang langsung. Butuh waktu 3-5 tahun selama di sekolah. Setelah itu, ada ujian dayang istana yang diadakan setiap 5 tahun sekali. Mungkin dari 10 orang kemungkinan yang akan menjadi dayang istana sesungguhnya bisa 5 atau 1 orang atau yang buruknya tidak sama sekali. Itupun kamu hanya bisa mengulang sebanyak dua kali. Jika dua kali gagal di ujian itu, kau hanya dipulangkan ke tempat asalmu,” jelas Matsuri.

Brukk…

Tayuya memasang wajah yang sangat masam, “Matsuri-chan kau jahat. Jadi, kau menginginkan aku gagal dalam ujian hah?”

“Aku tidak bermaksud seperti itu, hanya saja aku tidak ingin kau menjadi stress karena gagal ujian masuk calon dayang.”

Gadis indigo itu hanya menguping pembicaraan kedua seniornya. 'Ujian calon dayang? A-aku harus ikut.'

Hinata memperhatikan kimono serta sapu tangan yang diberikan Naruto padanya. "Naruto-ouji..."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top