34 - How The Karma Hits Rain

Tengkyu yang tidak menjadi silent readers<33

"Pergilah."

Laura berucap dengan dingin. Keanu dapat melihat sorot tatap kebencian yang hanya tertuju kepadanya dari kedua mata Laura.
Keanu perlahan bangkit setelah Rain memukulnya. Ia memegangi bagian pipinya yang terasa sakit oleh pukulan Rain.

"Kau tidak diterima di sini. Jadi aku mau kau segera pergi dan jangan kembali lagi."

Laura mendengar semua yang Keanu dan Rain perdebatkan. Mulai dari niat Keanu untuk meminta maaf, sampai akhirnya Rain memukul lelaki itu karena merasa geram. Namun ia tidak merasa iba melihat lelaki itu diperlakukan buruk. Ia juga merasa tak iba menyadari fisik Keanu yang sedikit lebih kacau dibandingkan terakhir kali Keanu meninggalkannya sendiri di apartemennya. Laura baru menyadarinya karena saat di supermarket, ia terlalu shock untuk memerhatikan hal itu.

Pandangan Laura beralih kepada Rain yang kini sedang menatap ke arah lain selain dirinya. Laura juga menatapnya dengan dingin. Entah apa yang ada di pikiran gadis itu, tetapi ia merasa tak senang juga kepadanya.

"Tidak ada gunanya kalian memperdebatkan hal yang tidak penting." Laura menyentuh perutnya yang buncit, "Anak ini adalah anakku. Bukan anak kalian."

Setelah mengatakan hal itu, Laura berbalik dan langsung berlari ke kamarnya. Ia mengunci kamarnya rapat-rapat, tidak ingin diganggu oleh Rain, Mr.Austin, atau bahkan Keanu.

Rain mendelik sinis pada Keanu. Setelah mendengar penuturan Laura, entah kenapa ia semakin membenci lelaki itu.

"You heard her." Rain mengeraskan rahangnya. Tangannya terkepal kuat berusaha untuk tidak menghajar Keanu lagi, "No one wants you here. So leave."

Keanu menatap Rain dalam diam. Ia juga berusaha keras untuk tidak membalas perlakuan kasar yang ia dapatkan.

"You heard her too," ucap Keanu tak kalah, "That's not your child. That's hers."

And mine, sambung Keanu dalam hati.

Mereka berdua beradu pandang untuk sesaat. Rain hanya menatap Keanu dari atas sampai bawah dengan pandangan menghakimi, kemudian ikut pergi meninggalkan Keanu sendiri di pekarangan rumah dengan segala penyesalannya.

Mr.Austin menatap anaknya yang masuk ke dalam rumah, pandangannya beralih kepada Keanu yang hanya diam di tempatnya. Ia tak dapat berbuat banyak dalam mencampuri urusan ini. Jadi yang dapat ia lakukan hanyalah tersenyum lemah menandakan permintaan maaf dan menutup pintu rumahnya kembali.

***

"Sudah ku bilang, kau harus menyingkir darinya. Lihat apa yang terjadi jika kau mengikuti saran Theo."

Natalie menatap Keanu sebal. Mereka bertiga kini sedang berada di ruangan Theo dan mendengarkan cerita Keanu meskipun jam pulang kantor sudah berlalu cukup lama.

Keanu mengangguk lemah menyetujui penuturan Natalie. Sebelumnya, ia mengikuti saran dari Theo, tapi kali ini, ia rasa apa yang dikatakan Natalie benar. Pintu maaf Laura untuk dirinya sudah tertutup dan yang harus ia lakukan adalah menyingkir dari kehidupannya selamanya.

"Tapi jika dipikir-pikir, bukankah temanmu itu terlalu egois? Siapa namanya tadi?" tanya Theo.

"Rain."

"Yes, him. Bukankah kau mengatakan dia juga yang membantumu bebas? Kenapa dia seakan menghalang-halangimu dalam hal ini?"

Keanu mengedikkan bahunya, "I think he just wants to protect her."

"Theo benar. Setidaknya, dia harus memberi tahumu yang sesungguhnya. Meskipun aku setuju jika kau menyingkir dari gadis bernama Laura itu, kau tetap memiliki hak untuk mengetahuinya. Dan dia juga sempat berbohong kepadamu, bukan?"

"He seems shady." Theo menyahut.

"Entahlah, mungkin dia khawatir aku akan terus datang ke sana jika dia memberitahuku yang sesungguhnya sejak awal," Keanu bertopang dagu dengan lesu, "Meskipun aku tak memiliki niat itu sama sekali."

"Kau tahu apa yang ku pikirkan?" tanya Theo, "I think he got attached to her."

"Maksudmu?" Natalie mengernyit tak mengerti.

"Ya, kau tahu, Rain ini selalu bersama dengannya selama Laura melewati masa-masa sulit. Dia ada ketika Laura hampir bunuh diri, melakukan self-harm, dan juga menemaninya di masa awal kehamilannya. They've been through a lot together. Jadi tidak menutup kemungkinan bahwa ia tidak ingin melepas Laura. Itu juga bisa menjadi alasan kenapa ia tak mau memberi tahumu tentang anakmu."

"Jadi kesimpulannya, Rain menyukai Laura?" tanya Natalie memastikan.

"Jika iya, bukankah itu cukup masuk akal?"

Natalie mengangguk-angguk mengerti. Setelah mendengar ucapan Theo, ia juga berpikir hal itu masuk akal. Mungkin Rain memang bersikap baik pada Keanu, tetapi jika berurusan tentang Laura, Rain tidak ingin melepaskannya. Tidak peduli bahwa anak yang dikandung Laura adalah anak biologis Keanu.

Natalie menoleh pada Keanu, "Bagaimana menurutmu, Ford? Apa yang akan kau lakukan? Apa kau tetap akan mengikuti saranku?"

Keanu termenung di tempatnya. Ia mengingat kembali bagaimana perlakuan Rain kepadanya. Sejujurnya, Keanu sempat merasa sakit hati karena Rain yang selama ini bersikap baik padanya, tiba-tiba saja berubah agresif dan terus menghalanginya untuk bertemu dengan Laura. Tapi ia berusaha menekan rasa kesalnya, karena sekali lagi, Keanu merasa ia pantas mendapatkan itu. Tidak seharusnya ia menemui Laura setelah kesalahan-kesalahan fatal yang ia lakukan kepada gadis itu. Namun Keanu juga tak memungkiri bahwa apa yang dikatakan Theo ada benarnya. Rain menghalanginya karena lelaki itu tak ingin melepas Laura. Keanu pun tahu bahwa Rain dan Laura sudah saling mengenal bahkan sebelum terjadinya insiden buruk itu. Jika apa yang Theo katakan tepat sasaran, maka Rain memang bersikap egois menutupi fakta bahwa anak itu adalah anak Keanu.

"I'll do.." jawab Keanu pelan, "... nothing."

Theo mengernyit, "Kau serius?"

Keanu mengangguk seraya tersenyum lemah.

"Aku tidak akan melakukan apapun. Natalie benar, aku harus menyingkir dari hidupnya dan membiarkan mereka hidup dengan tenang. Biarkan saja jika Rain ingin menganggap anak itu sebagai anaknya. Aku percaya ia bisa merawatnya dengan baik."

"Meskipun anakmu tidak akan pernah tahu kau adalah ayah kandungnya?"

Keanu tersenyum tipis, "Apa yang anak itu harapkan dari seorang ayah yang sudah menyakiti hati ibunya?"

Mendengar jawaban itu, Natalie dan Theo sama-sama menghela napas berat. Rasanya mereka tidak pernah mendengar masalah serumit ini sebelum bertemu dengan Keanu. Lelaki itu sudah mengalami kesialan bertubi-tubi mulai dari tertangkap polisi hingga memiliki anak dari gadis yang sudah ia bully.

"Kalau begitu, aku turut prihatin atas keadaanmu, Kawan," Natalie menepuk pelan pundak Keanu, "Kau sudah melewati hal yang lebih buruk dari ini. Aku percaya kau akan baik-baik saja. Kami berdua akan selalu berada di sampingmu."

Keanu hanya tersenyum padanya.

Theo dan Natalie tidak bisa membayangkan jika mereka berada di posisi Keanu. Mereka berdua tidak mungkin berani mendatangi rumah Rain hanya untuk meminta maaf kepada Laura. Alih-alih melakukan itu, mereka mungkin sudah memilih untuk pindah ke kota lain agar tak bertemu dengan Rain dan Laura.

"But, I have an idea," Theo tiba-tiba saja berucap, "Yah, bisa dibilang, sebuah ide jahat untuk Rain."

Keanu mengangkat kedua alisnya tinggi.

***

"Laura, ayolah, kau belum makan sejak sarapan." Rain menggedor-gedor pintu kamar Laura.

Laura untuk kedua kalinya mengunci diri sejak pagi. Rain sampai harus meliburkan dirinya karena ia takut Laura melakukan hal yang tidak-tidak seperti menyilet dirinya lagi. Namun Laura tak kunjung membukakan pintu berapa kalipun Rain memohon padanya.

"Laura, tolong pikirkan anak yang ada di perutmu. Kau harus makan yang cukup." Rain masih terus membujuknya.

Sementara itu, Laura sendiri sedang meringkuk di bawah selimutnya. Ia tak bergerak dari posisi itu dan hanya termenung seharian. Ia tidak tahu apakah hormon di masa kehamilannya yang membuatnya cepat merasa emosional, tapi Laura jadi tak ingin melakukan apapun setelah melihat perdebatan Keanu dan Rain pagi tadi dan hanya ingin menangis di tempat tidurnya.

Tiba-tiba saja, Laura menginginkan kehidupannya yang lama. Meski terus mengalami bullying, ia merasa kehidupannya yang dulu tak serumit sekarang. Tidak ada Keanu ataupun Rain yang mencampuri hidupnya. Dan satu lagi, tentu saja, halusinasi yang terus ia alami.

Laura mengeratkan selimutnya. Ia melihat bayangan itu lagi di luar jendela—bayangan hitam yang terus menghantuinya. Laura berusaha untuk tidak menghiraukannya, melawan rasa takutnya, karena persis seperti yang Rain katakan, bayangan itu tidak ada. Namun rasanya sangat sulit untuk tidak melihat ke arah sana. Gadis itu memutuskan untuk memejamkan matanya erat sampai bayangan itu menghilang sendirinya.

Ketukan di pintu kamarnya sudah tak terdengar lagi, namun Laura bisa mendengar suara Rain dan Mr.Austin di luar kamarnya.

"Laura masih tak mau keluar?"

"Tidak, Dad. Aku sudah membujuknya berkali-kali."

"Kenapa kau tidak memakai kunci cadangan?"

"Kunci kamarnya tergantung di dalam. Aku tak bisa membukanya dengan kunci cadangan."

"Gosh.."

"Dad, tolong bujuklah Laura. Aku harus pergi menemui investor sekarang juga."

"Semalam ini?"

"Ya, mereka hanya memiliki waktu luang malam ini sebelum terbang lagi ke New York. Tapi aku tak bisa membiarkan Laura seperti ini, jadi ku mohon bujuklah dia agar keluar."

Mr.Austin menghela napas, "Alright, Son. I'll try it."

Rain tersenyum senang, "Thanks."

Lelaki itu lalu menatap pintu kamar Laura. Ia mengetuk pintu itu sekali lagi meskipun tahu tak akan mendapat jawaban.

"Laura.." panggilnya, "Jika ada ucapanku yang salah, aku minta maaf. Aku hanya menginginkan yang terbaik."

Laura tak menjawab dan hanya diam mendengarkan di bawah selimut. Di satu sisi ia ketakutan, tapi di sisi lain, ia tak mungkin berlari pada Rain setelah mengurung diri seharian.

"Tapi untuk kebaikan anakmu, ku mohon keluarlah dan makan. Ini permintaan terakhirku. Kau harus memikirkan kesehatan anakmu juga. Kau menyayangi anakmu, bukan? Jadi ku mohon keluarlah."

Rain lagi-lagi tak mendapat jawaban. Lelaki itu menghela napas berat. Satu hari ini, hanya kata-kata itulah yang terus ia ucapkan. Hasilnya tetap sama, Laura tak menggubrisnya.  

"Baiklah, sekarang aku harus pergi. Ku harap kau mau menuruti permintaanku ketika aku kembali."

Rain menatap pintu kamar Laura untuk beberapa saat. Ia berpamitan kepada ayahnya sebelum meraih kunci mobil beserta berkas yang harus ia bawa di atas meja dan keluar dari rumah.

Laura membuka matanya kembali. Ia mengusap air mata yang nyaris jatuh dari kedua matanya. Ucapan Rain terdengar biasa saja, tapi karena kehamilannya, Laura jadi mudah emosional.

Gadis itu melihat kembali ke tempat di mana bayangan hitam itu berada. Namun sekarang, bayangan itu sudah hilang.

***

Rain mencengkram kuat setirnya. Ia teringat kembali ucapan Keanu pagi ini. 

'Laura mengalami pelecehan seksual oleh donatur panti asuhannya di usia belia. Ia dipaksa melayani pria tua sebagai imbalan dari fasilitas yang panti asuhannya dapatkan. Aku bahkan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menyelesaikan tantangan itu dan kau pikir Laura berani melakukan hal macam-macam denganmu begitu saja? Please, Austin, you're so naive.'

'Deny it all you want, but you can't change the fact that the baby she's bearing is my biological child.'

"Berengsek."

Rain mengumpat dengan geram seraya memukul setir mobilnya. Hatinya masih panas mengingat kejadian tadi pagi. Berani sekali Keanu datang ke rumahnya lagi untuk bertemu dengan Laura. Rasa bencinya pada lelaki yang pernah menjadi teman baiknya itu semakin bertambah mengetahui Keanu lebih tahu tentang masa lalu Laura dibanding dirinya. Hal itu bahkan lebih membuatnya marah dibanding mengetahui bahwa Laura pernah mengalami pelecehan seksual di masa kecil. 

Gosh.

Rasa menyesal yang sudah lama terkubur dalam kini kembali menghantuinya. Laura memiliki trauma masa kecil dan ia beserta teman-temannya dengan jahat mempermainkan Laura sebagai sebuah tantangan.

Tapi apakah perasaannya terhadap Laura hanya sebatas rasa bersalah? Rain tidak tahu. Ia tidak yakin akan perasaannya sendiri. Yang ia tahu, ia tidak mau melepas Laura, apalagi membiarkan gadis itu kembali kepada Keanu, tidak peduli bahwa lelaki itu sudah menjadi lebih baik sekarang.

'Setulus dan sebesar apapun cintamu pada anak ini, itu tetap tidak mengubah fakta bahwa dia adalah anak biologis dari Keanu Ford dan tidak ada yang dapat mengubahnya.'

Rain mengeraskan rahangnya. Ia menginjak pedal gas lebih dalam lagi untuk melampiaskan amarahnya.

***

Laura berjalan mondar-mandir di kamarnya. Sebelah tangannya mengelus perutnya karena anaknya sedari tadi tidak berhenti bergerak.

Kenapa ia masih merasa takut?

Bayangan itu sudah hilang sejak tadi, namun hatinya masih tak tenang. Seakan mengikuti perasaan ibunya, anaknya juga terus bergerak aktif di dalam perutnya.

Laura mengembuskan napas panjang, berusaha mengontrol jantungnya yang berdetak cepat. Hatinya merasa tak nyaman, seperti ada suatu hal buruk yang akan terjadi. Tapi Laura tak tahu apa itu. Gadis itu akhirnya memutuskan untuk duduk di tempat tidurnya. Matanya melihat tak terarah ke karpet kamarnya seraya memikirkan hal apa yang mengganjal perasaannya.

Jika saja Rain tak pergi, Laura mau tak mau keluar dari kamar dan menceritakan rasa gelisahnya karena ini sangat mengganggunya.

Laura melirik ponselnya di atas nakas. Ia berpikir untuk menelepon Rain agar merasa tenang. Mungkin juga meminta lelaki itu untuk mempertemukannya lagi dengan Sophie.

Kedua kaki Laura bergerak naik-turun sembari menimbang-nimbang keputusannya. Pada akhirnya, ia meraih ponselnya dan menekan kontak Rain.

***

Rain memarkirkan mobilnya di tempat parkir umum di seberang restoran. Ia membawa berkas-berkas yang diperlukan dalam dekapannya. Karena hari ini bukanlah hari libur, jalanan sudah terlihat sepi malam ini.

Sebenarnya Rain sangat malas menemui investor semalam ini. Tapi harus bagaimana lagi? Mereka memiliki jadwal yang padat dan setelah ini harus langsung berangkat ke bandara untuk terbang ke New York.

Rain tak perlu menekan tombol penyeberangan karena jalanan cukup sepi. Sembari berjalan di zebra cross, ia memeriksa lagi kelengkapan berkas-berkas yang ia bawa. Akan sangat merepotkan jika ada berkas yang tertinggal di rumah. 

Rain terlalu fokus pada barang bawaannya hingga sebuah lampu sein LED putih yang menyilaukan mengalihkan perhatiannya. Rain menoleh ke kanan. Kedua matanya membelalak mendapati sebuah mobil hitam sedang melaju cepat ke arahnya.

Untuk beberapa saat, ia membatu di tempatnya dan kakinya terasa sulit untuk digerakkan. 

Lelaki itu baru saja ingin menghindar..

.. namun mobil itu sudah lebih dulu mengerem mendadak dan membunyikan klaksonnya kencang—menyisakan jarak beberapa senti saja darinya.

Pengendara mobil itu menurunkan kacanya.

"Hei!! Apa kau sudah bosan hidup?! Patuhi peraturan dan jangan menyeberang sembarangan, Bodoh!"

Rain cukup tertegun akan bentakan itu. Ia hanya membungkuk sebagai permintaan maaf dan mempercepat jalannya menuju restoran. Sesampainya di trotoar seberang, Rain melihat mobil itu melaju lagi. 

Gosh, ia hampir saja mati tadi.

Beruntung pengemudi itu menginjak rem di waktu yang tepat. Jika tidak, siapa yang tahu bagaimana nasibnya nanti. Lain kali ia akan berhati-hati.

Saat itu juga, ponselnya bergetar. Rain merogoh sakunya untuk melihat siapa yang meneleponnya.

Kedua matanya berbinar melihat nama 'Laura' tertera di layar ponselnya. Ia segera mengangkatnya.

"Halo?"

Gadis di seberang sana tak menjawab.

"Laura, ada apa?" tanya Rain dengan nada panik, karena tidak biasanya Laura meneleponnya.

"Mm, kau di mana?" Ia akhirnya bersuara.

"Aku sedang berada di restoran untuk menemui investor. Ada apa?"

"Tidak, ada apa-apa. Aku hanya ingin menelepon saja.."

Raut panik di wajah Rain kini mengendur, tergantikan dengan senyuman tipis. Entah apa yang membuat gadis itu tiba-tiba ingin meneleponnya, yang Rain tahu adalah Laura sudah tak marah lagi padanya.

"Apa kau merindukanku setelah seharian mengurung diri di kamar?"

"Tidak.."

"Oh, ya?"

"Aku hanya takut karena tadi aku melihat bayangan hitam itu lagi. Tapi sekarang sudah tidak ada karena aku berusaha untuk tidak memerhatikannya."

"That's great. Kau tidak perlu takut karena itu hanya halusinasimu saja. Bayangan itu sebenarnya tidak ada, Laura."

"Ya. Aku juga minta tolong padamu untuk bertemu Sophie lagi. Ku rasa aku membutuhkannya." Laura berucap pelan.

"Begitukah? Baiklah, aku akan meneleponnya nanti." 

"Cepatlah pulang. Aku masih merasa takut di sini."

"Iya, aku akan segera pulang nanti. Tunggulah sebentar, oke? Aku janji tidak akan lama. Kau juga harus makan setelah ini. Perutmu kosong seharian."

"Baiklah, baiklah."

"Kalau begitu, ku tutup dulu karena aku buru-buru. Sampai nanti, Laura."

"Alright, bye.."

***

Laura menaruh ponselnya kembali di atas nakas. Ia termenung menatap karpet kamarnya untuk sesaat.

Setelah menelepon Rain, rasa gelisah itu justru semakin bertambah. Ia tidak tahu kenapa. Ada kekhawatiran yang menyelimutinya yang tampaknya tertuju pada Rain. Atau mungkin saja hanya karena ia membutuhkan Rain saat ini dan menginginkan lelaki itu cepat pulang.

Laura menghela napas berat seraya mengelus perutnya yang buncit. Ia akhirnya menuruti permintaan Rain untuk keluar kamar dan mencari makanan.

***

"Thank you, Sir." 

"Thank you."

Rain tersenyum seraya berjabatan tangan. Setelah pertemuan itu selesai, Rain berjalan keluar restoran bersama dengan para investor sambil berbincang sebelum akhirnya dua pria tua yang dapat dikatakan sebagai sumber uang perusahaannya berpisah menuju mobil masing-masing.

Tanda tangan akhirnya sudah ia dapatkan. Pekerjaan yang sudah sejak lama ia lakukan bersama rekan-rekan kerjanya kini membuahkan hasil. Satu pekerjaan sulit sudah terselesaikan. Sekarang ia memiliki waktu luang yang cukup untuk bersantai sejenak.

Seperti janjinya kepada Laura, Rain akan membawanya berlibur ke Disneyland jika pekerjaannya sudah selesai. Lagipula, jalan-jalan berefek baik bagi kesehatan mental Laura. Selama kehamilannya, Laura terus mengalami hal buruk, mulai dari depresi sampai berhalusinasi. Sekarang saatnya gadis itu menyegarkan pikirannya dan bersenang-senang. 

Rain menekan tombol penyeberangan meski tidak ada kendaraan yang lewat dan hanya dirinya yang ingin menyeberang. Setelah lampu penyeberangan berubah hijau, ia melangkahkan kakinya di atas zebra cross dan mulai menyeberang.

Ia tidak lagi melihat-lihat berkasnya sembari menyeberang. Namun salah satu surat penting yang baru saja ditandatangani tak sengaja jatuh dari dekapannya.

"Ah, sial."

Rain menunduk melihat lembaran suratnya tergeletak di bawah. Ia melihat timer penyeberangan yang masih memiliki waktu beberapa detik sebelum merunduk untuk memungutnya. 

Rain mengambil surat tersebut. Ia sedang menyelipkannya di antara berkas ketika sebuah lampu sein lagi-lagi menyilaukan mata.

Lelaki itu mengangkat kepalanya, mendapati sebuah motor Kawasaki tengah melaju dengan kecepatan tinggi ke arahnya. Rain hendak menghindar dan mempercepat langkahnya, namun motor tersebut juga tampak semakin mempercepat lajunya.

Rain berpikir motor itu akan berhenti karena ia masih memiliki waktu untuk menyeberang, tetapi apa yang terjadi di luar dugaannya.

Kedua matanya membelalak melihat motor itu masih melaju cepat meski hanya berjarak beberapa meter darinya. 

Dan sebelum Rain menyadari apa yang terjadi...

.. motor itu menabrak dirinya kencang.. 

.. hingga ia terhempas ke udara.

Tubuh Rain lalu jatuh seperti dibanting. Kepalanya berbenturan keras dengan aspal. Berkas-berkas yang ikut terhempas kini berjatuhan menghujani dirinya dan berubah merah akibat bersentuhan dengan darah yang keluar dari kepalanya. 

Semua anggota tubuhnya menjadi mati rasa. Rain tak dapat bergerak. Penglihatannya mengabur. Napasnya terasa sesak. Tubuhnya mengalami kejang tanpa dapat ia kontrol. 

Is this the end?

Semua kilasan balik dari masa kecilnya hingga perbuatan jahat yang telah ia lakukan terputar kembali seperti sebuah DVD. Rain tak dapat memikirkan apapun kecuali bahwa mungkin inilah saatnya ia mati, meninggalkan semua urusan dunia begitu saja dan membiarkannya beristirahat tenang.

Kepalanya terus mengeluarkan banyak darah hingga tubuhnya tak lagi merasakan apapun. Penglihatannya semakin menggelap hingga akhirnya kedua matanya tertutup sempurna. 

Saat itu, motor Kawasaki yang telah menabraknya berputar balik dan berhenti tepat di sebelah tubuh Rain.

Bayangan hitam yang selama ini terus menghantui Laura turun dari motor miliknya. Sepatu boots-nya menginjak salah satu berkas penting yang kini sudah basah oleh darah.

Sosok itu berdiri menjulang di samping tubuh Rain. Kedua tangannya tersimpan di saku celana seakan tak memiliki rasa iba sama sekali.

Alex melepas helmnya.

Ia menatap dingin tubuh Rain yang tergeletak.

Sebuah senyuman lantas tersungging di mulutnya, merasa berhasil telah mencelakai lelaki yang dulu pernah menjadi teman baiknya.

"Kau sudah menghancurkan hidup Julia."

Alex mengepalkan kedua tangannya erat.

"Sekarang membusuklah di neraka, Berengsek."


-bersambung-


kelar/panjangin? *sips tea*

Thank you for NOT being a silent reader. xx

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top