29 - Rainfall

"Wah, dia tumbuh dengan baik rupanya."

Dokter Theresa tersenyum sumringah ke layar ultrasound. Tangannya bergerak ke segala arah pada perut Laura dengan alat ultrasound-nya, mencoba melihat keadaan janin dari angle yang lebih baik.

"Ukurannya berkembang sesuai dengan yang seharusnya, itu berarti keadaannya sangat baik."

Rain hanya tersenyum tipis mendengar pernyataan sang dokter.

Reaksinya pada USG kali ini jauh berbeda dengan saat mereka pertama kali datang. Rain saat itu begitu bersemangat dan takjub hanya dengan melihat setitik cahaya kecil yang muncul di layar ultrasound. Tapi kini ketika janin itu sudah mulai menampakkan bentuk yang cukup jelas, lelaki itu hanya diam dan tersenyum kecil setiap dokter memberikan penjelasan.

Tentu saja ia berubah bukan tanpa alasan.

Setelah mengetahui Laura masih tak dapat menerima bayinya, ia menjadi was-was akan pertemuan kali ini. Ia merasa khawatir akan kesehatan mental Laura jika melihat keadaan bayinya. Apakah Laura akan semakin depresi atau justru hatinya sudah luluh setelah melakukan beberapa kali pertemuan dengan Sophie?

Rain melirik Laura yang saat ini juga sedang memusatkan perhatiannya ke layar ultrasound. Ekspresinya masih sama seperti saat itu—datar.

"Tuan Austin?"

Panggilan Dokter Theresa memecahkan lamunannya.

"Ya?"

"Anda tidak terlihat segembira kemarin?"

"Oh," Rain menyeringai canggung seraya menggaruk kepalanya, "Well, semakin ia besar, aku jadi terus memikirkan biaya tanggungan hidupnya nanti." Ia menjawab sekenanya.

Dokter Theresa tertawa, "Tenanglah, itu tak sebanding dengan rasa bahagia ketika akhirnya anak ini lahir."

Rain hanya terkekeh menanggapinya. Matanya kembali melirik Laura.

Gadis itu rupanya sedang tersenyum juga..

.. tanpa memutus pandangan dari layar ultrasound.

***

Keanu mengembuskan napas panjang seraya menyeka keringat di dahinya. Hari ini ia kedapatan membersihkan toilet bersama salah satu teman sekamarnya. Mungkin ia tak akan selelah ini jika toilet di sini sebersih kamar mandi rumahnya. Tapi ini adalah pusat penahanan, di mana pelaku kejahatan yang rata-rata berasal dari kelas bawah tinggal selagi menunggu vonis hukuman. Sudah lima kali ia menyikat lantai, namun lantai toilet tak kunjung bersih.

Keanu mendengus pelan. Ia meninggalkan sebentar sikat yang masih bersabun tersebut untuk mengisi air bersih di embernya.

Akan tetapi, tiba-tiba saja suara benturan keras terdengar.

"Ow, fuck!"

Keanu menoleh dan mendapati teman sekamar yang bekerja bersamanya jatuh terpeleset menginjak sikat itu.

"Astaga, kau tidak apa-apa?" Ia buru-buru menghampirinya dan hendak menolong karena informasi yang ia dengar, terjatuh di kamar mandi cukup berbahaya.

"Did you leave it here?" tanyanya dengan nada tak menyenangkan.

"Ya, maaf, aku tadi hendak mengisi air sebentar untuk menyiramnya."

"What an idiot."

Pria itu mengambil sikat tersebut dan melemparnya ke wajah Keanu hingga mengenai tulang alisnya.

Keanu meringis kesakitan. Ia yakin keningnya akan biru setelah ini.

"Apa kau tidak bisa menjadi berguna barang sebentar saja?!"

Ia mendorong Keanu hingga punggungnya menabrak dinding, kemudian melempar pel yang sedang ia pegang ke dada lelaki itu.

"You ruined my mood. Aku sudah malas bekerja. Kau bersihkanlah sendiri, Berengsek."

***

"Kau masih mual?" tanya Rain setelah mereka mengambil foto hasil ultrasound.

"Tidak, sudah tidak."

"Hm, baguslah."

Rain melirik Laura. Gadis itu sedang membuka berkas hasil ultrasound dan memandangi foto hitam putih yang menunjukkan keadaan janin di rahimnya. Rain terpaku untuk beberapa saat. Meski Laura tetap tak menunjukkan ekspresi apapun, ini merupakan hal baru baginya. Pada ultrasound pertama, Laura bahkan tak menyentuh berkas hasil ultrasound sama sekali. Mungkin gadis itu juga tak peduli bagaimana keadaan anaknya di dalam sana. Tapi kini, Laura seolah sedang memindai foto itu tak henti-henti dengan kedua matanya.

Apakah ini adalah sebuah kemajuan?

Rain berharap begitu. Ia harap sesi pertemuan Laura dengan Sophie berjalan lancar dan dapat meluluhkan hatinya.

"Dokter Theresa bilang dia sehat." Rain berbasa-basi.

"Hm?" Laura menoleh padanya, "Oh, ya, benar."

Gadis itu lantas berhenti memandangi foto dan menutup berkas itu kembali. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain.

"Apa.. kau senang?" tanya Rain hati-hati.

"Jika itu membuatmu senang, maka tak ada alasan aku tak merasa senang." Ia menjawab sekenanya seraya mengedikkan bahu.

Rain menghela napas dan hanya tersenyum kecil. Ia lalu melirik jam tangannya.

"Laura," panggilnya, "Maaf, aku baru memberi tahumu, tapi aku harus pergi sekarang."

"Apa? Kenapa tiba-tiba sekali?"

"Ada urusan sebentar. Aku sudah menelepon sopir Dad untuk datang, jadi kau pulanglah dengannya. Aku akan pergi naik bus. Kau sudah tahu bukan, yang mana orangnya?"

"Tapi kau mau ke mana? Apa aku tidak boleh ikut?"

Rain tersenyum, "Ini urusan pekerjaan. Kau akan bosan jika menungguku."

Laura mendengus pelan, "Baiklah."

"Kau tunggu saja di sini."

Rain mengarahkan Laura ke salah satu bangku di lobi rumah sakit. Ia lalu mengeluarkan ponselnya dari saku dan menyerahkannya pada Laura.

"Aku sudah menyuruh sopir untuk membelikan ponsel baru untukmu. Tapi untuk sekarang, kau pakai punyaku saja sebagai pegangan. Jika ada apa-apa, kau bisa telepon Dad. Oke?"

Laura menerima ponsel milik Rain. Ponselnya memang sudah lama rusak semenjak... semenjak Keanu melemparnya ke dinding pada malam mengerikan itu.

Laura meneliti ponsel milik Rain. Ia tersenyum miring, "Bagaimana jika ada wanita yang menelepon? Haruskah ku angkat? Atau ku biarkan saja agar tak menimbulkan salah paham?"

Mendengar pertanyaan itu, Rain terkekeh dan menggeleng, "Satu-satunya wanita yang akan meneleponku adalah kau jika sudah menerima ponsel barumu."

"Cih, kau ini."

Laura tersenyum kecil. Dari dulu Rain paling senang menggodanya. Pandangannya lalu beralih ke arah lain, tepatnya pada sesuatu yang berada cukup jauh di depannya.

Saat itu juga, kedua alisnya bertaut.

"Baiklah, aku harus pergi sekarang." Rain beranjak dari duduknya. Ia menunggu Laura mengatakan sesuatu, tapi gadis itu rupanya hanya diam, "Laura?"

"Eh?" Laura kembali menoleh, "Oh, iya.. baiklah."

"Kau melamun?"

"I-iya.. sepertinya."

Laura menggaruk kepalanya dengan kikuk, sementara Rain hanya menggeleng pelan.

"Baik, aku pergi dulu."

Rain berucap sekali lagi. Namun sebelum lelaki itu melangkah pergi, Laura menahan pergelangan tangannya.

"Rain."

"Ya?"

Laura terdiam beberapa saat, sebelum tersenyum kepadanya, "Hati-hati.." Ia berpesan.

Rain membalas senyuman itu, "Ya, kau juga."

Ia lalu berjalan pergi meninggalkan Laura seraya melambaikan tangan padanya.

Rain memang memiliki urusan, tapi ini bukan tentang pekerjaan. Ia akan mengunjungi Keanu lagi. Entah kenapa, ia hanya merasa ia harus mengunjungi Keanu. Sidang terakhir Keanu tinggal menghitung hari dan ia ingin mengetahui keadaan lelaki itu saat ini.

Rain naik ketika bus datang dan duduk di tempat yang kosong.

Kini, Sean sudah ditemukan. Pelaku sebenarnya sudah ditemukan. Keanu akan menghadapi putusan sidang, namun ia belum juga menemukan titik terang akan nasibnya.

Sean sedang beristirahat di ruang rawat VIP dengan pelayanan terbaik, sementara Keanu harus mendekam di pusat penahanan dengan para pelaku kejahatan.

Rain mengusap wajahnya dengan tangan.

Tentu saja Rain masih waras. He knows that this is all so unfair. But it's like there's something holding him back and he doesn't know what that is.

Ia tahu ia tidak seharusnya merasa seperti ini, tetapi sekali lagi, ada sesuatu yang menahannya untuk melakukan kebenaran dan ia tak tahu apa itu.

Pintu bus terbuka ketika sampai di halte berikutnya. Hanya ada sepasang suami dan istri yang naik ke dalam bus.

Tatapan Rain turun ke perut sang istri yang besar. Tampaknya wanita itu sedang hamil tua. Tidak ada lagi tempat duduk yang kosong, maka Rain berinisiatif untuk berdiri dan membiarkan wanita itu duduk.

"Please, take my seat, Ma'am."

Rain beranjak dan mengarahkan tangannya pada bangku, mempersilakan wanita itu untuk duduk.

"Oh, terima kasih."

Wanita itu dituntun oleh suaminya berjalan ke arah bangku Rain dan duduk di sana, sementara suaminya berdiri dengan protektif di depan istrinya.

"Terima kasih." Pria yang tampak berumur pertengahan 30 tahun itu tersenyum hangat pada Rain.

Rain hanya mengangguk dan membalas senyuman itu. Ia akhirnya menghabiskan sisa perjalanan di bus dengan berdiri.

Rain sesekali melirik pasangan suami istri tersebut. Meski sang suami dalam posisi berdiri, pria itu tak pernah berhenti mengelus perut istrinya. Rain bahkan sempat mencuri dengar. Mereka rupanya juga sedang berbicara tentang persalinan yang hanya tinggal menunggu hari. Senyuman tak henti mereka sunggingkan kepada satu sama lain.

They look so happy.

Apakah semua pasangan yang sudah menikah seperti itu? Tampak bahagia, saling tatap penuh cinta, dan terlebih, mereka sedang menunggu kelahiran seorang anak.

Rain menghela napas. Ia lantas mengalihkan wajahnya ke arah lain.

***

"Oh, hai.."

Perasaan senang dapat terlihat di kedua mata Keanu mengetahui Rain datang mengunjunginya.

"Hai.." Rain membalas sapaan Keanu.

"Aku tak mengira kau akan mengunjungiku lagi."

Rain tersenyum tipis, "Apa aku tidak boleh mengunjungimu lagi?"

"Tidak, tidak, bukan begitu. Aku senang kau datang." Keanu terkekeh, "Omong-omong, ada apa, Rain?"

"Tidak ada apa-apa," jawab Rain, "Aku hanya ingin datang."

Keanu tersenyum miring, "Merindukan teman baikmu, huh?"

"Yang benar saja." Lelaki itu berdecih.

Rain memerhatikan wajah Keanu. Ia lalu menyadari ada sebuah memar di dekat alis tebalnya.

"Ada apa dengan keningmu? Kau habis bertengkar?"

"Hm?" Keanu refleks menyentuh memar yang baru saja ia dapatkan, "Oh, ini? Aku terbentur dinding tadi. Hanya hal sepele."

Rain tahu Keanu berbohong.

"Jadi.. bagaimana perasaanmu saat bersaksi di persidangan? Itu pertama kalinya kau melakukannya, bukan?" Keanu mengalihkan topik pembicaraan.

"Cukup menegangkan," Rain tersenyum tipis, "Aku tak bisa membayangkan berada di posisimu."

"Ya, begitulah." Keanu tersenyum kecil seraya menghela napas, "Apa... kau sudah menemukan tanda-tanda keberadaan Sean?"

Mendengar pertanyaan itu, Rain terdiam. Keanu tampak menunggu jawabannya dengan penuh harap, namun Rain tak mengatakan apapun dan justru memalingkan wajahnya ke arah lain. Melihat Rain tetap bungkam setelah beberapa lama, Keanu menghela napas pelan. Ia tahu bahwa jawabannya nihil.

"I see.." Keanu tertunduk.

Dalam hati, Keanu merasa sedih. Tapi harus bagaimana lagi? Jika ini adalah jalan terbaik, maka ia mau tak mau harus menjalaninya.

"Sepertinya selama beberapa waktu ke depan, kita akan bertemu dengan dipisah sekat seperti ini, Kawan." Keanu tersenyum miris.

Sejak awal, Keanu tahu ia tak seharusnya berharap banyak. Mungkin inilah takdirnya, mendapat hukuman dengan cara yang tak adil.

"Can I ask you something?" tanya Rain.

"Apa?"

Rain terdiam sejenak, sebelum akhirnya bertanya kepada Keanu, "Apa yang akan kau lakukan jika kau bebas?"

Keanu tersenyum, "Membenahi kehidupanku, tentu saja," jawabnya, "Hukum tabur tuai berlaku. Mungkin ini adalah akibat dari gaya hidupku yang berantakan saat aku masih memiliki segalanya. Aku selalu masuk ke sekolah prestisius dan eksklusif, tetapi sekarang, aku merasa di tempat menyedihkan inilah aku dididik. Tempat menyedihkan ini membuatku banyak berefleksi diri selagi melewati masa sulit. Aku tak bisa memutar balik waktu, tapi aku ingin menjadi lebih baik lagi di masa depan."

Tapi rasanya, keinginannya itu sudah tak berguna lagi karena ia tahu bahwa pada akhirnya, ia tak akan bebas.

"Can I ask you another question?"

"Tentu saja." Keanu mengedikkan bahunya.

"Apa yang akan kau lakukan.." ujar Rain, ".. jika kau bertemu dengan Laura Hunt?"

Kali ini giliran Keanu yang terdiam. Ia tak mengira Rain akan bertanya tentang gadis itu. Pertanyaan itu begitu tiba-tiba sampai ia tak tahu harus menjawab apa.

Apa yang akan ia lakukan jika bertemu dengan Laura Hunt?

Seakan gadis itu sudi menemuinya saja. Alih-alih bertemu dengannya, Keanu tak tahu di mana Laura sekarang. Keanu bahkan tak tahu bagaimana keadaannya semenjak malam penuh dosa itu.

Setelah malam itu, yang ia tahu adalah beasiswa Laura dicabut dan ia dikeluarkan dari kampus. Lengkap sudah. Ia sudah merusak diri gadis itu beserta mimpi-mimpinya hanya dalam sekejap.

Ia menatap Rain lama.

"Aku akan bertanggung jawab atas segala kesalahanku. Apapun itu."

***

"Maaf lama menunggu, Nona."

"Tidak apa-apa."

Laura tersenyum ketika sang sopir membukakan pintu untuknya.

"Dan ini." Pria berusia pertengahan 40 tahun itu mengulurkan sebuah kotak padanya, "Tuan muda mengatakan untuk memberikan ini kepada Nona."

Laura melihat gambar yang ada di kotak tersebut ketika ia menerimanya. Rupanya itu adalah ponsel baru seperti yang Rain katakan.

"Semua sudah ter-install. Nona hanya tinggal memakainya."

"Oh, terima kasih."

Ia lalu masuk dan mendudukkan dirinya di bangku belakang. Laura melepas tasnya, juga menaruh berkas yang ia bawa. Ia membuka kotak itu untuk mengambil ponsel barunya.

Selama ini, ia memakai ponsel kuno yang ia beli dari sebagian upah pekerjaan paruh waktunya saat masih sekolah. Namun sekarang, ia tengah memegang ponsel mahal keluaran terbaru yang tak pernah disangka akan ia miliki. How the tables have turned.

"Bagaimana ini bekerja?" gumamnya seraya mengutak-atik ponsel barunya.

Laura membuka player musik, namun belum ada lagu sama sekali di sana. Ia beralih pada daftar kontak. Di sana sudah ada nomor Rain, Mr.Austin, bahkan sang sopir yang saat ini berada di depannya.

Laura kini membuka galeri. Sama seperti player musik, belum ada foto satupun di dalam sana. Wallpaper-nya juga masih merupakan foto default dari ponsel itu sendiri.

Gadis itu termenung untuk beberapa saat. Ia melirik sang sopir yang kini sedang bersiap untuk menjalankan mobil.

Laura menaruh ponselnya sebentar dan beralih ke berkas yang ia bawa. Ia membuka hasil ultrasound-nya dan membidikkan kamera ponsel ke arah foto tersebut.

Klik.

Kemudian menjadikannya sebagai wallpaper.

***

"Oh?" Lelaki pirang itu menekan pause pada permainan ponselnya begitu melihat seseorang masuk, "Hei, welcome, man. Aku tak mengira kau akan datang."

Rain hanya tersenyum selagi memberikan Sean bro hug. Ia menaruh keranjang buah yang baru saja ia beli di atas nakas samping alat infus milik Sean. Setelah mengunjungi Keanu, ia kembali lagi ke rumah sakit ini hanya untuk menjenguk Sean.

"Kau sudah merasa lebih baik?"

Sean mengedikkan bahunya, "Seperti yang kau lihat."

"Baguslah."

"Kau tak bekerja?"

Rain menggeleng, "Tidak, karena aku harus ke rumah sakit."

"Really? Hanya untuk mengunjungiku?"

"Cih, tentu saja bukan. Aku harus menemani—" Rain menghentikan ucapannya. Ia hampir saja keceplosan mengatakan untuk menemani Laura melakukan ultrasound, "Yah, intinya aku memiliki urusan."

"Kau tidak sakit, kan?"

Rain menggeleng, "Tidak."

Sean menggangguk-angguk pelan, "Baiklah, kau bersantai saja di sini. Ganti saja channel televisinya. Aku juga tak menontonnya."

Sean kembali ke permainan ponselnya, sementara Rain melihat-lihat ke sekelilingnya. Rain lalu beranjak dari tempatnya untuk berjalan menuju pintu kamar. Ia sedikit berbalik pada Sean dan diam memerhatikannya sejenak. Sean yang terlalu sibuk dengan ponselnya tak menyadari hal itu.

Rain menghela napas pelan, "Aku baru saja mengunjungi Keanu."

Mendengar ucapan Rain yang begitu tiba-tiba, detik itu juga, ponsel Sean terjatuh dari genggamannya.

Sean mengangkat kepalanya. Kedua matanya membelalak. Siapapun dapat melihat gurat ketakutan pada wajah Sean.

"Kau tak mengatakan padanya tentang keberadaanku, kan? Tidak, kan?" tanyanya panik.

Rain menggeleng, "Tidak, aku tidak mengatakan itu padanya."

Mendengar hal tersebut, Sean mengembuskan napas lega.

"Syukurlah.." Lelaki itu kembali bersandar dan memainkan ponselnya. Jantungnya hampir saja berhenti tadi.

"Sean." Rain memanggilnya.

"Ya?"

"Maafkan aku."

Sebelum Sean dapat memahami apa yang Rain maksud, Rain membuka pintu kamar VIP itu.

Di sana, tepat di depan pintu itu, sudah berdiri empat orang petugas yang siap menjemput Sean. Empat orang yang merupakan mimpi terburuk Sean dan menjadi alasan utama ia melarikan diri dari rumah.

Rain benci akan ketidakadilan dan ia memilih untuk melakukan kebenaran.

"Keanu tidak bersalah dan ia berhak untuk bebas."

-bersambung-

Hehe maap ya lama, terlalu fokus memerhatikan apa yang sedang terjadi sampe lupa nulis wkwkwk btw selama baca cerita ini, scene apa yang paling membekas buat kalian? Baik scene yg happy atau mungkin sedih/ngeselin?

Thank you for NOT being a silent reader.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top