3 : Pathetic Darkness

'Dimanakah dirimu, hyung?
Aku sangat merindukanmu. '

▫️ ▫️ ▫️ ▫️ ▫️

Sudah 2 minggu sejak kepergian Yoongi, Jungkook terduduk pada kursi halte tempat dimana ia terakhir kali mengantar kakaknya pergi.

Ia tak tahu kira-kira pukul berapa namja berkulit pucat itu tiba. Memang Yoongi tak memberitahunya, dan Jungkook tak memiliki ponsel untuk menghubungi kakaknya tersebut.

Pagi tadi ia sempat menanyakan pada bibi sebelah flat tempat tinggalnya. Tetapi bibi Han pun tidak mengetahui apapun, terakhir kali mendapat kabar, bibi Han hanya di beri pesan untuk menjaga Jungkook dengan baik.

Jungkook masih mengenakan seragam sekolah miliknya. Ini sudah hampir sore dan tak ada tanda-tanda bis dari Seoul akan datang. Remaja itu membuang nafasnya kasar.

"Apa Yoongi hyung sedang berada di perjalanan?" gumannya pada diri sendiri.

"Baiklah, aku akan menunggunya." Jungkook bersenandung, di gerakkanya kedua kaki miliknya dengan acak.

Dilihatnya kantong plastik yang ia genggam, sebelum Jungkook berniat menunggu Yoongi di halte bis. Dirinya sempat membeli beberapa bahan makanan untuk di masak.

Ia sudah berniat untuk membuatkan Yoongi resep baru yang baru saja ia pelajari dari internet. Sejak Yoongi pergi, Jungkook memasak makanan sendiri, sesuai dengan pesan sang kakak ia berjanji akan selalu memakan makanan yang hangat.

Sebuah bis pun datang dan berhenti tepat di hadapan Jungkook. Dengan terburu-buru ia berdiri, nunggu pintu bis untuk terbuka. Dilihatnya segerombolan manusia turun dari sana, matanya berpendar mencari-cari keberadaan Yoongi.

Cukup lama ia menunggu, dilihatnya orang-orang bergantian untuk keluar dan masuk secara tertib. Tetapi sampai saat ini Jungkook belum menemukan sang kakak. Di Intipnya keadaan di dalam bis melalui kaca, namun tak ada Yoongi di dalamnya.

Dirinya menunduk, pundaknya menurun tanda kecewa. Mengehela nafas kembali, ia membawa tubuhnya untuk duduk pada kursi tunggu halte, lagi.

Sudah jam 7 malam, masih ada beberapa bis yang akan datang nantinya. Tak masalah, ia akan menunggu sampai bis terakhir, pikirnya.

Dan malam semakin larut, bis terakhir sudah pergi kembali beberapa menit yang lalu. Jungkook masih terdiam, ia kebingungan saat ini.

Dirinya sudah menunggu selama lebih dari 7 jam disana, matanya tiba-tiba berair. Bukan karena lelah, tetapi begitu rindunya ia pada Yoongi.

Tangisnya pun pecah, tubuhnya gemetar dan suara lirihannya terdengar pilu. Ia khawatir sekali, tak ada kabar apapun, tak ada tanda-tanda apapun.

Yoongi tak meninggalkan pesan bahkan mengabarinya barang semenit saja. Dadanya sesak mendadak, banyak sekali rasa takut yang melayang di pikirannya.

Jungkook pun membuang nafasnya kasar, ditariknya udara masuk ke paru-paru nya secara dalam dan menghembuskannya pelan. Ia mencoba membuat dirinya tenang. Dan berhasil, tangisnya terhenti hanya tinggal jejak sungai yang tergambar di pipi gembilnya.

"Mungkin esok hari hyung baru akan pulang. Tak apa, aku akan menunggu ya kembali setelah pulang sekolah." lirihnya.

Jungkook pun membawa tubuhnya untuk bangkit, ia berjalan terseok-seok menuju tempat tinggal mereka. Enggan sekali meninggalkan halte bis, tetapi malam sudah menunjukan pukul 10.

'Maafkan aku, Kookie...'

.
.
.
.
.

One week ago...

Seorang pemuda berperawakan tinggi melangkahkan kakinya dengan berlari menuju sebuah ruangan bernuansa putih.

Jas kebanggaan tertaman apik pada tubuh miliknya, sangat cocok dengan gelar Dokter yang mengikuti namanya dengan cantik.

Dibukanya ruangan itu dengan tergesa-gesa, ia melihat sahabatnya yang tengah di tangani oleh beberapa perawat yang sibuk menghapus darah yang keluar dari hidungnya tak main-main.

"Astaga Yoongi!" dengan terburu ia memeriksa keadaan pemuda yang semakin kurus setiap waktunya itu.

Tubuh pemuda itu tersentak, dengan tiba-tiba Yoongi mengerang keras membuat perawat semakin panik dibuatnya. Dijambaknya rambut tipis hijau miliknya membuat beberapa helai kembali tercabut dari sana.

"Arrggghhh Seokjin!!!" sakit sekali, seperti sebuah batu besar menghantam berkali-kali tepat di atas kepalanya.

"Ambilkan obat penenang! Cepat!!!" Seokjin mengikat tangan Yoongi pada sisi ranjang. Tak ingin pemuda pucat itu semakin menarik habis rambut miliknya. Ia menyeka darah yang masih saja keluar, memeras handuk yang sudah di rendam oleh air hangat. Tak peduli jika jas putih miliknya sudah kotor oleh noda darah.

"Kau harus kuat Yoon, kau harus pulang. Adikkmu menunggu di rumah." perawat itu datang, memberikan apa yang Seokjin perintahkan, dirinyapun langsung menyuntikkan cairan tersebut pada tubuh sang sahabat.

Selang beberapa menit tubuh ringkih itu pun sudah kembali tenang, Yoongi membuka matanya dengan lemah dan perlahan.

Dilihatnya Seokjin yang masih membersihkan wajah dan lehernya tanpa jijik sama sekali. Padahal pekerjaan itu adalah milik perawat, tapi Seokjin mengambil alih. Ia perintahkan para wanita itu untuk membersihkan yang lain saja.

"H...H—hyung?" suaranya terdengar lirih, nafasnya tersendat-sendat.

Seokjin hanya membalasnya dengan berguman, ia sudah selesai dengan kegiatannya dan sekarang dirinya tengah membuka baju rumah sakit yang Yoongi kenakan untuk di ganti.

"A... Apa Kookie baik-baik saja?"

"Ya, adikmu baik-baik saja. Jadi kau harus sembuh dan temui Jungkook. Ia pasti sedang menunggumu pulang."

"Kau tahu sendiri, ini sudah stadium 4 kau takbisa menipuku dengan membual bahwa aku akan sembuh." jelasnya tersenyum.

Seokjin terdiam, tak tahu bagaimana cara menjawab pernyataan yang Yoongi keluarkan untuknya.

Benar, kanker otak mengerogoti pemuda pucat itu sejak 3 tahun belakangan. Awalnya belum separah ini, Seokjin sudah menyuruh Yoongi untuk mengobatinya saat kanker itu masih belum meluas. Tetapi Yoongi menolak, Jungkook masih berumur 12 tahun dan dirinya tak tega untuk meninggalkan bocah itu sendirian untuk waktu yang lama.

Hanya obat-obatan pengilang rasa sakit yang ia konsumsi setiap harinya. Bekerja siang malam dengan menahan nyeri yang sering kali timbul dan darah yang keluar dari hidungnya tanpa disuruh. Sampai akhir-akhir ini hampir setiap jam ia merasakannya. Maka dari itu Yoongi memutuskan untuk pergi ke kota, menemui sahabatnya Kim Seokjin yang lebih tua setahun darinya.

Tetapi terlambat, kanker sudah meluas dan memasuki tahap akhir. Ia menyesal, sangat menyesali keputusannya untuk menahan penyakit ini lebih lama.

Dirinya tak sanggup meninggalkan bocah kelinci itu untuk selamanya. Ia tak sanggup melihat air mata yang jatuh di pipi gembil anak itu.

Betapa Yoongi menyayangkan kebodohannya. Tetapi ia berusaha untuk tak terlalu berlarut dalam penyesalan.

"Bisakah kau mengambil tas ku?" pintanya.

Seokjin mengangguk,, dia meraih ransel hitam di dalam nakas tepi ranjang.

"Di— didalam sana aku sudah menyiapkan uang yang ku tabung di bank. Jumlahnya cukup untuk biaya pendidikan Jungkook sampai universitas dan lainnya..." nafasnya tersenggal, ia berucap dengan pelan.

Tangannya tremor, tubuhnya mendingin seiring setiap kalimat yang ia lontarkan melalui labium pucatnya.

"H—hyunghhh... Berjanjilah...."

"Berjanjilah... untuk tidak memberitahu apapun, kirimkan uang itu setiap bulan secara berangsur. Katakan bahwa aku takbisa pulang karena sibuk. Jangan mengatakan apapun tentangku, penyakitku dan keadaanku padanya...."

".... A—aku mohon.... dan t—hhh terimakasih Seokjin hyung...."

Di hembusan nafas terakhirnya.

Di setiap kalimat terakhirnya.

Di setiap detak jantung terakhirnya.

Bayangan Jungkook kecil tersenyum sangat manis menghampirinya. Lautan rumput hijau dan setangkai bunga peony putih di gengaman tangan mungilnya. Bocah itu berlari menuju Yoongi yang duduk di bawah rindangnya pohon.

Ya, ia sangat beruntung mempunyai Jungkook di slama hidupnya. Kehidupan yang menghampiri dirinya sejak ia memutuskan untuk merawat Jungkook, dirinya meminta maaf karena takbisa menemani adik manisnya untuk waktu yang lama.

Merapalkan kata maaf di akhir hayatnya. Yoongi menutup mata untuk selama-lamanya. Dengan senyuman yang tertinggal di wajah pucat, Seokjin menangis saat ia mencoba mengeja kata terakhir yang keluar dari bibir Yoongi.

'Jungkook... Maafkan Hyung..."

Seokjin meraung memanggil nama sahabatnya, di guncangnya tubuh Yoongi yang sudah tak bernyawa.

Dirinya seorang Dokter, tetapi ia tak mampu menyembuhkan Yoongi dan ia merasa gagal.

Beberapa perawat memasuki ruangan, di lihatnya Seokjin yang memeluk tubuh dingin pasien.

Tak lama, seorang laki-laki juga ikut memasuki ruangan.

"Min Yoongi, 27 April 2020 meninggal pada pukul 19:00 ." Namjoon berucap. Di tepuknya pundak gemetar Seokjin yang masih menangis.

"Sudahlah... Kau takbisa mengatur hidup manusia walaupun kau adalah seorang Dokter, Seokjin."

Dan tangis itu semakin pecah mengisi malam.

▫️▫️ ▫️ ▫️ ▫️
TBC


Btw...
Aku ngetiknya sambil nangis di pojokan kamar 😭
Adakah yang sama kyk aku? Wkwkwkw
Gimana nyampe gak di kalian sedihnya?
Taptap bintang dan jangan lupa tinggalkan komentar ya! ♥️

'IndahHyera
07022021'

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top